Anda di halaman 1dari 27

PRINSIP-PRINSIP HUKUM PIDANA

Eddy O.S. Hiariej

ILMU HUKUM PIDANA

Ilmu hukum pidana menurut Moeljatno adalah ilmu tentang hukumnya kejahatan.
Adapun ilmu pengetahuan yang erat kaitannya dengan ilmu hukum pidana yaitu Kriminologi.
Kriminologi secara khusus mempelajari bentuk-bentuk perilaku kriminal, sebab-sebab
kejahatan, definisi kriminalitas dan reaksi masyarakat terhadap aktivitas kriminal.

Sistem peradilan pidana, kebijakan hukum pidana dan perbandingan hukum pidana dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, sistem peradilan pidana secara sederhana diartikan sebagai proses yang
dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Kedua,
kebijakan hukum pidana bertalian dengan penyusunan undang-undang yang berkaitan dengan
hukum pidana yang dalam beberapa literatur digunakan istilah politik hukum pidana yang
meliputi tahap formulasi suatu rumusan yang tadinya bukan perbuatan pidana menjadi
perbuatan pidana atau kriminalisasi. Termasuk dalam kebijakan hukum pidana adalah tahap
penalisasi yaitu mencantumkan ancaman pidana terhadap perbuatan yang dikriminalkan.
Ketiga, perbandingan hukum pidana adalah membandingkan hukum pidana dari berbagai
negara. Perbandingan merupakan salah satu metode studi dengan melihat bekerjanya hukum
pidana di berbagai negara.

Objek ilmu hukum pidana yaitu:


1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang meliputi asas-asas hukum pidana,
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-Undang Pidana di luar kodifikasi atau KUHP.
4. Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang-Undang lainnya.
5. Ketentuan pidana yang terdapat dalam Peraturan Daerah.
6. Teori-teori pemidanaan.

HUKUM PIDANA

Hukum pidana adalah aturan hukum dari suatu negara yang berdaulat, berisi
perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang diperintahkan, disertai dengan sanksi pidana
bagi yang melanggar atau yang tidak mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu
dijatuhkan dan bagaimana pelaksanaan pidana tersebut yang pemberlakuannya dipaksakan
oleh negara. Pengertian yang demikian mencakup pidana materiil dan pidana formil. Hukum
pidana secara luas meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, sedangkan
hukum pidana dalam arti sempit hanya mencakup hukum pidana materiil saja. Dalam
percakapan sehari-hari hukum pidana yang dimaksud adalah hukum pidana materiil,
sedangkan hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.

Hukum Pidana Materiil dan Formil

Menurut van Hamel, Vos, dan Lafave dapat disimpulkan bahwa hukum pidana
materiil adalah keseluruhan hukum yang berisi asas-asas, perbuatan yang dilarang dan
perbuatan yang diperintahkan berserta sanksi pidana terhadap yang melanggar atau tidak
mematuhinya. Sedangkan hukum acara pidana adalah hukum untuk melaksanakan hukum
pidana materiil yang berisi tata cara pelaksanaan hukum pidana. Hukum pidana materiil tidak
hanya terdapat pada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi juga dalam
perundang-undangan lainnya. Demikian pula dengan hukum acara pidana tidak hanya
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) namun terdapat pula
dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Hukum Pidana Objektif – Hukum Pidana Subjektif

Pembagian hukum pidana yang lain adalah hukum pidana objektif yang juga disebut sebagai
jus poenale dan hukum pidana subjektif yang disebut sebagai jus pueniendi. Hukum pidana
objektif terdiri dari:
1. Perintah dan larangan yang pelanggaran terhadap larangan dan norma tersebut
diancam pidana oleh badan yang berhak.
2. Ketentuan-ketentuan mengenai upaya-upaya yang dapat digunakan jika norma itu
dilanggar disebut hukum penitentiaire tentang hukum dan sanksi.
3. Aturan-aturan yang menentukan kapan dan di mana berlakunya norma tersebut.

Sedangkan, Hukum pidana subjektif adalah hak negara untuk memberikan hukuman terhadap
pelanggaran yang dilakukan.

Hukum Pidana Umum – Hukum Pidana Khusus

Hukum Pidana Umum adalah aturan hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), sedangkan Hukum Pidana Khusus adalah aturan hukum yang berada
diluar KUHP seperti UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang
tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang Terorisme. Di dalam Undang-Undang tersebut
memuat ketentuan yang menyimpang atau berbeda dari KUHP khususnya terkait ancaman
pidana. Sedangkan ketentuan formil dalam Undang-Undangtersebut pada dasarnya sama
dengan KUHAP kecuali terkait alat bukti yang mengalami perluasan atau diatur menyimpang
dari KUHAP.
PENGERTIAN PIDANA DAN TUJUAN PIDANA

Pengertian pidana dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, pidana adalah


penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara kepada seseorang. Kedua, pidana diberikan
sebagai reaksi atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum pidana. Ketiga, sanksi pidana
yang diberikan oleh negara diatur dan ditetapkan secara rinci.
Tujuan hukum pidana terbagi menjadi beberapa teori yaitu:
1. Teori Absolut yaitu pidana sebagai pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Pidana
dijatuhkan pada pelaku karena mereka layak untuk dihukum atas perilaku yang
melanggar ketentuan hukum.
2. Teori Relatif, yaitu pidana sebagai penegakan ketertiban masyarakat dan untuk
mencegah kejahatan.
3. Teori Keadilan Restoratif, yaitu pidana bertujuan untuk memulihkan keadilan.
Dengan demikian proses penyelesaian kasus pidana ialah dengan melibatkan pelaku
kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain untuk mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan
semula dan bukan pada pembalasan.

KONSEP-KONSEP DASAR HUKUM PIDANA

Paling tidak ada dua belas konsep-konsep dasar hukum pidana yang dikemukakan George
P. Fletcher. Pertama, substansi versus prosedur. Seseorang yang melakukan kejahatan,
secara substansi telah melakukan peanggaran hukum. Akan tetapi, apakah orang tersebut
dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas suatu kejahatan yang telah dilakukan,
tergantung pada peraturan prosedurnya. Pada dasarnya, dapat kita katakana bahwa
peraturan substansi membentuk sebuah prinsip yang disebut “guilt in principle”.
Sedangkan proseduralnya menentukan apakah seseorang bisa dinyatakan “guilty in fact”.
Kedua, hukuman versus perlakuan. Sistem hukum pidana memiliki tujuan
membebaskan orang yang tidak bersalah dan menghukum orang yang bersalah sehingga
dapat disebut bahwa tujuan tersebut berpusat pada institution of punishment. Tanpa
adanya hukuman dan institusi yang dirancang untuk mengatur serta melaksanakan
hukuman tersebut, maka tidak ada hukum pidana. Dalam hal ini hukuman bukanlah
sesuatu yang dilawankan dengan perlakuan. Sesungguhnya dalam teori-teori
pemidananaan kontemporer, hukuman atau pemidanaan tidak lagi semata-mata untuk
pembalasan namun juga berupa perlakuan terhadap terpidana dalam fungsi rehabilitatif.
Terlebih, jika kita merujuk pada keadilan restoratif yang berorientasi pada pemulihan dan
bukan pada penghukuman.
Ketiga, subjek versus objek. Dalam hukum pidana ada dua hal penting yaitu
menentukan siapa yang kita tuntut dan atas tindakan apa ia dituntut. Subjek pada siapa
yang melakukan dan objek mengacu pada apa yang ia lakukan. Apakah kita menuntut
tersangka dan menghukum pelaku sebagai subjek ataukah objek?
Keempat, sesuatu yang disebabkan oleh manusia versus peristiwa alam. Kejahatan
telah terjadi ketika pelaku menyebabkan kerugian atau kerusakan pada korban. Akan
tetapi, tidak semuanya kerusakan atau kerugian disebabkan oleh perbuatan manusia,
melainkan suatu peristiwa alam. Fletcher memberi ilustrasi sebagai berikut:
Jika A berniat untuk membunuh B, maka A pergi ke rumah B untuk melakukan
pembunuhan. Pada saat A mengetuk pintu rumah B, dengan seketika B terkena serangan
jantung dan akhirnya meninggal. Kematian B bukanlah diakibatkan oleh A. Artinya
kematian tersebut bukan disebabkan oleh manusia melainkan oleh suatu peristiwa alam.
Lain hanya ketika B menjadi ketakutan atau kaget melihat A lalu terkena serangan
jantung, maka kedatangan A ke rumah B bisa menjadi penyebab kematian B. Peristiwa
alam bukanlah objek dalam hukum pidana, sedangkan sesuatu yang disebabkan oleh
manusia dapat menimbulkan akibat yang merusak atau merugikan sehingga memenuhi
syarat untuk diminta pertanggungjawabannya (criminal liability).
Kelima, kejahatan versus pelaku. Hukum pidana dalam konteks teori maupun praktek
telah memisahkan antara kejahatan dan pelaku. Kejahatan bertalian dengan actus reus,
sedangkan pelaku berkaitan dengan mens rea. Keenam, perbuatan pidana versus
pembelaan. Ide dasar di balik perbuatan pidana versus pembelaan ialah ada tuduhan yang
menuntut tersangka, namun di sisi lain ada hal-hal yang membebaskan tersangka.
Penuntut umum akan mendakwa tersangka berdasarkan tuduhannya, sementara advokat
akan mengemukakan satu atau lebih pembelaan dalam merespon tuduhan tersebut.
Ketujuh, kesengajaan versus kelalaian. Sejak tradisi Roman yang memperkenalkan
istilah dolus (sengaja) dan culpa (lalai), membawa dampak atas berat ringannya pidana
yang dijatuhkan.
Kedelapan, pembelaan terpaksa versus keadaan darurat.
Kesembilan, relevansi versus kesesatan, hal ini terkait dengan kausalitas mengenai
sebab akibat suatu kejahatan.
Kesepuluh, percobaan versus delik selesai.
Kesebelas, pelaku versus pernyertaan (penyertaan dilakukan oleh lebih dari satu
orang, terlibat dalam aksi kejahatan dan membantu jalannya kejahatan).
Keduabelas, keadilan versus legalitas. Legalitas akan merujuk pada hukum positif,
sedangkan keadilan tidak semata-mata berdasarkan hukum positif tetapi juga moralitas.

ASAS LEGALITAS DAN PERBUATAN PIDANA

Asas Legalitas (Pasal 1 KUHP) tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas
kekuatan ketentuan undang-undang pidana. Artinya tiada pidana tanpa undang-undang
terlebih dahulu. Berkaitan dengan hal tersebut dapat dipahami bahwa perbuatan pidana
harus tertuang dalam undang-undang pidana.
Ada hal-hal yang menjadi poin penting dalam asas legalitas yaitu: Pertama, tiada
pidana tanpa undang-undang terlebih dahuu. Kedua, undang-undang yang dirumuskan
harus terperinci dan cermat atau lex certa. Dengan demikian undang-undang harus jelas.
Ketiga, larangan untuk menetapkan ketentuan pidana secara analogi “nullum crimen
noela poena sine lege stricta”. Keempat, aturan-aturan pidana tidak berlaku surut.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
suatu peristiwa yang menyebabkan seseorang dijatuhi hukuman. Elemen-elemen
perbuatan pidana yaitu:
1. Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat.
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
4. Unsur melawan hukum objektif.
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Terhadap elemen-elemen perbuatan pidana yang diutarakan oleh Moeljatno,


maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, perbuatan yang terdiri dari kelakuan atau tindakan dan akibat. Perlu
diingat bahwa tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada waktu yang sama.
Demikian pula tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada tempat yang sama.
Perhatikan ilustrasi berikut:
A tidak senang dengan B dan berniat membunuhnya. Pada malam tanggal 10
April 2014, ketika B sedang berjalan di tempat yang sepi tiba-tiba A memukul B
dengan balok kayu bertubi-tubi sehingga B terjatuh dan tidak sadarkan diri. Belum
merasa puas, A menusuk B dengan pisau di bagian dada dan perut kemudian
meninggalkannya. C yang kebetulan lewat dan melihat B tidak berdaya, segera
membawanya ke rumah sakit. Setelah dirawat selama 4 hari, B kemudian meninggal
dunia. Pertanyaan sederhana dari kasus tersebut, kapan A membunuh B?
Pertanyaan tersebut tampaknya sederhana untuk dijawab, namun
sesungguhnya cukup kompleks. Kita tidak dapat mengatakan bahwa pembunuhan A
terhadap B terjadi pada tanggal 10 April 2014, karena saat itu tidak ada akibat mati.
Demikian pula kita tidak dapat mengatakan bahwa pembunuhan A terhadap B adalah
pemukulan dan penusukkan sedangkan kedua tindakan tersebut tidak terjadi pada
tanggal 14 April 2014. Dalam kata “perbuatan” ada dua hal yaitu kelakuan sebab dan
akibat, maka jawaban yang benar adalah pembunuhan A terhadap B dimulai dengan
tindakan pemukulan dan penusukan yang terjadi pada tanggal 10 April 2014 yang
menimbulkan akibat mati pada tanggal 14 April 2014. Dengan demikian tindakan dan
akbat merupakan satu rangkaian dalam perbuatan yang tidak bisa dipisahkan.
Contoh lain: X yang tidak senang dengan Y berniat membunuhnya. Pada
tanggal 5 september 2014, X yang sedang berada di kota A, dengan menggunakan
senjata laras panjang menembak Y yang sedang berada di kota B dan mati seketika.
Pertanyaan dari kasus tersebut, di manakah X membunuh Y? Sama dengan jawaban
pada ilustrasi soal sebelumnya, dengan mengingat perbuatan mengandung tindakan
dan akibat, maka jawaban yang benar adalah pembunuhan X terhadap Y dimulai
dengan penembakan di kota A yang menimbulkan akibat di kota B.
Kedua, hal ikhwal yang menyertai perbuatan. Pasal 345 KUHP berbunyi,
“Barangsiapa mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu atau memberi seorang kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun kalau orang itu bunuh diri”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diberi
contoh sebagai berikut:
Jika A menganjurkan atau mendorong B untuk bunuh diri, kemudian B
melakukan bunuh diri, namun tidak mengakibatkan mati, maka A tidak dapat
dipidana dengan pasal tersebut. Sebaliknya, jika B benar-benar bunuh diri dan
berakibat mati, maka A dapat dijerat dengan pasal tersebut karena menghasut orang
bunuh diri. Matinya seseorang karena bunuh diri akibat dorongan atau hasutan orang
lain adalah hal ikhwal yang menyertai perbuatan.
Ketiga, keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Contoh konkret elemen
ini adalah ketentuan Pasal 351 KUHP yang berbunyi:
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
Ketentuan Pasal 351 ayat (2) yang mengakibatkan luka-luka berat dan Pasal
351 ayat (3) yang mengakibatkan kematian adalah keadaan tambahan yang
memberatkan.
Keempat, unsur melawan hukum yang objektif adalah perbuatan nyata yang
secara kasat mata memenuhi unsur delik. Kelima, unsur melawan hukum yang
subjektif adalah niat atau sikap batin dari pelaku. Dapatlah dikatakan bahwa untuk
bisa dijatuhi pidana maka seorang pelaku harus memenuhi kedua unsur tersebut, baik
objektif maupun subjektif. Kedua unsur tersebut bersifat mutlak, unsur melawan
hukum subjektif hanya dapat diketahui dengan adanya unsur melawan hukum
objektif.

UNSUR-UNSUR DAN JENIS-JENIS DELIK

Unsur delik hanya dapat ditemukan dalam isi peraturan. Adakalanya perbuatan
seseorang telah memenuhi unsur delik, namun sebenarnya ia tidak dapat dipidana
karena melakukan delik tersebut karena tidak termasuk dalam pengertian yang
dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Oleh karena itu Vos dalam Leerboek-
nya membedakan pengertian delik sebagai tatbestandmassigkeit dan delik sebagai
wesenchau. Secara sederhana tatbestandmassigkeit dapat diartikan perbuatan yang
memenuhi unsur delik yang dirumuskan, sedangkan wesenchau mengandung makna
suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur delik tidak hanya karena perbuatan
tersebut telah sesuai dengan rumusan delik tetapi perbuatan tersebut juga
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
Contoh: A,B, dan C berniat mencuri uang. Setiap hari mereka mengamati
sebuah mobil yang keluar dari Bank Indonesia dengan penjagaan ketat oleh polisi.
Suatu ketika, mobil tersebut lewat dijalan yang sepi. A, B, dan C kemudian
menyergap mobil tersebut dan berhasil melumpuhkan polisi yang berada di dalam
mobil tersebut. Setelah disergap A,B, dan C bergegas mengambil uang yang berada di
dalam mobil Bank Indonesia sebanyak 100 miliar rupiah.
Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi, “Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Sekilas perbuatan A, B, C telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi
sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1), akan tetapi pembentuk undang-undang
tidak bermaksud untuk menyatakan perbuatan yang demikian sebagai tindak pidana
korupsi. Tegasnya perbuatan A,B, dan C adalah tatbestandmassigkeit memenuhi
unsur tindak pidana korupsi, tetapi tidak dimaksudkan oleh pembentuk undang-
undang atau tidak wesenchau sebagai tindak pidana korupsi. Sehingga, A,B, dan C
tidak dapat dikatakan telah melakukan korupsi. Dengan demikian, A,B, dan C dituntut
karena pencurian dengan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 ayat (1)
KUHP dan tidak dituntut telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Jenis-jenis Delik ialah sebagai berikut:
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Dalam perspektif hukum pidana, legal definition of crime dibedakan
menjadi apa yang disebut sebagai mala in se (kejahatan) dan mala
prohibita (pelanggaran). Pembagian perbuatan pidana ke dalam kejahatan
dan pelanggaran membawa beberapa konsekuensi sebagai berikut:
Pertama, tindakan dan akibat yang ditimbulkan kejahatan lebih berbahaya
bila dibandingkan dengan pelanggaran. Kedua, konsekuensi dari yang
pertama, sangat berpengaruh pada sanksi yang diancamkan. Kejahatan
diancamkan lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. Ketiga,
percobaan melakukan suatu kejahatan, maksimum ancaman pidanannya
dikurangi sepertiga, sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak
diancam pidana.
2. Delik Formil dan Delik Materiil
Delik formil adalah delik yang menitikberatkan pada tindakan,
sedangkan delik materiil adalah delik yang menitikberatkan pada akibat.
3. Delicta Commissionis, Delicta Omissionis, dan Delicta Commissionis Per
Ommisionem Commisa
Delik komisi pada hakikatnya adalah melakukan perbuatan yang
dilarang dalam undang-undang termasuk juga dalam KUHP berupa delik
komisi karena berisi larangan-larangan untuk melakukan suatu perbuatan.
Kebalikan dari delicta commisionis adalah delicta ommisionis atau delik
omisi yaitu tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan atau diharuskan
oleh undang-undang. Delicta omissionis didasarkan pada suatu adagium
qui potest et debet vetara, tacens jubet, artinya seseorang yang berdiam,
tidak mencegah atau tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan, sama
saja seperti ia yang memerintahkan. Contoh konkret dari delicta
omissionis adalah Pasal 224 KUHP: “Barangsiapa dipanggil sebagai saksi,
ahli, atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak
memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian
harus dipenuhinya, diancam…” Bila seseorang dipanggil sebagai saksi dan
tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka orang tersebut telah melakukan
delik omisi. Sedangkan delicta commissionis per ommisionem commisa
ialah delik karena kelalaian atau kesengajaan terhadap suatu kewajiban
yang menimbulkan akibat.
4. Delik Konkret dan Delik Abstrak
Delik abstrak misalnya seperti Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
Berdasarkan pasal tersebut, terlihat jelas bahwa delik abstrak dirumuskan
secara formal dan tidak mementingkan akibat. Demikian pula bahaya yang
ditimbulkan dari pasal tersebut masih abstrak karena orang yang dihasut
belum tentu melakukan perbuatan-perbuatan yang diminta oleh penghasut.
Pasal lain yang dikategorikan dalam delik abstrak adalah pasal-pasal
penyebar kebencian yang termaktub dalam Pasal 154 KUHP sampai
dengan Pasal 157 KUHP.
5. Delik Umum, Delik Khusus dan Delik Politik
Delik umum delicta communia adalah delik yang dapat dilakukan oleh
semua orang. Delik Khusus atau delicta propria adalah delik yang hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kualifikasi tertentu contohnya
seperti Pasal 449 KUHP yang dikhususkan untuk nahkoda atau kejahatan
jabatan yang diatur dalam KUHP. Delik politik merupakan kejahatan
politik seperti political refugee adalah mereka melarikan diri keluar negeri.
6. Delik Merugikan dan Delik Menimbulkan Keadaan Bahaya
Delik merugikan adalah delik yang mengganggu kepentingan individu,
seperti membunuh, mencuri, memperkosa dll. Sedangkan delik
menimbulkan bahaya adalah delik yang mengakibatkan bahaya terutama
bagi negara seperti perlawanan terhadap negara yang mengancam bahaya
suatu negara.
7. Delik Berdiri Sendiri dan Delik Lanjutan
Pada hakikatnya semua delik adalah delik yang berdiri sendiri. Akan
tetapi apabila delik-delik tersebut dilakukan secara terus menerus dapat
disebut sebagai delik lanjutan. Delik lanjutan seperti tertera dalam Pasal 64
ayat (1) KUHP.
8. Delik Persiapan, Delik Percobaan, Delik Selesai dan Delik Berlanjut
Delik persiapan berbeda dengan delik percobaan. Delik persiapan
ditujukan untuk delik yang menimbulkan bahaya akan tetapi tidak
memenuhi delik unsur-unsur percobaan. Contohnya seperti Pasal 88
KUHP tentang Pemufakatan Jahat. Delik Percobaan sudah lebih mendekati
rumusan delik yang dituju akan tetapi delik tersebut tidak selesai karena
sesuatu yang terjadi di luar kehendak pelaku. Contohnya seperti Pasal 53
ayat (1) KUHP tentang Percobaan. Delik selesai adalaj perbuatan yang
telah memenuhi semua rumusan delik dalam suatu ketentuan pidana. Delik
Berlanjut adalah perbuatan yang menimbulkan suatu keadaan yang
dilarang secara berlanjut. Seperti Pasal 333 ayat (1) KUHP. Contoh lain
Pasal 250 KUHP.
9. Delik Tunggal dan Delik Gabungan
Delik Tunggal adalah delik yang pelakunya dapat dipidana hanya
dengan satu kali saja melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak
melakukan perbuatan yang diwajibkan. Delik gabungan adalah delik yang
membutuhkan lebih dari satu kali perbuatan. Delik gabungan terjadi
apabila dilakukan secara terus menerus.
10. Delik Biasa dan Delik Aduan
Sebagian besar delik-delik dalam KUHP adalah gewone delic atau
delik biasa. Artinya untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-
perkara tersebut tidak dibutuhkan pengaduan. Sebaliknya, ada beberapa
delik yang membutuhkan pengaduan untuk memproses perkara tersebut
lebih lanjut. Bahkan secara eksplisit syarat pengaduan tersebut dinyatakan
secara eksplisit dinyatakan dalam pasal.
Paling tidak ada tiga bab dalam KUHP yang berkaitan dengan delik aduan.
Pertama, Bab XVI KUHP tentang penghinaan. Kedua, kejahatan-
kejahatan pencurian, pemerasan, serta penggalapan. Ketiga, kejahatan
terhadap kesusilaan.
Ketentuan mengenai delik aduan secara eksplisit diatur dalam Bab VII
KUHP yang pada intinya: Pertama, pengaduan hanya dapat dilakukan
korban langsung atau jika korban belum cukup umur atau dibawah
pengampuan, maka pengaduan dilakukan oleh orang tua/ walinya. Kedua,
jika korban meninggal dunia, pengaduan dapat dilakukan oleh suami atau
istri atau anak yang masih hidup, kecuali kalau korban yang meninggal
tidak menghendaki penuntutan. Ketiga, pengaduan hanya dapat dilakukan
dalam enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya
kejahatan dan tinggal di Indonesia. Jika orang yang berhak mengadu
bertempat tinggal di luar negeri, maka jangka waktu pengaduan adalah
sembilan bulan. Keempat, orang yang mengajukan pengaduan, berhak
menarik kembali pengaduan dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan
diajukan. Artinya setelah lebih dari tiga bulan, pengaduan tidak dapat
ditarik kembali dan perkara tetap diproses lebih lanjut. Pada dasarnya
semua kejahatan dalam KUHP yang menghendaki pengaduan bersifat
relatif, kecuali terhadap kejahatan perzinahan karena pengaduan
perzinahan tersebut bersifat absolut.
11. Delik Sederhana dan Delik Terkualifikasi
Delik sederhana adalah delik dalam bentuk pokok sebagaimana
dirumuskan oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan delik-delik
terkualifikasi adalah delik-delik dengan pemberatan karena keadaan-
keadaan tertentu.
12. Delik Kesengajaan dan Delik Kealpaan
Sengaja atau opzet atau dolus dan alpa atau schuld atau culpa adalah
bentuk-bentuk kesalahan dalam hukum pidana. Konsekuensi dari bentuk-
bentuk kesalahan ini berimplikasi pada berat-ringannya pidana yang
diancamkan. Ada pula rumusan delik yang menghendaki bentuk kesalahan
berupa kesengajaan dan kealpaan dalam suatu rumusan delik yang disebut
dengan istilah pro parte dolus pro parte culpa yang dapat diartikan
sebagian kesengajaan untuk sebagian kealpaan. Contoh konkret adalah
Pasal 480 ke-1 KUHP. Kata-kata “diketahui” menandakan bentuk
kesalahan berupa kesengajaan, sedangkan kata-kata “sepatutnya diduga”
menandakan bentuk kesalahan berupa kealpaan.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan psikis seseorang untuk dapat


mengerti akibat sungguh-sungguh dari perbuatan tersebut, serta mampu untuk menentukan
kehendak berbuat, sehingga seseorang dapat bertanggungjawab atas tindakan yang
dilakukannya.
Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan atau Asas Kesalahan mengandung pengertian
bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
hukum pidana yang berlaku, tidak dapat dipidana oleh karena ketiadaan kesalahan dalam
perbuatannya tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tiada pidana tanpa kesalahan.
Elemen-elemen dari kesalahan meliputi: Pertama, kemampuan bertanggung jawab.
Kedua, hubungan psikis pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Hubungan psikis ini
melahirkan dua bentuk kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Sedangkan kesalahan
dalam arti sempit adalah kealpaan yang merupakan salah satu bentuk dari kesalahan itu
sendiri. Ketiga, tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana berupa alasan
pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan dan alasan pemaaf yang
menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku.

KESALAHAN

Elemen pertama dari kesalahan adalah kemampuan bertanggungjawab. Dalam


memberikan definisi terkait pertanggungjawaban, seperti yang telah diuraikan di atas, van
Hamel telah memberi ukuran mengenai kemampuan bertanggungjawab yang meliputi tiga
hal:

1. Mampu memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatannya.


2. Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban
masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan kehendak berbuat.

Dalam hal ini kemampuan tersebut bersifat kumulatif. Artinya, salah satu saja
kemampuan bertanggung jawab tidak terpenuhi, maka seseorang dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh, seorang kasir bank ditodong dengan senjata api
oleh perampok untuk menyerahkan uang yang ada di brankas bank tersebut. Kasir tersebut
memahami akibat perbuatannya dan menginsyafi perbuatan tersebut bertentangan dengan
hukum, namun kasir tersebut tidak mampu menentukan kehendak berbuat karena di bawah
todongan senjata api, dengan demikian kasir tersbut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP tidak dirumuskan secara positif, melainkan
dirumuskan secara negatif berdasarkan Pasal 44 KUHP.

Kesengajaan

Menurut sejarah pembentukan KUHP (Memorie van Toelichting) di Twee de Kammer


(Parlemen Belanda) sebagaimana yang dikutip Pompe, syarat kesengajaan adalah
menghendaki dan mengetahui. Kedua syarat tersebut bersifat mutlak. Kesengajaan dapat
dihukum walaupun kehendak atau tujuannya tidak tercapai.

Ada empat jenis perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan.
1. Kesesatan Fakta (Feitelijke Dwaling), ialah suatu kekeliruan yang dilakukan dengan
tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Contohnya,
seorang menggunakan surat untuk suatu keperluan, tetap dia tidak mengetahui bahwa
isi surat tersebut tidak sesuai dengan faktanya. Orang ini tidak dapat dipidana karena
menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP,
karena dia tidak mengetahui bahwa surat tersebut adalah palsu.
2. Kesesatan Hukum (Rechtdwaling), yaitu suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu
tidak dilarang oleh undang-undang. Pada dasarnya kesesatan hukum ini tidak
menghapus tuntutan pidana. Hal ini didasarkan pada adagium ignorantia leges
excusat neminem yang berarti ketidaktahuan akan hukum bukan merupakan alasan
pemaaf. Hal ini karena setiap orang dianggap tahu akan hukumnya (nemo ius
ignorare consetur). Antara kesesatan fakta dan kesesatan hukum berlaku adagium
regula est, juris quidem ignorantiam cuigue nocere, facti vero ignorantiam non
nocere. Artinya, kesesatan hukum tidak dapat membebaskan seseorang dari hukuman,
namun tidak demikian dengan kesesatan fakta. Konsekunesi lebih lanjut, kesesatan
fakta masih dapat membebaskan seseorang dari hukuman. Tegasnya, kesesatan fakta
termasuk dalam alasan penghapus pidana.
3. Error in Persona yakni kekeliruan mengenai orang yang hendak menjadi tujuan dari
perbuatan pidana. (Meyakini Seseorang tersebut adalah target/kehendak dari
perbuatan pidana yang dilakukannya).
4. Error in Objecto, yakni kekeliruan mengenai objek yang hendak menjadi tujuan dari
perbuatan pidana. (Meyakini Objek tersebut adalah target/kehendak dari perbuatan
pidana yang dilakukannya).

Aberratio Actus yaitu kekeliruan yang timbul karena berbagai hal sehingga akibat
yang timbul berbeda atau berlainan dari yang dikehendaki. Contohnya, Ketika A hendak
membunuh B dengan cara menembakkan peluru yang ada pada senjata apinya, namun saat
peluru tersebut ditembakan, B berhasil menghindar dan mengenai C. Terhadap A tetap
dijatuhi pidana meskipun tidak menghendaki kematian C.

Jenis-Jenis Kesengajaan
1. Kesengajaan Sebagai Maksud
2. Kesengajaan Sebagai Kepastian
3. Kesengajaan Sebagai Kemungkinan
4. Dolus Eventualis
5. Kesengajaan Berwarna
6. Kesengajaan Tidak Berwarna
7. Kesengajaan Diobjektifkan
8. Dolus Directus
9. Dolus Indirectus
10. Dolus Determinatus
11. Dolus Indeterminatus
12. Dolus Alternativus
13. Dolus Generalis
14. Dolus Repentinus
15. Dolus Premeditatus
16. Dolus Antecedens
17. Dolus Subsequens
18. Dolus Malus

Baca 172-182 PRINSIP-PRINSIP HUKUM PIDANA EDISI REVISI, Eddy O.S. Hiariej

Kesengajaan dalam Rumusan Delik

Kesengajaan dalam rumusan delik dinyatakan secara eksplisit. Akan tetapi tidak selamanya
rumusan delik mencantumkan kata-kata “dengan sengaja”. Ada beberapa kata yang
mengganti kata tersebut seperti:
1. Mengetahui
2. Dengan Maksud
3. Dengan Tujuan

Poin penting mengenai kesengajaan, ada-tidaknya penyebutan unsur kesengajaan dalam


rumusan delik mempunyai arti penting dalam konteks pembuktian. Jika suatu rumusan delik
menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan secara eksplisit, maka penuntut umum harus
membuktikan kesengajaan tersebut. Sebaliknya, jika dalam suatu rumusan delik tidak
menuyebutkan bentuk kesalahan kesengajaan secara eksplisit, maka dengan dapat
dibuktikannya unsur-unsur delik, bentuk kesalahan berupa kesengajaan dianggap telah
terbukti dengan sendirinya.

Kealpaan

Kealpaan terdiri dari dua bentuk yaitu:


1. Culpa Subjektif lebih menitikberatkan pada keadaan individu. Sebagai contoh polisi
mengejar pelaku kejahatan lalu menembakkan peluru, akan tetapi pelaku kejahatan
berhasil menghindar dan peluru tersebut mengenai orang lain. Dalam hal ini dilihat
dari sisi individu bahwa polisi tersebut seharusnya mengikuti Pendidikan khusus
menembak sehingga peluru tidak salah sasaran.
2. Culpa Objektif menitikberatkan pada perbuatan lahir secara objektif. Contohnya
pengemudi dijalan tidak berlaku santun sehingga mengakibatkan kecelakaan, maka
pelaku secara objektif tidak berhati-hati.
MELAWAN HUKUM

Postulat contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis
verbis legis, sententiam ejus circumuenit, maka dapat diartikan bahwa seseorang dinyatakan
melawan hukum ketika perbuatan hukum yang dilakukan adalah suatu perbuatan yang
dilarang oleh hukum.
Dalam hal ini pengertian “hukum” dalam frase “melawan hukum” meliputi: Pertama,
hukum tertulis atau objectief recht. Kedua, hak seseorang atau subjectief recht. Ketiga, tanpa
kekuasaan atau tanpa kewenangan. Hal ini berdasarkan Putusan Hoge Raad 18 Desember
1911 W. Nr. 9263.Keempat, hukum tidak tertulis. Dalam konteks hukum di Indonesia
termasuk dalam hukum tidak tertulis adalah hukum adat norma-norma lainnya yang
terkandung dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dijabarkan beberapa hal penting mengenai
konsep melawan hukum yaitu: Pertama, melawan hukum adalah syarat umum dapat
dipidananya suatu perbuatan sehingga tidak perlu dimasukkan dalam rumusan delik. Kedua,
jika melawan hukum dimasukkan ke dalam rumusan delik, maka akan memberikan pekerjaan
tambahan bagi penuntut umum untuk membuktikannya di pengadilan. Ketiga, jika kata-kata
“melawan hukum” dimasukkan ke dalam rumusan delik, maka penafsirannya terlampau luas
sehingga bertentangan dengan prinsip lex certa (ketentuan pidana harus jelas) dan lex scricta
(ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat) sbagai prinsip-prinsip yang terkandung
dalam asas legalitas.
Pompe menyatakan bahwa arti wederrechtelijk (sifat melawan hukum dalam pidana)
sesuai dengan arti onrechtmatige daad (perbuatan melanggar hukum dalam hukum perdata)
dengan merujuk pada putusan Hoge Raad, 31 Januari 1919. Menurut putusan Hoge Raad
yang dimaksud dengan melawan hukum (onrechtmatige daad) ialah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu perbuatan yang:
a. Melanggar hak orang lain
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum yang melakukan perbuatan tersebut
c. Bertentangan dengan kesusilaan, serta asas-asas pergaulan dalam masyarakat.

ALASAN PENGHAPUS PIDANA

Alasan Penghapus Pidana Umum Menurut Undang-Undang

Alasan penghapus pidana umum menurut undang-undang terdapat dalam Pasal 44, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 KUHP. Berikut alasan penghapus pidana umum menurut
undang-undang:
1. Tidak Mampu Bertangung Jawab

Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP dapat ditarik beberapa kesimpulan.


Pertama, kemampuan bertanggung jawab dilihat dari sisi si pelaku berupa keadaan
akal atau jiwa yang cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit. Kedua,
penentuan kemampuan bertanggung jawab dalam konteks yag pertama harus
dilakukan oleh seorang psikiater. Ketiga, ada hubungan kausal antara keadaan jiwa
dan perbuatan yang dilakukan. Keempat, penilaian terhadap hubungan tersebut
merupakan otoritas hakim yang mengadili perkara. Kelima, sistem yang dipakai
dalam KUHP adalah deskriptif normatif karena di satu sisi menggambarkan keadaan
jiwa oleh psikiaterm namun di sisi lain secara normatif hakim akan menilai hubungan
antara keadaan jiwa dan perbuatan yang dilakukan.

2. Daya Paksa

Pasal 48 KUHP menyatakan”Barangsiapa melakukan perbuatan karena


pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Daya paksa (overmacht) adalah keadaan
terpaksa yang tidak ditahan oleh hukum, artinya perbuatan yang dilarang oleh hukum,
namun dilakukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan tersebut dainggap sah.

3. Keadaan Darurat

Keadaan darurat digolongkan sebagai daya paksa, dan merupakan alasan pembenar.
Artinya, perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan darurat menghapuskan
elemen melawan hukumnya perbuatan.

Dalam keadaan darurat ada tiga kemungkinan, yaitu:


a. Pertentangan antara dua kepentingan. Contohnya seperti kasus Papan
Carneades mengenai dua orang tenggelam yang berebut papan untuk dapat
bertahan hidup dilaut. Kepentingan tersebut berkaitan dengan nyawa seseorang.
b. Pertentangan antara kepetingan dan kewajiban. Contohnya seperti seseorang
yang tidak makan beberapa hari akhirnya mencuri roti di toko roti, menurut
Moeljatno disatu sisi ada kepentingan yang mendesak seperti kelaparan, disisi lain
ada kewajiban untuk menaati aturan dilarang mencuri.
c. Pertentangan antara kewajiban dan kewajiban. Contohnya seperti seseorang
dipanggil sebagai saksi di Pengadilan, namun pada saat yang sama orang tersebut
juga mendapat panggilan sebagai saksi di Pengadilan lain.

4. Pembelaan Terpaksa

Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP merupakan alasan pembenar


dan diatur pada Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan, “Barangsiapa terpaksa
melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman
serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain,
terhadap kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.
Pembelaan terjadi pada saat itu juga, tidak ada selang waktu lama. Tegasnya, begitu
ada serangan seketika ada pembelaan. Syarat yang lain yaitu pembelaan adalah
keharusan. Artinya tidak ada lagi jalan lain untuk menghindar dari serangan tersebut.
5. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas merupakan alasan pemaaf. Artinya,


elemen dapat dicelanya pelaku dihapuskan. Dalam hal ini pembelaan terpaksa
disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu. (Pasal 49 ayat (2) KUHP).

6. Melaksanakan Perintah Undang-Undang

Pasal 50 KUHP merupakan ketentuan yang berisi pertentangan antara dua


kewajiban hukum. Dengan demikian, melaksanakan perintah undang-undang
merupakan alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan hukumnya
perbuatan.

7. Perintah Jabatan

Pasal 51 ayat (1). Perintah jabatan yang dikeluarkan oleh yang berwenang
memberi hak kepadayang menerima perintah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbaut
sesuatu. Degan demikian hak ini menghapuskan elemen melawan hukumnya
perbuatan, sehingga dimasukkan sebagai alasan pembenar.

8. Perintah Jabatan Tidak Sah

Pasal 51 ayat (2). Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan


hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa
perintah yang diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya dalam lingkup
pekerjaannya.

Alasan penghapus pidana umum di luar undang-undang terdiri dari:


1. Izin
2. Error Facti (Kesesatan dalam Fakta)
3. Error Juris (Kesesatan Hukum)
4. Tidak Ada Sifat Melawan Hukum Materiil
5. Hak Jabatan
6. Mewakili urusan orang lain
Secara lengkap ada di Bab V di buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana

Alasan Penghapus Pidana Khusus


Alasan penghapus pidana khusus adalah alasan penghapus pidana yang hanya berlaku pada
delik-delik tertentu. Beberapa Pasal yang merupakan alasan penghapus pidana khusus antara
lain : Pasal 221 ayat (2) KUHP dan Pasal 310 ayat (3) KUHP.

Alasan Penghapus Pidana Putatif

Alasan penghapus pidana putatif adalah seseorang yang mengira telah berbuat sesuatu dalam
daya paksa atau dalam keadaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam
melaksanakan perintah jabatan yang sah, namuun kenyataannya tidak deikian. Pelaku yang
demikian tidak dapat dijatuhi pidan ajika dapat dibuktikan bahwa dalam keadaan yang
demikian pelaku bertindak secara wajar. Dalam hal ini ada kesesatan yang dialami
Sebagai contoh A meliha B ditodong pistol oleh C. Dengan tangkas A menendang C hingga
terjatuh. Ternyata C adalah teman akrab B yang bersenda gurau sehingga pistol yang
digunakan hanyalah pistol mainan. A dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana
berdasarkan pembelaan terpaksa yang putatif

PIDANA DAN PEMIDANAAN

A. Pidana Pokok
Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.
1. Pidana Mati
Crimina mortte extinguuntur: kejahatan dapat dimusnahkan dengan hukuman
mati. Mors omnia solvit: hukuman mati menyelesaikan perkara. Pidana mati
sebagai pemberian efek jera dan penyeimbang terhadap korban. Ancaman pidana
mati hanya ditujukan untuk kejahatan luar biasa seperti korupsi, terorisme,
narkotika, dan pelanggaran berat hak asasi manusia atau terhadap kejahatan
terencana yang di luar batas-batas kemanusiaan
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana perampasan kemerdekaan yang hanya boleh
diatuhkan oleh hakim melalui putusan pengadilan. Execution est execution juris
secundum judicium: penjatuhan pidana merupakan penerapan hukum berdasarkan
putusan.
3. Pidana Kurungan
Pidana kurungan ditujukan kepada perbuatan pidana yang dikualifikasikan pada
pelanggaran. Berdasarkan Pasal 18 KUHP, pidana kurungan paling sedikit satu
hari dan paling lama satu tahun. Jika terjadi pemberatan pidana yang disebabkan
karena perbarengan atau pengulangan, maka pidana kurungan dapat ditambah
menjadi satu tahun empat bulan sebagai batas maksimum dan tidak boleh
melewati angk tersebut.
4. Pidana Denda
Jika pidana denda tidak dibayar, maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Hal
ini sesuai dengan adagium qui non potest solver in aere, luat in corpore. Artinya
siapa tidak mau membayar, maka harus melunasinya dengan derita badan.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan diatur berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan. Pidana tutupan ditujukan bagi pelaku kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara, namun motivasi dalam melakukan kejahatan tersebut patut
dihormati. Terpidana yang menjalani pidana tutupan, wajib menjalankan
pekerjaan. Demikian pula semua peraturan yang terkait pidana penjara juga
berlaku bagi pidana tutupan. Pidana tutupan ditujukan untuk pelaku kejahatan
politik.

B. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
b. Hak memasuki angkatan bersenjaa.
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
Undang-Undang
d. Hak menjadi penasihat hukum, wali, wali pengawas, pengampu, pengampu
pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri
e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampu
atas anak sendiri.
f. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
2. Perampasan barang-barang tertentu
a. Perampasan dalam arti penyitaan terhadap barang yang digunakan untuk
melakukan perbuatan pidana atau instrumentum sceleris.
b. Perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap objek yang berhubungan
dengan perbuatan pidana atau objectum sceleris.
c. Perampasan dalam arti penyitaan terhadap hasil perbuatan pidana atau fructum
sceleris.
3. Pengumuman putusan Hakim
Pengumuman hakim secara langsung menyentuh nama baik dan martabat
terpidana. Pengumuman hakim berdasarkan KUHP atau aturan-aturan lain.

C. Pidana Bersyarat dan Pelepasan Bersyarat

Pidana bersyarat atau pidana percobaan diatur di dalam KUHP dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Pidana bersyarat hanya dapat dijatuhkan terhadap pidana penjara atau kurungan
paling lama satu tahun. Akan tetapi pidana bersyarat tidak dapat diberikan
terhadap kurungan pengganti
2. Terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat, dalam putusannya hakim dapat
memerintahkan bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari
ada putusan hakim yang menentukan lain, sebab terpidana melakukan suatu tindak
pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan.
3. Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam Pasal 492 KUHP terkait
pelanggaran keamanan umum bagi orang tua atau barang dan Kesehatan, Pasal
504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan Pasal 506 KUHP tentang pelanggaran
ketertiban umum dan Pasal 536 KUHP terkait pelanggaran kesusilaan, paling
lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun.
4. Masa percobaan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap
5. Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah
6. Jika terpidana dijatuhi pidana denda, maka hakim menetapkan syarat khusus
bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih singkat daripada masa
percobaannya, harus mengganti seluruh atau Sebagian kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidananya.
7. Jika terpidana yag dijatuhi pidana bersyarat melanggar syarat-syarat yang telah
ditentukan, maka hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama dapat
memerintahkan supaya pidananya dijalankan.
8. Jika terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana, maka terpidana
selain menjalani pidana terdahulu juga menjalani pidana yang baru.
9. Setelah masa percobaan hais, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat
dierikan lagi, kecuali terpidana melakukan tindak pidana dalam masa percobaan
dan peuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidaan yang menjadi tetap
Pelepasan bersyarat:
1. Narapidana yang berhak mendapatkan pelepasan bersyarat adalah jika yang
bersangkutan telah menjalani 2/3 dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya atau sekurang-kurangnya harus 9 bulan.
2. Ketika memberkan pelepasan bersyarat, ditentukan pula masa percobaan serta
ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
3. Masa percobaan lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belumm
dijalani, ditambah satu tahun.
4. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa narapidana tidak akan
melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik.
5. Selama masa percobbaan syarat-syarat dapat diubah atau dihapus atau dapat
diadakan syarat-syarat baru dan juga pengawasan khusus.
6. Jika melanggar ketentuan pelepasan bersyarat selama masa percobaan maka
pelepasan bersyarat dicabut.
7. Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat
dicabut kembali, kecuali bila sebelum waktu tiga bulan berlalu, narapidana
dituntut karena melakukan perbuatan pidana dalam masa percobaan, dan tuntutan
berakhir dengan putusan pidana yang tetap.

WAKTU DAN TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN PIDANA

Permasalahan mengenai waktu (tempus delicti) dan tempat perbuatan pidana (locus
delicti) adalah persoalan yang nampaknya sederhana, namun tidak demikian. Ketika penuntut
umum tidak menyebutkan atau salah menentukan waktu dan tempat terjadinya tindak pidana
maka akan berakibat fatal pada surat dakwaan.
Hal ini berdasarkan pada Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang berbunyi
“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidan aitu dilakukan”. Selanjutnya Pasal 143
ayat (3) KUHAP menyebutkan “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.

A. Tempus Delicti

Waktu terjadinya tindak pidana memilik arti penting yaitu:


1. Apakah pada saat perbuatan itu terjadi, perbuatan tersebut telah
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana?
2. Apakah saat melakukan perbuatan pidana, terdakwa , mampu atau tidak
mampu bertanggung jawab?
3. Terkait kedaluwarsa dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi, akan
tetapi ada beberapa kejahatan yang perhitungan daluwarsanya tidak demikian.
4. Apakah pada saat dilakukan perbuatan pidana tersebut ada keadaan-keadaan
tertentu yang dapat memperberat pidana.

Selain empat poin diatas, hal penting yang perlu dipahami mengenai waktu
terjadinya tindak pidana ialah sebaiknya waktu dibedakan; antara waktu perbuatan
itu dilakukan dan waktu ketika perbuatan itu selesai dilakukan atau akibat dari
perbuatan itu terjadi.

Dalam hal dakwaan beberapa poin penting mengenai tempus delicti yaitu:
1. Perbuatan terdiri dari dua segi yaitu tindakan atau kelakuan dan akibat
2. Tindakan atau kelakuan dan akibat adalah suatu rangkaian peristiwa sebagai
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
3. Untuk menjerat pelaku, tanggal terjadinya tindakan atau kelakuan dan tanggal
terjadinya akibat harus disebut dengan jelas untuk menghindari celah hukum
yang dapat digunakan pelaku untuk menangkis dakwaan.
4. Untuk keperluan kedaluwarsa dan hak penuntutan, tempus delictinya sesudah
terjadi akibat.
5. Unuk keperluan apakah aturan pidana berlaku ataukah tidak (asas legalitas)
tempus delictinya adalah saat tindakan atau kelakuan itu terjadi.

B. Locus Delicti

Dalam konteks Indonesia, locus delicti sangat menentukan apakah hukum


pidana Indonesia berlaku ataukah tidak terhadap suatu tindak pidana yang terjadi.
Crimen trahit personam: tempat dimana kejahatan itu dilakukan, memberikan
pengadilan setempat untuk mengadili pelakunya. Dalam hal ini berbicara
mengenai kompetensi pengadilan dalam hukum pidana.
Kalau kompetensi relatif terkait locus delicti, maka kompetensi absolut
berhubungan dengan pelaku dan substansu suatu perbuatan pidana. Sebagai
missal, beberapa orang yang terdiri dari warga sipil dan anggota militer aktif
melakukan perampokan disuatu bank. Apakah pengadilan umum ataukah
pengadilan militer? Dalam konteks ini kompentensi pengadilan militer merupakan
kompetensi absolut. Dengan demikian warga sipil diadili di pengadilan umum,
sedangkan pelaku yang merupakan anggota militer diadili oleh pengadilan militer.

1. Teori-Teori Locus Delicti

a. Teori perbuatan materiil atau perbuatan jasmaniah (leer der


lichamelijk)
Menurut teori ini, locus delicti adalah tempat di mana tindakan atau
kelakuan terjadi.
b. Teori instrument (leer van instrument)
Menurut teori ini, locus delicti ditentukan oleh alat yang dipergunakan
dan dengan alat itu, perbuatan pidana diselesaikan. Teori instrument ini
sangat berarti dalam kejahatan-kejahatan yang modus operandinya
canggih atau terjadi pada lintas batas. Contoh seperti cyber crime.
c. Teori akibat
Teori ini menjelaskan bahwa locus delicti ada pada tempat di mana
akibat perbuatan pidana itu terjadi.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk delik-delik formil


menggunakan teori perbuatan materiil karena lebih mudah menentukan
locus delictinya. Sedangkan untuk delik-delik materiil, teori yang
digunakan adalah teori akibat karena delik materiil menitikberatkan
pada akibat. Dalam hal menghindari celah hukum, maka tempat
terjadinya tindakan atau kelakuan maupun tempat terjadinya akibat
disebutkan secara tegas, tidak terpisahkan.

2. Asas Teritorial

Pasal 2 KUHP, “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia


berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalamm
Indonesia”.

a. Perluasan Asas Teritorial Prinsip Teknis


Perluasan teknis dibagi menjadi prinsip teritorial subjektif dan
objektif. Prinsip teritorial subjektif membenarkan negara mempunyai
kompetensi mengadili atas perbuatan yang mulai dilakukan di
wilayahnya tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di wilayah negara
lain. Sedangkan prinsip teritorial objektif membenarkan negara
mempunyai kompetensi mengadili atas perbuatan yang mulai
dilakukan di negara lain tetapi menimbulkan akibat di wilayahnya.
Contoh di buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana

b. Perluasan Asas Teritorial Prinsip Kewarganegaraan


1) Asas Nasional Aktif (Asas Personalitas)
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan
pidana yang dilakukan oleh warga negara di mana saja ia berada
termasuk di luar wilayah negaranya.
Asas Nasional aktif ini hanya berlaku jika perbuatan yang
dilakukan di negara lain, menurut hukum nasional negara tersebut
juga merupakan perbuatan pidana. Sebaliknya, asas nasional aktif
ini tidak berlaku jika perbuatan yang dilakukan menurut hukum
negara asalnya adalah perbuatan pidana, sedangkan menurut
hukum negara tempat perbuatan tersebut dilakukan bukan
merupakan suatu perbuatan pidana.

2) Asas Nasional Pasif

Asas untuk melindungi kepentingan nasional sehingga aturan-


aturan pidana suatu negara dapat diterapkan terhadap warga negara
asing yang melakukan kejahatan di luar wilayah negara tersebut
tetapi korban perbuatan pidana adalah warga negara tersebut.
Kalau asas nasional aktif digunakan dalam konteks warga negara
sebagai pelaku perbuatan pidana, maka asas nasional pasif
digunakan dalam konteks warga negara sebagai korban perbuatan
pidana.

c. Perluasan Asas Teritorial Prinsip Proteksi


Dalam konteks hukum pidana Indonesia, paling tidak perluasan asas
teritorial berdasarkan proteksi berkaitan dengan empath al:
1. Kejahatan-kejahatan yang bertalian dengan keamanan negara
termasuk makar.
2. Kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan
oleh negara atau bank, termasuk pemalsuan dan peredaran uang
palsu. Demikian pula kejahatan menyangkut materai yang
dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia.
3. Kejahatan yang berkaitan dengan pemalsuan surat hutang atau
sertifikat hutang atas tangggungan Indonesia, atau tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pemalsuan
talon, tanda deviden atau tanda bunga.
4. Kejahatan pelayaran
d. Perluasan Asas Teritorial Prinsip Universal
Asas ini berkaitan dengan kejahatan terhadap masyarakat internasional.
Arti penting daari asas universal adalah jangan sampai ada pelaku
kejahatan internasional yang lolos dari hukum. Oleh arena itu setiap
negara berhak untuk menangkap, mengadili dan menghukum pelaku
kejahatan internasional. Akan tetapi, jika pelaku kejahatan
internasional telah diadili dan dihukum oleh suatu negara, maka negara
lain tidak oleh mengadili dan menghukum pelaku kejahatan
internasional tersebut atas kasus yang sama. Asas Universal ini berlaku
bagi perbuatan pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan
internasional.

PERCOBAAN DAN PENYERTAAN

A. Percobaan

Percobaan merupakan delik tidak selesai yang artinya perbuatan tersebut


belumm memenuhi rumusan delik atau akibat dari tindakan yang dilarang tidak
terwujud. Percobaan dalam KUHP diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat
(4) dan Pasal 54. Unsur-unsur percobaan yaitu:
1. Niat
2. Permulaan pelaksana
3. Unsur tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan
kehendaknya sendiri

B. Penyertaan

Penyertaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 55 sampai 62 KUHP. Berkaitan dengan
hal tersebut dapat dijelaskan beberapa istilah yaitu:
1. Plegen (Pelaku)
2. Donplegen (Orang yang menyuruh lakukan)
3. Medelplegen (Orang yang turut serta melakukan) (Pasal 170 ayat (1) KUHP)
4. Uitlokking (Perbuatan orang rang yang menganjurkan atau menggrakkan,
Uitlokker yang melakukan perbuatan tersebut)

C. Pembantuan

Terdapat dua bentuk pembantuan, Pertama, pembantuan pada saat kejahatan


dilakukan. Kedua, pembantuan untuk melakukan Kejahatan. Artinya pembantuan itu
diberikan sebelum kejahatan terjadi, apakah dengan memberikan kesempatan, sarana
atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pembantuan untuk melakukan
pelanggaran tidaklah dipidana.

PERBARENGAN PERBUATAN PIDANA

Dalam KUHP perbarengan perbuatan pidana ini diatur dari Pasal 63 sampai dengan Pasal 71.
Berkaitan dengan hal tersebut maka ada beberapa poin penting mengenai perbarengan
perbuatan pidana, yaitu:
1. Concursus Idealis
Pasal 63 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa. “Jika suatu perbuatan yang
masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di
antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok paling berat.” Kriteria dari concursus idealis adalah perbarengan dan
persamaan sifat dari perbuatan yang dilakukan.
Penjatuhan pidana dalam concursus idealis menggunakan stelsel absorbs. Artinya,
ketentuan pidana yang harus diterapkan adalah ketentuan pidana yang paling berat di
antara ketentuan-ketentuan pidana yang dilanggar.

2. Concursus Realis
Berbeda dengan concursus idealis, concursus realis berarti pelaku melakukan
lebih dari satu perbuatan pidana. Concursus realis disebut juga perbarengan
perbuatan. Concursus realis dengan berbagai sistem pemidanaan terdapat pada Pasal
65 sampai 70 KUHP. Pasal 65 ayat (1) mengatur, “Dalam hal perbarengan beberapa
perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga
merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis,
maka dijatuhkan hanya satu pidana pokok yang sejenis”. Pasal 65 ayat (2)
menyatakan, “Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana
yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dan maksimum
pidana terberat ditambah sepertiga”.
Berdasarkan konstruksi Pasal 65 ada beberapa hal yang dapat disimpulkan
yaitu:
a. Terjadi beberapa perbuatan pidana.
b. Semua perbuatan pidana yang terjadi memuat ancaman pidana pokok yang
sejenis. Artinya, pidana pokok dari semua perbuatan pidana yang terjadi
berupa pidana penjara atau pidana kurungan atau pidana denda.
c. Masih berkaitan dengan huruf b, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan
adalah sistem kumulasi. Artinya hakim hanya menjatuhkan hukum yang
terberat ditambah pemberatan.
d. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana terberat ditambah
dengan sepertiga dari pidana terberat.

Sebagai ilustrasi: A yang berniat mencuri perhiasan di rumah B seorang janda


muda yang tanggal sendirian. Sebelum mencuri, A memperkosa B kemudian
menganiayanya sehingga menimbulkan luka berat. Pemerkosaan menurut Pasal 285
KUHP diancam pidana penjara maksimum 12 belas tahun. Penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat diancam pidana penjara maksimum 5 tahun. Pencurian
dengan kekerasan diancam pidana penjara paling lama 9 tahun. Berdasarkan sistem
kumulasi terbatas, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap A adalah 16
tahun penjara. Angka 16 tersebut didapat dari pidana terberat adalah pemerkosaan 12
tahun ditambah sepertiga dari 12 tahun yakni 4 tahun.

Pasal 66 KUHP mengatur terjadinya beberapa perbuatan pidana dengan ancaman


pidana pokok yang tidak sejenis. Secara eksplisit Pasal 66 ayat (1) KUHP berbunyi,
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang
sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokok yang tdak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-
tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiga. Sedangkan Pasal 66 ayat(2) menyatakan, “Pidana denda dalam
hal itu dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang
ditentukan untuk perbuatan itu”.
Berdasarkan konstruksi Pasal 66 KUHP,ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan yaitu:
1. Terjadi concursus realis dengan ancaman pidana yang tidak sejenis.
2. Sistem pemidanaan yang dianut adalah kumulasii lunak atau stelsel kumulasi
terbatas.
3. Semua jenis pidana dikenakan terhadap pelaku.
4. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang terberat ditambah
sepertiga.
5. Jika terkait pidana denda, maka lamanya adalah pidana pengganti yang ditentukan
bila pidana denda tidak terpenuhi.

Sebagai ilustrasi, C mengendarai mobil tanpa surat-surat lengkap, melanggar lampu


lalu lintas dan menabrak D, seorang pejalan kaki yang sedang menyebrang jalan
sehingga mengakibatkan mati. Mengendarai mobil tanpa surat-surat ancaman
pidananya adalah denda. Sedangkan melanggar lampu lalu lintas ancaman pidananya
kurungan,. Sementara menabrak orang sehingga mengakibatkan mati adalah
perbuatan pidana yang diancam dengan penjara maksimum 5 tahun atau pidana
kurungan maksimum 1 tahun. Dengan demikian maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap C adalah 5 tahun penjara ditambah sepertiga dari 5 tahun
sehingga menjadi 6 tahun 8 bulan.

Pasal 67 KUHP berfokus pada salah satu pasal perbuatan pidana yang dilanggar
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup. Pidana mati atau pidana
seumur hidup tidak dapat dijatuhkan dengan pidana pokok lainnya. Kendatipun
terdakwa dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana tambahan
tetap dijatuhkan.

Pasal 68 KUHP mengatur pidana tambahan berkaitan dengan concursus realis.


Pasal 69 KUHP berfokus pada perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak
sejenis.
Pasal 70 KUHP pada intinya mengatur jika perbarengan antara pelanggaran dengan
kejahatan atau antara pelanggaran dengan pelanggaran, maka setiap pelanggarannya
dijatuhkan pidana yang berdiri sendiri tanpa dikurangi.

3. Perbuatan Berlanjut

Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan, “Jika antara beberapa perbuatan,


meskipn masing-masing merupakan kejahatan atau peanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka
hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat”.

4. Perbuatan Pidana Tertinggal


Berdasarkan Pasal 71 KUHP mengatur, “Jika seorang telah dijatuhi pidana, kemudian
dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum
ada putusan pidan aitu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang
akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal
perkara-perkara diadili pada saat yang sama”
Ilustrasi ada pada halaman 412 Prinsip-Prinsip Hukum Pidana

Perbarengan Penentuan Pidana

Pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur, “Jika suatu perbuatan dalam satu aturan pidana
yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khhusus
itulah yang diterapkan”. (Lex Specialis).

HAPUSNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN PIDANA DAN


MENJALANKAN PIDANA

A. Hapusnya Penuntutan Pidana

1. Ne Bis In Idem
Pasal 76 ayat (1) KUHP mengatur bahwa orang tidak boleh dituntut dua kali
karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang tetap untuk perkara yang sama.
2. Meninggalnya Tersangka/Terdakwa
Pasal 77 KUHP mengatur mengenai kewenangan menuntut pidana hapus jika
tertuduh meninggal dunia.
3. Daluwarsa Penuntutan Pidana
Lamanya daluwarsa tidak terlepas dari berat-ringannya perbuatan pidana. Hal
ini tersimpul dalam Pasal 78 KUHP yang menentukan:
a. Daluwarsa untuk semua pelanggaran dan kejahatanyang dilakukan dengan
percetakan adalah 1 tahun.
b. Daluwarsa kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun adalah 6 tahun.
c. Daluwarsa kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3
tahun adalah 12 tahun.
d. Daluwarsa kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumr
hidup adalah 18 tahun.

*Jika pelaku pada saat melakukan suatu perbuatan pidana, usianya


belumm 18 tahun, maka masing-masing tenggang daluwarsa tersebut
dikurangi menjadi sepertiga. NOTE: menjadi 1/3 bukan dikurangi 1/3.

Hal yang sangat kurusial dalam masalah daluwarsa adalah kapan mulai
dihitungnya tenggang waktu daluwarsa. Dalam konteks KUHP hanya
ditentukan sehari setelah perbuatan pidana dilakukan. Hal ini secara tegas
diatur dalam Pasal 79 yang menyatakan, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku
pada hari sesudah perbuatan dilakukan”. Akan tetapi berdasarkan Pasal a quo,
terdapat pengecualian dalam perhitungan dimulainya tenggang waktu
daluwarsa.
1. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang waktu mulai
berlaku pada hari sesuda barang yang dipalsu atau mata uang yang
dirusak digunakan. Contoh uang palsu dicetak 14-19 Juli 2014 akan
tetapi baru digunakan 25 Juli 2014, maka tenggang waktunya dihitung
sejak adalah 26 Juli 2014.
2. Mengenai kejahatan dalam Pasal 328, 329, 330 dan 333 KUHP
tenggang waktu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung
terkena kejahatan tersebut dibebaskan atau meninggal dunia.

Terhentinya daluwarsa berdasarkan Pasal 80 KUHP. Penundaan


penuntutan akan menunda daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81
KUHP. Perselisihan prejudisial yang dimaksud yaitu sengketa kekuasaan
kehakiman, baik kompetensi absolut mauun kompetensi relative dan sengketa
dilapangan hukum lainnya. Ketika terjadi sengketa prejudisial, daluwarsa
mengalami penundaan. Setelah sengketa tersebut selesai perhitungan
daluwarsa dilanjutkan.

4. Peyelesaian di Luar Pengadilan


5. Amnesti
Pasal 14 ayat (2) UUD menjelaskan tentang Presiden memberi amnesti dan
abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dengan pemberian
amnesti semua akibat hukum pidana diahapuskan.
6. Abolisi
Abolisi adalah menghapus penuntut terhadap delik yang terjadi. Presiden
dalam memberi abolisi dapat meminta nasihat dari MA.

B. Hapusnya Menjalankan Pidana

1. Meninggalnya Terpidana
Pasal 83 KUHP menyatakan bahwa kewenangan menjalankan pidana hapus
jika terpidana meninggal dunia.
2. Daluwarsa
a. Semua pelanggaran daluwarsa kewenangan menjalankan pidananya
adallah 2 tahun.
b. Kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan daluwarsa
kewenagnan menjalankan pidananya adalah 5 tahun.
c. Daluwarsa menjalankan pidana terhadap kejahatan yang diancam dengan
pidana denda, kurungan, atau penjara paling lama 3 tahun adalah 4 tahun.
d. Daluwarsa menjalankan pidana terhadap kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara lebih dari 3 tahun adalah 16 tahun.
e. Kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup,
tidak mengenal daluwarsa menjalankan pidana
f. Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan
hakim mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dijalankan.
g. Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada
esok harinya setelah melarikan diri, mulai berlaku tenggang daluwarsa
baru.
h. Jika seorang terpidana pelepasan bersyaratnya dicabut, maka pada besok
harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa yang baru.

3. Grasi
Pelaksanaan Grasi di Indonesia di atur dalam UU No. 22 Tahun 2002 tentang
Grasi. Grasi didefinisikan sebagai pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada
terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pemberian grassi tidak serta merta
menghapuskan kewenangan menjalankan pidana. Permohonan grasi hanya
dapat diajukan atas putusan pemidanaan berupa pidana mati, penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat dua tahun.

Anda mungkin juga menyukai