Anda di halaman 1dari 6

RESUME BAB II BUKU KEBIJAKAN KRIMINAL

(POSISI KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM KEBIJAKAN SOSIAL)

Diajukan untuk memenuhi tugas kebijakan kriminal


Oleh:

Muhammad Fajrin

NPM : 2018910049

PROGRAM MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
A. MAKNA KEBIJAKAN KRIMINAL

Kebijakan criminal (Criminal Policy) is the rational organization of the social


reaction to crime”, sehingga kata kebijakan sebagai padanan dari kata “policy” pada
pengertian ini ditujukan pada adanya tanggapan dari masyarakat atau “social respons”
terhadap kejahatan dan segala problematikanya. Kata criminal merujuk pada objek
kebijakan tersebut, yaitu “tindak pidana, orang yang melakukan tindak pidana tersebut
dan sanksinya (pemidanaan).

Kebijakan criminal bisa diartikan sebagai suatu perilaku dari semua pemeran
untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai bentuk tindakan pidana dengan tujuan-tujuan
tertentu, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan melindungi masyarakat pada
umumnya. Dengan demikian, hal ini berefek pada pembentukan atau pengoreksian
terhadap undang-undang dimana perbuatan tersebut diancam dengan sanksi yaitu berupa
pidana.

Kebijakan criminal, selalu berkaitan dengan tiga hal pokok, yakni: pertama, ialah
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran
hukum yang berupa pidana. Kedua, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Ketiga, ialah
seluruh kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan –badan
resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Sehingga dapat dipahami bahwa politik criminal merupakan” suatu usaha yang rasional
dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.(the rational organization of the
control of crime by society)

B. KETERKAITAN POLITIK KRIMINAL DENGAN POLITIK SOSIAL

Politik criminal pada hakikatnya merupakan bagian integral polititik sosial


(Social Policy) yaitu merupakan kebijakan criminal merupakan kebijakan perlindungan
masyarakat ( Social Defense Policy) atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial
(Social Welfare Policy). Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan
pendekatan kebijakan, dalam arti: Ada keterpaduan antara politik criminal. Ada
keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana “penal” dan “non
penal”. Kebijakan criminal harus dapat menginegrasikan dan mengharmonisasikan
seluruh kegiatan preventif non penal ke dalam suatu sistem kegiatan yang teratur dan
terpadu. Karena kegiatan non penal mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
Sehinggan dapat dikatakan bahwa seluruh kegiatan preventif non penal mempunyai
kedudukan yang sangat strategis dan mempunyai kunci yang harus diintegrasikan.

Penegasan perlunya upaya penanggulangan sosial dan perencanaan kejahatan


diintegrasikan dengan seluruh kebijakan sosial dan perencanaan kejahatan diintegrasikan
dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencaaan pembangunan nasional. Masalah
strategis yang harus ditanggulangi, adalah masalah –masalah atau kondisi-kondisi sosial
yang secara langsung atau tidak langsung, dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan. Pada dasarnya, kejahatan muncul disebabkan oleh ketimpangan sosial,
diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standard hidup yang rendah, pengangguran
dan kebodohan diantara golongan besar penduduk.

C. KEBIJAKAN KRIMINALISASI PEMIDANAAN

Dalam hukum pidana penentuan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam


dengan pidana, dan jenis-jenis pidana serta cara penerapannya, maka sanksi pidana
sangat penting , tetapi sekarang telah muncul hukum pidan fungsional, yakni hukum
pidana tidak hanya berfungsi memeberika nestapa bagi pelanggar hukum, tetapi juga
mengatur masyarakat agar hidup lebih adil, damai dan tentram. Penerapan hukum pidana
tidak harus berakhir dengan penjatuhan pidana. Dikenal sebagai asas oportunitas,
selanjutnya dikenal Pardon, serta dikenal juga sanksi tindakan, yang dalam hukum
pidana ekonomi sangat luas, ada tindakan tata tertib oleh jaksa dan hakim, dan sistem
penundaan pidana, serta pidana bersyarat.

Masyarakat yang sakit, masyarakat yang penuh patologi merupakan rahim yang
produktif melahirkan aneka ragam penjahat. Apabila penjahat dibiarkan sebagai limbah
masyrakat, dengan demikian masyarakat ibarat penghasil wabah. Manusia-manusia
pelaku
kejahata, mereka berada dalam situasi crisis of individual identity.

Hukum pidana dapat juga disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis. Karena
hukum pidana itu, benar-benar mempunyai syarat sebagai alat pencegah, dan hukum
pidana timbulnya keadaan-keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan, dari pada hal
yang terjadi, bilamana hukum pidana itu tidak dilaksanakan. Untuk mewujudkan
kebijakan suatu sanksi pidana dapat melalui tiga tahap, yaitu: penetapan pidana oleh
pembuat undang-undang. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan.
Tahap pelaksanaan oleh pelaksana pidana yakni aparat eksekusi pidana. Dalam hukum
pidana, selain unsure kesalahan melawan hukum, maka penting pula untuk
menhjerumuskan atau menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yaitu
subsosialitas sehingga menempatkan ilmu hukum pidana ketataran sosial politik.

D. KEBIJAKAN LEGISLATIF TENTANG PEMIDANAAN

Hubungan yang erat antara hukum dan politik , telah terjadi intervensi politik
terhadap hukum dalam realitanya, hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan
lainnya. Politik seringkali melakukan intervensi terhadap perbuatan dan pelaksanaan
hukum. Produk legislasi adalah produk politik, hasil tarik menarik berbagai kepentingan
politik yang mengejewantah dalam produk hukum. Hukum adalah instrumentasi dari
putusan atau keinginan politik sehingga pembuatan indang-undang sarat dengan
kepentingan-kepentingan tertentu. Keadaan ini sulit dihindari karena mengingat
kedudukan hukum yang langsung bersentuhan dengan negara. Sistem hukum di
Indonesia, Undang-undang merupakan prodeuk legislasi, sehingga peran politik sangat
kental.

Pada hakikatnya hukum dalam rangka politik adalah memanusiakan penggunaan


kekuasaan .Perundang-undangan bisa dipahami sebagai produk dari suatu proses politik,
secara demokratis menampung dan menyalurkan aspirasi politik yang utama yang
mencerminkan pandangan masyrakat tentang norma etis sosial, penertiban umum,
keadilan, nilai sosial, budaya, peranan serta hubungan-hubungan antar lembaga-lembaga
soisal. Dalam negara hukum, pemerintah yang dibentuk secara demokratis hanya
menyelenggarakan kekuasaan politiknya terbatas pada kerangka mandate konstitusi.
Negara adalah perwujudan dari akal sehat yang harus diselenggarakan menurut kidah-
kaidah hukum yang berlaku umum.

Proses pembentukan hukum oleh legislator, memperhatikan beberapa sudut


pandang yakni sudut pandang filosofis, secara yuridis dan secara sosiologis. Sehingga
kaidah yang tercantum dalam undang-undang adalah sah secara hukum berlaku efektif
dan diterima oleh masyarakat secara wajar dan berlaku dalam waktu yang panjang.

Faktor-faktor yang dapat undang-undang tidak dapat diterapkan , yaitu pertama


undang-undang tidak memuat pesan apa yang dikehendaki oleh undang-undang tersebut.
Kedua, adanya konflik isi undang-undang dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat
dan untuk siapa undang-undang itu diadakan. Ketiga, gagalnya penerapan suatu undang-
undang selalu terjadi karena tidak disertai dengan norma-norma pelaksanaannya.

Politik kriminal dengan menggunakan politik hukum pidana, maka harus


merupakan langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar sesuai dengan politik kriminal
yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan
dengan nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan dianggap oleh masyarakat
patut atau tidak patut dihukum dalam rangak menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat. Pemutusan suatu pidana hendaknya mempertimbangkan moral, sejauh mana
perilaku itu menyimpang dari moralitas, kemudian bagaimana kekejian itu dilakukan .
Tiga tahap penegakan kebijakan penal yaitu, tahap formulasi (merupakan kebijakan
legislasi, tahap aplikasi (kebijakan yuridis) dan tahap eksekusi atau pelaksanaan
(kebijakan eksekutif atau adminstratif).

DAFTAR PUSTAKA

Bakhri Syaiful, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Total Media, Jakarta, 2010, Hlm 13-45

Anda mungkin juga menyukai