Anda di halaman 1dari 22

Teori Penanggulangan Tindak Pidana

Jan Remmelink mengartikan tindak pidana dengan mengawali pernyataan bahwa untuk

dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus

ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada

pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa yang bersangkutan harus merupakan

seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar).1

1. Teori Absolut

Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata- mata karena

seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat

mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan

kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada

adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan

kejahatan tersebut.

2. Teori Relatif

Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana

melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari

penjatuhan pidana adalah sebagai berikut :

a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang,

sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun

terhadap masyarakat (preventif umum).


1
Op.cit, Jan Remmelink, hlm 85.
b. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan mendidik para

pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif

khusus).2

Tujuan pokok pidana yang ingin dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada

khalayak ramai atau kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban

masyarakat. Bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang mengandung

sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya di depan umum yang mengharapkan

suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak berani melakukan kejahatannya

lagi.3

Ketentuan yang mengatur mengenai tujuan pemidanaan dalam RKUHP Tahun 2012 dalam

Pasal 54 yang menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang

baik dan berguna

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan

dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.4

Ibid, hlm 41.


2

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 29.
3

4
Fajrimei. A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm 9.
Teori Penanggulangan Pidana

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu

yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana

untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya

adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang

membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.5

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai

hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan

hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal

tersebut sebagai berikut: “Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut

berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang

diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara

pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada

kesempatan itu”. 6

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi larangan

atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil dalah

aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara

normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif

5
Dwijaya Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009,
hlm.45.
6
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, 2005, hlm. 2.
bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga

teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar

pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.

Istilah pedoman pemidanaan harus dibedakan dengan pengertian pola pemidanaan

menunjukan pada suatu yang dapat digunakan sebagai model, acuan, pegangan atau pedoman

untuk membuat atau menyusun sistem sanksi (hukum) pidana, sedangkan pedoman

pemidanaan lebih merupakan pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau menerapkan

pemidanaan. Jadi pedoman pemidanaan merupakan bagi badan legislatif.7

Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan

kepada khalayak ramai atau kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran

terhadap ketertiban masyarakat. Bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud

pidana yang mengandung sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya didepan

umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak

berani melakukan kejahatannya lagi.8

Ketentuan mengenai tujuan pemidanaan dalam RKUHP Tahun 2012 dalam Pasal

54 yang menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan:

5. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi


pengayoman masyarakat
6. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang
baik dan berguna
7. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
8. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
9. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.9

7
Barda Nawawi Arief, Pola Pemidanaan Menurut KUHP dan Konsep KUHP, Departemen Kehakiman,
Jakarta, 2009, hlm.1.
8
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 29.
9
Fajrimei. A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-LembagaStudi dan Advokasi
Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm. 9.
Tujuan dari dijatuhkan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu: 10

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-
nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang
sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale
preventif), atau
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi
orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat

Pidana merupakan suatu penderitaan yang dikenakan kepada seseorang yang

terbukti melakukan tindak pidana. Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa

yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Nestapa itu bukanlah tujuan yang

dicita-citakan masyarakat. Nestapa hanya tujuan terdekat.11

Tujuan pemidanaan dalam hubungannya dengan usaha penaggulangan kejahatan

korporasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penanggulangan kejahatan korporasi yang

dilakukan secara integratif melalui kebijakan penal dengan menggunakan sarana hukum

pidana dan penanggulangan kejahatan korporasi melalui kebijakan non penal dengan

menggunakan sarana selain hukum pidana. larangan dalam hukum pidana disebut dengan

hukum pidana objektif. Hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang

dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada

barang siapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang

tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku perbuatan.12

Menurut Soedarto apabila hukum pidana hendak digunakan dapat dilihat dalam

hubungan keseluruhan politik kriminil atau social defence planning yang ini pun harus

merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.13 Upaya penanggulangan

kejahatan dengan sarana non penal misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam
10
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, sumur Bandung, Bandung, 1981, hlm.16.
11
Praja, Juhaya S, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Setia,Bandung, 2011,
hlm.188.
12
Ibid, hlm.190.
13
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.104.
rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan

kesehatan melalui pendidikan moral, agama, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan

anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainya secara teratur oleh polisi

dan aparat keamanan lainya. Usaha-usaha non penal dapat meliputi bidang yang sangat

luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal

itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung

mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.

Upaya penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan politik kriminal sebagai

pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh

masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial.14 Upaya

penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive

(penindasan, pemberantasan, atau penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur

non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan, penangkalan, atau

pengendalian sebelum terjadi). Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminil secara

makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari

keseluruhan politik kriminil. Menurut Hoefnagels seperti dikutip oleh Moh.Kemal Darmawan

upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara:15

1. Criminal application (penerapan hukum pidana). Contohnya penerapan Pasal 354 KUHP
dengan hukuman maksimal, yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya
2. Preventif without punishment (pencegahan tanpa pidana). Contohnya dengan menerapkan
hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan
prevensi (pencegahan) kepada public walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock
therapy kepada masyarakat
3. Influencing views of society on crime and punishment (mas media mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media). Contohnya

14
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm.23.
15
Moh. Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm.4.
mensosialisasikan suatu Undang-Undang dengan memberikan gambaran tentang
bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.

Menurut Baharuddin Lopa, upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil

beberapa langkah-langkah terpadu, meliputi langkah penindakan (represif) di samping

langkah pencegahan (preventif). Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa

meliputi:16

1. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan


sendirinya akan mengurangi kejahatan
2. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan
3. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat
4. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih
meningkatkan tindakan represif maupun preventif
5. Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak
hukum

Implementasi persyararatan melalui instrumen sosial seperti penciptaan norma-

norma hukum hendaknya memperhatikan perkembangan sosial dalam masyarakat itu sendiri

dengan memberikan kepastian dan prediktabilitas terhadap perbuatan-perbuatan yang

diperkirakan akan menimbulkan permasalahan sosial yang serius, misalnya upaya

penanggulangan meluasnya kejahatan, yang oleh sebab itu penanggulangan dan penciptaan

kebijakan (policy/kriminal) harus diperhitungkan secara cermat dan dilaksanakan secara

konsisten.17 Dalam usaha penanggulangan kejahatan ini perlu pula diadakan perbaikan faktor-

faktor yang mendorong terjadinya suatu tindak pidana baik melalui faktor intern maupun

faktor ekstern.

Faktor intern bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan formal sejak anak

mencapai usia sekolah dengan tujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab yang besar

16
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2001, hlm.16.
Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam menanggulangi
17

Kejahatan, Kencana Pernada Media Group, Jakarta 2007, hlm.81.


terhadap bangsa dan negaranya. Melalui pendidikan formal, seorang anak akan memperoleh

pengetahuan yang luas, tetapi pengetahuan ini harus diimbangi dengan menanamkan rasa

cinta kepada bangsa dan negara, dengan jalan memberikan kesadaran kepada mereka untuk

meneruskan perjuangan bangsa menuju negara yang maju, adil dan makmur. Faktor ekstern

bisa dilakukan dengan adanya kerjasama yang erat antara aparat penegak hukum (Kepolisian),

masyarakat dan instansi pemerintah lainnya, sehingga memberikan kemudahan bagi pihak

kepolisian dalam rangka menemukan dan membuat jelas adanya kejahatan.

Kemudian beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar

menanggulangi kejahatan dapat lebih berhasil, syarat-syarat tersebut adalah :18

1. Sistem dan organisasi kepolisian yang baik


2. Pelaksanaan peradilan yang efektif
3. Hukum yang berwibawa
4. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang terkordinir
5. Partisipasi masyarakat dalam usaha penggolongan kejahatan

Walter C. Reckless, mengemukakan beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh

pemerintah agar menanggulangi kejahatan dapat lebih berhasil, syarat-syarat tersebut

adalah :19

1. Sistem dan organisasi Kepolisian yang baik


2. Pelaksanaan peradilan yang efektif
3. Hukum yang berwibawa
4. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang terkordinir
5. Partisipasi masyarakat dalam usaha penggolongan kejahatan

Dari apa yang telah diuraikan tentang uisaha menanggulangi kejahatan telah jelas

bahwa usaha Crime Prevention, ini meliputi dua segi penggarapan yakni:

1. Mencari faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, yang dimulai dengan penelitian
kejahatan atau kenakalan dalam lingkungan remaja, dan tentunya dalam berbagai pola-pola
kriminalitas khusus, sehingga dengan penemuan faktor-faktor tertentu yang dihubungkan

Ibid, hlm.85.
18

19
Soedjono Dirdjosisworo, Sosio-Kriminologi (Amalan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan) Sinar
baru , Bandung, 1984, hlm.138.
dengan berbagai faktor dapat menimbulkan kejahatan dapat memberi bahan untuk
menyusun program penanggulangan kejahatan yang di antaranya diarahkan kepada
penggarapan faktor-faktor yang bersangkutan. Dalam pencegahan kejahatan yang
ditujukan kepada faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya kejahatan, atau dengan kata
lain yang ditujukan kepada obyek yang menjadi sasaran penanggulangan terdapat dua cara
yakni:
a. Cara yang khusus yang sasaran penggarapannya terarah pada satu faktor tertentu yang
telah diteliti, bahwa faktor tersebut sebagai faktor kriminogen. Cara ini dinamakan
sistem abolisionistik yaitu penanggulangan kejahatan dengan menghilangkan faktor-
faktor yang menjadi sebab-sebab kejahatan. Cara ini sangat berhubungan dengan
perkembangan studi tentang sebab-sebab kejahatan (etiologi kriminal), yang
memerlukan pengembangan teori dan penelitian-penelitian lapangan.
b. Cara yang umum, yang ditujukan kepada anggota masyarakat secara keseluruhan
dengan tujuan menebalkan iman dan kesadaran untuk tidak berbuat kejahatan. Cara ini
dinamakan sistem moralistik, yaitu penanggulangan kejahatan melalui penerangan-
penerangan keagamaan seperti, khotbah-khotbah da’wah dan lain-lain.
2. Meningkatkan kemantapan pembinaan hukum dan aparatur penegak hukum dalam rangka
law enforcement, yakni suatu upaya memelihara dan membina hukum yang berlaku dalam
masyarakat serta meningkatkan kemanpuan dan kemantapan aparatur penegak hukum,
yang akan menegakkan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain ditinjau
dari subyek yaitu penegak hukum.

Barnest dan Teeters seperti dikutip oleh Romli Atmasasmita menunjukkan beberapa

cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu:20

1. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan


dorongandorongan sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat
mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat
2. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal
atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan
psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga
dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.

Dari pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita tanggulangi

apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke

arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan

keadaan ekonomi mutlak dilakukan, sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan

faktor yang sekunder saja.21

20
Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm.51.
21
Ibid, hlm.53.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana, dimana dalam sistem

peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 (lima) sub-sistem yaitu subsistem kehakiman,

kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan kepengacaraan, yang merupakan suatu

keseluruhan yang terangkai dan berhubungan secara fungsional. Upaya dalam pelaksanaannya

dilakukan pula dengan metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih

jelasnya uraiannya sebagai berikut ini:22

1. Perlakuan
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari
segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan, yaitu:
a. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling
ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam
perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha
pencegahan
b. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan
putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan

Adapun yang diharapkan dari penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan

baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititik

beratkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan

kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sediakala. Jadi dapat

disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya

pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang

lebih buruk lagi dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi

melakukan pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar

merugikan masyarakat dan pemerintah.23

2. Penghukuman
Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan
(treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah
dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan

22
Adang Anwar Yesmil, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm.25.
23
Ibid, hlm.35.
dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan,
bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem
pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang
semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi pada pembinaan dan
perbaikan pelaku kejahatan.
Teori Penanggulangan

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu

yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana

untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya

adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang

membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.24

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai

hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan

hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal

tersebut sebagai berikut: “Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut

berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang

diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara

pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada

kesempatan itu”. 25

Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan

kepada khalayak ramai atau kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran

terhadap ketertiban masyarakat. Bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud

pidana yang mengandung sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya didepan

umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak

berani melakukan kejahatannya lagi.26


24
Dwijaya Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009,
hlm.45.
25
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, 2005, hlm. 2.
26
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 29.
Ketentuan mengenai tujuan pemidanaan dalam RKUHP Tahun 2012 dalam Pasal

54 yang menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan:

10. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat

11. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang

yang baik dan berguna

12. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan

dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

13. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

14. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat

manusia.27

Pidana merupakan suatu penderitaan yang dikenakan kepada seseorang yang

terbukti melakukan tindak pidana. Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa

yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Nestapa itu bukanlah tujuan yang

dicita-citakan masyarakat. Nestapa hanya tujuan terdekat.28

Tujuan pemidanaan dalam hubungannya dengan usaha penaggulangan kejahatan

korporasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penanggulangan kejahatan korporasi yang

dilakukan secara integratif melalui kebijakan penal dengan menggunakan sarana hukum

pidana dan penanggulangan kejahatan korporasi melalui kebijakan non penal dengan

menggunakan sarana selain hukum pidana. larangan dalam hukum pidana disebut dengan

hukum pidana objektif. Hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang

27
Fajrimei. A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-LembagaStudi dan Advokasi
Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm. 9.
28
Praja, Juhaya S, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Setia,Bandung, 2011,
hlm.188.
dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada

barang siapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang

tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku perbuatan.29

Menurut Soedarto apabila hukum pidana hendak digunakan dapat dilihat dalam

hubungan keseluruhan politik kriminil atau social defence planning yang ini pun harus

merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.30 Upaya penanggulangan

kejahatan dengan sarana non penal misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam

rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan

kesehatan melalui pendidikan moral, agama, peningkatan usaha-usaha kesejahteraan

anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainya secara teratur oleh polisi

dan aparat keamanan lainya. Usaha-usaha non penal dapat meliputi bidang yang sangat

luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal

itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung

mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.

Upaya penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan politik kriminal sebagai

pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha-usaha pengendalian kejahatan oleh

masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial.31 Upaya

penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive

(penindasan, pemberantasan, atau penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur

non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan, penangkalan, atau

pengendalian sebelum terjadi). Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminil secara

makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari
Ibid, hlm.190.
29
30
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal.104.
31
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm.23.
keseluruhan politik kriminil. Menurut Hoefnagels seperti dikutip oleh Moh.Kemal Darmawan

upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara:32

4. Criminal application (penerapan hukum pidana). Contohnya penerapan Pasal 354 KUHP

dengan hukuman maksimal, yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya.

5. Preventif without punishment (pencegahan tanpa pidana). Contohnya dengan menerapkan

hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan

prevensi (pencegahan) kepada public walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock

therapy kepada masyarakat.

6. Influencing views of society on crime and punishment (mas media mempengaruhi

pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media). Contohnya

mensosialisasikan suatu Undang-Undang dengan memberikan gambaran tentang

bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.

Menurut Baharuddin Lopa, upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil

beberapa langkah-langkah terpadu, meliputi langkah penindakan (represif) di samping

langkah pencegahan (preventif). Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa

meliputi:33

6. Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan

sendirinya akan mengurangi kejahatan

7. Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya

penyimpangan-penyimpangan

8. Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat

32
Moh. Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm.4.
33
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2001, hlm.16.
9. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih

meningkatkan tindakan represif maupun preventif

10. Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak

hukum

Implementasi persyararatan melalui instrumen sosial seperti penciptaan norma-

norma hukum hendaknya memperhatikan perkembangan sosial dalam masyarakat itu sendiri

dengan memberikan kepastian dan prediktabilitas terhadap perbuatan-perbuatan yang

diperkirakan akan menimbulkan permasalahan sosial yang serius, misalnya upaya

penanggulangan meluasnya kejahatan, yang oleh sebab itu penanggulangan dan penciptaan

kebijakan (policy/kriminal) harus diperhitungkan secara cermat dan dilaksanakan secara

konsisten.34 Dalam usaha penanggulangan kejahatan ini perlu pula diadakan perbaikan faktor-

faktor yang mendorong terjadinya suatu tindak pidana baik melalui faktor intern maupun

faktor ekstern.

Faktor intern bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan formal sejak anak

mencapai usia sekolah dengan tujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab yang besar

terhadap bangsa dan negaranya. Melalui pendidikan formal, seorang anak akan memperoleh

pengetahuan yang luas, tetapi pengetahuan ini harus diimbangi dengan menanamkan rasa

cinta kepada bangsa dan negara, dengan jalan memberikan kesadaran kepada mereka untuk

meneruskan perjuangan bangsa menuju negara yang maju, adil dan makmur. Faktor ekstern

bisa dilakukan dengan adanya kerjasama yang erat antara aparat penegak hukum (kepolisian),

masyarakat dan instansi pemerintah lainnya, sehingga memberikan kemudahan bagi pihak

kepolisian dalam rangka menemukan dan membuat jelas adanya kejahatan.

34
Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam menanggulangi
Kejahatan, Kencana Pernada Media Group, Jakarta 2007, hlm.81.
Kemudian beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar

menanggulangi kejahatan dapat lebih berhasil, syarat-syarat tersebut adalah :35

6. Sistem dan organisasi kepolisian yang baik

7. Pelaksanaan peradilan yang efektif

8. Hukum yang berwibawa

9. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang terkordinir

10. Partisipasi masyarakat dalam usaha penggolongan kejahatan

Walter C. Reckless, mengemukakan beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh

pemerintah agar menanggulangi kejahatan dapat lebih berhasil, syarat-syarat tersebut

adalah :36

6. Sistem dan organisasi kepolisian yang baik

7. Pelaksanaan peradilan yang efektif

8. Hukum yang berwibawa

9. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang terkordinir

10. Partisipasi masyarakat dalam usaha penggolongan kejahatan

Dari apa yang telah diuraikan tentang uisaha menanggulangi kejahatan telah jelas

bahwa usaha Crime Prevention, ini meliputi dua segi penggarapan yakni:

1. Mencari faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, yang dimulai

dengan penelitian kejahatan atau kenakalan dalam lingkungan remaja, dan

tentunya dalam berbagai pola-pola kriminalitas khusus, sehingga dengan

penemuan faktor-faktor tertentu yang dihubungkan dengan berbagai faktor

dapat menimbulkan kejahatan dapat memberi bahan untuk menyusun program

35
Ibid, hlm.85.
36
Soedjono Dirdjosisworo, Sosio-Kriminologi (Amalan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan) Sinar
baru , Bandung, 1984, hal.138.
penanggulangan kejahatan yang di antaranya diarahkan kepada penggarapan

faktor-faktor yang bersangkutan. Dalam pencegahan kejahatan yang ditujukan

kepada faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya kejahatan, atau dengan

kata lain yang ditujukan kepada obyek yang menjadi sasaran penanggulangan

terdapat dua cara yakni:

a. Cara yang khusus yang sasaran penggarapannya terarah pada satu faktor

tertentu yang telah diteliti, bahwa faktor tersebut sebagai faktor

kriminogen. Cara ini dinamakan sistem abolisionistik yaitu

penanggulangan kejahatan dengan menghilangkan faktor-faktor yang

menjadi sebab - musebab kejahatan. Cara ini sangat berhubungan dengan

perkembangan studi tentang sebab-sebab kejahatan (etiologi kriminal),

yang memerlukan pengembangan teori dan penelitian-penelitian

lapangan.

b. Cara yang umum, yang ditujukan kepada anggota masyarakat secara keseluruhan

dengan tujuan menebalkan iman dan kesadaran untuk tidak berbuat kejahatan. Cara ini

dinamakan sistem moralistik, yaitu penanggulangan kejahatan melalui penerangan-

penerangan keagamaan seperti, khotbah-khotbah da’wah dan lain-lain.

2. Meningkatkan kemantapan pembinaan hukum dan aparatur penegak hukum


dalam rangka law enforcement, yakni suatu upaya memelihara dan membina
hukum yang berlaku dalam masyarakat serta meningkatkan kemanpuan dan
kemantapan aparatur penegak hukum, yang akan menegakkan hukum yang
berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain ditinjau dari subyek yaitu penegak
hukum.
Tinjauan Umum Teori Kriminologi

1. Teori Kriminologi

Kriminologi berkembang pada tahun 1850 bersama –sama dengan sosiologi, antropologi

dan psikologi.37 Berawal dari pemikiran bahwa manusia itu merupakan serigala bagi manusia

lain (Homo homini lupus), selalu mementingkan dirinya sendiri dan tidak mementingkan

keperluan orang lain, oleh karena itu diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupan

manusia. Tujuan dari norma itu sendiri adalah untuk d itaati diperlukan suatu sanksi. Ada dua

faktor yang dapat memicu perkembangan dari kriminologi.38

a. Ketidakpuasan terhadap hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem penghukuman.

b. Penerapan mode statistik.

Ruang ringkup kriminologi sendiri dibagi menjadi :

1. Kenakalan, perilaku yang menyimpang serta kejahatan.

2. Pola tingkah laku masyarakat itu sendiri, pola tingkah laku kejahatan dan bagaimana

kejahatan itu bisa timbul.

3. Menurut korban kejahatan.

4. Bagaimana reaksi sosial dari masyarakat mengenai sebuah kasus kejahatan.

Menurut Mudigdo Moeljono kriminologi memandang pelaku kejahatan memiliki andil

atas terjandinya sebuah kejahatan, terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang

ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari pelaku untuk melakukan kejahatan

tersebut.39

Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perbuatan jahat sebagai

sebuah gejala sosial, yang menurut Shutterland kriminologi itu merangkup proses-proses
37
Wahyu Muljono, pengantar teori kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm 20.
38
Perkembangan kriminologi diakses dari :https://slideplayer.info/slide/3270048/, diakses pada tanggal 23
Maret 2021, Pukul 17:45
39
A. S. Alam, Pegantar Kriminologi Refleksi Makassar. 2010. Hlm 2.
perbuatan hukum dan reaksi atas pelanggaran-pelanggaran hukum.40 Sehingga secara umum

kriminologi itu merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk menyelidiki gejala-gejala kejahatan

seluas-luasnya. Macam-macam pembagian kriminologi yaitu:41

a. Antropologi kriminal adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan manusia dimana ilmu

pengetahuan ini memberi jawaban atas pertanyaan mengenai orang jahat. Misalnya pada

tubuhnya terdapat tanda-tanda seperti apa.

b. Sosiologi kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari terkait kejahatan sebagai

gejala masyarakat. Artinya ingin mengetahui serta menjawab sampai mana letak sebab

musabab kejahatan didalam masyarakat.

c. Psikologi criminal adalah pengetahuan yang mempelajari mengenai kejahatan yang dilihat

dari sudut jiwanya.

d. Psycho dan neuro kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai penjahat

yang mengalami sakit jiwa atau urat syaraf.

Sehingga memberikan penjelasan bahwa kriminologis adalah suatu ilmu pengetahuan

yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya berdasarkan pada pengalaman

seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis. Sedangkan tinjauan kriminologis adalah

pandangan atau suatu kajian terhadap kejahatan melalui kriminologi yaitu ilmu yang

mempelajari kejahatan sebagai suatu fenomena sosial, meliputi karakteristik hukum pidana,

keberadaan kriminalitas, pengaruh kejahatan terhadap korban, pengaruh terhadap masyarakat,

metode penanggulangan sebuah kejahatan dan karakteristik sistem peradilan pidana.

Kejahatan adalah suatu gejala sosial dan penyakit masyarakat yang sulit untuk

dihilangkan. Menurut Bonger, dikutip oleh Abintoro Prakoso kriminologi adalah pengetahuan
40
Deni Achmad dan Firganefi, Pengantar Kriminologi dan Viktimologi Justice Publisher, Lampung, 2016.
Hlm 8.
41
https://customslawyer.wordpress.com/2014/09/11/pembagian-dan-aliran-kriminologi/ diakses pada
tanggal 23 Maret 2021, pukul 18.00.
yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni). 42

Wolfgang, dikutip oleh wahyu Muljono membagi kriminologi sebagai perbuatan yang disebut

sebagai kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi yang ditunjukkan baik terhadap perbuatan

maupun terhadap pelakunya.43

Ada beberapa teori tentang sebab terjadinya kejahatan, yaitu:44

1. Teori spiritual

Pendekatan spiritistik berdasar pada adanya kekuasaan lain/spirit (roh). Unsur utama

yang terdapat dalam pendekatan spiritistik ini adalah sifatnya yang melalui dunia empirik

(tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan/fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang

bukan menjadi subjek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang terbatas).

2. Teori multiple factor

Teori multiple faktor menjelaskan bahwa kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang

beraneka ragam dan faktor-faktor itu dewasa ini (serta untuk selanjutnya) tidak dapat

disusun menurut suatu skema tertentu. Atau dengan kata lain, untuk menerangkan

kelakuan kriminil memang tidak ada teori ilmiah.

3. Teori lingkungan

Teori yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Nilai tertinggi

adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan

mendapat perhatian.

4. Teori kontrol social

42
Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 14.
43
Wahyu Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 35.
44
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, hlm 32
5. Teori yang dibangun atas pandangan yang mana pada dasarnya manusia memiliki

kecenderungan untuk tidak patuh pada hukum serta memiliki pula dorongan untuk

melawan hukum.

6. Teori kontrol

Menilai perilaku menyimpang merupakan konsekuensi logis dari kegagalan seseorang

untuk mentaati hukum.

Siswanto Sunarso berpendapat bahwa dewasa ini kriminologi memperhatikan tidak hanya kepada
para pelaku kejahatan, tetapi mulai memperhatikan pula orang-orang selain penjahat, khususnya
korban kejahatan yang dirugikan oleh suatu tindak pidana. Peranan korban dalam sistem
peradilan pidana sangat menentukan dalam hal pembuktian, mengingat korban seringkali
memiliki kualitas sebagai saksi (saksi korban) di samping saksi-saksi yang lain sebagai alat bukti
yang sah dalam pemeriksaan perkaran pidana. 45

45
Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 2014, hlm.52.

Anda mungkin juga menyukai