Anda di halaman 1dari 11

Nama : Acep Muhammad Rizki

NPM : 41151010200136

Kelas : Kekhususan Pidana

Semester :6

Mata Kuliah : Hukum Penitensier

Tugas RESUME MODUL 3,4,5, dan 6

MODUL 3 Pidana dan Pemidanaan

A.Pendahuluan:Pidana

Pidana atau straf menurut Van Hamel dalam bukunya Lamintang menyebutkan bahwa Pidana
adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari
ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut
telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh negara. (PAF Lamintang
dan Theo Lamintang, 2018).

Simon dalam bukunya Lamintang Juga menyebutkan bahwa pidana adalah suatu penseritaan
yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma,
yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.

Berdasarkan 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 namanya diubah menjadi Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum Pidana Indonesia hanya
mengenal dua jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana diatur dalam
Pasal 10 KUHP menyebutkan bahwa pidana pokok terdiri dari:

1) Pidana mati,

2) Pidana penjara,

3) Pidana kurungan; dan

4) Pidana denda.

B. Materi Perkuliahaan Pidana


Soedarto dalam bukunya Muladi dan Barda Nawawi mengatakan bahwa pidana atau
hukuman atau straf adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Muladi dan Barda Nawawi,
1984).

Roeslan saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi delik dan ini berwujud suatu nestapa
yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu (Roeslan Saleh,1983), tetapi tujuan
akhir dai pidana itu sendiri bukanlah nestapa, karena pidana itu menurut Dwija Prayitno
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri:

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau
akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan
atau oleh yang berwenang.

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum korporasi yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.

GP Hoefnagels mengatakan bahwa pidana bukan suatu pencelaan atau penjeraan tetapi
pidana adalah suatu proses waktu yaitu keseluruhan proses pidana itu sendiri sejak
penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan merupakan sansksi pidana. (Dwija
Prayitno, 2009)

perbedaan antara pidana dan pemidanaan, maka Sudarto mengatakan bahwa pidana adalah
pembalasan atau pengimbalan terhadap kesalahan pembuat sedangkan pemidaan atau
tindakan adalah perlindungan masyarakat terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
membahayakan masyarakat terhadap orang yang melakukan perbuatan membahayakan
masyarakat dan untuk pembinaan dan perawatan si pembuat. (R. Soedarto,1981).

Tindakan atau pemidanaan dapat dilaksanakan pada pelaku tindak pidana yang mampu
bertanggung jawab,apabila pelaku tindak pidana tersebut tidak mampu bertanggung jawab
maka tidak mungkin dijatuhi pidana dan tindakan. Tindakan disini dapat diartikan sebagai
pidana penjara, seperti yang telah di bahas sebelumnya. Tetapi antara pidana dan tindakan
sering disalah mengertikan sehingga kemudian pidana dan tindakan sering disebut sebagai
sanksi saja.

PEMIDANAAN
M. Sholehuddin mengatakan bahwa filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi yaitu (M.
Sholehuddin,2003)

1. Fungsi Fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
memberikan . pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan.
Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran
filsafat. Maksudnya setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang
diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib dikembangkan, diaplikasikan dan ditegakan.

2. Fungsi teori dalam hal ini sebagai meta- teori, maksudnya filsafat pemidanaan berfungsi
sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap teori pemidanaan.

Kedua fungsi diatas dalam implementasinya tentang penetapan sanksi pidana dan tindakan
merupakan aktivitas program legislasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan
bentuk saksi (pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan
sanksi.

Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan


apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum pidana yang kuat
pengaruhnya ada dua yaitu keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan (retributive
justice) dan keadilan yang berbasis pada filsafat restorasi atau pemulihan (restorative Justice),
dan KUHP menganut filsafat keadilan lebih condong kepada retributive justice. Karakteristik
Restorative Justice menurut Muladi dapat dikemukakan ciri-cirinya sebagai berikut:

a Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain;

b. Titik perhatian dalam pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa
depan,

c. Sifat normatif atas dasar dialog dan negosiasi,

d Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan
utama,

e. Keadilan dirumuaskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;

f Kejahatan diskui sebagai konflik;

g. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

h. Masyarakat merupakan fasilitator didalam proses retoratif,


i. Menggalakan bantuan timbal balik;

j. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam permasalahan maupun
penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui, pelaku tindak pidana didorong untuk
bertanggung jawab

k. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap


perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik,

l. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis,

m. Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui;

n. Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak
pidana;

o. Sigma dapat dihapus melalui tindakan restorative,

p. Ada kemungkinan dorongan untuk bertobat dan mengampuni yang bersifat membantu,
Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan.

TUJUAN PEMIDANAAN

Terdapat pendapat beberapa ahli :

1. Protagoras mengatakan bahwa pidana sebagai sarana pencegahan khusus maupun


pencegahan umum;

2. Seneca mengatakan nemo pridens punit quia peccatumest, sed ne peccetur yang artinya
tidak Layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud agar
tidak terjadi lagi perbutan salah;

3. Jeremy Betham mengatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah


dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang;

4. lmmanuael Kant mengatakan tujuan pidana adalan pembalasan terhadap serangan


kejahatan atas ketertiban sosial dan moral.

Sedangkan untuk teori pemidaan sendiri ada dua teori yaitu teori absolut atau teoari
pembalasan dan teori relatif atau teon tujuan. Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan Suatu kejahatan atau tindak pidana. Sedangkan
teori relatif atau teori tujuan mengatakan bahwa pidana bukan sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Muladi mengatakan bahwa pidana
dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang berbuat kejahatan) melainkan ne peccatum
(supaya orang jangan melakukan kejahatan)

Muladi memperkenalkan teori tujuan pemidanaan yang integratif (Kemanusiaan dalam


Sistem Pancasila) yang tepat untuk diterapkan di Indonesia dalam Desertasi beliau ketika
meraih gelah Doktor. Teori intergratif tentang tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh
Muladi adalah tujuan pemidanaan adalah meliputi pencegahan umum dan pencegahan
khsusus, perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber
pada pandangan adat bangsa Indonesia serta teori rasosialisasi.

PEDOMAN PEMDANAAN

Di dalam dunia hukum pidana dikenal tiga aliran yaitu aliran klasik, aliran modern dan aliran
neoklasik. Aliran klasik dengan tokohnya Cecare Beccaria, mengatakan bahwa aliran klasik
berpijak pada tiga tiang yaitu

1. Asas legalitas yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak
pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang.

2 Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang
dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan,

3. Asas pengimbalan atau pembalasan yang sekuler, yang berisi bahwa pidana secara konkrit
tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat melainkan
setimpal dengan berat ringannya perbuatan yang dilakukan.

Karakteristik dari aliran klasik adalah

1. Definisi hukum dari kejahatan;

2 Pidana harus sesuai dengan kejahatan,

3. Doktrin kebebasan kehendak;

4. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana,

5 Tidak ada riset empiris;

6. Pidana yang ditentukan secara pasti.


Aliran modern atau aliran posutif adalah aliran yang memandang perbuatan seseorang tidak
dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya
tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi
oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis atau faktor lingkungan kemasyarakatan,
tokohnya adalah Cesare Lombroso, Enrico Ferri dan Reffaele Garofalo.

Ciri-ciri aliran modern adalah:

1. Menolak definisi hukum dari kejahatan;

2. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana,

3. Doktrine determinisme;

4. Penghapusan pidana mati;

5. Riset empiris;

6. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.

Aliran neoklasik berkembang pada abad 19, aliran neoklasik ini adalah aliran yang mulai
mempertimbangkan adanya kebutuhan pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Hal
yang paling menonjol dari aliran neoklasik ini adalah adanya kesaksian ahli di Pengadilan
untuk membantu juri dalam mempertimbangkan derajat pertanggungjawaban seorang pelaku
tindak pidana.

Ciri-ciri aliran neoklasik adalah

1. Modifikasi dari doktrin kebebasan kehendak yang dapat dipengaruhi oleh patologi,
ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain;

2. Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan;

3 Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringannan pemidanaan,


dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban dalam kasus-kasus tertentu seperti
penyakit jiwa, usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan
kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan.

4. Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan yang menentukan derajat


pertanggungjawaban.
KUHP sendiri menganut neoklasik karena masıh berorientasi pada perbuatan dan orang,
selain itu masih dikenal adanya pidana mati, adanya hal-hal yang meringankan pemidanaan
dan hal-hal yang memberatkan pemidanaan seperti adanya residivis, concorsus dan lain
sebagainya.

MODUL 4 Lembaga Pemidanaan

A.Pendahuluan:Pemidanaan

Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan


apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum pidana yang kuat
pengaruhnya ada dua yaitu keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan (retributive
justice ) dan keadilan yang berbasis pada filsafat restorasi atau pemulihan (restorative
Justice), dan KUHP menganut filsafat keadilan lebih condong kepada retributive justice.

B.Materi Perkuliahan

Lembaga pemidanaan yang dimaksud adalah:

1. Lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tambahan
berupa pancabutan hak-hak tertentu, penyitaan benda-benda tertentu dan pengumuman dari
putusan hakim seperti yang diatur di dalam Pasal 10 huruf a dan huruf b KUHP;

2. Lembaga pidana tutupan seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang tanggal 31
Oktober 1946 Nomor 20, Berita Republik Indonesia I Nomor 24

3. Lembaga pidana bersyarat seperti yang diatur di dalam Pasal 14 a ayat (1) sampai dengan
ayat (5) KUHP dan pelaksanaannya diatur di dalam Ordonansi tanggal 6 Novenber 1926,
Staatsblaad tahun 1926 Nomor 487 yang dikenal sebagai Uitvoeringsordonnantie
voorwaardelijk atau peraturan pelaksanaan mengenai pemidanaan bersayarat,

4. Lembaga pemberatan pidana kurungan karena adanya suatu samenloop van strafbare
feiten, recidive atau karena tindak pidana telah dilakukan oleh seorang pegawai negen dengan
menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus seperti yang diatur di dalam Pasal 18
ayat (2) KUHP;

5. Lembaga tempat orang menjalankan pidana seperti yang diatur di dalam Ordonansi..
tanggal 10 Desember 1917, stacatsblad tahun 1917 nomor 708 yang juga dikenal sebagai
Gestichtenreglement atau peraturan tentang lembaga pemasyarakatan.
Tujuan pemidanaan yang diwujudkan oleh lembaga pemidanaan, lembaga penindakan dan
kebijaksanaan ini yang kemudian menjadikan istilah rumah penjara di Sumatera berubah
istilah dengan nama Lembaga Pemasyarakatan pada bulan April 1964 atas ide dari
Dr.Saharjo, SH. yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Hal ini
dimaksudkan lembaga pemasyarakatan bukan sebagai tempat pembinaan atau pendidikan
bagi orang-orang terpidana.

MODUL 5 LEMBAGA PENINDAKAN DAN KEBIJAKSANAAN

A.Materi Perkuliahan

LEMBAGA PENINDAKAN

Lembaga penindakan atau maatregel adalah lembaga hukum di dalam hukum positif yang
secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara-perkara
pidana, tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaanatau suatu kebijaksanaan dan
termasuk dalam pengertiannya yaitu lembaga pendidikan paksa dan lembaga kerja negara.
Lembaga penindakan tersebut diantaranya:

1. Lembaga penempatan di bawah pengawasan pemerintah seperti yang dimaksud di


dalam Pasal 45 KUHP, yang pengaturannya lebih lanjut terdapat di dalam Ordonansi
tanggal 21 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741 yang juga dikenal
sebagai Dwanggopvoeding Regeling atau peraturan tentang pendidikan paksa;
2. Lembaga penutupan secara terpisah atau lembaga afzonderlijke opsluiting seperti
yang dimaksud di dalam Pasal 35 ayat (3) Ordonansi tanggal 10 Desember 1917,
Staatsblad tahun 1917 Nomor 708
3. Lembaga penutupan dengan seorang diri di dalam sebuah kerangkeng dengan jeruji
besi atau lembaga eenzame opsluiting seperti yang dimaksud di dalam Pasal 49 ayat
(1) huruf d Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad tahun 1917 Nomor 708:
4. Lembaga pendidikan paksa atau dwangopvoeding yang telah diatur di dalam
ordonansi tanggal 21 desember 1917, Staatsblad Tahun 1917, Staatsblad Tahun 1917
Nomor 741
5. Lembaga penempatan di dalam lembaga kerja negara seperti yang diatur di dalam
ordonansi tanggal 24 Mei 1936, Staatsblad Tahun 1936 Nomor 160.

LEMBAGA KEBIJAKSANAAN
Lembaga kebijaksanaan adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan di dalam hukum
positif, yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili
perkara-perkara pidana, tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu
penindakan ataupun yang secara langsung ada hubungannya dengan pelaksanaan dari putusan
hakim.

Lembaga kebijaksanaan adalah (PAF Lamintang dan Theo Lamintang, 2018):

1. Lembaga pengembalian terdakwa kepada orang tuanya atau kepada walinya seperti
dimaksud dalam Pasal 45 KUHP;

2. Lembaga pembebasan bersayarat seperti yang dimaksud di dalam Pasal 15 KUHP, yang
pengaturannya lebih lanjut terdapat di dalam Ordonansi tanggal 27 desember 1917, staatsblad
Tahun 1917 Nomor 749 yang juga dikenal sebagai Ordonantie op de voorwarlijke
invrijheidstelling atau peraturan pembebabasan bersyarat,

3. Lembaga izin bagi terpidana untuk hidup secara bebas di luar lembaga pemasyarakatan
setelah jam kerja seperti yang dimaksud di dalam Pasal 20 ayat (1) KUHP;

4. Lembaga mengusahakan perbaikan nasib sendiri bagi orang-orang yang dijatuhi pidana
kurungan sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 23 KUHP dan diatur lebih lanjut di
dalam Pasal 94 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Ordonansi tanggal 10 Desember 1917,
Staatsblad tahun 1917 Nomor 708.

Perbedaan antara pemidanaan dan penindakan adalah Bahwa starf atau pidana merupakan
reaksi atas dilakukannya suatu delik yang telah dinyatakan terbukti, berupa kesengajaan
untuk memberikan semacam penderitaan kepada seorang pelaku, karena telah melakukan
tindak pidana sedangkan stafrechtelijke maatregelen atau pada penindakan-penindakan
menurut hukum pidana, unsur kesengajaan untuk memberikan penderitaan sama sekali tidak
ada.

MODUL 6 HUBUNGAN LEMBAGA PEMIDANAAN, PENINDAKAN, DAN


KEBIJAKSANAAN

A.Materi Perkuliahan

Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dari suatu
pemidanaan yaitu:

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;


2. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan,

3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain,
yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Teori-teori tentang pemidanaan sendiri ada tiga yaitu:

1. Teori absolut.

2 Teori relatif atau teori tujuan.

3. Teori pembenaran.

4 Teori kumpulan.

Hubungan antara lembaga pemidanaan, lembaga penindakan dan kebijaksanaan adalah sangat
erat karena lembaga pemidanaan, kebijaksanaan dan lembaga penindakan adalah merupakan
sarana untuk mencapai tujuan dari pemidanaan.

Hubungan yang erat antara tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan dengan lembaga
pemidanaan, penindakan dan kebijaksanaan dapat dilihat secara jelas dalam cara
memperlakukan terpidana di lembaga pemasyarakatan. Hal ini bila dikaitkan pula dengan
pemikiran orang mengenai pidana, yang tumbuh dalam sejarah yakni dari pemikiran yang
tidak manusiawi hingga pemikiran yang menghendaki agar harkat dan martabat terpidana
sebagai manusia tetap dihargai, walaupun ia telah melakukan suatu tindakan yang melawan
hukum.

Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa penjatuhan suatu pidana tidak boleh bertetangan
dengan maksud baik terhadap pribadi dari penjahatnya sendiri, para penjahat perlu
mendapatkan pendidikan agar dikemudian hari dapat berperilaku secara lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai