Jan Remmelink mengartikan tindak pidana dengan mengawali pernyataan bahwa untuk
dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus
ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada
pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa yang bersangkutan harus merupakan
1. Teori Absolut
Teori ini memberikan statement bahwa penjatuhan pidana semata- mata karena
seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan
kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari penjatuhan pidana itu terletak pada
adanya kejahatan itu sendiri, oleh karena itu pidana mempunyai fungsi untuk menghilangkan
kejahatan tersebut.
2. Teori Relatif
Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana
melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari
a. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-nakuti seseorang,
sehingga tidak melakukan tindak pidana baik terhadap pelaku itu sendiri maupun
pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang baik dalam masyarakat (preventif
khusus).2
Tujuan pokok pidana yang ingin dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada
khalayak ramai atau kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban
masyarakat. Bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud pidana yang mengandung
sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya di depan umum yang mengharapkan
suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak berani melakukan kejahatannya
lagi.3
Ketentuan yang mengatur mengenai tujuan pemidanaan dalam RKUHP Tahun 2012 dalam
pengayoman masyarakat
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 29.
3
4
Fajrimei. A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm 9.
Teori Penanggulangan Pidana
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana
untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya
adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai
hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal
tersebut sebagai berikut: “Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut
berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara
pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada
kesempatan itu”. 6
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi larangan
atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil dalah
aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara
5
Dwijaya Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009,
hlm.45.
6
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, 2005, hlm. 2.
bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga
teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar
pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
menunjukan pada suatu yang dapat digunakan sebagai model, acuan, pegangan atau pedoman
untuk membuat atau menyusun sistem sanksi (hukum) pidana, sedangkan pedoman
pemidanaan lebih merupakan pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau menerapkan
Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan
kepada khalayak ramai atau kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran
terhadap ketertiban masyarakat. Bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud
pidana yang mengandung sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya didepan
umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak
Ketentuan mengenai tujuan pemidanaan dalam RKUHP Tahun 2012 dalam Pasal
7
Barda Nawawi Arief, Pola Pemidanaan Menurut KUHP dan Konsep KUHP, Departemen Kehakiman,
Jakarta, 2009, hlm.1.
8
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 29.
9
Fajrimei. A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-LembagaStudi dan Advokasi
Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm. 9.
Tujuan dari dijatuhkan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu: 10
1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-
nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang
sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale
preventif), atau
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi
orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat
terbukti melakukan tindak pidana. Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa
yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Nestapa itu bukanlah tujuan yang
korporasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penanggulangan kejahatan korporasi yang
dilakukan secara integratif melalui kebijakan penal dengan menggunakan sarana hukum
pidana dan penanggulangan kejahatan korporasi melalui kebijakan non penal dengan
menggunakan sarana selain hukum pidana. larangan dalam hukum pidana disebut dengan
hukum pidana objektif. Hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang
dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada
barang siapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang
tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku perbuatan.12
Menurut Soedarto apabila hukum pidana hendak digunakan dapat dilihat dalam
hubungan keseluruhan politik kriminil atau social defence planning yang ini pun harus
kejahatan dengan sarana non penal misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam
10
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, sumur Bandung, Bandung, 1981, hlm.16.
11
Praja, Juhaya S, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Setia,Bandung, 2011,
hlm.188.
12
Ibid, hlm.190.
13
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.104.
rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan
anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainya secara teratur oleh polisi
dan aparat keamanan lainya. Usaha-usaha non penal dapat meliputi bidang yang sangat
luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal
itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung
masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial.14 Upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive
non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan, penangkalan, atau
pengendalian sebelum terjadi). Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminil secara
makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari
keseluruhan politik kriminil. Menurut Hoefnagels seperti dikutip oleh Moh.Kemal Darmawan
1. Criminal application (penerapan hukum pidana). Contohnya penerapan Pasal 354 KUHP
dengan hukuman maksimal, yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya
2. Preventif without punishment (pencegahan tanpa pidana). Contohnya dengan menerapkan
hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan
prevensi (pencegahan) kepada public walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock
therapy kepada masyarakat
3. Influencing views of society on crime and punishment (mas media mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media). Contohnya
14
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm.23.
15
Moh. Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm.4.
mensosialisasikan suatu Undang-Undang dengan memberikan gambaran tentang
bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya.
meliputi:16
norma hukum hendaknya memperhatikan perkembangan sosial dalam masyarakat itu sendiri
penanggulangan meluasnya kejahatan, yang oleh sebab itu penanggulangan dan penciptaan
konsisten.17 Dalam usaha penanggulangan kejahatan ini perlu pula diadakan perbaikan faktor-
faktor yang mendorong terjadinya suatu tindak pidana baik melalui faktor intern maupun
faktor ekstern.
Faktor intern bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan formal sejak anak
mencapai usia sekolah dengan tujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab yang besar
16
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2001, hlm.16.
Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam menanggulangi
17
pengetahuan yang luas, tetapi pengetahuan ini harus diimbangi dengan menanamkan rasa
cinta kepada bangsa dan negara, dengan jalan memberikan kesadaran kepada mereka untuk
meneruskan perjuangan bangsa menuju negara yang maju, adil dan makmur. Faktor ekstern
bisa dilakukan dengan adanya kerjasama yang erat antara aparat penegak hukum (Kepolisian),
masyarakat dan instansi pemerintah lainnya, sehingga memberikan kemudahan bagi pihak
adalah :19
Dari apa yang telah diuraikan tentang uisaha menanggulangi kejahatan telah jelas
bahwa usaha Crime Prevention, ini meliputi dua segi penggarapan yakni:
1. Mencari faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, yang dimulai dengan penelitian
kejahatan atau kenakalan dalam lingkungan remaja, dan tentunya dalam berbagai pola-pola
kriminalitas khusus, sehingga dengan penemuan faktor-faktor tertentu yang dihubungkan
Ibid, hlm.85.
18
19
Soedjono Dirdjosisworo, Sosio-Kriminologi (Amalan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan) Sinar
baru , Bandung, 1984, hlm.138.
dengan berbagai faktor dapat menimbulkan kejahatan dapat memberi bahan untuk
menyusun program penanggulangan kejahatan yang di antaranya diarahkan kepada
penggarapan faktor-faktor yang bersangkutan. Dalam pencegahan kejahatan yang
ditujukan kepada faktor-faktor yang memungkinkan timbulnya kejahatan, atau dengan kata
lain yang ditujukan kepada obyek yang menjadi sasaran penanggulangan terdapat dua cara
yakni:
a. Cara yang khusus yang sasaran penggarapannya terarah pada satu faktor tertentu yang
telah diteliti, bahwa faktor tersebut sebagai faktor kriminogen. Cara ini dinamakan
sistem abolisionistik yaitu penanggulangan kejahatan dengan menghilangkan faktor-
faktor yang menjadi sebab-sebab kejahatan. Cara ini sangat berhubungan dengan
perkembangan studi tentang sebab-sebab kejahatan (etiologi kriminal), yang
memerlukan pengembangan teori dan penelitian-penelitian lapangan.
b. Cara yang umum, yang ditujukan kepada anggota masyarakat secara keseluruhan
dengan tujuan menebalkan iman dan kesadaran untuk tidak berbuat kejahatan. Cara ini
dinamakan sistem moralistik, yaitu penanggulangan kejahatan melalui penerangan-
penerangan keagamaan seperti, khotbah-khotbah da’wah dan lain-lain.
2. Meningkatkan kemantapan pembinaan hukum dan aparatur penegak hukum dalam rangka
law enforcement, yakni suatu upaya memelihara dan membina hukum yang berlaku dalam
masyarakat serta meningkatkan kemanpuan dan kemantapan aparatur penegak hukum,
yang akan menegakkan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain ditinjau
dari subyek yaitu penegak hukum.
Barnest dan Teeters seperti dikutip oleh Romli Atmasasmita menunjukkan beberapa
Dari pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita tanggulangi
apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke
arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan
20
Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm.51.
21
Ibid, hlm.53.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana, dimana dalam sistem
peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 (lima) sub-sistem yaitu subsistem kehakiman,
keseluruhan yang terangkai dan berhubungan secara fungsional. Upaya dalam pelaksanaannya
dilakukan pula dengan metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment). Lebih
1. Perlakuan
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari
segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan, yaitu:
a. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling
ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam
perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha
pencegahan
b. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan
putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan
baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititik
beratkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan
kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sediakala. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya
pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang
lebih buruk lagi dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi
melakukan pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar
2. Penghukuman
Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan
(treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah
dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-undangan
22
Adang Anwar Yesmil, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm.25.
23
Ibid, hlm.35.
dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan,
bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem
pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang
semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan berorientasi pada pembinaan dan
perbaikan pelaku kejahatan.
Teori Penanggulangan
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana
untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya
adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai
hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal
tersebut sebagai berikut: “Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut
berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara
pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada
kesempatan itu”. 25
Tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan
kepada khalayak ramai atau kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran
terhadap ketertiban masyarakat. Bentuk teori prevensi umum yang paling lama berwujud
pidana yang mengandung sifat menjerakan atau menakutkan dengan pelaksanaannya didepan
umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak
10. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat
12. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan
manusia.27
terbukti melakukan tindak pidana. Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa
yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Nestapa itu bukanlah tujuan yang
korporasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penanggulangan kejahatan korporasi yang
dilakukan secara integratif melalui kebijakan penal dengan menggunakan sarana hukum
pidana dan penanggulangan kejahatan korporasi melalui kebijakan non penal dengan
menggunakan sarana selain hukum pidana. larangan dalam hukum pidana disebut dengan
hukum pidana objektif. Hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang
27
Fajrimei. A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM-LembagaStudi dan Advokasi
Masyarakat, Jakarta, 2005, hlm. 9.
28
Praja, Juhaya S, Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Setia,Bandung, 2011,
hlm.188.
dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada
barang siapa yang melakukannya. Sanksi pidana yang telah ditetapkan dalam undang-undang
tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan kepada pelaku perbuatan.29
Menurut Soedarto apabila hukum pidana hendak digunakan dapat dilihat dalam
hubungan keseluruhan politik kriminil atau social defence planning yang ini pun harus
kejahatan dengan sarana non penal misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam
anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainya secara teratur oleh polisi
dan aparat keamanan lainya. Usaha-usaha non penal dapat meliputi bidang yang sangat
luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal
itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung
masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial.31 Upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive
non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive (pencegahan, penangkalan, atau
pengendalian sebelum terjadi). Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminil secara
makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari
Ibid, hlm.190.
29
30
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal.104.
31
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm.23.
keseluruhan politik kriminil. Menurut Hoefnagels seperti dikutip oleh Moh.Kemal Darmawan
4. Criminal application (penerapan hukum pidana). Contohnya penerapan Pasal 354 KUHP
dengan hukuman maksimal, yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya.
hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan
prevensi (pencegahan) kepada public walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media). Contohnya
meliputi:33
penyimpangan-penyimpangan
32
Moh. Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm.4.
33
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2001, hlm.16.
9. Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih
10. Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak
hukum
norma hukum hendaknya memperhatikan perkembangan sosial dalam masyarakat itu sendiri
penanggulangan meluasnya kejahatan, yang oleh sebab itu penanggulangan dan penciptaan
konsisten.34 Dalam usaha penanggulangan kejahatan ini perlu pula diadakan perbaikan faktor-
faktor yang mendorong terjadinya suatu tindak pidana baik melalui faktor intern maupun
faktor ekstern.
Faktor intern bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan formal sejak anak
mencapai usia sekolah dengan tujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab yang besar
terhadap bangsa dan negaranya. Melalui pendidikan formal, seorang anak akan memperoleh
pengetahuan yang luas, tetapi pengetahuan ini harus diimbangi dengan menanamkan rasa
cinta kepada bangsa dan negara, dengan jalan memberikan kesadaran kepada mereka untuk
meneruskan perjuangan bangsa menuju negara yang maju, adil dan makmur. Faktor ekstern
bisa dilakukan dengan adanya kerjasama yang erat antara aparat penegak hukum (kepolisian),
masyarakat dan instansi pemerintah lainnya, sehingga memberikan kemudahan bagi pihak
34
Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam menanggulangi
Kejahatan, Kencana Pernada Media Group, Jakarta 2007, hlm.81.
Kemudian beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar
adalah :36
Dari apa yang telah diuraikan tentang uisaha menanggulangi kejahatan telah jelas
bahwa usaha Crime Prevention, ini meliputi dua segi penggarapan yakni:
35
Ibid, hlm.85.
36
Soedjono Dirdjosisworo, Sosio-Kriminologi (Amalan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan) Sinar
baru , Bandung, 1984, hal.138.
penanggulangan kejahatan yang di antaranya diarahkan kepada penggarapan
kata lain yang ditujukan kepada obyek yang menjadi sasaran penanggulangan
a. Cara yang khusus yang sasaran penggarapannya terarah pada satu faktor
lapangan.
b. Cara yang umum, yang ditujukan kepada anggota masyarakat secara keseluruhan
dengan tujuan menebalkan iman dan kesadaran untuk tidak berbuat kejahatan. Cara ini
1. Teori Kriminologi
Kriminologi berkembang pada tahun 1850 bersama –sama dengan sosiologi, antropologi
dan psikologi.37 Berawal dari pemikiran bahwa manusia itu merupakan serigala bagi manusia
lain (Homo homini lupus), selalu mementingkan dirinya sendiri dan tidak mementingkan
keperluan orang lain, oleh karena itu diperlukan suatu norma untuk mengatur kehidupan
manusia. Tujuan dari norma itu sendiri adalah untuk d itaati diperlukan suatu sanksi. Ada dua
a. Ketidakpuasan terhadap hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem penghukuman.
2. Pola tingkah laku masyarakat itu sendiri, pola tingkah laku kejahatan dan bagaimana
atas terjandinya sebuah kejahatan, terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang
ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari pelaku untuk melakukan kejahatan
tersebut.39
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perbuatan jahat sebagai
sebuah gejala sosial, yang menurut Shutterland kriminologi itu merangkup proses-proses
37
Wahyu Muljono, pengantar teori kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm 20.
38
Perkembangan kriminologi diakses dari :https://slideplayer.info/slide/3270048/, diakses pada tanggal 23
Maret 2021, Pukul 17:45
39
A. S. Alam, Pegantar Kriminologi Refleksi Makassar. 2010. Hlm 2.
perbuatan hukum dan reaksi atas pelanggaran-pelanggaran hukum.40 Sehingga secara umum
kriminologi itu merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk menyelidiki gejala-gejala kejahatan
a. Antropologi kriminal adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan manusia dimana ilmu
pengetahuan ini memberi jawaban atas pertanyaan mengenai orang jahat. Misalnya pada
b. Sosiologi kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari terkait kejahatan sebagai
gejala masyarakat. Artinya ingin mengetahui serta menjawab sampai mana letak sebab
c. Psikologi criminal adalah pengetahuan yang mempelajari mengenai kejahatan yang dilihat
d. Psycho dan neuro kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai penjahat
seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis. Sedangkan tinjauan kriminologis adalah
pandangan atau suatu kajian terhadap kejahatan melalui kriminologi yaitu ilmu yang
mempelajari kejahatan sebagai suatu fenomena sosial, meliputi karakteristik hukum pidana,
Kejahatan adalah suatu gejala sosial dan penyakit masyarakat yang sulit untuk
dihilangkan. Menurut Bonger, dikutip oleh Abintoro Prakoso kriminologi adalah pengetahuan
40
Deni Achmad dan Firganefi, Pengantar Kriminologi dan Viktimologi Justice Publisher, Lampung, 2016.
Hlm 8.
41
https://customslawyer.wordpress.com/2014/09/11/pembagian-dan-aliran-kriminologi/ diakses pada
tanggal 23 Maret 2021, pukul 18.00.
yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni). 42
Wolfgang, dikutip oleh wahyu Muljono membagi kriminologi sebagai perbuatan yang disebut
sebagai kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi yang ditunjukkan baik terhadap perbuatan
1. Teori spiritual
Pendekatan spiritistik berdasar pada adanya kekuasaan lain/spirit (roh). Unsur utama
yang terdapat dalam pendekatan spiritistik ini adalah sifatnya yang melalui dunia empirik
(tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan/fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang
bukan menjadi subjek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang terbatas).
Teori multiple faktor menjelaskan bahwa kejahatan adalah hasil dari faktor-faktor yang
beraneka ragam dan faktor-faktor itu dewasa ini (serta untuk selanjutnya) tidak dapat
disusun menurut suatu skema tertentu. Atau dengan kata lain, untuk menerangkan
3. Teori lingkungan
Teori yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Nilai tertinggi
adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan
mendapat perhatian.
42
Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 14.
43
Wahyu Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 35.
44
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, hlm 32
5. Teori yang dibangun atas pandangan yang mana pada dasarnya manusia memiliki
kecenderungan untuk tidak patuh pada hukum serta memiliki pula dorongan untuk
melawan hukum.
6. Teori kontrol
Siswanto Sunarso berpendapat bahwa dewasa ini kriminologi memperhatikan tidak hanya kepada
para pelaku kejahatan, tetapi mulai memperhatikan pula orang-orang selain penjahat, khususnya
korban kejahatan yang dirugikan oleh suatu tindak pidana. Peranan korban dalam sistem
peradilan pidana sangat menentukan dalam hal pembuktian, mengingat korban seringkali
memiliki kualitas sebagai saksi (saksi korban) di samping saksi-saksi yang lain sebagai alat bukti
yang sah dalam pemeriksaan perkaran pidana. 45
45
Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 2014, hlm.52.