Anda di halaman 1dari 5

Nama : Patumona Febriyanti Simatupang

NIM : A1011191109
Mata Kuliah : Sistem Peradilan Pidana
Kelas : D Reguler
Nama Dosen : Sri Ismawati, SH.MHum

Ujian Akhir Semester Sistem Peradilan Pidana

1. a. Sebutkan dan uraikan ruang lingkup system peradilan pidana


Jawaban : sistem peradilan pidana adalah suatu sistem penegakan hukum, sistem proses
peradilan, dan Sistem pemasyarakatan yang menggambarkan secara keseluruhan sejak proses
penyelidikan sampai dengan pengawasan pelaksanaan putusan terhadap mereka yang dijatuhi
pidana.

b. Dari ruang lingkup pada pertanyaan 1.a di atas jelaskan kapan system peradilan pidana dikatakan
sebagai suatu system ( Criminal Justice System ) dan dikatakan sebagai suatu proses administrasi
( Criminal Justice Process ). ( Bobot soal : 10 )
Jawaban : Sistem Peradilan Pidana dikatakan sebagai system (Criminal Justice
System)saat terjadinya interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam
proses peradilan pidana dan seperti yang kita ketahui dari perspektif Sistem Peradilan Pidana
terdapat terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai penegak hukum, yaitu Lembaga
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Sedangkan Sistem
Perdilan Pidana dikatakan suatu proses administrasi (Criminal Justice Process) disaat adanya
proses tahap mulai dari penyelidikan sampai adanya suatu keputusan yang menghadapkan
seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana.

2. a. Gambarkan dalam bentuk matrik bagan Politiek Kriminal dari Hofnagel


Jawaban :

Social Defence Tujuan


Policy
Penal
Social Policy

Social Defence
Non Penal
Policy

Criminal Policy

b. Dari bagan tersebut pada pertanyaan no 2.a di atas :


2.b.1. Jelaskan keterkaitan antara Social Welfare Policy, Social Policy dan Social defence Policy
Jawaban :
Pada matrik bagan tersebut, dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal), social-
welfare (SW) dan social-defence (SD).
2) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan
integral”, ada keseimbangan sarana penal dan non-penal.
3) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal
policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya
melalui tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi.
Adapun keterikatan antara Social Welfare Policy, Social Policy dan Social defence Policy.
Kriminal merupakan bagian dari Kebijakan Sosial (Social Policy), yaitu merupakan
realisasi dari Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari kebijakan Perlindungan
Masyarakat (Social Defence Policy) disamping Kebijakan Kesejahteraan Sosial (Social
Welfare Policy). oleh karena itu, social defence dan social welfare merupakan bagian
yang satu dengan social policy.
2.b.2. Criminal Policy bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan menggunakan
pendekatan penal dan non penal. Coba sdr. Jelaskan apa maksudnya. ( Bobot soal : 20 )
Jawaban :
Upaya penanggulangan lewat jalur penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang
dilakukan melalui jalur hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan yang
lebih menitikberatkan pada sifat represif, yakni tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan
terjadi dengan penegakan hukum dan penjatuhan hukuman terhadap kejahatan yang telah
dilakukan. Sedangkan, upaya penanggulangan lewat jalur non-penal ini bisa juga disebut
sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur di luar hukum pidana. Upaya ini merupakan
upaya penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif, yakni tindakan
yang berupa pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Jika dinilai dari keefektifannya,
maka bisa dilihat dari kelebihan dan kekurangan dari dua upaya penanggulangan tersebut.

3. a. Apakah penanggulangan kejahatan cukup dilakukan dengan menggunakan pendekatan penal saja.
Berikan argumentasi Sdr. !
Jawaban : Menurut saya, upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih
menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/ penumpasan) sesudah
kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi . Keberhasilan penanggulangan
kejahatan tidak hanya dilakukan dengan sarana penal yang memiliki keterbatasan, tetapi perlu
ditunjang juga dengan sarana non penal secara integral.

b.Jelaskan penggunaan kebijakan criminal dengan menggunakan sarana penal dalam peraturan
perundang-undangan. ( Bobot soal : 10 )
Jawaban : Penggunaan kebijakan criminal dengan menggunakan sarana penal dalam
peraturan perundang-undangan. berarti hukum pidana difungsikan sebagai sarana pengendali sosial,
yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana dijadikan sarana menanggulangi kejahatan. Dengan
demikian diharapkan norma-norma sosial dapat ditegakkan dengan sanksi yang dimiliki hukum
pidana terhadap seseorang yang berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang telah
diterima dan disepakati bersama, sehingga diharapkan pula terciptanya kehidupan yang rukun,
damai dan tentram.
Penanggulangan dengan menggunakan hukum pidana (penal), yaitu dengan menggunakan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang di luar KUHP, terutama UU No 1
Pnps 1965. Artinya, dengan menggunakan hukum pidana, maka hukum pidana difungsikan sebagai
sarana pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana dijadikan sarana
menanggulangi kejahatan. Dengan demikian diharapkan norma-norma sosial dapat ditegakkan
dengan sanksi yang dimiliki hukum pidana terhadap seseorang yang berperilaku tidak sesuai dengan
norma-norma tersebut.

4. Karakteristik hukum pidana bersifat represif. Dalam pandangan Hulsman sifatnya yang represif itu
tidak memperhatikan aspek kemanusiaan dan menyengsarakan manusia sehingga sistem peradilan
pidana sebagai manifestasi dari hukum pidana harus dihapus seluruhnya karena sistem ini tidak
akan dapat merupakan sarana yang manusiawi dan peka dalam menghadapi kejahatan ( Van Matrigt
Blad dan Uildriks : The Criminal Justice as a social Problem : An Abolisionist, 1987 ). :
a. Sebutkan dan jelaskan apa alasan Hulsman berpendapat demikian;
Jawaban : Pemikiran mengenai keadilan Restorative muncul pertama kali dikalangan
para ahli hukum pidana sebagai reaksi atas dampak negatif dari penerapan hukum (sanksi)
pidana dengan sifat represif dan koersifnya. Hal ini tampak dari pernyataan Louk Hulsman yang
mengatakan, bahwa sistem hukum pidana dibangun berdasarkan pikiran “hukum pidana harus
menimbulkan nestapa”. Hulsman mengemukakan suatu ide untuk menghapuskan sistem hukum
pidana, yang dianggap lebih banyak mendatangkan penderitaan dari pada kebaikan dan
menggantikannya dengan cara-cara lain yang dianggap lebih baik.
b. Apakah Sdr. Sependapat dengan pandangan Hulsman di atas, jika ya atau tidak berikan
argumentasi Sdr. ( Bobot : 20 )
Jawaban : Menurut saya, saya sependapat dengan pandangan dari Hulsman penggantian
sistem hukum pidana yang dibutuhkan dengan menggantinya dengan cara-cara yang dianggap
lebih baik. Dengan keadilan Restorative adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula dan bukan pembalasan.

5. Sebutkan dan jelaskan 2 ( dua ) model dari 5 ( lima) model dalam sistem peradilan pidana yang Sdr
ketahui. Menurut Sdr mana dari model tersebut yang secara normatif memiliki karakteristik dengan
sistem peradilan pidana Indonesia. Berikan analisis sdr. (bobot soal : 10 )
Jawaban :
a. Crime Control Model (CCM) didasarkan pada pernyataan bahwa tingkah laku criminal
harusnya ditindak, dan proses peradilan pidana merupakan jaminan positif bagi ketertiban
umum. Untuk tujuan mencapai tujuan yang amat tinggi ini maka CCM menyatakan bahwa
perhatian utama haruslah ditugaskan pada effisiensi. Effisiensi ini adalah diatas segalanya.
Effisiensi ini mencakup kecepatan dan ketelitian dan daya guna administrative didalam
memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus
segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara
seremonial dan mempunyai sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain karena hal
itu hanya menghambat penyelesaian perkara.
b. Model ini merupakan reaksi terhadap CCM pada hakekatnya menitik beratkan pada hak-hak
individu dengan berusaha melakukan pembatasan-pembatasan terhadap wewenang penguasa
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa proses pidana harus dapat diawasi atau dikendalikan
oleh hak-hak asasi manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efisiensi belaka
seperti dalam CCM melainkan pada prosedur penyelesaian perkara. DPM didasarkan pada
Persumption Of Innocence sebagai dasar nilai sistem peradilan oleh DPM dituntut adanya
suatu proses penyelidikan suatu kasus secara formal dengan menemukan fakta secara
objektif dimana kasus seorang tersangka atau terdakwa didengar secara terbuka dimuka
persidangan dan penilaan atas tuduhan penuntut umum baru akan dilaksanakan setelah
terdakwa memperoleh kesempatan sepenuhnya untuk mengajukan fakta yang membantah
atau menolak tuduhan kepadanya. Jadi yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan
dengan tuntutan bagaimana akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting
dalam DPM.

6. Deskripsikan bagaimana system peradilan pidana Indonesia diatur dan diimplementasikan. Berikan
analisis normatif dan empirik-nya. (Bobot soal : 10 )
Jawaban : Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum
( kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan ) sebagai institusi pelaksana
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan administratif
memandang aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki
mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai
dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah
sistem administrasi.
Salah satu syarat untuk dapat dikatakan sebagai suatu Negara Hukum, ialah bahwa di negara itu
hanya memiliki satu criminal justice system yang kesemuanya berada dalam tatanan pro-yustisia,
dan secara universal berlaku di Negara manapun. Tidak ada satu Negara yang benar-benar sebagai
Negara Hukum membuka kemungkinan keberadaan berbagai jenis institusi ekstra yudisial yang
bersifat ad hoc, dan seluruh institusi yang termasuk bagian resmi dari criminal justice system telah
memiliki aparat profesional yang telah memperoleh pendidikan khusus, mereka semua adalah
sarjana hukum yang bukan sekedar menguasai hukum positif dalam bidang hukum pidana dan
hukum acara pidana, melainkan juga memahami dan mendalami asas-asas yang berlaku dalam
proses pidana, dari awal sampai akhir. “The Criminal Justice System” di manapun di Negara Hukum
di seluruh dunia, sangat menghormati dan memegang teguh asas legalitas. 4 (empat) komponen asas
legalitas yang merupakan asas terpenting dalam hukum pidana dan “The Criminal Justice System”
yaitu: lex scripta, lex certa, non retroaktif dan non analogi. Para legislator di era reformasi dan era
keterbukaan dewasa ini, telah menghasilkan produk perundang-undangan yang justru bertentangan
dengan asas legalitas, seperti halnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, di mana dalam materi muatannya antara lain mengingkari asas non retroaktif dan tidak
mengenal adanya kadaluarsa.
Realita empiris mengenai tantangan dengan kondisi yang diharapkan belum selaras karena KUHAP
memiliki pertama,kompartemenisasi kewenangan pada sub Sistem Peradilan Pidana yang sangat
rigid; kedua, ketiadaan sanksi terhadap segala bentuk pelanggaran KUHAP;
ketiga, lemahnya sistem pengawasan secara preventif dan represif terhadap kemungkinan
penyimpangan yang akan terjadi; keempat ketiadaan peraturan penatalaksanaan yang aplikatif dan
implementatif; kelima, masih terdapat perbedaan pandangan atau persepsi dalam menafsirkan unsur
(elemen) pidana dalam peristiwa pidana. Konsepsi Integrated criminal justice sistem menghendaki
adanya keterpaduan antar komponen penegak hukum guna mencapai tujuan penegakan hukum.
Masing-masing komponen harus berangkat dari kebersamaan persepsi dalam melaksanakan tatanan
operasional agar tercapai tujuan bersama yaitu mewujudkan keadilan bagi masyarakat.

7. Plea Bargaining system adalah salah satu model dan tahapan dari sistem peradilan di Amerika
Serikat.
a. Uraikan apa yang Sdr. pahami dengan sistem dimaksud.
Jawaban : Plea Bargaining System adalah pelaksanaan praktek Penanganan perkara
pidana dimana antara pihak jaksa penuntut umum dan terdakwa atau pembelanya melakukan
perundingan atau negosiasi tentang jenis kejahatan yang dituduhkan dan ancaman hukuman
yang akan dituntut di sidang pengadilan.
b. Dalam konteks legal reform pembaharuan hukum pidana di Indonesia menurut Sdr. apakah
sistem ini dapat diadopsi dan cocok dengan filosofi Indonesia. Berikan argumentasi Sdr. ( Bobot
soal : 20 )
Jawaban : Dalam jalur khusus pada RKUHAP dengan Plea Bargining di AS memiliki
persamaan keduanya merupakan pengakuan bersalah dari terdakwa terhadap tindak pidana yang
dituntut oleh penuntut umum. Dampak dari adanya pengakuan dari terdakwa pada kedua
mekanisme ini terdakwa akan disidang melalui acara pemeriksaan yang singkat. Pada Plea
Bargining di AS, setelah pengakuan tersebut didapatkan, penuntut umum akan mendakwa
terdakwa dalam persidangan yang diputus oleh hakim, bukan juri. Terdapat persamaan antara
RKUHAP dengan adanya perubahan dari acara biasa menjadi acara pemeriksaan sengkat dengan
pada Plea Bargining di AS dimana perkara tidak lagi diputus oleh juri, melainkan diputus oleh
hakim dalam persidangan. Dalam mekanisme jalur khusus RKUHAP, pengakuan bersalah dari
terdakwa dilakukan di hadapan hakim setelah jaksa penuntut umum membacakan dakwaan
dalam persidangan. Maka menurut say aini cocok dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia.
Soal Bonus :
8. tuliskan kembali soal yang Sdr. buat sesuai dengan tugas yang diberikan pada kuliah terakhir.
Kemudian tuliskan jawabannya ( bobot soal : 20 ) :
Jawaban :
Karateristik dari CCM pada dasarnya adalah efisiensi yang mana proses criminal itu bekerja yaitu
cepat tangkap dan cepat adili (Asas Presumtion of Quilt) sedangkan DPM memiliki karateristik
adalah perlindungan hak-hak tersangka, untuk menentukan kesalahan harus melalui suatu
persidangan (Asas Presumtion of Inocene).
Berikut beberapa karakteristik dari Crime Control Model: tindakan represif, praduga bersalah,
penemuan fakta informal, efisiensi rasa bersalah menurut fakta. Crime Control Model didasarkan
pada sistem nilai yang mengejewantahkan atau mengutamakan sikap represif pada kejahatan sebagai
fungsi yang paling penting dalam suatu sistem peradilan pidana. Menurut sistem ini, tujuan dari
Sistem peradilan pidana adalah untuk menekan jumlah kejahatan, yang dikendalikan melalui
pengenaan sanksi pidana terhadap terdakwa.
Dan sedangkan karakteristik Due Process Model: tindakan preventif, praduga tak bersalah,
penemuan fakta formal, efisiensi rasa bersalah menurut hukum. Model ini didasarakan pada asumsi
bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk menangani terdakwa secara adil dan sesuai
dengan standar konstitusi yang berlaku. Due Precess Model menghargai hak-hak individu dan
martabat dalam proses peradilan.

Anda mungkin juga menyukai