Anda di halaman 1dari 20

HUKUM PIDANA

akartika09@yahoo.co.id
A. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana
Pengertian
• Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana.
Kata “pidana” berarti suatu hukuman yang dikenakan terhadap
seseorang sebagai hal yang tidak enak dirasakan.
Tentang pengenaan pidana terhadap seseorang tentu ada
alasan.
Alasannya tentu berhubungan dengan suatu keadaan , dalam
mana seseorang ybs telah bertindak tidak baik atau melanggar
kepentingan umum.
Unsur hukuman sebagai balasan terhadap perbuatan yang
tidak baik ini adalah tersirat dalam kata pidana.
• Hukum pidana memuat norma-norma yang
berupa larangan-larangan atau keharusan-
keharusan, dan diantara norma-norma itu ada
yang disertai ancaman hukuman pidana atas
pelanggarnya.
• Tujuan Hukum Pidana
Pada pokoknya tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi
rasa keadilan, karenanya melalui pidana yang dijatuhkan,
ditujukan untuk:
a. menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan,
baik ditujukan pada orang banyak (generale preventie)maupun
pada orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar
dikemudian hari tidak lagi melakukan kejahatan (speciale
preventie), atau
b. mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah melakukan
kejahatan, agar tidak lagi melakukan kejahatan sehingga
bermanfaat bagi masyarakat.
B. Peristiwa Pidana.
• Peristiwa pidana juga disebut tindak pidana
(delict), ialah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.
• Delict (delik) adalah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan hukum
lainnya, yang dilakukan dengan suatu kesalahan
(schuld) oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan.
• Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai
peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur obyektif
dan subyektif sebagai berikut:
1. Obyektif, yaitu adanya suatu tindakan (perbuatan)
yang bertentangan dengan hukum dan menimbulkan
akibat yang dilarang oleh hukum dengan adanya suatu
ancaman hukuman terhadap tindakan tersebut;
2. Subyektif, yaitu adanya pelaku yang melakukan
perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam syarat
obyektif.
• Berdasarkan unsur-unsur sebagaimana tersebut diatas, maka dapat dinyatakan telah ada
suatu peristiwa pidana apabila telah dipenuhinya syarat-syarat:
1. Harus ada suatu perbuatan, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang.
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang di gambarkan oleh ketentuan hukum.
maksudnya disini bahwa si pelaku benar-benar telah melakukan perbuatan yang sesuai
dengan unsur-unsur sebagaimana di sebutkan di dalam rumusan undang-undang yang
berlaku pada saat itu.
3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dilakukan oleh si pelaku yang dapat dipertanggung
jawabkan.
4. Perbuatan si pelaku harus berlawanan dengan hukum, maksudnya perbuatan yang
dilakukan adalah berlawanan dengan peraturan hukum yang berlaku.
5. Harus ada ancaman hukumannya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur
tentang larangan atau keharusan dalam sesuatu perbuatan tertentu, maka ketentuan
tersebut harus memuat pula dengan tegas sanksi ancaman hukuman terhadap
pelanggarnya.
• Dalam hukum pidana, seseorang dapat dihukum pada umumnya bila
ia berbuat aktif.
• Namun dalam beberapa hal dalam kondisi diam (pasif) dapat
dikenakan pidana apabila ia tidak melakukan perbuatan tertentu
(omisi delict), seperti:
1. Pasal 224 KUHP yang mengancam dengan hukuman pidana bagi
seseorang yang setelah dipanggil dengan sah sbg saksi dalam suatu
perkara dimuka hakim, tidak datang menghadap tanpa sebab yang
sah;
2. Pasal 531 KUHP yang mengancam dengan hukuman pidana bagi
seseorang yang tahu bahwa orang lain berada dalam bahaya dan ia
mampu menolongnya tanpa membahayakan dirinya sendiri, namun
diam saja dan tidak berbuat apa-apa.
• Mengenai persyaratan sebagai perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan terhadap pelakunya dan tidak dapat
dimintakan pertanggungjawabannya, contoh : seseorang
atau beberapa orang yang melakukan perbuatan yang
dilakukan itu adalah dalam rangka menjalankan tugas,
membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu
keselamatannya, atau dalam keadaan darurat.
• Begitu juga keharusan akan adanya ancaman hukuman
terhadap pelanggarnya, bila dalam suatu ketentuan tidak
dimuat , maka dalam suatu peristiwa pidana tidak dapat
dikenakan hukuman.
C. Unsur Hukum Pidana

Di dalam hukum pidana, ada dua unsur pokok


yang merupakan unsur dari Hukum Pidana, yaitu:
1. Adanya suatu norma, yaitu suatu larangan atau
suruhan (kaidah);
2. Adanya sanksi (sancietie) atas pelanggaran-
pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan
hukuman pidana.
• Hukum pidana termasuk dalam golongan hukum public. Disebutkan
demikian karena titik berat dari hukum pidana ini ialah tidak pada
kepentingan perseorangan (individu). Melainkan pada kepentingan
umum. Terlaksananya hukum pidana pada hakekatnya tidak
tergantung dari kehendak seorang individu yang in concreto langsung
dirugikan, melainkan terserah pada pemerintah (negara) sebagai yang
mewakili dari kepentingan umum tersebut.
• Terhadap hal yang di atas ada perkecualiannya. Yakni ada beberapa
tindak pidana yang hanya dapat dimajukan di muka pengadilan atas
dasar pengaduan (klacht) dari orang yang di ganggu kepentingannya.
Sebagai contoh dalam tindak pidana penghinaan, perzinahan, dan lain
sebagainya. Inilah yang disebut dengan “delik aduan” (klacht delict).
 
D. Hukum Pidana Di Indonesia

• Hukum pidana di Indonesia bentuknya tertulis dan


dikodifikasikan dalam sebuah kitab undang-undang. Dalam
perkembangan selanjutnya, banyak dikeluarkan dalam
peraturan yang dikodifikasikan berupa undang-undang
Hukum Pidana di singkat dengan (KUHP) yang selanjutnya
di jadikan pedoman pokok dalam pelaksanaan hukum
pidana di Indonesia.
• Disamping kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
pengaturan hukum pidana di Indonesia juga di atur melalui
beberapa peraturan di luar KUHP.
E. Sejarah KUHP

• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini berasal dari peraturan


pada zaman pemerintah colonial dahulu (Hindia Belanda) yakni Wetboek
van Starfrecht voor Nederlandsch-Indie (W.v.S) diberlakukan dengan
Undang-undang nomor 1 tahun 1946. Dalam perjalanan sejarah, setelah
Indonesia kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia maka melalui
Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 yang berlaku sejak 29 September
1958 dinyatakan tentang berlakunya Undang-Undang nomor 1
Tahun1946 tentang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia dan mengubah penyebutan WvS menjadi kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Dengan berlakunya Undang-undang ini ,
berarti sejak tanggal 29 September 1958 berlaku Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) bagi seluruh penduduk di Indonesia dengan corak
unifikasi.
F. Sistematika Kitab Undang-undang Hukum
Pidana

Kitab undang-undang Hukum Pidana yang terdiri atas 568 Pasal yang tersusun
dalam 3 (tiga) buku , yakni:
• Buku I yang memuat tentang Ketentuan-ketentuan umum (algmene leerstukken),
yaitu ketentuan-ketentuan untuk semua tindak pidana ,(perbuatan yang
pembuatnya dapat dikenakan hukum pidana, strafbare feiten) yang dimuat dalam
pasal 1-103;
• Buku II memuat tentang tindak-tindak pidana yang dinamakan Kejahatan
(misdrijven) yang di muat dalam pasal 104-488;
• Buku III memuat tentang tindak-tindak pidana yang dinamakan pelanggaran
(overstredinge) yang dimuat dalam pasal 489-569.
Buku I sebagai algemene leerstrukken, mengatur mengenai pengertian dan azas-
azas hukum pidana positif pada umumnya yang dicantumkan dalam Buku II dan
III, maupun peraturan perundangan hukum pidana lainnya yang ada di luar KUHP.
G. Teori Penghukuman

Terhadap mengapa seseorang yang telah melakukan kejahatan harus dipidana (dihukum), dikenal adanya
tiga teori yang melandasinya, yaitu:
• Teori absolut atau mutlak. Teori ini menyebutkan bahwa setiap kejahatan harus diikuti dengan
pemidanaan, tidak boleh tidak dan tidak ada tawar menawar. Seseorang dijatuhi pidana karena ia telah
melakukan kejahatan. Pemidanaan ini dianggap sebagai suatu pembalasan (vergelding) bagi mereka yang
telah berbuat jahat. Menurut teori ini, yang dikejar adalah kepuasan hati. Dimana seseorang yang telah
melakukan kejahatan, harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang telah ia
perbuat. Dalam slogan dapat disebutkan sebagai “Hutang pati nyaur pati, hutang lara nyaur lara” yang
artinya pembunuhan harus di bunuh dan penganiayaan harus dianiaya.
• Teori relatif atau nisbi. Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pemidanaan, melainkan harus dipersoalkan lagi tentang manfaat penghukuman itu baik dari sisi
masyarakat ataupun sisi si pelaku kejahatan. Karenanya yang diutamakan di sini adalah tujuan (doel),
untuk apa pidana atau hukuman itu dilakukan. Tujuan dlakukannya pemidanaan pertama-tama harus di
arahkan pada usaha dikemudian hari agar kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi),
baik yang dilakukan oleh si penjahat terdahulu special maupun oleh masyarakat pada umumnya general.
• Teori gabungan (verenigings theorien). Teori ini merupakan gabungan antara teori mutlak dan relatif.
Dengan demikian teori ini disatu pihak mengakui unsur pembalasan dalam hukum pidana, dan dilain pihak
mengakui unsure prevensi serta memperbaiki si penjahat yang melekat pada tiap pidana yang dijatuhkan.
H. Asas Legalitas
• Asas legalitas ini memberikan jaminan kepada setiap orang untuk tidak diperlakukan sewenang-
wenang oleh aparat penegak hukum, dimana bahwa hanya pada perbuatan yang disebut dengan
tegas oleh peraturan perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran , dapat dikenai
hukuman (pidana). Asas ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang mencantumkan: Suatu
perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih dahulu dalam suatu ketentuan
perundang-undangan. Terkait dengan pasal ini ada selogan dalam bahasa latin yang maksudnya
sama dengan ketentuan pasal tersebut yaitu Nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali
(tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu).
• Ada 2 (dua) asas hukum pidana yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHP yakni:
1. Sanksi pidana (straf sanksie) hanya dapat ditentukan dengan undang-undang
2. Ketentuan sanksi pidana tidak boleh berlaku surut.
• Ada perkecualian dari asas larangan untuk berlaku surut, yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 1
ayat (2) yaitu: Apabila ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan terjadi sesudah suatu
tindak pidana diperbuat, maka yang diberlakukan dari ketentuan hukum lama atau baru adalah
yang paling menguntungkan bagi si tersangka.
I. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana.
Aturan hukum pidana pada dasarnya berlaku pada semua orang. Untuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ruang lingkup berlakunya berdasarkan 4 (empat) asas yaitu:
• Asas Teritorialitas (teritorialiteits beginsel) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP yaitu “ ketentuan pidana
dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang didalam wilayah Indonesia melakukan
tindak pidana. (WNI dan WNA)
• Asas Nasional Aktif atau asas kepentingan nasional atau asas personalitas. Asas ini tercantum dalam
ketentuan Pasal 5 KUHP. Berdasarkan pasal 5 bahwa bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak
pidana diluar wilayah Indonesia yang menyangkut tentang keamanan Negara, kedudukan Kepala Negara,
penghasutan untuk melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban militer, perkawinan melebihi
jumlah yang telah ditentukan dan pembajakan, maka pelakunya dapat dituntut menurut aturan pidana
Indonesia oleh Pengadilan Indonesia. Kpentingan nasional yang dipertahankan adalah agar pelaku tindak
pidana yang warga negara Indonesia, walaupun peristiwanya terjadi diluar Indonesia tidak diadili dan
dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa itu.
• Asas Nasional Pasif atau asas Perlindungan. Asas ini bertujuan melindungi wibawa dan martabat bangsa
Indonesia dari tindakan yang tidak baik dari WNI maupun WNA yang mengancam kepentingan bangsa
Indonesia. Asas nasional pasif ini tidak melihat pada kewarganegaraan dari pelaku tetapi melihat pada tindak
pidana yang terjadi itu telah mengancam kepentingan nasional.
• Asas Universalitas, asas ini melindungi kepentingan antar negara tanpa melihat kewarganegaraan pelakunya.
Yang diperhatikan adalah kepentingan negara lain sebagai tempat dilakukannya suatu tindak pidana tertentu.
J. Macam-Macam Delik.

Macam-macam delik
1. Menurut cara penuntutannya :
– Delik aduan yaitu suatu delik yang akan diadili apabila yang berkepentingan (yang dirugikan) melakukan
pengaduan. Bila tidak maka tidak aka nada tuntutan.
– Delik Biasa, yaitu perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan dari pihak
yang dirugikan (korban).
2. Menurut Jumlahnya:
– Delik tunggal yaitu delik yang terdiri dari satu perbuatan saja
– Delik jamak yaitu delik yang terdiri dari beberapa perbuatan.
 3. Menurut Tindakan atau Akibatnya:
– Delik Materiil, delik yang dilarang oleh undang-undang karena akibatnya (ditekankan pada akibatnya)
contoh Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dalam pasal tersebut tidak dinyatakan perbuatan apa
dilakukan tapi diutamakan adalah adanya akibat (yakni ada orang lain yang mati karena perbuatan itu)
yang dilarang itu.
– Delik formal, yaitu menekankan pada perbuatan yang dilakukan (perbuatannya yang dilarang). Contoh
Pasal 363 tentang pencurian. Dalam pasal ini yang dilarang adalah perbuatan (mengambil barang orang
lain secara tidak sah). Perbuatan mengambil yang telah selesai dilakukan inilah menyebabkan adanya
kejahatan.
K. Sistem Penghukuman.

Sistem penghukuman tercantum dalam Pasal 10 KUHP


yang mencantumkan bahwa hukuman yang dapat
dikenakan kepada pelaku tindak pidana terdiri dari:
• Hukuman Pokok (hoofd straffen)
– Hukuman mati
– Hukuman penjara
– Hukuman kurungan
– Hukuman denda.
– Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
– Pencabutan beberapa hak tertentu
– Perampasan barang-barang tertentu
– Pengumuman putusan hakim
Perbedaan hukuman pokok dan hukuman
tambahan adalah:
 Hukuman pokok terlepas dari hukuman lain,
berarti dapat dijatuhkan kepada terhukum
secara mandiri
 Hukuman tambahan hanya merupakan
tambahan pada hukuman pokok (tidak
mandiri) sehingga tidak dapat dijatuhkan
tanpa adanya hukuman pokok.

Anda mungkin juga menyukai