Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dengan Sarana “ Penal ” dan “Non-
Penal”
a. Sarana Penal
Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui sarana “penal”
dan “non penal”, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam
mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan wujud suatu
langkah kebijakan (policy).
Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik
beratkan pada sifat “Represive” (Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan
atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari
usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi
dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi kepada
pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada
pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku sesuai dengan tujuan
pemidanaan.
Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal
bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, namun
bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap
ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena permasalahannya tidak
terletak pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan penggunaannya.
b. Sarana Non penal
Usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi tindak pidana korupsi
adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi dapat juga
denga menggunakan sarana-sarana yang non-penal.
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Upaya
preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana
korupsi dengan cara menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di
laksanakan dalam beberapa cara:1[11]
1. Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral
manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
2. Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus di
berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada
usaha-usaha untuk menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Kemudian mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat serta dorongan
individual yang mengarah pada tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat serta menghukum orang-orang yang telah melakukan korupsi berdasarkan hukum
yang berlaku.
Dengan demikian dilihat dari sudut pandang politik kriminal, keseluruhan kegiatan
preventif yang non penal mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pencegahan
tindak pidana korupsi. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat
mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif kedalam sistem kegiatan Negara yang teratur.
Upaya penaggulangan kejahatan non- penal dapat berupa:
1. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)
2. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media
massa (Influencing views of society on crime and punishment mass media).
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal lebih bersifat tindakan
pencegahan , maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan korupsi dimana faktor tersebut berpusat pada masalah-masalah atau
kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuh suburkan kejahatan.
Melihat tindak pidana korupsi yang tengah membudaya di Indonesia saat ini, maka
sebenarnya perlu ketegasan dan kejelasan mengenai praktis operasional. Praktis operasional
yang di maksud adalah tindakan preventif dan represif harus ada di dalamnya. Sebab kedua
langkah dan tindakan tersebut akan menghasilkan penyelenggaraan Negara yang bebas dan
bersih dari korupsi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Faktor-faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi terdiri dari 5 (lima) aspek antara
lain, Aspek individual pelaku yaitu, adanya sifat tamak dan keserakahan, Moral yang lemah
dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar, Penghasilan yang tidak memadai dan
gaya hidup konsumtif. Aspek organisasi/institusi yaitu kurang adanya keteladanan dari
pimpinan, Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar, Sistem akuntabilitas di
instansi pemerintah kurang memadai, adanya kelemahan sistem pengendalian manajemen dan
Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam institusi/organisasinya. Aspek Masyarakat,
Aspek politik dan Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan yaitu lemahnya
penegakan hukum, Kulaitas peraturan perundang-undangan kurang memadai dan Penerapan
sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang bulu.
2) Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) dan lebih
menitikberatkan pada sifat “Represive” ( Penindasan / pemberantasan / penumpasa ) setelah
kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Sedangkan Sarana Non-Penal
(Preventif) merupakan upaya-upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi
dengan cara menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di
laksanakan dalam beberapa cara misalnya cara Moralistik dan Abolisionik.
B. Saran
1. Korupsi merupakan penyakit yang mudah menyerang siapa saja terutama para pemegang
kekuasaan, hal ini dikarenakan sikap manusia yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa
yang telah dimilikinya. Oleh karena itu memberantas tindak pidana korupsi harus dimulai
dari diri pribadi seseorang dengan menanamkan dalam hati bahwa korupsi adalah perbuatan
yang tidak dibenarkan dan dapat merugikan diri sendiri, keluarga maupun orang lain
teruatama kepentingan negara dan rakyat bangsa Indonesia.
2. Perlu diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa,
hingga hakim.
3. Sanksi hukum yang diberikan harus berat, tanpa diskriminasi dan pandang bulu.
1. Bagaimana upaya penanggulangan kejahatan dalam politik hukum pidana?
2.
BAB II
PEMBAHASAN
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauhkah untuk mencapai
tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil
yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai
dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama
sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat
dibiarkan begitu saja.
Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si
penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga
masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.
a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di
masa yang akan datang, tanpa pidana.
b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang dimiliki
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan
suatu ketika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia. Ia
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
manusiawi, ia merupakan pengancaman apabila digunakan secara sembarangan
dan secara paksa.
Penggunaan hukum pidana atau penal sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan
nampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat dalam praktek perundang-undangan
selama ini, yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana atau penal merupakan
bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum
pidana atau penal dianggap sebagai suatu yang wajar dan normal, seolah-olah
eksistensinya tidak lagi dipersoalkan. Permasalahannya ialah garis-garis kebijakan atau
pendekatan bagaimanakah yang sebaiknya ditempuhnya dalam menggunakan hukum
pidana atau penal itu.
Sudarto pernah mengutarakan bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan maka
hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau “social defence
planning” yang inipun harus merupakan bagian integral dari pembangunan hukum.
Dalam hal Tindak Pidana Korupsi sendiri telah diatur menurut Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi yang
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dan dimana dalam
Undang – undang tersebut telah ditetapkannya 7 (tujuh) jenis Tindak Pidana Korupsi
yang antara lain yaitu korupsi terkait kerugian keuangan negara, suap-menyuap,
penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, kepentingan benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Ketujuh jenis ini penting diketahui
sebagai upaya memahami korupsi sebagai tinfak pidana yang mengandung
konsekuensi hukum.