Anda di halaman 1dari 28

Hukum Pidana

15 Februari 2018

Pengertian Pidana dan Hukum Pidana.


Sanksi Pelanggaran Norma Hukum :

 Sanksi Administrasi : penurunan pangkat


 Sanksi Perdata : ganti rugi
 Sanksi Pidana : Penderitaan, denda, kurungan penjara, hukuman mati

Pidana : penderitaan / nestapa yang diberikan oleh pihak yang berwenang kepada
mereka yang melanggar hukum pidana.

Sudarto : Hukum pidana memuat aturan – aturan hukum yang mengikatkan kepada
perubahan – perubahan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang
berupa pidana.

KUHP : a. Pelaksanaan perbuatan – perbuatan orang yang diancam pidana.

b. Menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang diterima oleh orang yang
melakukan perbuatan itu.

Prof. Satochid Kartanegara :

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif
yang mengandung larangan – larangan dan keharusan – keharusan yang ditentukan oleh
kekuasaan lain yang berwenang untuk mennetukan peraturan – peraturan pidana. Larangan
dan keharusan itu disertai dengan ancaman pidana dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak
negara untuk melakukan tuntutan menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana.

Hukum Pidana : - dalam arti objektif (ius puerale)

- dalam arti subjektif (ius punindi)

Hukum pidana dalam arti objektif ialah sejumlah peraturan yang mengandung larangan –
larangan / keharusan terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman. Dalam arti objektif
hukum pidana terbagi dua lagi, yaitu :
 Hukum pidana materil berisi siapa yang harus, apa yang harus dipidana, dan
berapa lama harus dipidana (KUHP)
 Hukum pidana formil berisi bagaiman cara alat negara ini membawa pelaku ke
pengadilan untuk diperiksa, diadili dan diputus (KUHAP)

Hukum Pidana arti subjektif berisi peraturan tentang hak negara / ius punendi untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan dilarang.

Hubungan hukum pidana arti objektif dan arti subjektif adalah hukum pidana arti objektif
baru bisa dilaksanakan apabila hukum pidana arti subjektif dilanggar.

Hak negara untuk menghukum :

1. Mengancam perbuatan – perbuatan dengan hukuman yang dimiliki oleh negara


2. Hak untuk menuntut (PU)
3. Hak untuk menjatuhkan hukum (Jaksa)

Ciri kepublikan Hukum Pidana :

1. Penuntutan terhadap si pelaku tidak tergantung pada orang yang dirugikan


2. Walaupun si pelaku melahirkan perbuatan tersebut atas permintaan si korban, tetapi
dia masih harus tetap dituntut.

Mulyatno :

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di seluruh
negara yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, disertai ancaman
dan sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan itu pada mereka yang dapat dikenakan pidana tertentu. Dasar – dasar
penghapus pidana terdapat dasar pemaaf dan pembenar.
3. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat dilakukan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut
Pengertian tindak pidana menurut Mulyatno adalah perbuatan yang oleh hukum
pidana dilarang dan diancam oleh pidana.
Delik Pelanggaran (bulanan)
Delik Kejahatan (tahunan)
Pelanggaran Hukum Pidana terbagi dua kelompok yaitu :

Norma dan Sanksi

Norma berisikan suatu ketentuan mengenai tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap
orang dalam pergaulan mereka di masyarakat. Norma berbentuk larangan dan keharusan.
Pelanggaran terhadap peraturan hidup itu dikenal sanksi yang tegas dan tajam.

Hubungan Norma dan Sanksi

Sanksi mengandung ini suatu ancaman pidana, sanksi merupakan akibat hukum
karena dilanggarnya suatu norma. Sanksi jaminan agar norma ditaati.

Unsur Tindak Pidana.

KBBI : tercantum delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan
pelanggaran UU tindak pidana.

Berdasarkan ini rumusan tidak pidana :

 Suatu perbuatan manusia.


 Perbuatan itu diancam dan dilarang oleh UU.
 Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kesimpulan : Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana
diancam pidana.

Kita menganut asas legalitas yakni bahwa tiap – tiap perbuatan pidana harus diatur
sedemikian mungkin secara tegas oleh UU.

Tujuan : untuk memaksa penduduk secara psikologi agar jangan sampai mereka melakukan
tindakan – tindakan yang bersifat

Dari Pasal 1 ayat 1 timbullah 3 ketentuan :

1. Nullapuna Sine Lege (bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah berdasarkan


peraturan UU)
2. Nullapuna Sine Premire (suatu penjatuhan hukuman hanya dapat dilakukan apabila
perbuatan yang bersangkutan
3. Nulla Sine (bahwa perbuatan yang diancam oleh UU itu apabila dilanggar dapat
dijatuhkan hukuman seperti yang dicantum oleh UU terhadap pelanggarannya)
Tujuan Asas Legalitas : menjamin kebebasan manusia dan menciptakan kepastian
hukum

Dr. Discheft Mr :

Mengenai Pasal 1 KUHAP (Asas Legalitas) :

1. Tidak dapat dihukum kecuali berdasarkan hukum


2. Tidak ada penerapan UU tersebut berdasarkan penafsiran analogi
3. Tidak dapat dipidana hanya karena kebiasaan
4. Tidak berlaku surut
5. Tidak ada pidana lain
6. Menurut syarat peraturan.

Fungsi Hukum Pidana :

1. Fungsi Umum : oleh karena hukum pidana merupakan sebagian dari hukum maka
fungsinya mengatur tata tertib kemasyarakatan.
2. Fungsi Khusus : melindungi kepentingan hukum terhadap kepentingan yang hendak
memperkosanya yang bersifat pidana yang syaratnya lebih tajam dari bidang hukum
lainnya.

Sanksi Pidana terhadap Rajik (penyidik)

Hukum Pidana : aturannya

Pidana : tindakannya

Vankan : Hukum Pidana merupakan sanksi belaka

Aliran Hukum Pidana dengan maksud tujuan hukum pidana diurutkan umurnya :

1. Aliran Klasik : untuk melindungi kepentingan perseorangan dari kekuasaan


negara. Contoh : Revolusi Perancis, sebelum Revolusi Perancis Hakim semaunya
menghukum orang
2. Aliran Modern : Untuk melindungi masyarakat dari kejahatan – kejahatan
diperanguhi aliran kriminologi.
3. Aliran Campuran : Untuk melindungi negara dari kejahatan – kejahatan sistem
komunis, pengaruhnya sarjana yang tergabung dalam aliran otoriter (Itali) lebih
mementingkan kepentingan negara.
Unsur delik dibagi 2 yaitu :

1. Unsur monoisme
a) Melanggar hak
b) Mampu bertanggung jawab
c) Kesalahan sengaja
d) Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf.
2. Unsur Dualisme
1. Golongan Objektif
 Melawan hukum
 Tidak ada alasan Pembenar
2. Golongan Subjektif
 Mampu bertanggung jawab
 Kesalahan sengaja
 Tidak ada alasan pemaaf

Jenis KUHP : Bagian umum berlaku untuk semua lapangan hukum pidana (KUHP) dan
dibutuhkan secara umum

22 Februari 2018

Perbedaan Tindak Pidana

Pelanggaran : Kita baru merasakan bahwa kita melanggar jika kita melihat dalam
UU.

Kejahatan : Perbuatan itu walaupun tidak terdapat dalam UU tetapi perasaan


hukum kita merasa tidak bagus.

 Delik Formil : ialah yang menitikberatkan perumusan tentang perbuatan yang

dilarang.

 Delik Materil : ialah delik yang merumuskan tentang akibat yang dilarang.

 Delik Pokok : yang terdiri dari unsur – unsur pokok terjadinya pidana.
 Delik yang dikualifikasikan : yang unsurnya sama dengan delik pokok ditambah

dengan unsur lain sehingga dia menjadi berat

 Delik yang diistimewakan : suatu delik yang unsurnya sama dengan delik pokok

ditambah delik yang disyaratkan sehingga menjadi ringan.

 Delik aduan : Suatu delik yang penuntutannya berasal dari pihak korban

 Delik Dolus (dengan unsur sengaja)

 Delik Colpus (dengan unsur kealpaan)

Locus Delicti :

1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana

tersebut atau tidak.

2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini

berhubung dengan kompetensi relatif. Pengadilan apa yang berwenang (Absolut)

Dasar Pembenar dan Tujuan Pidana

Salah satu cara mencapai tujuan hukum pidana adalah menjatuhkan pidana kepada

seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Ada 3 teori dasar pembenaran pemberian

hukum pidana :

1. Teori Absolut (absolut)

2. Teori Relatif (tujuan)

3. Teori Gabungan

Teori Absolut

Menurut teori absolut, penjatuhan pidana dikenakan semata – mata karena sesorang

telah melakukan suatu kejahatan. Pidana itu merupakan akibat hukum yang mutlak, harus ada

sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Oleh karena kejahatan itu
menyebabkan penderitaan. Ibarat peribahasa yang menyimpulkan “Darah tersabung darah,

nyawa bersabung nyawa”. Pada dasarnya tindakan pembalasan itu mempunyai 2 sudut yaitu :

1. Pembalasannya ditunjukkan kepada orang yang melakukan

2. Pembalasan untuk memenuhi rasa dendam masyarakat

Teori absolut ini timbul pada akhir abad 18 yang mempunyai penganut seperti Immauel Kahn

, Hegel, Herbert, Stahl.

Immanuel Kahn : kejahatan menyebabkan ketidakadilan kepada orang lain maka

harus dibalas pula dengan ketidakadilan.

Hegel : bahwa hukum merupakan pernyataan kemerdekaan, maka kejahatan

merupakan yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum oleh

karena itu harus dilenyapkan dengan ketidak adilan juga.

Herbert : kejahata0n menyebabkan ketidak puasan kepada masyarakat. Untuk

melenyapkan ketidakpuasan tersebut orang yang melakukan ketidak

puasan tersebut harus dipidana

Stahl : tuhan menciptakan negara sebagai wakilnya di dunia untuk

menyelenggarakan hukum di dunia. Hukum merupakan tata tertib

dunia, kejahatan merupakan pelanggaran tata tertib yang diciptakan

tuhan. Untuk meniadakan kejahatan itu kepada negara diberikan

kekuasaan menjatuhkan tindak pidana pada kejahatan.

Leopol : Pidana itu harus memenuhi 3 syarat yaitu :

1. Perbuatan yang dilakukan dicela oleh suatu etika kesusilaan

dan tata hukum objektif.


2. Pidana hanya boleh memperhatikan kepada apa yang sudah

terjadi tidak boleh memperlihatkan apa yang akan terjadi.

Pidana tidak boleh preventif, karena kemungkinan akan

mendapat hukuman terberat

3. Penjahat tidak boleh dihukum secara tidak adil, jadi beratnya

pidana harus seimbang.

Teori Relatif (Tujuan)

Menurut teori tujuan, pidana itu bukan untuk melakukan pembalasan terhadap tindak

kejahatan, tetapi mempunyai tujuan – tujuan tertentu, dasar pembenaran tertentu terletak pada

tujuan. Pendapat :

1. Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah akibat tindak

pidana

2. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang dapat dibedakan atas

pencegahan umum dan pencegahan khusus. Yang dimaksudkan pencegahan umum

adalah didasarkan kepada pemikiran untuk mencegah suatu kejahatan, pencegahan

khusus untuk mereka yang sudah melakukan kejahatan.

Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut terdapat beberapa cara :

1. Dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut – nakuti orang

– orang untuk tidak melakukan kejahatan.

2. Dengan melaksanakan pidana dengan cara yang kejam sekali dan dipertontonkan di

depan umum.

Pencegahan khusus didasarkan pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yag

melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi, caranya adalah :

1. Memperbaiki penjahat, dengan memberikan pendidikan terhadap penjahat.


2. Dengan menyingkirkan si penjahat dari pergaulan masyarakat adapun caranya

menjatuhkan seumur hidup atau hukuman mati

Teori Relatif ini makin berkembang hingga timbul teori modern, menurut teori ini

dasar pidana untuk menjamin ketertiban hukum.

Caranya ialah : negara membuat perturan – peraturan yang mengandung larangan –

larangan yang berisi norma dan sanksi yang berupa ancaman pidana.

Teori Gabungan

Adalah gabungan dari teori absolut dan teori relatif. Dasar pembenaran pidana dari

teori gabungan meliputi : dasar pembenaran pidana dari teori pembalasan dan teori tujuan.

Bukan hanya pembalasan, tetapi mempunyai tujuan – tujuan yang bermanfaat.

Keberatan terhadap pembalasan sebagai berikut :

1. Penjatuhan pidana semata – mata pembalasan dapat menimbulkan ketidakadilan

2. Apabila memang dasar pidana hanya untuk pembalasan, mengapa hanya negara yang

boleh melakukan pidana.

3. Pidana hanya sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Keberatan terhadap tujuan sebagai berikut :

1. Pidana hanya untuk mencegah kejahatan sehingga akan menimbulkan ketidakadilan

2. Pidana yang berat tidak akan menimbulkan rasa keadilan apabila tindak kejahatan itu

ringan.

3. Kesadaran hukum membutuhkan kepuasan, oleh karena itu pidana tidak dapat

ditunjukkan semata – mata hanya untuk mencegah kejahatan atau membinasakan. Jadi

masyarat dan pelaku harus sama – sama diberikan kepuasan agar menjadi keadilan.

Oleh karena itu teori pembalasan dan teori tujuan harus digabung menjadi 1. Sehingga praktis

dan seimbang. Sebab pidana bukan sebagai penderitaan tapi juga harus seimbang dengan

kejahatannya.
3 golongan teori gabungan :

1. Teori gabungan yang menitikberatkan terhadap pembalasan, tetapi pembalasan itu

tidak boleh melebihi yang diperlukan

2. Teori gabungan yang menitikberatkan terhadap pertahanan ketertiban masyarakat

tetapi pidana tidak boleh lebih berat daripada penderitaan yang sesuai dengan

perbuatan si pidana

3. Teori gabungan yang menitikberatkan sama baik terhadap pembalasan atau ketertiban

masyarakat.

Ini yang menjadi pertanyaan adalah dimana letak perbedaan pidana dari masing –

masing teori hukum pidana. Adapun perbedaannya adalah pada teori pembalasan,

pidana itu melihat pada masa yang lain karena teori ini beranggapan bahwa kejahatan

yang ditimbulkan tidak adil.

Dimanakah letak perbedaan pidana dari masing – masing teori hukum pidana :

 Teori Pembalasan : pidana hanya melihat pada masa yang lalu karena teori ini

beranggapan bahwa kejahatan merupakan suatu yang tidak adil yang menimbulkan

penderitaan. Penderitaan itu harus ditiadakan dengan cara menjatuhkan pidana kepada

penjahatnya

 Teori Tujuan : melihat kepada masa yang akan datang.

Tujuan pidana di Indonesia :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan ditegakkan norma hukum dengan

pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya

orang baik.
01 Maret 2018

Hubungan, Perbedaan dan Persamaan Hukum Pidana dan Kriminologi.

Persamaan : sama – sama mempelajari tentang kejahatan.

Perbedaan : objek Hukum pidana adalah perbuatan pelaku tindak pidana. Objek hukum

kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan.

Hubungan : kriminologi memberikan bahan – bahan kepada UU supaya hukum pidana

dapat menyesuaikan hukum yang diberikan.

Kriminologi dibagi 3 :

1. Krimino-Biologi

Mempelajari bahwa kejahatan terjadi karena bawaan lahir.

2. Krimino-Sosiologi

Sebab orang menjadi jahat karena lingkungan.

3. Krimino-Politik

Bagaimana cara memberantas sebab – sebab kejahatan.

Unsur – Unsur Tindak Pidana

Moeljatno :

Formal : - Perbuatan Manusia

- Perbuatan itu dilarang oleh hukum

Materiil : - Peraturan itu harus bersifat melawan hukum harus betul – betul dirasakan

oleh masyarakat sebagai perbuatan hukum.

KUHP

Formal : - Perbuatan manusia

- Perbuatan itu dilakukan atau tidak dilakukan


- Perbuatan itu oleh peraturan Perundang – undangan dinyatakan sebagai

perbuatan terlarang kemudian perbuatan itu diancam oleh perundang –

undangan.

Materil : - perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum dan harus dinyatakan

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak harus dilakukan. Jadi meskipun

perbuatan itu memenuhi rumusan UU tetapi tidak bersifat melawan hukum

bukan suatu tindak pidana.

Melawan Hukum

Yang dimaksud dengan melawan hukum apabila perbuatan tersebut mencocoki delik

dalam rumusan UU

Melawan Hukum Formil : Perbuatan tersebut mencocoki rumusan dalam UU/sifat

melawan pidana dapat dicantumkan di UU sendiri. Hanya

mengakui peniadaan sifat melawan hukum dari perbuatan yang

tercantum dalam UU.

Melawan Hukum Materil : selain mencocoki UU dia juga melanggar norma – norma

yang ada di masyarakat. Peniadaan sifat melawan hukum bisa

dari hukum tertulis dan tidak tertulis

Melawan HK Materil Negatif : sifat melawan hukumnya tercantum dalam UU dapat

dihapuskan oleh norma – norma

Melawan HK. Materil Positif : suatu masalah yang tidak tercantum dalam UU tetapi

perbuatan itu menurut norma – norma adalah perbuatan yang

jahat, maka perbuatan itu merupakan tindak pidana namun hal

ini tidak mungkin karena kita menganut asas legalitas.

Hukum pidana berasal dari Bahasa belanda StratRecht


Asas – asas berlakunya tempat peraturan perundang – undangan menurut tempat dan

waktunya.

 Asas Teritorial : hukum pidana Indonesia berlaku pada siapa saja yang tinggal

di Indonesia

 Asas Nasionalitas : hukum pidana mengikuti dimana saja kita melakukan tindak

pidana.

Kelakuan dalam hukum Pidana ada yang positif / negatif.

Positif : melanggar larangan

Negatif: tidak mematuhi peraturan.

Teori – teori Kesengajaan

1. Teori Kehendak : inti dari kesengajaan adalah untuk mewujudkan unsur – unsur delik.

2. Teori Pengetahuan : sengaja membayangkan akan timbul akibat perbuatannya, orang

tidak dapat menghendaki akibat hanya membayangkan.

Yang disebut dalam doktrin sengaja adalah menghendaki perbuatan itu dan

mengerti akibatnya.

Sifat Kesengajaan Berwarna dan Tidak Berwarna

 Kesengajaan Berwarna maksudnya disamping orang ini mengetahui perbuatan itu

dicantum oleh UU orang itu mengetahui perbuatan itu melanggar UU.

 Kesengajaan Tidak berwarna berarti untuk menghukum seseorang cukup perbuatan

itu melanggar pasal.

Corak Kesengajaan

1. Kesegajaan sebagai tujuan contohnya ‘A akan mencuri kerumah seseorang, dia datang

kerumah tersebut dan mengambil barang – barang’

2. Kesengajaan sebagai keharusan contohnya ‘A harus memecahkan kaca untuk mencuri

di toko emas’
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan contohnya ‘A saat membunuh B pada saat

berkumpul dengan si C, dan si C terkena peluru’

Error

1. Error in Persona : Keliru tentang orang yang dijadikan objek kejahatan

2. Error in Objecto : keliru tentang objek, keliru tentang barang yang dijadikan

tindak pidana.

Bagaimana mengetahui manusia sebagai subjek hukum pidana? Diketahui dari KUHP sendiri

diawali dengan Barangsiapa.

Dasar Penghapus Pidana:

 Dasar Pemaaf : sifat melawan hukum masih ada, unsur kesalahan dihapuskan.

 Dasar Pembenar : sifat melawan hukum dan kesalahan dihilangkan.

08 Maret 2018

Daya Paksa (OVERMACHT)

Daya paksa artinya kekuatan atau daya yang lebih besar.

Kekuatan Fisik : Vis Absoluta (Mutlak)

Kekuatan Psikis : Vis Compulsiva (Relatif)

Daya Paksa Relatif terbagi 2 :

 Daya Paksa Arti Sempit : paksaan datang dari orang

 Keadaan Darurat : datang dari keadaan

Keadaan darurat terjadi karena 3 hal :

1. Karena pertentangan antara 2 kepentingan hukum


2. Karena pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajban hukum

3. Karena pertentangan antara 2 kewajiban hukum

Pembelaan Terpaksa (NOODWEER)

Pasal 49 ayat (1) : Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena

ada serangan atau ancaman serangan ketika itu melawan hukum

terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan

kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Harus berupa pembelaan artinya terlebih dahulu ada serangan harus ada hal – hal

memaksa terdahulu melakukan perlawanannya.

Hubungan kausal dan akibat

Teori Syarat Mutlak : sebab – sebab yang dapat menimbulkan akibat dianggap

sebagai sebab yang nilainya sama.

12 April 2018

POGING

Poging ialah percobaan terhadap tindak pidana tetapi tidak selesai dan tidak selesainya bukan
karena kehendak sendiri tetapi faktor dari luar

 Poging dibagi menjadi dua, yaitu :


1. Percobaan Tindak Pidana Kejahatan, dibagi lagi :
 Percobaan tindak pidana kejahatan yang dihukum :
Pasal 53 ayat (1) :
“Mencoba melakukan tindak pidana, jika niat untuk itu ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata – mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri”
 Percobaan tindak pidana kejahatan yang tidak dihukum :
Apabila pelaksanaan itu tidak selesai karena kehendaknya sendiri
2. Percobaan Tindak Pidana Pelanggaran :
 Percobaan tindak pidana pelanggaran tidak dihukum

 Unsur Poging :
1. Adanya niat : unsur niat itu sama dengan sengaja, tetapi menurut Mulyatno
niat itu tidak dapat disamakan dengan kesengajaan. Apabila niat itu
dilakukan baru dapat dikatakan kesengajaan, namun apabila tidak dilakukan
bukan dinamakan kesengajaan
2. Adanya suatu permulaan pelaksanaan
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri
 Sifat percobaan ada 2 pandangan :
1. Percobaan dipandang sebagai dasar dari alasan memperluas dapat
dipidananya orang, menurut pandangan ini seseorang yang melakukan
percobaan untuk melakukan tindak pidana meskipun tidak memenuhi semua
unsur delik tetapi dapat dipidana apabila telah memenuhi rumusan pasal 53
KUHP
2. Percobaan dipidana sebagai dasar dari alasan memperluas dapat
dipidananya perbuatan, menurut pandangan ini percobaan melakukan suatu
tindak pidana merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan
bukanlah delik yang tidak sempurna tetapi merupakan delik yang sempurna
hanya dalam bentuk yang khusus / istimewa

 Menurut Prof. Mulyatno :


a. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik
b. Dalam konsepsi “perbuatan pidana” ukuran suatu delik didasarkan pada
pokok pikiran sifat berbahayanya perbuatan itu sendiri bagi keselamatan
masyarakat
c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang
tidak sempurna
d. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik
yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun pelaksanaan
dari perbuatan itu sebenarnya belum selesai, jadi merupakan percobaan
 Apa yang menjadi dasar patut dipidana percobaan :
Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini terdapat beberapa
teori :
1. Teori Subyektif : menurut teori ini dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada sikap batin atau watak yang berbahaya dari
si pembuat
2. Teori Obyektif : menurut teori ini dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sikap berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh
pembuat
Teori Obyektif dibagi menjadi 2 :
a. Teori Obyektif Formil yang menitikberatkan sifat berbahayanya
perbuatan itu terhadap tata hukum. Menurut teori ini suatu delik
merupakan suatu rangkaian dari perbuatan – perbuatan yang
dilarang, dengan demikian apabila seseorang melakukan
perbuatan percobaan berarti telah melakukan sebagian dari
tindak pidana tersebut
b. Teori Obyektif Materil yang menitikberatkan sifat berbahayanya
kepada perbuatan terhadap kepentingan benda hukum
3. Teori Campuran : teori ini melihat dasar politik dipidananya
seseorang dari 2 segi, yaitu sikap batin pembuat yang berbahaya dan
juga sikap berbahayanya perbuatan

 Menurut Doktrin yang dimaksud dengan Poging


“Permulaan kejahatan yang belum selesai” KUHP tidak memberikan
perumusan mengenai poging. Saat itu diserahkan kepada doktrin dan
yurisprudensi. Mengenai poging ini KUHP meletakannya dalam Pasal 53
KUHP hanya menentukan syarat – syarat bilamana poging dapat dihukum.

Apabila kita membicarakan poging maka harus memahami bilamana suatu delik
telah dianggap selesai. Dalam hal ini kita harus mengambil dasar sebagai
perbedaan yg terdapat antara jenis delik :
1. Delik Formil ialah suatu delik yang terdiri dari atas perbuatan yang dilarang
2. Delik Materil ialah suatu delik yang menitikberatkan pada akibat yang
dilarang

 Untuk menghukum poging harus memenuhi 3 syarat :


1. Harus terdapat rencana dari pelaksanaan itu
2. Rencana dari pelaksanaan itu harus telah terwujud dengan suatu perbuataan
permulaan
3. Pelaksanaan perbuatan yang telah dimulai itu tidak selesai yang disebabkan
bukan kehendaknya sendiri

 Ada 4 macam bentuk percobaan :


1. Percobaan yang sempurna, apabila perbuatan permulaan pelaksanaan itu
sudah hampir mendekati terlaksananya kejahatan yang dimaksud
Contoh : A nembak B tetapi tembakan itu tidak mengenai sasaran
2. Percobaan tertangguh, misalnya A bermaksud menembak B akan tetapi saat
ia sedang membidik dan sebelum ia melepaskan tembakan, senjatanya
direbut oleh orang lain
3. Percobaan berjenis, jika perbuatannya untuk melakukan kejahatan
dimaksud tidak berhasil akan tetapi kejahatan itu menimbulkan kejahatan
lain
Contoh : A membacok B dengan maksud untuk membunuh B tetapi
maksudnya tidak berhasil hanya luka parah saja

4. Percobaan mubazir
- Mubazir secara mutlak, contohnya : A ingin meracuni B dengan
makanan tetapi yang sebenarnya bukan racun
- Mubazir secara nisbi, contohnya : A ingin membunuh B dengan
menggunakan pisau, akan tetapi B kebetulan menggunakan baju besi

Percobaan mubazir ini ada 2 pendapat, yaitu dapat dihukum dan tidak dapat
dihukum.
DADER

(PELAKU TINDAK PIDANA)

Menurut Doktrin

Menururt doktrin dader adalah orang yang melakukan perbuatan yang mencocoki dengan
rumusan delik yang tercantum dalam undang-undang. Menururt doktrin pelaku tindak pidana
atau dader dibagi menjadi dua. Yaitu:

1. Pelaku tindak pidana formil : barang siapa yang menimbulkan perbuatan yang
dilarang oleh Undang-undang.
2. Pelaku tindak pidana materil : barang siapa yang menimbulkan akibat dari perbuatan
yang dilarang oleh Undang-undang.

Menururt KUHP

Pelaku tindak pidana atau dader ada empat golongan, yaitu :

1. Mereka yang melakukan sendiri suatu tindak pidana (pleger)


2. Mereka yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana (doenpleger)
3. Mereka yang bersama-sama turut serta melakukan tindak pidana (medepleger)
4. Mereka yang sengaja menggerakan orang lain melakukan tindak pidana. (uti lokker)
- Pleger (pelaku) ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi
rumusan delik.
- Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dengan perantara
orang lain
- Medepleger adalah bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja
turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Memorir Van Toelitchting
(MVT)

Syarat adanya madepleger yaitu:

1. Ada kerjasama secara sadar, artinya adanya kesadaran bersama ini tidak perlu ada
kesepakatan ditunjukan kepada hal yang dilarang. Tidak ada tururt serta, bila orang
yang satu hanya menghendaki untuk menganiyaya, sedang kawannya menghendaki
matinya si korban.
2. Ada pelaksanaan bersama secara fisik, persoalannya kapan dikatakan ada perbuatan
pelaksanaan merupakan persoalan sulit yang namun secara singkat dapat dikatakan
bahwa perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan
selesainya delik.

Ada beberapa persamaan dan perbedaan tentang dua point pelaku tindak pidana atau
dader diatas. Yaitu point nomor dua dan empat. Perbedaan dan persamaan diantara kedua
ialah sebagai berikut :

 Persamaannya ialah :
- sama-sama berkehendak tidak melakukan tindak pidana (tidak sendiri
melaksanakan perbuatan itu, tetapi menyuruh orang lain)
 Perbedaannya ialah :
- jika menyuruh melakukan, orang yang disuruh disyaratkan orang-orang yang
tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh hukum. Misalnya anak-anak dan
orang gila.
- Jika menggerakkan, orang yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan
oleh hukum.

KUHP pasal 55 ayat (1), yang dipidana sebagai pelaku tindak pidana yaitu :

a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, turut melakukan tindak pidana.
b. Mereka yang dengan sengaja menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana dengan menggunakan salah satu daya upaya / dengan memberi suatu janji /
dengan menyalah gunakan kekuasaan / dengan menyalahgunakan kemuliaan /
menggunakan kekuasaan / menggunakan ancaman / dengan tipu muslihat / dengan
memberi kesempatan / dengan memberikan alat / dengan memberikan penerangan
(bantuan).

DEELMENING

Deelmening diartikan adalah suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang
dapat dipertanggung jawabkan.

Menurut doktrin deelmening menururt sifatnya terdiri atas :


a. Deelmening yang berdiri sendiri, yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta
dihargai sendiri-sendiri
b. Deelmening yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggung jawaban dari peserta yang
satu digantungkan kepada perbuatan peserta yang lain

Terdapat empat peranan pelaku yakni :

1. Plengen atau dader (orang yang melakukan)


Mereka yang melakukan golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan
perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan
kata lain, plengen adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu
perumusan karakteristik delik pidana.
2. Doen plengen (orang yang menyuruh melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plengen, paling sedikit harus ada dua orang,
dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plengen adalan
seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi ia tidak mau melakukannya
sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang
dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang
menyuruh melakukan.
3. Madeplenger atau madedader (orang yang turut melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai madeplenger, paling sedikit juga harus tersangkut
dua orang yaitu “orang yang menyuruh melakukan” (plenger) dan “orang yang tururt
melakukan” (madeplenger). Disebut turut melakukan karena ia terlibat secara
langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya
sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti
antara “orang yang turut melakukan” dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar
dan sengaja.
4. Utilokker (orang yang membujuk melakukan)
Secara sederhana pengertian utilokker adalah setiap orang yang menggerakan atau
membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana.
19 April 2018

Concursus
A. BEBERAPA PANDANGAN

Ada dua kelompok pandangan mengenai persoalan concursus:

1. Yang memandang sebagai masalah pemberian pidana a2.l Hazewinkel - Suringa.


2. Yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana a.l : Pompe, Mazeger,
Mulyatno
B. PENGATURAN DI DALAM KUHP

Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari:

1. Perbarengan peraturan (concursus idealis): pasal 63


2. Perbuatan berlanjut (delictum Continuatum/voort- gezettehandeling): pasal 64
3. Perbarengan perbuatan (concursus realis): pasal 65 s/d 71
C. PENGERTIAN
1. Menurut rumusan KUHP

Didalam KUHP tidak terdapat definisi mengenai Concursus, namun dari pasal pasal diperoleh
pengertian sebagai berikut:

a. Ada Concursus Idealis, apabila (pasal 63)


- Suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.
b. Ada Perbuatan Berlanjut, apabila (pasal 64)
- Seseorang melakukan beberap perbuatan.
- Perbuatan tersebut masing – masing merupakan kejahatan atau pelanggaran.
- Antara perbuatan perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus di
pandang sebagai suatu perbuatan berlanjut.
Mengenai hubungan sedemikian rupa sehngga harus dipandang sebagai perbuatan
berlanjut”, MvT memberikan tiga kriteria :
1. Harus ada satu keputusan kehendak.
2. Masing – masing perbuatan harus sejenis.
3. Tenggang waktu antara perbuatan – perbuatan itu tidak terlampau lama.
c. Ada Concursus Realis, apabila (pasal 65)
- Seseorang melakukan beberapa perbuatan.
- Masing – masing perbuatan itu berdiri sendiri – sendiri sebagai suatu tindak pidana
(kejahatan/ pelanggaran); jadi tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain.

Diantara perbuatan – perbuatan yang dilakukan (pada concursus realis dan perbuatan
berlajut) harus belum ada keputusan hakim.

Concursus adalah gabungan tindak pidana

2. Menurut pendapat para sarjana


a. HAZEWINKEL – SURINGA
Ada Concursus Idealis, apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan
delik, mau tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain.
Misalnya:
- Perkosaan dijalan umum, disamping masuk pasal 285 (perkosaan) juga mau tidak
mau masuk pasal 281 (melanggar kesusilaan di muka umum).

b. POMPE
Ada Concursus Idealis, apabila orang melakukan suatu perbuatan konkrit yang
diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda, obyek aturan hukum.
Misalnya:
- Bersetubuh dengan anaknnya sendiri sebelum 15 tahun; perbuatan ini masuk pasal
294 (perbuatan cabul dengan anak sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287
(bersetubuhan dengan wanita yang belum 15 tahun diluar perkawinan).

c. TAVERNE
Ada Concursus Idealis , apabila dipandang dari sudut hukum pidana ada dua perbuatan
atau lebih dan antara perbuatan – perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama
lain.
Misalnya:
- Orang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil di waktu malam tanpa lampu.
Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil” tetapi dilihat dari
sudut hukum ada dua perbuatan yang masing – masing dapat dipikirkan terlepas
satu sama lain, yaitu:
- Pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan mabuk” (meggambarkan keadaan
orag / pelakunnya)
- Kedua, “mengendarai mobil dalam keadaan mabuk” (menggambarkan keadaan
mobilnya)

Jadi dalam hal ini ada Concursus Realis.

d. VAN BEMMELEN
Ada Concursus Idealis, Apabila dengan melanggar satu kepentingan hukum dengan
sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Misalnya:
- Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 dan pasal 281 KUHP)

D. SISTEM PEMBERIAN PIDANA


1. Concursus Idealis (Pasal 63)
a. Menurut ayat 1 digunakan sistem absorbsi,yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok
yang terberat.
b. Apabila hakim menghadapi pilihan antara 2 pidana pokok sejenis yang
maksimumnya sama, maka menurut vos di tetapkan pokok pidana tambahan yang
paling berat.
c. Apabila hakim menghadapi pilihan antara 2 pidana tidak sejenis maka penentuan
pidana yang terberat didasarkan pada urutan urutan jenis pidana seperti tersebut
pasal 10
d. Dalam pasal 63 ayat 2 diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip
umum dalam ayat 1 berlaku “ lex specialis derogate lex generalis”
2. Perbuatan berlanjut (Pasal 64)
a. Menurut pasal 64 ayat 1, pada prinsipnya berlaku sistem absorbsi yaitu hanya
dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda beda dikenakan ketentuan yang
memuat ancaman pidana pokok terberat.
b. Pasal 64 ayat 2 , merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan
mata uang. (Pasal 244 dengan ancaman pidana penjara selama 15 tahun) kemudian
mengedarkan mata uang yang palsu . (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15
tahun)
c. Pasal 64 ayat 3, merupakan ketentuan khusus dalam hal kejhatan – kejahatan ringan
yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379
(penipuan ringan).
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71)
a. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan yang di ancam pidana sejenis, berlaku
pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah
maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
b. Concursus Realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis
berlaku pasl 66 yaitu, semua jenis ancaman pidana untuk tiap tiap kejahatan
dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiga. (kumulasi yang diperlunak)

Samanloop
A. PENGERTIAN
Samanloop dibagi menjadi 3 bagian:
a. Een Daadse Samanloop (Suatu perbuatan terlanggar lebih dari 1)
b. Vaargezille Handeling (perbuatan berlanjut)
c. Meer Daadse Samanloop

B. PENTINGNYA SAMANLOOP
Pentingnya ajaran samanloop ini yaitu:
- meringankan terdakwa karena seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan
10x juga tetap dikenakan hukuman penjara maksimal 15 tahun dan 1/3 dari
hukuman itu jadi 20 tahun.
- Seorang melakukan tindak pidana pencuria maka dikenakan hukuman penjara
maksimal 5 tahun dan 1/3 dari hukuman itu jadi 10 tahun.
Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)

Pengertian
Recidive atau penggulangan tindak pidana adalah seseorang yang melakukan suatu tindak
pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap, kemudiam
malakukan suatu tindak pidana lagi. jadi dalam recidive sama halnya dengan Concursus
Realis. Perbedaannya adalah bahwa pada recidive sudah ada putusan hakim yang berkekuatan
tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan terdahulu atau
sebelumnya.
Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya recidive, yaitu sistem:
1. Recidive Umum
Menurut sistem ini, setiap penggulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan
dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan pemberatan pidana (kejahatan
apapun setelah dia menjalankan hukuman).
2. Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan
pidana . pemberatan pidana hanya dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
Recidive Khusus dianut oleh KUHP artinya pengulangan tindak pidana hanya dikenakan
pada pengulangan jenis – jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam waktu
tertentu.
 Membagi tiga kelompok tindak pidana (KUHP)

1. Pencurian, (tentang kekayaan), penggelapan (pasal 486)


2. Penghinaan, pencemaran nama baik orang (pasal 487)
3. Golongan penganiayaan (tentang badan), pembunuhan (pasal 488)
persamaan concursus dan recidive
1. Sama sama melakukan tindak pidana lebih dari satu kali (persamaan)
Perbedaan concursus dan recidive
2. Recidive: meringankan (perbedaan)
3. Concursus: memberatkan (perbedaan)

Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana

A. Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana

1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan


2. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP) yang artinya tidak bisa menuntut kedua kalinya
dalam perkara yang sama
3. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)
4. Daluwarsa (pasal 78 KUHP) yang artinya ada tenggang waktu
5. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk
pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP)
6. Ada abolisi dan amnesti (diluar KUHP). Abolisi yaitu hanya menghapuskan
tentang penuntutan sedangkan amnesti lebih luas lagi yang sudah dihukum pun
harus dikeluarkan amnesti. Abolisi dan amnesti sama-sama diberikan oleh
presiden.

B. Alasan Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana

1. Yang terdapat di KUHP:


a. Matinya terdakwa (pasal 83)
b. Daluwarsa (pasal 84, 85) yaitu adanya tenggang waktu
2. Yang terdapat diluar KUHP:
a. Pemberian amnesti oleh presiden
b. Pemberian grasi oleh presiden. Grasi tidak menghilangkan putusan hakim
yang bersangkutan. Keputusan hakim tetap ada, tetapi pelaksanaannya
dihapuskan atau dikurangi/diringankan.

TUGAS AKHIR SEMESTER


HUKUM PIDANA
“RANGKUMAN CATATAN”
OLEH:
AGUM GUMELAR
1111170122
KELAS: A
DOSEN: HA. SYAR I HOEYIB, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2017

Anda mungkin juga menyukai