TINJAUAN PUSTAKA
kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan
policy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik
riminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial
kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini
sebagai masalah sosial ialah merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 2.
10
terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks,
usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa
disebut dengan politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir dari politik
kejahatan yang dilakukan terhadap anak sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan
arti:12
non penal
11
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal.72.
12
Ibid, hal.75.
13
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 188
11
Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni jalur penal dan non penal.
penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur hukum
pada sifat represif, yakni tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi
dengan penegakan hukum dan penjatuhan hukuman terhadap kejahatan yang telah
dilakukan. Selain itu, melalui upaya penal ini, tindakan yang dilakukan dalam
rehabilitasi.
14
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar
Interpratama, 2011), hal. 45.
15
Ibid, hal. 46.
12
b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan
kondisi masyarakat;
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan
hukum pidana;
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.16
kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial
karena itu sering dikatakan bahwa “penal policy” merupakan bagian integral dari
tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih diperlukannya pidana dan hukum
16
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, (Bandung:
Alumni, 2008), hal. 390.
17
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 182.
13
reaksi atas pelanggaranpelanggaran norma yang telah dilakukannya itu
dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada
si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat
yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.18
Roeslan Saleh, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan masih sangat diperlukan pada saat ini, mengingat bahwa
hukum pidana selain memiliki sisi represif juga memiliki sisi preventif untuk
mencegah agar masyarakat yang taat pada hukum tidak ikut melakukan atau akan
dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat
dan aspek perbaikan si pelaku. Bahwa yang dimaksud dengan aspek perlindungan
hukum.
18
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 2010), hal. 153.
19
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal.
224.
14
Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu
pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah dan
mengurangi kejahatan. Jadi, kriteria efektifitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi
kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh
efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah
masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.20 Dilihat dari aspek
khusus (special prevention) dari pidana. Jadi, ukurannya terletak pada masalah
pelaku/terpidana.21
penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana
penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah efektifitas pidana sebenarnya
apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adnya pemidanaan itu tercapai. Ditinjau
dari segi efektifitasnya maka pidana menjadi kurang efektif apabila ditinjau dari
segi penjeraannya terhadap terpidana. Hal ini disebabkan karena pidana denda
dapat dibayarkan oleh orang lain. Sedangkan dalam hal pidana penjara tidak
20
Ibid, hal. 225
21
Ibid, hal. 229
22
Ibid, hal. 230
15
mungkin diwakilkan oleh orang lain. Di samping itu terpidana dapat saja
Terdapat 4 (empat) hal yang harus dipenuhi agar hukum dapat berlaku
efektif dalam arti mempunyai dampak positif, menurut Soerjono Soekanto yaitu:
16
tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya
perubahanperubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.
c. Karl O. Christiansen pada waktu membicarakan beberapa pertimbangan
mengenai kemungkinan suatu politik criminal yang rasional,
mengemukakan antara lain: “Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas
sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan
reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan
berbagai macam nama, misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan
umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral
(reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif
(strengthening the collective solidarity), menegaskan
kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the
public feeling of security), mengurangi atau meredakan ketakutan
(alleviation of fears), melepaskan ketagangan-ketegangan agresif
(release of aggressive tensions) dan sebagainya.
d. Donald R. Taft dan Ralph W. England pernah menyatakan, bahwa
efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum
hanya merupakan salah satu kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan
agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-
kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan
sarana-sarana yang lebih efesien dalam mengatur tingkah laku manusia
daripada sanksi hukum.25
sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, maka wajar hukum
sebabnya. Jadi keterbatasan hukum pidana selama ini juga disebabkan oleh
sifat/hakikat dan fungsi dari hukum pidana itu sendiri, karena sanksi hukum
penyakit, melainkan sekedar untuk mengatasi gejala/ akibat dari penyakit. Dengan
17
simptomatik berupa “sanksi pidana” ini masih mengandung banyak kelemahan
non penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur di luar
Kebijakan melalui saran non-penal dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan seperti:
anak dan remaja; serta kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara
berkelanjutan oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Kebijakan non-penal ini
dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial,
26
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar Interpratama,
2011), hal. 72
27
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar
Interpratama, 2011), hal. 46.
18
secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan
mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus
kriminal.28
faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-
kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi
kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres
kejahatan.29
Upaya non penal dapat pula digali dari berbagai sumber lainnya yang juga
terakhir ini, Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi
yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya non penal yang mempunyai
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
2010), hal. 159.
29
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 20
19
pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan
dengan hal ini, kegiatan razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa
tempat tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau
penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat
sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat (secara materil dan
penangkal kejahatan atau faktor anti kriminogen yang merupakan bagian integral
penanggulangan kejahatan jauh lebih efektif jika dilakukan dengan kebijakan non
masyarakat.
dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga upaya ini lebih dikenal dengan
upaya yang sifatnya preventif atau pencegahan. Hal ini seharusnya harus lebih
30
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 48
31
IS Heru Permana, Politik Kriminal, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), hal.12
20
mengatakan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Demikian pula
Dilihat dari efisiensi dan efektifitas upaya pencegahan lebih baik daripada
upaya yang bersifat represif. Dalam dunia kedokteran criminal telah
disepakati suatu pemikiran bahwa mencegah kejahatan adalah lebih baik
daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali, lebih baik
disini juga berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih mencapai
tujuannya.32
pusat, daerah dan juga internasional tergambar jelas merupakan bagian dan kunci
penting guna memperkecil tingkat kejahatan, bila efektif dan sinergis berjalan
maka penanganan dan jumlah korban akan dapat berkurang dan tertangani.33
Beberapa catatan kongres PBB tentang “the Prevention of Crime and the
32
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi Pembangunan, (Bogor: Ghalia Indonesia,
1995), hal. 167.
33
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Bab VII
Kerjasama dan Peran Serta Masyarakat Pasal 59-63
21
masyarakat. Ini berarti bahwa penanggulangan kejahatan yang hanya semata-mata
menggunakan hukum pidana yang diwujudkan oleh sistem peradilan pidana tidak
sosial (social policy), atau dengan kata lain di dalam politik ocial perlu
dalam Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di dalam resolusinya mengenai Crime
22
kejahatan (crime prevention strategies should be based upon the
elimination of causes and conditions giving rise to crime);
c. Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah
ketimpangan sosial, deskriminasi rasial dan nasional, standar hidup
yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan di antara golongan besar
penduduk (the main causes of crime in many countries are social in
equality, racial and national discrimination, law standard of living,
unemployment and illiteracy among broad sections of the population).
dan Kuratif
kejahatan dengan dua model kebijakan, yaitu dengan pidana (penal), dan tanpa
dari politik kriminil. Politik kriminil dapat diberi arti sempit, lebih luas dan
paling luas. Dalam arti sempit politik kriminil itu digambarkan sebagai
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti lebih luas, politik kriminil
dalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Polisi. Sedangkan dalam arti yang
35
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 113-116.
23
sentral ini dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Usaha-usaha
Kepolisian saja. Penanggulangan kejahatan dalam arti yang umum secara tidak
agama, pemberian tempat atau rumah singgah bagi anak jalanan dan
b. Tindakan Represif, yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak
pidana. Ini semua merupakan bagian- bagian dari politik kriminil sehingga
harus dipandang sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh badan-
c. Tindakan Kuratif, yaitu pada hakikatnya merupakan usaha preventif dalam arti
dari tindakan represif dan lebih dititikberatkan kepada tindakan terhadap orang
yang melakukan kejahatan. Tindakan kuratif dalam arti nyata hanya dilakukan
Mereka ini secara nyata terlepas dari berhasil atau tidaknya melakukan
24
B. Tindak Pidana
samping istilah tindak pidana ada istilah lain yang dipakai oleh beberapa sarjana,
pidana menurut Simons adalah perbuatan salah dan melawan hukum dan diancam
Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai suatu ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu.36
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan
jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk
tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib
di tingkat pusat maupun daerah.37 Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau
tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang
36
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradna
Paramita, 2004), hal. 54.
37
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adityta Bakti,
1996), hal. 7
25
dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku
undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat
kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Menurut Vos, tindak
pidana.40
perbuatan pidana.41
38
Ibid, hal. 16
39
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2001), hal. 22
40
Tri Andrisman, Hukum Pidana: Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia, (Lampung: Universitas Lampung, 2009), hal. 70
41
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rengkap Education Yogyakarta dan Pukap
Indonesia, 2012), hal. 20
26
Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana dari para ahli
tersebut, maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
berikut:
kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam
Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu
bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP menjadi Buku ke II dan
Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum
delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak pidana formil
adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu
adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang
akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).
Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara
lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan
27
sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan
matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan
Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana
pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana
murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana
diatur dalam Pasal 224, 304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah
tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat
dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur
terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal
338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.42
terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana
formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak
Setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-
unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif. Yang
42
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Op.cit, hal. 25-27
28
dimaksud dengan unsur-unsur ”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk
yang dimaksud dengan unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada
43
P.A.F. Lamintang, Op.cit, hal. 183
44
Ibid, hal. 183
45
Ibid, hal. 184
29
C. Tindak Pidana Narkotika
1. Narkotika
artinya obat bius. Narkotika adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman, yaitu:
susunan syaraf yang dapat membuat kita tidak merasakan apaapa, bahkan bila
Sedangkan istilah lain dari narkoba adalah NAPZA, yang merupakan kepanjangan
dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua bentuk narkotika
benda-benda atau zat kimia yang dapat menimbulkan ketergantungan bagi orang
yang mengkonsumsinya.47
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini.48
dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.49 Namun jika melihat
46
Andi Hamzah, Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 11.
47
Kharisudin, Inabah, (Surabaya: Bina Ilmu, 2005), hal. 147.
48
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 1 angka (1).
49
Ibid, Pasal 7.
30
golongan 1 yang tidak diperkenankan atau tidak diperbolehkan digunakan untuk
Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan seperti yang telah diatur dalam
menjelaskan lebih terperinci lagi mengenai maksud dari tiap - tiap golongan dari
proses medis, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas. Sedangkan untuk
50
Ibid, Pasal 8 angka (1).
51
Pasal 5 Undang -Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
31
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dalam
karena efek atau akibat dari penggunaannya sangat tinggi. Hal tersebut pada
narkotika dalam hal ini tidak dilarang untuk digunakan dalam pelayanan
52
Ibid, Pasal 8 angka (2)
53
Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal.
256
54
Ibid, hal. 256.
32
Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang
lain:
a. Perasaan egois
Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali
mendominasi perilaku seseorang secara tanpa sadar. Demikian juga
bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan
pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong
untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin
dapat dihasilkan dari narkotika.
b. Kehendak ingin bebas
Sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki
manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-
norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas
itu muncul dan terwujud ke dalam perilaku setiap kali seseorang
dihimpit beban pikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang
sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain
sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang
tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.
c. Kegoncangan jiwa
Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara
kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan
jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi
dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat
tindak pidana narkotika.
d. Rasa keingintahuan
Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang
usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang
positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu
tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan
perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.55
Faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak sekali, di antaranya yang
a. Keadaan ekonomi
Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang
55
A.W. Widjaya, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung:
Armico, 1985), hal. 25
33
atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat
mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga
sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan
kebutuhan sangat sullit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha
untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut. Dalam
hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam
kelompok ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan
untuk mengetahui, menikmati, dan sebagainya tentang narkotika.
Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat jug melakukan
hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil dari pada mereka yang
ekonominya cukup. Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai
macam dan harga, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun
narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika
dapat saja terjadi.
b. Pergaulan atau lingkungan
Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan atau lingkungan
tempat tinggal, lingkungan sekolah, atau tempat kerja dan lingkungan
pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan
pengaruh yang negatif terhadap seseorang. Artinya akibat yang
ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut, seseorang dapat
melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya. Apabila di
lingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka
dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika
semakin besar.
c. Kemudahan
Kemudahan di sini dimaksudkan dengan semakin banyaknya
beredar jenis-jenis narkotika di pasar gelap maka akan semakin besar
peluang terjadinya tindak pidana narkotika.
d. Kurangnya pengawasan
Pengawasan di sini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap
persediaa narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya
mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga
pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting
membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika.
Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi
gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada
akhirnya, keadaan semacam itu sulit untuk dikendalikan. Di sisi lain
keluarga merupakan inti dari masyarakat segyoyanya dapat melakukan
pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat
dalam perbuatan yang tergolong pada tindak pidana nakotika. Dalam
hal kurangnya pengawasan seperti yang dimaksud di atas, maka tindak
pidana narkotika bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk
dilakukan.
e. Ketidaksenangan dengan keadaan sosial
Bagi seseorang yang terhimpit oleh keadaan sosial maka narkotika
dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut,
34
meskipun sifatnya hanya sementara. Tapi bagi orang-orang tertentu
yang memiliki wawasan, uang, dan sebagainya, tidak saja dapat
menggunakan narkotika sebagai alat melepaskan diri dari himpitan
keadaan sosial, tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian
tujuan-tujuan tertentu. 56
suatu peristiwa pidana narkotika, tetapi dapat juga merupakan kejadian yang
1. Adiksi
Adiksi merupakan suatu bentuk kondisi ketergantungan dari
penyalahgunaan narkotika terhaap jenis narkotika tertentu yang
56
Ibid, hal. 26
57
Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, (Jakarta: Erlangga,
2006), hal. 31
35
dikonsumsi, sehingga pengguna merasa sulit untuk menghentikan
konsumtifitas terhadap narkotika.
2. Menutup diri / sulit bersosialisasi
Kondisi ini disadari oleh diri pengguna karena malu dan takut apabila
perbuatannya yaitu penyalahgunaan narkotika diketahui orang lain
3. Paranoid
Merupakan sikap selalu curiga terhadap sekelilingnya, sehingga dalam
diri pengguna narkotika berkecenderungan tidak tenang.58
Narkotika tidak memberikan definisi secara khusus mengenai apa yang dimaksud
dengan tindak pidana narkotika itu sendiri, namun hanya merumuskan perbuatan-
perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana narkotika. Oleh karena itu, secara
singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika
dalam hal ini adalah UU No. 35/2009 Tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menamam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman sehingga dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
58
Ibid, hal. 31
36
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 112
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, meguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dipidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 113
(1) Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan
I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
dipidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 114
(1) Setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau dipidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
dipidana denda paling sedikit: Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan nenawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
37
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon
atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) batang pohon
atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana maksimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 115
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling
sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 116
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 117
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan
38
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan dipidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 (satu) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 119
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertigga).
Pasal 120
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransito Narkotika Golongan II,
39
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut atau
mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan
miliar rupiah).
(2) Dalam hal menggunakan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
5(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebgaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 122
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan, Narkotika Golongan III sebagimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 123
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan
III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
40
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak 5 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (gram), pelaku dipidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaima dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 124
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, member, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan
III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak 5 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, member,
menerima, menjadi perantara, dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 125
(1) Setiap orang tanpa hak melawan hukum membawa, mengirm,
mengangkut dan mentransito, Narkoika Golongan III, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 126
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan
Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan
Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
41
(2) Dalam hal perbuatan penggunaan Narkotika Golongan III
terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk
digunakan orang lain, mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dipidana
denda maksimum Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 127
(1) Setiap penyalah guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 128
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang
sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan
oleh orang tua walinya tidak dituntut pidana.
(3) Pecandu narkotika yang telah cukup umur yang sedang menjalani
rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah
sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh
pemerintah tidak dituntut pidana.
Pasal 129
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum:
a. Memiliki, menyimpan, mengekspor, atau menyalurkan prekkursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan precursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
c. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito precursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
42
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XII Undang-
sebagai berikut: 59
Undang Narkotika, namun yang diatur dalam pasal tersebut bukan hanya
perbuatan produksi saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu berupa
Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika disini bukan hanya jual beli
dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor, impor dan tukar
Narkotika.
Pengangkatan di sini dalam arti luas yaitu perbuatan membawa, mengirim, dan
Narkotika.
golongan I dengan tindak pidana mengusai golongan II dan III di lain pihak,
59
Taufik Makarao, Tindak pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal. 26
43
fungsi dan akibat yang berbeda, untuk tindak pidana menguasai narkotika
Narkotika.
untuk orang lain dan untuk diri sendiri. Tindak pidana penyalahgunaan
dalam bentuk obat maupun bahan baku narkotika dimuat pada Pasal 41.
syaratnya harus dilakukan publikasi pada media cetak ilmiah kedokteran atau
media cetak ilmiah farmasi. Apabila tidak dilaksanakan maka akan dipidana
44
perbuatan yang menghalang-halangi proses peradilan tersebut merupakan
tindak pidana.
sini adalah guna untuk dijadikan barang bukti perkara yang bersangkutan,
barang bukti juga harus diajukand dalam persidangan. Status barang bukti
dan penyitaan serta pemusnahan wajin dibuat berita acara dan dimasukan ke
sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP), jika saksi memberikan keterangan
yang tidak benar maka saksi telah melanggar sumpahnya sendiri maka saksi
45
yang ditetapkan oleh undang-undang, maka pimpinan lembaga yang
narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ada kalanya
kejahatan ini dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, anak-anak yang belum
perkembangan fisik dan psikis. Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak
berikut:
diklasifikasikan secara rinci apa saja yang termasuk kedalam tindak pidana
seperti apa saja yang akan mendapat sanksi pidana bagi setiap orang yang
melakukannya.
46
47
3. Pengertian Pelajar
sekolah (terutama pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan); anak didik; murid;
murid juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan
mahasiswa.62
Adapun pelajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa atau
peserta didik pada sekolah tingkat dasar (SD) dan menengah (SLTP dan SLTA),
Malang.
Sementara jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pelajar yang diteliti
yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati
60
KBBI, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/ajar
61
Wihadi Atmojo, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 849.
62
Muhammad Muntahibun, Ilmu Pendidian Islam, Teras, Yogyakara, 2011, hal. 120
63
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1
angka 4.
64
Lydia Herlina Martono dan Satya Joewana, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan
Menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 26.
48
paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan
49
e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat
dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika;
g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika;
h. mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika;
i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap
perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor
narkotika; dan
j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang.67
50
b. Pendukung, BNN memberikan dukungan pada setiap kegiatan dalam
rangka P4GN yang dilaksanakan oleh seluruh anggota BNN diberikan
dalam bentuk:
1) Dukungan pencegahan, diberikan secara terpadu oleh seluruh
anggota BNN yang termasuk komunitas pencegahan. Seperti:
Depkes, Depsos, Diknas, Kominfo, dan lain-lain.
2) Dukungan penegakan hukum, diberikan secara terpadu oleh anggota
BNN yang termasuk komunitas penegakan hukum. Seperti: Badan
POM, Bea Gukai, Imigrasi, Dit IV Narkoba/KT Bareskrim Polri, dan
lain-lain.69
69
Ibid, hal. 148
51