Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................................................. i
BAB I PEMBUKAAN .................................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................................................. ii
BAB II PERMASALAHAN ......................................................................................................................... 1
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 2
Teori absolut ............................................................................................................................................. 2
Teori relatif ............................................................................................................................................... 3
Teori gabungan ......................................................................................................................................... 5
BAB IV PENUTUP ...................................................................................................................................... 7
Kesimpulan ............................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................... 8
BAB I
PEMBUKAAN

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala nikmat yang telah
dilimpahkan kepada kita semua. Terutama nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga pula nikmat-
nikmat itu kami dapat menyesuaikan tugas makalah meskipun masih sangat sederhana.
Karena itu melalui kesempatan saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Karena penulisan makalah ini adalah merupakan sesuatu yang baru, maka
adalah wajar jika didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Olehnya itu atas semua kekurangannya selaku penulis juga tak lupa menyampaikan
permohonan maaf disertai harapan tetap adanya saran kritik dari pembaca yang sifatnya
membangun.Sekian semoga makalah ini bermanfaat adanya. Aamiin.
Tak lupa, saya juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua dan guru-guru
yang telah mendidik dan merawat saya. Lalu, ucapan terimakasih kepada teman-teman saya yang
telah meminjamkan buku dan menyedekahkan rokok untuk saya sehingga menambah semangat
dan daya piker saya.

Surabaya, 11 Mei 2019

Penulis

ii
BAB II
PERMASALAHAN

Dalam kehidupan di alam semesta ini manusia dipercayai dan diberi wewenang dalam
mengatur dan mengolah tatanan kehidupan. Meskipun banyak pendapat yang mengatakan
bahwa manusia diciptakan suci dan dibekali akal namun dalam realita masih saja ditemukan
tindakan-tindakan yang menyeleweng dari fitrah manusia itu sendiri, atau yang biasa kita
sebut dengan kejahatan. Selayaknya cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kejahatan
senantiasa memberi corak dalam perjalanan kehidupan manusia.

Ketika seseorang melakukan perbuatan kejahatan tentunya hal tersebut berimbas


kepada seseorang lain atau bahkan banyak orang. Baik itu berupa keresahan, rasa dendam,
benci, ataupun ketakutan.

Dalam pengertian hukum (hukum pidana) terdapat pembagian yaitu hukum pidana
materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut
sebagai berikut:1

Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum
yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap
perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya
dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi larangan atau
perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil dalah aturan
hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil.

Lantas bagaimana cara mengatasi perilaku kejahatan tersebut? Sanksi macam apa
yang diberikan kepada si penjahat? Apa saja yang ditawarkan para ahli hukum untuk
kesejahteraan masyarakat?

1
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta:Sinar Grafika,. 2005, 2.

1
BAB III
PEMBAHASAN

Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebaga isuatu proses pemberian
atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapat dikatakan bahwa sistem pemidanaan
mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum
pidana ditegakkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini
berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, Hukum Pidana
Formal dan Hukum Pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagi suatu kesatuan sistem
pemidanaan.2

Teori-teori pemidaan muncul akibat pertimbangan berbagai aspek sasaran yang


hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana3, teori-teori tersebut berkembang mengikuti
dinamika kehidupan sebagaimana berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa
timbul dalam kehidupan masyarakat. Dalam dunia ilmu hukum, berkembang beberapa teori
pemidaan, antara lain: teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian), teori
penggabungan (integratif).

Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan sarana


pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang, orientasinya berada pada
kejahatan itu sendiri. Menurut teori ini, pemidaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
pembalasan.4 Pembalasan ini dirasakan adil dan dasar hukuman harus dicari dari kejahatan
itu sendiri karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai
imbalannya si pelaku harus diberi penderitaan.5 Pada umumnya tujuan pemidanaan sebagai
pembalasan yang setimpal dengan pelanggaran moral yang dilakukan dapat menimbulkan
rasa puas bagi orang lain.6

Tokoh-tokoh penganut teori retributif antara lain ialah Immanuel Kant dan Hegel.
Immanuel Kant menyatakan pemidanaan merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang
karena telah melakukan kejahatan (imperatif kategoris). Sedangkan Hegel memandang
pemidanaan merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.

2
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, 129.
3
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Refika Aditama, 2009, 22.
4
M Hamdan, Alasan Penghapus Pidana (Teori dan Studi Kasus), Bandung: PT. Refika Aditama, 2012, 54.
5
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, 105.
6
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, 47.

2
Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan
perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan Negation der Negation (pengingkaran
terhadap pengingkaran).

Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu:7

1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan.


2. Pembalasan menjadi tujuan utama dan tidak menjadi sarana untuk tujuan lain, misalnya
kesejahteraan masyarakat.
3. Kesalahan moral merupakan satu-satunya syarat untuk penjatuhan pidana.
4. Pidana harus sesuai dengan kesalahan moral si pelaku.
5. Pidana melihat ke belakang sebagai pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk
memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali (resosialisasi) si pelaku
kejahatan.

Teori relatif (deterrence), dalam teori ini tujuan pemidanaan bukan hanya sebagai
tuntutan absolut (pembalasan) atas kejahatan si pelaku, tetapi juga untuk mencegah (prevensi)
kejahatan sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan/tertib masyarakat. Pidana bukan untuk orang yang melakukan kejahatan,
melainkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori
tujuan (utilitarian theory).8

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu:9

1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention).


2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat (tertib masyarakat).
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja
(misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

7
Karl O.Cristiansen sebagaimana dikutip oleh M Hamdan, Op. Cit, 54.
8
Dwidja Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Refika Aditama, 2009, 26.
9
Karl O.Cristiansen sebagaimana dikutip oleh Dwidja Priyanto, Op. Cit, 26.

3
Mengenai cara mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat tersebut, teori ini
dibedakan menjadi 2 paham yaitu prevensi umum dan prevensi khusus.

1. Prevensi umum dimaksudkan agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan


delik.10 Misalkan seperti mempertontonkan eksekusi hukuman mati didepan khalayak
umum untuk menakut-nakuti supaya tidak melakukan hal serupa. Akan tetapi Von
Feurbach sebagai salah satu filsuf penaganut aliran ini berpendapat pencegahan tidak
perlu dilakukan dengan siksaan, tetapi cukup dengan memberikan peraturan yang
sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca itu akan membatalkan niat
jahatnya.11
Dan juga tokoh utama dalam aliran ini yaitu Cessare Beccaria berpendapat bahwa
penetapan pidana ditentukan secara pasti oleh para pembuat undang-undang dan
hakim tidak diizinkan melakukan interpretasi terhadap undang-undang (judicial
discretion). sehingga hakim hanya boleh menjalankan ketentuan sebagaimana yang
tercantum dalam undang-undang.12 Namun perlu diketahui bahwa pemikiran Beccaria
ini dilatarbelakangi oleh penentangan terhadap kelaliman penguasa pada zaman
pemerintahan kuno.
2. Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah pelaku kejahatan mengulangi
perbuatannya atau juga mencegah “calon” pelanggar melaksanakan perbuatan jahat
yang direncanakannya. Penganut aliran ini Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi
khusus suatu pidana ialah:13
a. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang
mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.
b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki (treatment) terpidana.
c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.
d. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.

Sebagaimana menurut Hamel diatas maka dapat dikatakan bahwa


treatment/rehabilitasi termasuk dalam sub kelompok teori deterrence. Akan tetapi dalam
pandangan Andrew Ashworth sesungguhnya rehabilitasi merupakan suatu alasan pemidanaan

10
Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1985, 34.
11
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 47.
12
M Hamdan, Alasan Penghapus Pidana (Teori dan Studi Kasus), Bandung: PT. Refika Aditama, 2012, 55.
13
Andi Hamza, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1985, 36.

4
yang berbeda dengan pandangan deterrence. Bila tujuan teori deterrence ialah melakukan
tindakan preventif terhadap terjadinya kejahatan, sedangkan rehabilitasi lebih memfokuskan
untuk mereformasi atau memperbaiki pelaku.14 Maka hal ini yang disebut dengan teori
rehabilitasi.

Teori gabungan (integratif) pada dasarnya teori ini gabungan dari kedua teori diatas
(teori absolut dan relatif) sebagai dasar penjatuhan pidana. Disatu pihak teori ini mengakui
adanya pembalasan dan disisi lain mengakui adanya prevensi dan rehabilitasi.

Teori ketiga ini muncul disebabkan adanya kekurangan/kelemahan pada kedua teori
sebelumnya, yaitu:15

Kelemahan teori absolut:

a. Berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Misalkan pada kasus pembunuhan tidak semua


pelaku dijatuhi hukuman mati, melainkan harus ditimbang berdasarkan alat-alat bukti
yang ada.
b. Jika dasar teori ini adalah pembalasan, mengapa hanya negara saja yang memberi pidana?

Kelemahan teori relatif:

a. Berpotensi menimbulkan ketidakadilan pula, jika tujuan mencegah kejahatan dengan cara
menakut-nakuti, maka bisa saja pelaku kejahatan ringan dijatuhi hukuman berat hanya
untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang.
b. Kepuasan masyarakat terabaikan. Misalkan bertujuan hanya untuk memperbaiki si
pelanggar saja maka masyarakat yang membutuhkan kepuasan terabaikan.
c. Sulit dipraktikkan. Tujuan pencegahan kejahatan dengan cara menakut-nakuti itu sulit
untuk dilaksanakan dalam praktik. Misalkan terhadap residive.

Dalam teori gabungan ini ada perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum, yaitu:

1. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan.


2. Teori gabungan yang menitikberatkan tertib masyarakat.
3. Teori gabungan yang mempoisisikan seimbang keduanya.

14
Extrix Mangkepriyanto, Hukum Pidana dan Kriminologi, Guepedia, 2019, 42.
15
Harmien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Ranka Pembangunan Hukum
Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, 11-12

5
Salah satu penganut teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan ialah
Van Bemmelan yang menyatakan:16 “Pidana” bertujuan membalas kesalahan dan
mengamankan masyarakat. Sementara “tindakan” bermaksud mengamankan dan memelihara
tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.

Yang kedua, teori pemidanaan yang menitikberatkan tertib masyarakat memandang


pembalasan hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara
sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana bukan tujuan. Tujuan pidana adalah
melindungi kesejahteraan masyarakat. Menurut Vos ”Pidana berfungsi sebagai prevensi
umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia
tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.”17

Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memposisikan pembalasan dan pertahanan
tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana. 18 Akan
tetapi apabila berkaca pada pandangan Prins, Van Hammel, Van List bahwa pidana ialah
suatu cara yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas
kejahatan. Meskipun pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh
digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya
sosialnya dengan memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.19 Dapat disimpulkan
bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri
manusia terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu yang dianggap
dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang bahwa penjahat-penjahat
tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan atau pembalasan dari suatu
pemidanaan tidak dapat dihindari.

16
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005, 36.
17
Ibid., 37.
18
Ibid.
19
Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam Proses Pidana,
Yogyakarta:Liberty, 1988, 47.

6
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Teori absolut (retributif) memandang bahwa pemidanaan merupakan sarana
pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang, orientasinya berada pada
kejahatan itu sendiri. Menurut teori ini, pemidaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
pembalasan.

Teori relatif (deterrence/utilitarian) memandang pidana bukanlah sekedar untuk


melakukan pembalasan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada
tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Tujuan ini dapat dicapai dengan
jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu: menakuti, memperbaiki, atau
membinasakannya.

Teori gabungan (integratif) gabungan dari kedua teori diatas (teori absolut dan relatif)
sebagai dasar penjatuhan pidana. Disatu pihak teori ini mengakui adanya pembalasan dan
disisi lain mengakui adanya prevensi dan rehabilitasi. Teori ini muncul disebabkan adanya
kekurangan/kelemahan pada kedua teori sebelumnya.

7
DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya
Bakti. 2002).

Hamza, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi,
(Jakarta: Pradnya Paramita. 1985).

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005).

Koeswadji, Harmien Hadiati. Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Ranka


Pembangunan Hukum Pidana. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1995).

M Hamdan, Alasan Penghapus Pidana (Teori dan Studi Kasus), (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2012).

Mangkepriyanto, Extrix. Hukum Pidana dan Kriminologi. (Guepedia. 2019).

Marpaung, Leden. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009).

Prakoso, Djoko. Hukum Penitensier di Indonesia. (Yogyakarta: Liberty. 1988).

Prakoso, Djoko. Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam Proses
Pidana. (Yogyakarta: Liberty. 1988).

Priyanto, Dwidja. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia. (Bandung : PT. Refika
Aditama. 2009).

Anda mungkin juga menyukai