Anda di halaman 1dari 55

BAB I

HUKUM PIDANA

A. Pengertian
1. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan terjemahan dari perkataan “strafrecht”
(bahasa Belanda), “criminal law” dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut
dipergunakan untuk membedakannya dengan istilah dalam hukum
perdata, privaatrecht atau burgerlijkrecht. Bahwa perkataan hukum
pidana itu mempunyai banyak makna dan pengertian, misalnya: ada
hukum pidana materiil (substantive criminal law), ada hukum acara
pidana atau hukum pidana formil atau criminal procedure law.
Berhubung dengan itu pula sulit untuk memberikan suatu perumusan
tentang hukum pidana yang lengkap dan sempurna, mengingat banyak
segi-seginya dan liku-likunya. Nampun demikian tidak ada salahnya
untuk mengemukakan batasan tentang hukum pidana (hukum pidana
materill) agar dapat sedikit gambaran tentang apakah hukum pidana
materiil itu.
2. Batasan Hukum Pidana
a. Simons.1
Hukum pidana itu dibagi dalam dua bagian:
1) Hukum pidana objektif dan,
2) Hukum pidana subjektif.
1) Hukum pidana objektif adalah merupakan suatu keseluruhan dari
larangan larangan dan keharusan-keharusan, yang atas
pelanggarannya oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum
lainnya si pelanggar diancam dengan suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yaitu berupa suatu pidana sesuai dengan
peraturan-peraturan yang mengatur akibat hukum tersebut dan

1
D. Simons & P.A.F. Lamintang, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Penerbit
Pionir Jaya, Bandung 1992, hlm. 1.

1
2

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang menentukan pidana apa


yang diancamkan dan pidana apa yang dikenakan. Hukum pidana
objektif adalah hukum pidana yang sedang berlaku atau hukum
positif, ius poenale atau ius constitutum.
2) Hukum pidana subjektif adalah merupakan hak yang diberikan
negara dan alat-alat perlengkapannya untuk menjatuhkan pidana
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh hukum
pidana. ketentuan-ketentuan tersebut membatasi ruang gerak
kekuasaan negara untuk menjatuhkan pidana. Maknanya didalam
korridor ketentuan-ketentuan itu penguasa bertindak dan berbuat;
keluar dari korridor tersebut, itu berarti penguasa telah melakukan
perbuatan melanggar hukum dan sewenang-wenang (abuse of
power). Dengan demikian hukum pidana subjektif atau ius
puniendi merupakan hak yang diberikan kepada negara untuk
menjatuhkan ancaman pidana terhadap pelanggaran terhadap
hukum pidana objektif.
b. Pompe.2
Hukum pidana merupakan keseluruhan aturan ketentuan hukum
mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan
pidananya.
c. Van Hattum.3
Hukum pidana merupakan keseluruhan dari asas-asas dan
peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat
hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemeliraha dari
ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan yang
bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran
terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang
bersifat khusus berupa hukuman.

2
Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia,
1978, hlm. 14.
3
D. Simons & P.A.F. Lamintang, opcit, hlm. 3.
3

d. Satochid Kartanegara.4
Hukum pidana merupakan sejumlah peraturan yang merupakan
bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan
lain yang berwenang.

Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan


kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat
yang berupa pidana. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) memuat dua hal pokok:

1) Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam


pidana; artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang
memungkinkan Pengadilan menjatuhkan pidana. Jadilah disini negara
menyatakan kepada umum dan juga kepada aparat penegak hukum
tentang perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat
dipidana.
2) KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima
oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.5

Dari perumusan-perumusan yang dikemukakan para cerdik pandai


tersebut, dapat disimpulkan, bahwa:

1. Hukum pidana itu merupakan hukum pidana positif, ius constitutum,


ius poenale. Hukum yang berlaku pada suatu tempat atau wilayah
tertentu dan pada waktu tertentu.
2. Substansinya atau muatan hukum pidana itu (hukum pidana materiil)
menentukan tindak pidana bagi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
baik berupa perintah atau larangan dan menetapkan kesalahan bagi
pelakunya (dader atau offender). Kesalahan berarti pelakunya dapat
dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut.

4
Satochid Kartanegra, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun.
5
Soedarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 1977, hlm. 100-101.
4

3. Hukum acaranya (hukum pidana formil) yang menetapkan tentang


cara melaksanakan dan mempertahankan substansi hukum pidana
materiil, bilamana hukum pidana materiil tidak ditaati, dilanggar.

Demikian diadakannya hukum pidana ini tujuannya antara lain adalah


untuk terwujud dan terciptanya ketertiban, kedamaian, keamanan dan
keadilan didalam pergaulan masyarakat.

B. Sumber-Sumber Hukum Pidana


Sumber hukum pidana adalah “segala aturan yang menimbulkan
aturan-aturan yang mengikat dn memakasa segala apabila dilanggar akan
menimbulkan saksi yang tegas dan nyata berupa nestapa atau penderitaan,
bagi pelakunya. Dapat pula dikatakan bahwa sumber hukum itu adalah
peristiwa darimana timbul hukum yang berlaku.6

Ada dua sumber hukum :

1. Sumber hukum materiil, yakni perasaan hukum dan nilai-nilai yang


hidup dan berkembang didalam jiwa dan sanubari masyarakat serta
diberi sanksi agar masyarakat mematuhinya.
2. Sumber hukum formil, yaitu yang membentuk dan menentukan
berlakunya hukum. Berlakunya suatu ketentuan hukum itu karena
telah dibentuk dan dimasukkan kedalam sumber atau bentuk
formil.

Sumber hukum pidana materiil sebagian terbesar terdapat didalam


KUHPidana. Disamping itu sumber-sumber hukum pidana materiil
terdapat pula didalam ketentuan perundang-undangan di luar KUHPidana,
antara lain :

1) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang


Darurat Nomor 7 tahun 1955).

6
Buchari Said H, Ringkasan Hukum Pidana, F.H.Unpas, 2005, hlm, 4.
5

2) Undang-Undang Tindak Pidana Psikotropika (Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1997).
3) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 20
Tahun 2001).
4) Undang-Undang Tindak Pidana Narkotika (Undang-Undang No.
35 Tahun 2009).
5) Undang-Undang Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009).
6) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang
No. 8 Tahun 2010 ).
7) Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang No. 5
Tahun 2018).

Disamping sumber-sumber hukum pidana diatas, maka


dimungkinkan pula sumber hukum dari hukum adat, yang merupakan
tindak pidana adat (delik adat), hal ini dapat dilihat dalam Undang-
Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Untuk
Menyelenggarakan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil, khususnya didalam Pasal 5 ayat (3) sub.b. Dari bunyi
Pasal 55 ayat (3) sub.b. Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1955 itu
dapat disimpulkan ada dua kategori hukum pidana adat (hukum yang
hidup dalam hati sanubari, jiwa bangsa Indonesia), yaitu:

1) Yang mempunyai bandingan (pendant) atau ekuivalensinya


didalam KUHPidana.
2) Yang tidak mempunyai pendant atau ekuivalensi didalam
KUHPidana.
C. Pembagian Hukum Pidana
Hukum pidana termasuk hukum publik “oleh karena hukum pidana itu
mengatur hubungan perseorangan dengan masyarakat atau negara yang
dilaksanakan untuk kepentingan umum”. Ini berarti bahwa bilamana ada
kepentingan masyarakat atau publik yang terganggu, yang dilanggar maka
6

penuntutan dilakukan oleh organ negara incasu Jaksa penuntut umum,


terkecuali kejahatan aduan, klacht misdrijven, seperti Pasal: 284, 332, 310
KUHPidana). Bahwa sifat dari hukum pidana termasuk hukum publik
terlihat nyata, bahwa:
a. Didalam banyak hal sifat dapat dipidananya sesuatu perbuatan tetap
melekat (ada) kendatipun perbuatan tersebut dilakukan atas
persetujuan serius dari orang tersebut (korban), contoh: kejahatan
dalam Pasal 344 KUHPidana, yang mengatakan:”barangsiapa
menghilangkan nyawa seseorang atas permintaan yang sungguh-
sungguh dari orang itu sendiri, dipidana penjara selama-lamanya 12
tahun”. Makna dari pasal ini adalah kendatipun ada permintaan yang
sungguh-sungguh dari korban (victim), pelakunya tetap dikenakan
pidana, hanya saja ancaman pidananya tidak seberat tindak pidana
pokok menghilangkan nyawa orang lain, yang tersebut dalam Pasal
338 KUHPidana. Jadi dalam Pasal 344 KUHPidana ini ada faktor
meringankan terhadap pelaku tindak pidana, berhubung adanya
permintaan serius, nyata dan tegas dari korban.
b. Penuntutan perkara pidana tidak tergantung pada korban dari tindak
pidana, tetapi penuntutan dilakukan oleh aparat negara (Jaksa), kecuali
kejahatan aduan.
c. Diselenggarakan untuk kepentingan umum.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa hukum pidana dapat


dinyatakan sebagai hukum publik. Hubungan hukum yang teratur dalam
hukum pidana adalah sedemikian rupa. Bahwa titik berat berada pada
kepentingan orang banyak, yang juga dapat dinamakan kepentingan
umum.

Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana ini digolongkan dalam


hukum publik, karena mengatur hubungan antara negara dan perseorangan
atau mengatur kepentingan umum.
7

Hukum pidana itu dapat dibedakan dalam beberapa bagian, yaitu:

1. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif

Hukum pidana objektif atau ius poenali adalah peraturan-peraturan


yang memuat larangan-larangan dan keharusan-keharusan,
pelanggaran terhadap peraturan tersebut diancam dengan pidana. Jadi
hukum pidana objektif itu memuat rumusan tindak pidana serta
ancaman pidana. Misalnya: pencucian merupakan perbuatan yang
dilarang dan karena itu diancam dengan pidana (Pasal 362
KUHPidana), menghilangkan nyawa orang lain (pembunuhan
merupakan perbuatan yang dilarang dan karena itu diancam dengan
pidana (Pasal: 338 KUHPidana).

Hukum pidana subjektif (ius puniendi) adalah peraturan-peraturan


yang memuat hak-hak negara untuk mempidana seseorang yang
melakukan perbuatan yang terlarang dan diharuskan. Adanya hukum
pidana subjektif ini untuk mempertahankan eksistensi, keberadaan
hukum pidana objektif, karena hukum pidana objektif tidak dipatuhi
dan ditaati oleh masyarakat. Misal: hak negara untuk mengusut
(melakukan penyedikan, dalam hal ini Kepolisian), menuntut
(Kejaksaan) dan menjatuhkan pidana (Pengadilan) serta melaksanakan
pidana (Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan).

2. Hukum pidana materii dan hukum pidana formil

Hukum pidana materiil (hukum pidana substantif, substantive


criminal law) adalah seluruh peraturan yang memuat perumusan
tentang:

a. Perbuatan apa yang dapat dipidana;


b. Siapa yang dapat dipidana; dan
c. Pidana apa yang dapat dikenakan kepada sipelaku (dader,
offender). Hukum pidana materiil terdapat dalam KUHPidana dan
8

Undang-Undang Tindak Pidana diluar KUHPidana (delik-delik


khusus diluar KUHPidana).

Hukum pidana formil (hukum acara pidana, criminal procedure


law) adalah seluruh peraturan yang memuat cara-cara negara dengan
mempergunakan hak-haknya melalui alat-alat perlengkapannya untuk
mempertahankan hukum pidana materiil kalau hukum pidana itu tidak
ditaati atau dilanggar oleh anggota masyarakat. Hukum pidana formil
terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau
KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).

3. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus


a. Hukum pidana umum, ius commune adalah hukum pidana yang
berlaku umum atau berlaku bagi semua orang. Hukum pidana
umum dimuat dalam KUHPidana.
b. Hukum pidana khusus, ius speciale adalah hukum pidana yang
berlaku bagi golongan-golongan tertentu (misalnya anggota
ABRI) atau yang disamakan dengan anggota ABRI atau yang
memuat perkara-perkara tertentu, misalnya: tindak pidana korupsi,
tindak pidana ekonomi, tindak pidana narkotika dan lain-lainnya.
Hukum pidana khusus terdapat didalam peraturan perundangan-
perundangan diluar KUHPidana.

Hubungan hukum pidana umum dengan hukum pidana khusus


terlihat, bahwa ketentuan hukum pidana itu tetap berlaku terhadap
hukum pidana khusus. Maknanya adalah bahwa hukum pidana khusus
itu sebagai hukum pelengkap. Namunpun demikian hukum pidana
khusus itu dapat menyimpang dari ketentuan hukum pidana umum.
Dalam hal penyimpangan ini maka yang dipergunakan adalah
ketentuan pidana khusus. Hal ini merupakan perwujudan dari adagium
“Lex specialis derogat lex generalis”yaitu ketentuan hukum khusus
mengenyampingkan, mengecualikan ketentuan hukum umum.”
9

Dengan perkataan lain kalau tidak ada ketentuan hukum khusus maka
yang dipergunakan adalah ketentuan hukum umum. Dasar hukum ini
dapat dilihat dalam Pasal 103 KUHPidana mengatakan:”ketentuan-
ketentuan dalam bab I sampai bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu
ditentukan lain”. Misalnya: percobaan (poging), ajaran mengenai
berlakunya ketentuan undang-undang pidana menurut waktu dan
tempat, tetap berlaku bagi ketentuan-ketentuan perundang-undangan
pidana yang terdapat diluar KUHPidana.

4. Hukum pidana tertulis dan tidak tertulis

Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana yang terdapat


didalam KUHPidana (hukum pidana materiil) dan didalam KUHAP
(hukum acara pidana) yang merupakan kodifikasi hukum pidana
materiil (KUHPidana) dan hukum acara pidana (KUHAP). Termasuk
pula hukum pidana tertulis yang bersifat khusus (tindak pidana diluar
KUHPidana) dan hukum pidana yang dimuat dalam peraturan
pemerintah maupun peraturan pemerintah daerah (pronvinsi,
kabupaten/kotamadya).

Hukum pidana tidak tertulis adalah hukum pidana adat, yang


berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.P.1951-9)
Pasal 5 ayat (3) sub.b masih berlaku dibekas daerah swapraja dan
bekas Pengadilan Adat.

5. Hukum pidana bagian umum dan khusus


Hukum pidana bagian umum adalah hukum pidana yang memuat
azas-azas umum, ketentuan umum yang terdapat didalam Buku I
KUHPidana, misalnya azas legalitas, azas ne bis in idem, azas
teritorial, penyertaan dan sebagainya.
10

Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang


terdapat dalam Buku II KUHPidana (tentang kejahatan), misalnya:
kejahatan terhadap nyawa manusia, tubuh manusia, harta benda dan
sebagainya. Termasuk pula kejahatan-kejahatan diluar KUHPidana
(tentang kejahatan) misalnya: tindak pidana narkotika (Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009), tindak pidana psikotropika (Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan hidup
(Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009) dan lain-lainnya.
6. Hukum pidana yang dikodifikasi dan tidak dikodifikasi

Hukum pidana yang dikodifikasi adalah hukum pidana yang


dikumpulkan dan dibukukan ata dikitabkan, seperti KUHPidana,
KUHPidana Militer. Sedangkan hukum pidana yang tidak dikodifikasi
adalah hukum pidana yang tidak dikumpulkan atau dikitabkan,
melainkan tersebar dan tercerai berai diluar KUHPidana, misalnya:
Undang-undang tindak pidana ekonomi (Undang-undang nomor 5 Drt
tahun 1955), Undang-undang tindak pidana korupsi (Undang-undang
nomor 20 tahun 2001).

7. Hukum pidana nasional dan internasional

Hukum pidana nasional adalah hukum pidana yang berasal dari


negara sendiri, sedangkan hukum pidana internasional merupakan
juga hukum pidana nasional akan tetapi memuat ketentuan yang
berasal dari dunia internasional.

D. Tujuan Hukum Pidana


Diadakan dan dibentuknya hukum pidana itu untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Ini berarti hukum pidana itu bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum, masyarakat luas
dari berbagai bentuk kejahatan atau pelanggaran yang menimbulkan ketidk
tertiban, ketidak damaian dalam masyarakat.
11

Berhubung dengan itu maka:

1) Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa tujuan hukum pidana itu


adalah untuk memenuhi rasa keadilan.7
2) A.Prins.B.A., Van Hamel dan Frans Von List mengatakan tujuan
hukum pidana adalah memberantas kejahatan yang dianggap sebagai
suatu gejala masyarakat.8

Ada tiga aliran mengenai tujuan hukum pidana ini, yakni:

1. Aliran Klasik
Tujuan dari aliran ini adalah untuk melindungi kepentingan
individu terhadap kekuasaan negara. Tokoh aliran ini adalah Cessano
de Beccaria. Dalam bukunya Dei delitti e delle pene (tentang delik-
delik dan pidana-pidana).
2. Aliran Modern
Lahir dan berkembangnya aliran ini erat kaitannya dengan lahirnya
perkembangan krimonologi. Pada zaman aliran klasik, ilmu yang
mempelajari sebab musabab kejahatan ini belum lahir dan karenanya
pula krimonologi tidak mendapat perhatian dari aliran ini. Krimonologi
dalam penyelidikan ilmiahnya lebih mengedepankan penjahat, sebab
sebab terjadinya kejahatan dan cara untuk menanggulangi kejahatan
daripada kejahatannya. Aliran ini lebih mengutamakan penjahat, sebab-
sebab apa penjahat melakukan kejahatan daripada kejahatannya sendiri.
Dengan demikian terlihatlah bahwa aliran ini tidak mengutamakan
perlindungan kepentingan perseorangan akan tetapi melindungi
kepentingan umum, masyarakat dari berbagai macam kejahatan
(prevensi umum). Oleh sebab itu aliran ini lebih mempelajari sebab-
sebab apa penjahat melakukan kejahatannya (etiologi kriminal) dan
pidana apakah yang paling tepat dan effisien untuk dijatuhan kepada
penjahat maupun bagi masyarakat, agar kejahatan tidak terulang lagi

7
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, hlm. 15.
8
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1. Hukum pidana materill, hlm. 30.
12

(politik kriminal) agar masyarakat diberikan perlindungan sepenuhnya


dari kejahatan maka aliran ini berpegang pada azas “bahwa setiap
penjahat harus diberikan terapi yang dibutuhkan”. Azas ini menunjukan
bahwa setiap penjahat itu harus dianggap sebagai orang yang menderita
sakit sosial (patologi sosial) yang memerlukan penyembuhan.
Singkatnya aliran modern ini bertujuan untuk mengindividualisasikan
hukum pidana, yaitu menyesuaikan hukum pidana dengan pribadi
pelaku kejahatan.
3. Aliran Sosiologis
Aliran sosiologis lahir sebagai kompromi antara aliran klasik
dengan aliran modern menjadi aliran kombinasi. Aliran ini menerima
aliran klasik mengenai sistim pidana dan hukum pidana yang
disandarkan pada kesalahan (melindungi kepentingan individu dari
kesewenang-wenangan penguasa) dan dari aliran modern, yang
melindungi kepentingan masyarakat dari berbagai kejahatan (prevensi
umum), dengan cara mempelajari sebab-musabab penjahat melakukan
kejahatan dan bagaimana memberikan terapi terhadap penjahat,
sehingga terwujud ketertiban dalam masyarakat dan kejahatan tidak
terulang kembali. Penganut aliran ini adalah adalah Enrico Ferri (aliran
bio sosiologis) dan sarjana yang tergabung dalam aliran otoriter. Aliran
otoriter ini lahir di Itali (Mussolini) dan di Jerman (Hitler) dan faham
komunis di Rusia (waktu lalu). Aliran ini lebih mengedepankan
kepentingan negara, sedangkan kepentingan perseorangan (kebebasan
perseorangan) adalah nomor dua.
13

BAB II

BERLAKUNYA KETENTUAN HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU


DAN TEMPAT

Berlakunya ketentuan hukum pidana menurut waktu dan tempat,


sebagaimana diatur dalam Pasal 9 KUHPidana, Buku I, Bab I, ini penting
diketahui, sehubungan dengan hal-hal dibawah ini:

a. Kapankah ketentuan hukum pidana itu diberlakukan


b. Terhadap siapakah ketentuan hukum pidana itu diberlakukan
c. Apa muatan cari hukum pidana itu
d. Dimanakah ketentuan hukum pidana menurut waktu

A. Berlakunya Ketentuan Hukum Pidana Menurut Waktu


Berpangkal tolak dari perkataan “kapankah” hukum pidana itu
diberlakukan, maka makna perkataan kapankah atau bilamanakah
menunjukkan kepada waktu (sphere of time, temporal sphere, tijdsgebied).
Jadi disini dimaksudkan adalah “waktu berlakunya suatu ketentuan hukum
pidana”. Mengenai berlakunya ketentuan hukum pidana menurut waktu
(tempo) dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHPidana.
Pasal 1 ayat (1) KUHPidana mengatakan “tiada suatu perbuatan yang
dapat dipidana kecuali didasarkan pada ketentuan undang-undang pidana
yang diadakan terlebih dahul”. Pasal 1 ayat (1) KUHPidana menjadi
tonggak, tiang, pilar hukum pidana, merupakan azas legalitas atau
principle of legality. Dengan azas legalitas ini dimaksudkan bilamana
terjadi suatu tindak pidana dan ada sangkaan telah dilakukan oleh
seseorang, maka terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana itu
harus dilakukan penuntutan oleh negara in casu oleh pihak Kejaksaan. Jadi
syarat pertama untuk menindak (menuntut) terhadap suatu perbuatan yang
tercela adalah adanya suatu ketentuan undang-undang pidana yang
merumuskan perbuatan yang tercela itu (perbuatan tidak patut) dan
14

memberikan suatu sanksi terhadapnya. Bahwa suatu perbuatan hanya


dapat dipidana jika perbuatan itu telah dimuat didalam undang-undang
pidana sebelum perbuatan itu dilakukan. Dengan perkataan lain undang-
undang hanya berlaku untuk hal-hal yang akan datang dan tidak
mempunyai kekuatan berlaku surut atau retroaktif. Dengan demikian maka
azas legalitas ini menunjukkan terikatnya hakim pada undang-undang. Jadi
pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidaklah dimungkinkan,
dibenarkana, kalau benar-benar berpegang teguh pada azas ini. Namun
dalam konteks ini dibeberapa daerah di Indonesia sesuai dengan Undang-
Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Pasal 5 ayat (3) sub.b. dimungkinkan
berlakunya hukum pidana adat.
Sesuai dengan roh dari Pasal 1 ayat (1) KUHPidana ini maka
ketentuan undang-undang pidana harus dirumuskan secara cermat atau
azas “lex certa” (lex certa bermakna undang-undang yang dapat
dipercaya). Undang-undang harus membatasi dengan tegas dan jelas
wewenang pemerintah terhadap rakyat.
Azas yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana ini dikenal
dengan nama “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”.
Merupakan suatu azas tentang berlakunya ketentuan hukum pidana dalam
perundang-undangan menurut waktu. Azas ini berasal dari sarjana Jerman
kenamaan bernama Anselm Von Feuerbach. Tujuan dicantumkannya azas
tersebut: “agar supaya perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan
itu serta ancaman pidananya dimuat, dicantumkan terlebih dahulu secara
tegas didalam undang-undang, sehingga orang mengetahui perbuatan apa
yang dilarang, yang diharuskan serta bagaimana ancaman pidananya”.
Azas legalitas ini secara rinci didalam bahasa Latinnya adalah:
a. nulla poena sine lege – tiada pidana tanpa ketentuan undang-undang;
b. nulla poena sine crimine – tiada pidana tanpa kejahatan;
c. nulun crimen sine poena legali – tiada tindak pidana tanpa dirumuskan
dalam suatu undang-undang.
15

Rumusan tersebut dapat dirangkum dalam kalimat: “nullum crimen,


nulla poena sine praevia lege.” (tiada tindak pidana, tidak ada pidana,
kecuali adanya ketentuan undang-undang yang dibuat terlebih dahulu dari
perbuatan tersebut). Sehubungan dengan azas tersebut George White Cross
Paton antara lain mengatakan: “the doctrine of nulla poena sine lege is
regarde in many countries as a vital protection of the subject”, yang artinya
doktrin nulla poena sine lege merupakan suatu penghormatan/penghargaan
di banyak negara guna perlindungan yang prima terhadap individu.

Nico Keijzer sewaktu berbicara di Universitas Diponegoro Semarang ,


tanggal 6 Desember 1987 mengatakan: “azas legalitas memberikan dua
fungsi, yakni:

1. fungi melindungi. Artinya undang-undang pidana itu melindungi rakyat


terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari Pemerintah.
2. fungsi instrumental. Artinya undang-undang pidana dalam batas-batas
yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh
Pemerintah tegas-tegas diperbolehkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, fungsi instrumental berarti
tidak ada tindak pidana yang dituntut. Melindungi tidak ada pemidanaan
kecuali didasarkan pada ketentuan undang-undang.

Maksud dicantumkan Pasal 1 ayat (1) KUHPidana yaitu sebagi berikut :

a. untuk melindungi individu dari tindakan hakim yang sewenang-wenang,


yakni melindungi kemerdekaan individu terhadap tuntutan yang
sewenang-wenang dari penguasa (faham aliran klasik)
b. untuk membatasi hasrat manusia yang cenderung berbuat jahat dan
melakukan suatu kejahatan.

B. Berlakunya Ketentuan Hukum Pidana Menurut Tempat


Yang mengedepankan mengenai berlakunya ketentuan hukum pidana
menurut tempat adalah bahwa ketentuan hukum pidana kita tidak hanya
16

berlaku didalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan tetapi


berlaku juga diluar batas wilayah negara RI . Ada 4 sistim azas, dasar yang
dipergunakan didalam undang-undang hukum pidana, yakni :
1. Azas Territorial
Azas ini terdapat didalam Pasal 2 KUHPidana yang menyebutkan:
“aturan pidana didalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan tindak pidana didalam wilayah
Indonesia”. Ini artinya siapapun, apakah warga negara Indonesia atau
bukan warga negara Indonesia (orang asing) yang melakukan tindak
pidana didalam wilayah negara ini berlakulah undang-undang pidana
Indonesia. Siapapun akan dituntut berdasarkan undang-undang pidana
Indonesia, bilamana orang tersebut melakukan tindak pidana didalam
wilayah negara Indonesia. Ini merupakan suatu konsekuensi dari sebuah
negara yang merdeka dan berdaulat.
Parameter yang dipergunakan adalah tindak pidana itu dilakukan
didalam wilayah negar Indonesia. Dengan demikian bukan ukurannya
bahwa pelaku berada dalam batas wilayah negara. Dengan demiian
dapat dilakukan suatu tindak pidana dalam wilayah negara Indonesia
sedangkan pelakunya berada diluar wilayah republik Indonesia. Jadi
intinya ukuran dari Pasal KUHPidana ini adalah tempat tindak pidana
itu dilakukan, bukan pelakunya.
Terhadap ketentuan Pasal 2 KUHPidana ini ada kekecualiannya,
diamana orang-orang asing menurut hukum internasional diberikan hak
“eksterritorialitet”, tidak boleh diganggu-gugat, sehingga undang-
undang pidana Indonesia tidak berlaku kepada mereka; mereka hanya
tunduk kepada undang-undang pidana negaranya sendiri.

Mereka itu misalnya :

a. para kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia dengan


sepengetahuan Pemerintah Indonesia.
17

b. para korps diplomatik negara-negara asing (duta besar, duta


istimewa, duta, charge d’affaires). Jadi mereka ini mempunyai
immunitet diplomatik (kekebalan diplomatik).
c. para konsul, seperti konsul jenderal, konsul,wakil konsul.
d. tentara asing dan para anak buah kapal-kapal perang asing yang ada
dibawah pimpinan langsung dari komandonya, yang datang ke
Indonesia atau melalui wilayah Indonesia dengan sepengetahuan
Pemerintah Indonesia.

Pasal 3 KUHPidana mengatakan, “aturan pidana dalam perundang-


undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang berada diluar
Indonesia, melakukan tindak pidana didalam perahu Indonesia”. Ini berarti
siapapun yang melakukan tindak pidana didalam perahu atau kapal
Indonesia, kendatipun perahu atau kapal Indonesia itu berada diluar
wilayah Indonesia, maka terhadap kejahatan tersebut berlakulah hukum
pidana Indonesia. Bahwa ciri yang menentukan perahu atau kapal itu milik
Indonesia. Bahwa ciri yang menentukan perahu atau kapal itu milik
Indonesia terlihat dari bendera yang terpasang ditiang bendera bagian
buritan perahu atau kapal. Tujuan dari Pasal 3 KUHPidana ini tiada lain
adalah agar tindak pidana itu ada yang mengadilinya.

Pelajaran mengenai tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) tidak


diatur didalam KUHPidana. Mengenai dimana tempat terjadinya tindak
pidana, maka hal ini diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan
yurisprudensi. Tempat terjadinya tindak pidana menjadi suatu
permasalahan, apabila pelaku dan penyelesaian tindak pidana tidak ada
tempat yang sama, akan tetapi berada dua tempat yang berlainan.

2. Azas Nasionalitas Aktif atau Azas Personalitas


Karena azas territorial belum cukup untuk melindungi kepentingan
nasional maka didalam KUHPidana dimuat beberapa azas lain, yang
kesemuanya bertujuan melindungi kepentingan nasional. Tolak pangkal
18

membuat azas-azas lain yaitu untuk azas nasionalitas aktif adalah


kewarnegaraan pelaku tindak pidana, sedangkan untuk nasionalitas
pasif adalah kewarnegaraan dari kepentingan yang hendak dilindungi.
Azas nasionalitas aktif (personalitas) terdapat didalam Pasal 5
KUHPidana, yang mengatakan :
a. Aturan pidana dalam undang-undang RI berlaku bagi warga
negara Indonesia yang melakukan diluar Indonesia:
Ke-1. salah satu kejahatan yang terdapat dalam Bab I dan
Bab II dan dalam Pasal-pasal 160,161, 240, 279, 450 dan
451;
Ke-2. suatu perbuatan yang aturan pidana dalam undang-
undang RI dipandang sebagai kejahatan dan dapat dipidana
menurut undang-undang negeri, tempat perbuatan itu
dilakukan.
b. Kejahatan yang tersebut pada butir ke-2. itu boleh dituntut, jika
terdakwa baru menjadi warga negara RI sesudah melakukan
perbuatan itu.
Jadi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan-kejahatan
yang tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) ke-1, kendatipun diluar wilayah
Indonesia, dapat dijerat dengan undang-undang pidana Indonesia,
apabila mereka itu melakukan tindak pidana lainnya yang oleh undang-
undang pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, hanya dapat
dikenakan undang-undang pidana Indonesia jika perbuatan yang
dilakukan itu oleh undang-undang pidana di negara asing dimana
perbuatan itu dilakukan, diancam dengan pidana. Hal ini hanya berlaku
bagi warga negara Indonesia tidak bagi warga negara asing, kecuali jika
setelah kejahatan itu dilakukan, pelakunya masuk warga negara
Indonesia. (Pasal 5 ayat (2) KUHPidana, artinya ketentuan Pasal 5 ayat
(2) KUHPidana ini merupakan perluasan dari Pasal 5 ayat (1)
KUHPidana.
19

Dengan perkataan lain maka KUHPidana berlaku juga terhadap


warga negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia melakukan
tindak pidana tertentu. Tindak pidana tersebut dapat dibagi dalam 2
golongan :
1) - kejahatan terhadap keamanan negara. Buku II, Bab I
KUHPidana, yaitu Pasal 104 s/d 129.
- kejahatan terhadap martabat kepala negara dan wakil kepala
negara. Buku II, Bab II, yaitu Pasal 131 s/d 139 ayat (2,3).
- menghasut (Pasal 160 KUHPidana).
- menyiarkan tulisan yang bertujuan menghasut (Pasal 161
KUHPidana).
- dengan sengaja membuat diri atau membuat orang lain tidak
cakap untuk memenuhi kewajiban militer (Pasal 240
KUHPidana).
- melakukan perompakan (pembajakan di laut) (Pasal 450
dan 451 KUHPidana).

Kejahatan-kejahatan tersebut secara tegas dicantumkan


dalam KUHPidana (Pasal 5 ayat (1) ke 1, oleh karena perbuatan-
perbuatan tersebut mengancam kepentingan yang khusus bagi
Indonesia dan perbuatan-perbuatan tidak dikenai pidana menurut
undang-undang pidana negara asing, dimana perbuatan-perbuatan
itu dilakukan. Hazewinkel Zuringa mengatakan : “biasanya tindak
pidana-tindak pidana tersebut tidak dikenai pidana menurut hukum
pidana asing. Tiap negara nasional hanya memperhatikan
kepentingan-kepentingan nasionalnya sendiri.

2) Semua kejahatan yang menurut KUHPidana, juga dipidana


oleh hukum pidana asing,dimana kejahatan itu dilakukan.
Dengan demikian harus dipenuhi 2 syarat :
- kejahatan menurut KUHPidana.
20

- juga dipidana oleh hukum pidana asing, dimana


kejahatan itu dilakukan.

Jadi dengan demikian ada beberapa tindak pidana yang


menimbulkan bahaya bagi keamanan dan ketertiban nasional, sehingga
perlu dilakukan tindakan untuk menuntut, mempidana warga negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dimana
pun warga negara Indonesia itu berada. Demikian pula halnya bilamana
warga negara Indonesia itu pergi ke luar negeri, tetap saja yang
bersangkutan dituntut, dan dipidana karena perbuatan-perbuatannya
yang membahayakan keamanan dan ketertiban nasional. Singkatnya
beberapa tindak pidana tertentu yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia, maka KUHPidana mengikuti warga negara Indonesia
kemana saja warga negara Indonesia itu pergi atau berada. Ketentuan
ini perlu diadakan karena negara asing, dimana tindak pidana yang
berbahaya bagi keamanan nasional itu dilakukan, biasanya tidak/kurang
memperhatikan kepentingan nasional Indonesia dan lebih
mengutamakan kepentingan nasionalnya sendiri.

3. Azas Nasionalitas Pasif


Azas ini memberikan proteksi terhadap kepentingan nasional
Indonesia (masyarakat Indonesia) dari serangan siapapun juga (baik
warga negara Indonesia maupun warga negara asing) dimana saja (baik
didalam maupun diluar wilayah negara Indonesia) serangan itu
dilancarkan. Titik tolak dari azas nasionalitas pasif ini adalah
menekankan kepentingan nasional yang terancam. Tidak dihiraukan
kewarnegaraan pelaku atau tempat dimana perbuatan itu dilakukan,
demikian Hazewinkel Zuringa. Pompe menyebut azas nasionalitas pasif
ini sebagai azas perlindungan murni (zuivere beschermings principe).
21

Azas ini tercantum dalam :


a. Pasal 4 KUHPidana yang mengatakan: ”aturan pidana dalam
undang-undang republik Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan diluar daerah republik Indonesia:
Ke-1 salah satu kejahatan yang tertera dalam Pasal-Pasal: 104,
106, 107,108, 110, 111 bis pada ke-1, 127 dan 131”.
Ke-2 bagian kalimat “atau tentang materai atau merek yang
dikeluarkan atau digunakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia”.
Ke-3 “pemalsuan tentang surat-surat hutang atau sertifikat-
sertifikat utang yang ditanggung Pemerintah Republik
Indonesia, daerah atau sebagian daerah, pemalsuan talon-
talon, surat-surat utang sero (keterangan deviden) atau
surat-surat bunga uang yang masuk surat-surat itu, serta
surat-surat keterangan ganti surat itu atau dengan sengaja
mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan seperti
itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan.
b. Pasal 8: “aturan pidana dalam undang-undang republik Indonesia
berlaku bagi nakhoda dan orang yang berlayar dengan alat
pelayaran Indonesia, juga pada waktu mereka tidak diatas alat
pelayaran itu, melakukan salah satu perbuatan yang dapat dipidana,
yang tersebut dalam Bab.XXIX Buku II dan Bab II Buku III,
demikian juga yang tersebut dalam undang-undang umum tentang
surat-surat laut dan pas-pas kapal di Indonesia dan yang tersebut
dalam undang-undang kapal 1935”.
Menurut Hazewinkel Zuringa bahwa azas nasionalitas pasif
ini bermaksud untuk melindungi kepentingan umum yang besar
dan tidak bermaksud untuk melindungi kepentingan individual”,
Vos mengatakan pula bahwa azas nasionalitas pasif ini melindungi
kepentingan kolektif dan bukan kepentingan individual.
22

4. Azas Universalitas
Kalau azas nasionalitas pasif melindungi kepentingan nasional
dengan tidak memperhatikan kewarnegaraan pelaku dan tempat dimana
tindak pidana itu dilakukan, maka dalam azas universalitas ini juga
tidak memperhatikan kewarnegaraan atau nasionalitas dari kepentingan
yang hendak dilindungi. Kepentingan negara asing dilindungi oleh azas
universalitas ini. Jadi azas ini memperhatikan kepentingan dunia.
Azas ini tertuang dalam Pasal 4 ke.2 dalam kalimat: “suatu
kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank.
Juga dalam Pasal 4 ke.4 : “salah satu kejahatan yang disebutkan dalam
Pasal-pasal 438, 444 s/d 446 tentang bajak laut (lanun) dan yang
tersebut dalam Pasal 447 tentang menyerahkan sesuatu alat pelayaran
kepada kekuasaan bajak laut (lanun)”.
23

BAB III

PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)

A. Pengertian dan Sifat Percobaan

Di dalam Bab IX buku 1 KUHP (tentang arti beberapa istilah yang


dipakai dalam kitab Undang-undang) tidak dijumpai rumusan arti atau
definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “percobaan”. KUHP
hanya merumuskan mengenai batasan kapan dikatakan ada percobaan
untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, Pasal 53 (1).

Adapun isi Pasal 53 ayat (1) KUHP, sebagai berikut :

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri”.

Redaksi pasal diatas jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya
merumuskan syarat-syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara
percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana. Percobaan
yang dapat dipidana menurut sistem KUHP bukanlah percobaan terhadap
semua jenis tindak pidana, tapi yang dapat dipidana hanyalah beberapa
terhadap tindak pidana berupa “kejahatan” saja.

Sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Hal ini


ditegaskan pula dalam Pasal 54 KUHP. Hanya perlu dicatat bahwa
ketentuan umum dalam Pasal 53 ayat (1) diatas tidak berarti bahwa
percobaan terhadap semua kejahatan dapat dipidana.

Percobaan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang tidak di pidana


misalnya :

- Percobaan duel/perkelahian tanding (Pasal 184 ayat 5);


24

- Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan (Pasal 302 ayat 4);

- Percobaan penganiayaan biasa (Pasal 351 ayat 5);

- Percobaan penganiyaan ringan (Pasal 352 ayat 2).

Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang


berdiri sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna?

Mengenai sifat dari percobaan ini ada 2 pandangan :

1. Percobaan yang dipandang sebagai Strafausdehnungsgrund


(dasar/alasan memperluas dapat, dipidananya orang). Menurut
pandangan ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan
suatu tindak pidana meskipun tidak memenuhi unsur delik, tetap dapat
dipidana, apabila telah memenuhi rumusan Pasal 53 KUHP.
Jadi sifat percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya
orang, bukan memperluas rumusan delik. Dengan demikian menurut
pandangan ini, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk
delik yang tersendiri (delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai
bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm).
Termasuk dalam pandangan pertama ini ialah Prof. Ny. Hazewinkel-
Suringa dan Prof. Oemar Seno Adji.
2. Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund
(dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan).
Menurut pandangan ini, percobaan melakukan suatu tindak pidana
merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah
bentuk delik yang tidak sempurna, tetapi merupakan delik yang
sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa.
Jadi sifat percobaan merupakan delik tersendiri (delictum sui generis)
dengan kata lain memperluas rumusan delik. Termasuk dalam
pandangan kedua ini ialah : Prof. Pompe dan Prof. Moeljatno.
Alasan Prof. Moeljatno memasukan percobaan sebagai delik tersendiri
ialah :
25

a. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu


delik;
b. Dalam konsepsi “perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran
suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat
berbahayanya perbuatan itu sendiri bagi keselamatan
masyarakat;
c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik
yang tidak sempurna (onvolkomen delictsvorm) yang ada hanya
delik selesai.

Contoh: yang dikemukakan (diambil dari buku Karni) ialah,


Putusan Pengadilan Adat di Palembang dimana seorang
laki-laki bernama Abusamah telah mengaku
menangkap/mendekap badan seorang gadis bernama
Hudaia dengan maksud untuk melakukan persetubuhan.
Laki-laki tersebut tidak dipidana karena melakukan
percobaan persetubuhan dengan paksa, tetapi dipidana
karena menangkap/mendekap badan si gadis.

d. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai


delik yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai,
walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya belum selesai.
e. Jadi baru merupakan percobaan, misalnya delik-delik makar
(aanslagdelicten) dalam Pasal 104, 106 dan 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof. Moeljatno
terakhir ini, dapat pula dikemukakan contoh adanya Pasal 163 bis.
KUHP. Menurut Pasal ini suatu percobaan untuk melakukan
penganjuran (poging tot ultkokking) atau yang biasa juga disebut
peganjuran yang gagal (mislukte uitlokking) tetap dapat dipidana,
jadi dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri.
Menarik pula untuk diperhatikan adalah yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 145 K/K/1995 tanggal 22 Juni 1956 yang
26

kasusnya sebagai berikut: “TSL. dituduh telah memberi uang suap


kepada seorang Agen Polisi Kls.1 yang sedang bertugas sebagai
penjaga gardu dengan maksud agar petugas tersebut tidak berbuat
Proces Verbaal dan tidak mengajukan perkara tertuduh yang
membawa muatan didalam motornya yang melebihi batas yang
telah ditentukan.”
Dalam memori kasasi dikemukakan bahwa agen polisi itu
sejak semula tidak menerima uang, jadi pemberian uang belum
selesai dan tidak dapat dilaksanakan sehingga baru merupakan
suatu percobaan. Alasan kasasi ini ditolak oleh Mahkamah Agung
dengan mengemukakan alasan bahwa “maksud dari Pasal 209
KUHP, ialah “untuk menetapkan sebagai suatu kejahatan
tersendiri, suatu percobaan yang dapat dihukum untuk menyuap”,
dengan demikian menurut Mahkamah Agung, percobaan
melakukan suap merupakan suatu delik kejahatan yang tersendiri.
Berdasarkan adanya putusan Mahkamah Agung tersebut,
maka nampaknya yurisprudensi Indonesia mengikuti pandangan
yang kedua yaitu percobaan dipandang sebagai
Tatbestandaudehnungsgrund (dasar/alasan memperluas dapat
dipidananya perbuatan).
Mengenai adanya dua pandangan tersebut diatas, Prof.
Moeljatno berpendapat bahwa pandangan yang pertama sesuai
dengan alam atau masyarakat individual karena yang diutamakan
adalah strafbaarheid van de persoon (sifat dapat dipidananya
orang); sedangkan pandangan yang kedua sesuai dengan alam atau
masyarakat kita sekarang karena yang diutamakan adalah
perbuatan yang tidak boleh dilakukan.
27

B. Dasar Patut Dipidananya Percobaan


Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini terdapat beberapa
teori sebagai berikut:
1. Teori Subyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada
sikap batin atau watak yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk
penganut teori ini ialah Van Hamel.
2. Teori Obyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat
berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat.
Teori ini dibagi dua (2) yaitu:
a. Teori obyektif formil, yang menitikberatkan sifat berbahayanya
perbuatan itu terhadap tata hukum.
b. Teori obyektif materil, yang menitikberatkan pada sifat
berbahayanya perbuatan terhadap kepentingan/benda hukum.
Penganutnya antara lain adalah Simons.

3. Teori Campuran

Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi
yaitu:

Sifat batin pembuat yang berbahaya (segi subyektif) dan jugasifat


berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk dalam penganut
teori ini ialah Langemeyer dan Jonkers.

Namun karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak


mudah, mereka nampaknya lebih cenderung pada teori subyektif. Prof.
Moeljatno dapat dimasukkan dalam golongan penganut teori
campuran.

Menurut beliau rumusan delik percobaan dalam Pasal 53 KUHP.


Mengandung dua inti yaitu yang subyektif (niat untuk melakukan
kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan tersebut telah mulai
28

dilaksanakan tetapi tidak selesai), dengan demikian menurut beliau


dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah satu diantara teori
obyektif dan teori subyektif, karena jika demikian berarti menyalahi
dua inti dari delik percobaan itu

C. Unsur-Unsur Percobaan
Rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP di atas jelas terlihat bahwa unsur-unsur
percobaan ialah :
1. Adanya niat;
2. Permulaan pelaksanaan;
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata mata karena kehedaknya
sendiri.
1. Adanya Niat
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat itu sama
dengan sengaja dalam segala tingkatan/coraknya. Para sarjana yang
berpendapat demikian antara lain Simons, Jonkers, Merger, dan
Langemeyer.
Tidak setuju dengan pendapat yang luas itu ialah VOS. Ia hanya
mengartikan secara sempit yaitu bahwa niat adalah sama dengan
kesengajaan dengan maksud (opzset als oogmerk), jadi tidak meliputi
kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn/
noodzakelijkheidssbewustzijn) dan kesengajaan dengan sadar
kemungkinan (voorwaardelijk opzet atau dolus eventualis).
Pendapat VOS yang sempit ini, disamping berbeda pendapat para
sarjana pada umumnya, juga nampaknya tidak diikuti oleh yurisprudensi.

Misal :

a. Arrest Hoge Raad tanggal 12 Maret 1943


Kasusnya:
Seorang yang sedang berdiri dibordes kereta api, ketika akan
diperiksa barangnya oleh petugas telah mendendang kaki petugas
29

tersebut sehingga apabila ia tidak cepat berpegang pada tiang besi


keretaapi, pasti ia petugas kereta api tersebut jatuh keluar dana
menemui ajalnya.
b. Arrest Hoge tanggal 6 Pebruari 1951
Kasusnya:
Seorang petugas pengusut pelanggaran lalu lintas telah memberi
tanda agar sebuah kendaraan bermotor berhenti. Tetapi sopirnya
tidak menurut dan berjalan terus, sehingga jika petugas itu tidak
cepat-cepat menghindar pasti akan tertabrak dan menemui ajalnya.

Dalam kedua kasus diatas sebenarnya tidak ada maksud dari si


pembuat untuk membunuh, ia hanya bermaksud untuk lari atau
menghindarkan diri berurusan dengan si petugas, dengan demikian apabila
digunakan pendapat VOS maka dalam hal ini tidak dapat dikatakan ada
percobaan pembunuhan.

Tetapi jika pendapat VOS ini kita bandingkan dengan Pendapat


Simons, Jonkers, Mezger, dan Langemeyer, serta kebanyakan para
sarjana lainnya yang berpendapat bahwa unsur niat itu sama dengan
sengaja dalam segala tingkatan/coraknya, maka dalam kedua kasus di atas
ada percobaan pembunuhan.

Demikian pula misalnya dalam kasus orang yang mengirimkan kue


beracun kepada musuhnya (A) dan ia menyadari kemungkinan adanya
orang lain yang ikut makan (misal anak-anakdan isteri A). Kalau rencana
orang itu gagal bukan karena kehendaknya sendiri, maka menurut ukuran
VOS dalam hal ini tidak mungkin dikatakan ada percobaan pembunuhan.
Dalam kasus serupa ini, menurut Hazewinkel Suringa bukan saja ada
percobaan pembunuhan berencana terhadap A, tetapi juga ada percobaan
terhadap anak-anak dan isteri A.
30

Mengenai unsur niat ini, Prof. Moeljatno berpendapat sebagai berikut:

a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara potensial


dapat berubah menjadi kesengajaan apabila sudah ditunaikan menjadi
perbuatan yang dituju; dalam hal semua perbuatan yang diperlukan
untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak
timbul (percobaan/selesai/voltooide poging) disitu niat 100% menjadi
kesengajaan, sama kalau menghadapi delik selesai;
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan, maka niat
masih ada dan merupakan sikap batin yang memberi arah kepada
perbuatan yaitu subjectieve onrechtsetlement;
c. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan
kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya
kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan pembuktian
tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak belum
ditunaikan jadi perbuatan.

Pendapat a dan b diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Prof.


Moeljatno, niat dalam delik percobaan dapat mempunyai dua arti :

a. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/vooltooide


poging/complited attempt), niat sama dengan kesengajaan;
b. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak
lengkap/geschorstepoging/incompleted attempt), niat hanya
merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subjectieve
onrechtsetlement).
2. Permulaan Pelaksanaan (begin van uitvoering)

Unsur kedua ini merupakan persoalan pokok dalam percobaan


yang cukup sulit karena baik secara teori maupun praktek selalu
dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan
(voorbereidingshandeling), dan perbuatan pelaksanaan
(uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan masalah ini para sarjana
31

menghubungkannya dengan teori atau dasar-dasar patut dipidananya


percobaan.

Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang subyektif, Van


Hamel berpendapat sebagai berikut:
Dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan
yang telah dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk
melakukan kejahatan.
Jadi yang dipentingkan atau yang dijadikan ukuran oleh Van Hamel
ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari si
pembuat. Ukuran demikian menurut Van Hamel sesuai ajaran hukum
pidana yang lebih baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai
keakar-akarnya.

Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materil,


Simons berpendapat sebagai berikut :
a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada, apabila telah
dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik;
b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah
dimulai/dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya
langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh
Undang-undang tanpa memerlukan perbuatan lain
Misal :
Untuk delik formil: A bermaksud melakukan pencurian di rumah
B. Untuk melakukan maksudnya itu, A telah mempersiapkan
segala sesuatu peralatan untuk mencuri kemudian pada malam hari
ia mendatangi rumah B. Sesampai di rumah B ia mematikan lampu
teras, melepas kaca jendela dan baru saja A masuk rumah lewat
jendela itu ia tertangkap.
Apabila digunakan ukuran Van Hamel “bahwa dikatakan ada
perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah
32

dilakukan telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan


kejahatan”, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan
pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan
persiapan, karena belum mulai melakukan perbuatan seperti yang
disebut dalam rumusan delik (pencurian: Pasal 362 KUHP) yaitu
“mengambil barang”.
Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan
dan tertangkap barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan
perbuatan pelaksanaan oleh karenanya dapat dituntut telah melakukan
pencurian.
Untuk delik materiil: A bermaksud membunuh B dengan
meledakan mobil yang dikendarainya dengan dinamit disuatu tempat
yang dilalui B. A kemudian telah mempersiapkan dinamit dan segala
peralatan yang diperlukan dengan rapih dan menunggu disamping
schakelar sampai B lewat ditempat itu , gerak gerik si A dicurigai dan
akhirnya A ditangkap.
Menurut ukuran Simons perbuatan A belum merupakan perbuatan
pelaksanaan tetapi baru merupakan perbuatan persiapan, karena untuk
meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu
mengentakkan/menekan schakelarnya.
Menurut Duynstee, tiap rumusan delik dalam Undang-undang
melarang adanya suatu kelakukan tertentu dan ini terdiri dari rangkaian
bagian-bagian kelakukan yang keseluruhannya merupakan delik yang
terlarang itu.
Misalnya memalsu surat, ini terdiri dari rangkaian bagian-bagian
kelakukan yang semuanya menimbulkan akibat surat yang dipalsukan.
Begitu pula dengan delik pembunuhan, terdiri dari rangkain bagian-
bagian kelakuan yang semuanya mengakibatkan matinya orang lain.
Jadi yang dilarang bukan yang akhirnya saja, tetapi keseluruhan
rangkaian dari pertama hingga yang terakhir. Jika salah satu bagian
dari rangkaian perbuatan itu telah dilakukan maka telah ada perlukaan
33

hukum walaupun belum merupakan perlukaan yang selesai, namun


sudah ada pembahayaan terhadap terlanggarnya tata hukum. Sudah ada
pembahayaan terhadap terlanggarnya tata hukum inilah yang dijadikan
ukuran untuk ukuran menentukan perbuatan pelaksanaan.

Menurut Prof. Moeljatno, dikatakan ada perbuatan pelaksanaan


apabila seseorang telah melakukan :

a. Secara obyektif mendekatkan pada suatu kejahatan tertentu;


b. Secara subyektif tidak ada keraguan-raguan lagi delik kejahatan
mana yang diniatkan atau dituju; dan
c. Perbuatan itu sendiri bersifat melawan hukum.

Untuk menentukan apakah perbuatannya itu bersifat melawan hukum,


Prof. Moeljatno berpendapat bahwa segi subyektif dan segi obyektif
bersama-sama mempunyai pengaruh timbal balik menurut keadaan tiap-
tiap perkara. Ada kalanya perbuatan lahir yang sepintas lalu merupakan
perbuatan pelaksanaan dari suatu kejahatan, tetapi karena jelas tidak
adanya niat untuk melakukan kejahatan itu, harus tidak dikualifisir sebagai
demikian (maksudnya tidak dikualifisir sebagai perbuatan melawan
hukum).

Misal:

Orang yang mengangkut sepeda terkunci orang lain dari tempat


penyimpanan sepeda, tidak melakukan percobaan untuk mencuri.
Kalau ternyata bahwa maksudnya mengangkat sepeda itu adalah
supaya memberi ruang untuk menarik sepedanya sendiri.

Sebaliknya adakalanya juga bahwa perbuatan lahir yang tampaknya


tidak jahat sama sekali, tetapi jelas karena didorong oleh niat untuk
melakukan kejahatan maka harus ditentukan sebagai demikian (yaitu
melawan hukum).
34

Misal:

Orang yang diwaktu malam mematikan lampu yang masih menyala


dimuka toko, sepintas lalu lintas perbuatan ini tidak merupakan
perbuata jahat; tetapi kalau kemudian ternyata bahwa setelah
digeledah dia membawa kikir, alat pemotong kaca dan alat lain-
lain, sedangkan diketahui pula bahwa dia sudah menjadi langganan
hotel prodeo, maka pemadaman lampu tadi merupakan percobaan
yang khusus, karena dengan perbuatan itu ia telah mulai
melaksanakan maksudnya untuk masuk ke dalam toko dengan cara
merusak.

Karena inti dari percobaan adalah hanya dua segi itu (subyektif dan
obyektif) yang mempunyai hubungan erat secara timbal balik, maka Prof.
Meljatno pada Kongres Persahi II di Surabaya 1964 itu mengusulkan
perumusan percobaan sebagai berikut: “Ada delik percobaan jika orang
telah mulai melaksanakan kejahatan yang dituju tetapi pelaksanaan itu
tidak menjadi selesai”. Menurut Beliau dalam rumusan kata-kata “mulai
melaksanakan kejahatan yang dituju” disitu dinyatakan baik segi subyektif
(yaitu kejahatan yang dituju) maupun segi obyektif (yaitu mulai
melaksanakan).

Menarik untuk diperhatikan rumusan yang diusulkan Prof. Moeljatno


di atas karena menyimpang dari rumusan dalam Pasal 53 KUHP yang
mencantumkan secara tegas adanya unsur niat dan tidak selesainya
pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendak sendiri.

Mengenai hal ini beliau memberikan penjelasan yang pokok-pokoknya:

a. Unsur batin/subyektif memang harus ada, tetapi tidak harus selalu


dicantumkan dalam perumusan pasal yang bersangkutan;
misalnya seperti terdaat pada Pasal 15 Fundanebtals of
Criminal Legistation for the USSR dan Pasal 60 Pena Code of
Siam;
35

b. Tidak selesainya pelaksanaan semata-mata bukan karena kehendak


sendiri bukanlah inti dari delik percobaan (jadi tidak termasuk
unsur) yang pokok ialah bahwa pelaksanaan tidak menjadi selesai.
Bahwa tidak selesainya pelaksanaan adalah bukan karena kehendak
orang yang melakukan percobaan kejahatan itu sendiri,
sesungguhnya baru mempunyai arti kalau ternyata bahwa tidak
selesainya perbuatan itu memang dikehendaki. Jadi ada
pengunduran suka rela. Hal ini merupakan soal lain dan tidak
termasuk dalam arti pokok delik percobaan.

Untuk mengakhiri pembahasan masalah perbuatan pelaksanaan dalam


delik percobaan ini, berikut ini dikemukakan beberapa yurisprudensi.

Yurisprudensi yang terkenal ialah Arrest Hoge Raad tahun 1934 tentang
pembakaran Eindhoven.

H. dituduh hendak membakar rumah R. (dengan persetujuan rumah R).


Pada malam yang telah ditentukan H. masuk ke rumah R. menaruh
pakaian dan barang-barang yang mudah terbakar di tiap kamar, yang
semuanya dihubungkan satu sama lain dengan sumbu yang akhirnya
dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api, jika ditembak
Trekker (penarik pintol gas) diikatkan dengan tali dan melalui jendela
ujungnya digantungkan di luar rumah yang terletak dipinggir jalan kecil.
Pakaian-pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan di tepi jalan
menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan
kompor gas dan selanjutnya akan merata keseluruh rumah. Setelah
pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan benda-benda ke
tempat lain. Sementara itu karena tertarik bau bensin, banyak orang
berkerumun di dekat tali itu, sehingga H tak mungkin menyelesaikan
maksudnya.
36

Putusan Pengadilan

Terhadap kasus tersebut peradilan (Gerechtshop) di s’Hertogenbosch


menyatakan bahwa perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan
dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena melanggar pasal 53 jo 187
KUHP.

H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah


menafsirkan Pasal 53 KUHP. Dan mengatakan bahwa apa yang
dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung Muda
Besier mengatakan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan
persiapan karena belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk
melakukan kebakaran.

Senada dengan Konklusi Besier, Hoge Raad berpendapat bahwa


perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum
merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk pembakaran yang
telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju ke arah dan langsung
berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan di juga menurut
pengalaman nyata-nyata menuju pembakaran, tanpa suatu pebuatan lain
dari si pembuat. Atas dasar alasan ini Hoge Raad membatalkan putusan
Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan.

Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan dengan


pendapat para sarjana yang telah dikemukakan diatas maka terlihat bahwa:

Konklusi Besier dan terutama pendapat Hoge Raad, lebih cocok dengan
teori atau pendapat Simons (teori obyektif materiil) sedangkan Putusan
Hof sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (teori obyektif formil);
Terhadap putusan Hoge Raad tersebut, Duynstee sendiri telah mennulis
bahwa menurut pendapatnya, terdakwa H telah mulai dengan perbuatan
pelaksanaan pembakaran.
37

Alasan yang dikemukakannya ialah :

a) Semua perbuatan terdakwa H saling berhubungan dan


memenuhi rumusan delik;
b) Jika Hoge Raad menganggap perbuatan pelaksanaan yaitu
perbuatan yang menimbulkan kejahatan (akibat) tanpa adanya
perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan
menimbulkan akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan
hanya ada pada percobaan lengkap saja. Ini tidak tepat karena
di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak
lengkap.

Mengenai kasus diatas, Prof. Moeljatno, mengemukakan pendapatnya


sebagai berikut:

Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang


disarankan, maka mengenai :

Syarat pertama, tidak perlu diragukan adanya, secara potensiil apa yang
telah dilakukan terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju;

Syarat kedua, yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah
wajar;

Syarat ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat
melawan hukum? Kalau di ingat bahwa dirumah itu didiami oleh orang
lain, maka berbuat seperti yang telah terjadi dirumah yang didiami orang
lain diwaktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan melawan
hukum.

Jadi karena tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, menurut Moeljatno,


putusan yang diberikan oleh Hof s’Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa
telah melakukan delik percobaan pembakaran seperti yang ditentukan
dalam Pasal 53 juncto Pasal 187 KUHP”.
38

3. Pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri


Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena
kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Adanya penghalang fisik.
Misal:
Tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya
disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau
pestolnya terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang
fisik ini ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang
digunakan (misal: pelurunya macet/tidak meletus, bom waktu
yang jamnya rusak). Walaupun tidak ada penghalang fisik
tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya
penghalang fisik. Misal: takut segera ditangkap karena gerak-
geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang lain.
b. Adanya penghalang yang disebabkan oleh fakto-faktor/keadaan-
keadaan khusus pad obyek yang menjadi sasaran.
Misal:
Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak
mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan,
barang yang akan dicuri terlalu berat, walaupun si pencuri telah
berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.

Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri,


maka dalam hal ini dikatakan ada pengunduran diri suka rela. Sering
dirumuskan bahwa ada pengunduran diri suka rela, apabila menurut
pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau
meneruskannya.

D. Pemidanaan Terhadap Percobaan

Menurut sistem KUHP yang dapat dipidana hanyalah percobaan


terhadap kejahatan sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam
39

hal percobaan terhadap kejahatan menurut Pasal 53 ayat (2) KUHP


maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk
kejahatan (pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga.

Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (Pasal 53 jo 338 KUHP)


maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila kejahatan
yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup,
seperti halnya dalam Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana). Menurut
Pasal 53 ayat (3) maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun
penjara, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP,
maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada
apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana
tambahnya, menurut Pasal 53 (4) KUHP adalah sama dengan kejahatan.
40

BAB IV

PENYERTAAN (DEELNEMING)

A. Beberapa Istilah
1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna);
2. Turut berbuat delik (Karni);
3. Turut serta (Utrecht);
4. Deelneming (Belanda) Complicty (Inggris) Teilnahme/Tatermehrhelt
(Jerman);
5. Participation (Prancis).

B. Beberapa Pandangan Tentang Sifat Penyertaan


Ada dua pandangan :
1. Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat
dipidananya orang)
a. Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggungan jawab
pidana;
b. Penyertaan bukan suatu delik, sebab bentuknya tidak sempurna.
Penganut antara lain Simons, Van Hattum, Hazewinkkel Suringa.
2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat
dipidananya perbuatan)
a. Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana;
b. Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.
Penganut antara lain Pompe, Moeljatno, Roeslan Saleh.

Catatan :

Menurut Prof. Moeljatno pandangan yang pertama sesuai dengan


alam/pandangan individual karena yang diprimairkan adalah
“strafbaarheid van de persoon” (hal dapat dipidananya orang).
Pandangan yang kedua sesuai dengan alam Indonesia karena yang
41

diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih


ditekankan pada “strafbaarheid van het feit” (hal dapat dipidananya
perbuatan). Lagi pula menurut Moeljatno pandangan pertama tidak
dikenal dalam hukum adat.

C. Pembagian Penyertaan
1. Von Feuerbach membagi penyertaan dalam dua bentuk :
a. Urheber (pembuat); dan
b. Gehelf (pembantu).
2. KUHP Belanda dan Indonesia, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Dader/pembuat (Pasal 47 Belanda/Pasal 55 KUHP. Indonesia);
b. Medeplichtige/pembantu (Pasal 56 KUHP Indonesia Belanda/Pasal
48 KUHP Belanda).
3. Code Penal Perancis dan Belgia, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Autores;
b. Complices.
4. Di Inggris, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Principals (peserta pelaku);
b. Accessories (peserta pembantu).
5. Di Jerman, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Tater (pembuat);
b. Anstiter (penganjur);
c. Gehife (pembantu).
6. Di Jepang, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Co principals (pembuat);
b. Instigator (penganjur);
c. Accessories (pembantu).
7. Pembagian empat di Uni Soviet, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Executive of a crime;
b. Organizer;
c. Instigator;
42

D. Penyertaan Menurut KUHPidana Indonesia


Pembagian penyertaan menurut KUHPidana Indonesia ialah :
1. Pembuat/dader (Pasal 55) yang terdiri dari:
a. Pelaku (pleger) yaitu orang yang melakukan sendiri perbuatan
yang memenuhi rumusan delik. Dalam praktek sukar
menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-undang tidak
menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat.
b. Menyuruh lakukan (doenpleger) yaitu orang yang melakukan
perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara ini
hanya diumpamakan sebagai alat, dengan demikian doenpleger
(menyuruh melakukan) ada dua pihak: Pembuat langsung
(onmiddelijke dader auctor physicus, manus ministra) dan
Pembuat tidak langsung (middelijke dader, actor intellectualis/
moralis, manus domina).
c. Turut serta (medepleger) yaitu orang yang dengan sengaja turut
berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Syarat adanya
medepleger: Ada kerja sama secara sadar (bewuste samenwerking)
dan Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gazamenlijke uitvoerin/
physieke samenwerking).
d. Penganjur (uitlokker) yaitu orang yang menggerakan orang lain
untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan
sarana-sarana yang ditentukan oleh Undang-Undang. Jadi hampir
sama dengan menyuruh melakukan (doenpleger), pada penganjuran
(uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakan orang lain sebagai
pembuat.
2. Pembantu/medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari:
a. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
b. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Dilihat dari sifat perbuatannya, pembantuan ini bersifat accessoir


artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan
43

kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari


pertanggungan jawab tidak accessoir, artinya dipidananya pembantu
tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana.

Menurut Pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu:

Jenis Pertama

(a). Waktunya: pada saat kejahatan dilakukan;

(b). Caranya: tidak ditentukan secara limiatif dalam UU.

Jenis Kedua

(a). Waktunya: sebelum kejahatan dilakukan;

(b). Caranya: ditentukan secara limiatif dalam UU, dengan cara:


Memberi kesempatan, sarana atau keterangan.

E. Penyertaan Dengan Kealpaan (Culpose Deelniming)


Misal :
1. A memberi gunting kepada B, yang katanya untuk menggunting kain,
tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau untuk membunuh;
2. Pada waktu B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri, ia
berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah. A yang
pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri
dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri,
menolong membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk ke rumah
C.

Dalam contoh-contoh diatas, menurut VOS, tidak dapat dipidana


karena untuk “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana
positif harus ada unsur sengaja.

Unsur ini harus juga dipenuhi untuk:


44

1. Doen plegen/ menyuruh lakukan (dianalogikan dengan “membujuk”)


2. Mede plegen/ turut serta (dianalogikandengan ”membantu”)

Terhadap kasus serupa itu Karni juga berpendapat A tidak dapat


dipidana karena adanya unsur “sengaja” dalam Pasal 56 merupakan anasir
subyektif dari pembantuan, artinya kesengajaan sipembantu harus
diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.

F. Penyertaan Yang Tak Dapat Dihindarkan (Noodzakelijke


Deelneming/Neecessary Complicity/ Notwendige Teilnahme).
Misal :
1. Pasal 149: menyuap (membujuk seseorang untuk tidak menjalankan
haknya untuk memilih);
2. Pasal 238: membujuk orang untuk masuk dinas militer negara asing;
3. Pasal 279: bigami;
4. Pasal 284: perzinahan;
5. Pasal 287: melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan
dibawah umur 15 tahun;
6. Pasal 345: menolong orang lain untuk bunuh diri.

Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain
(kawanan berbuat) yang mau harus ada. Apabila kawanan yang berbuat itu
tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud
dengan penyertaan yang tak dapat dihindarkan atau penyertaan yang
diharuskan.

M.r Karni menyebutkan dengan istilah “bekerja bersama-sama yang


diharuskan oleh penegasan delik”. Jadi oleh beliau dimasukkan dalam
pengertian “Noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang diharuskan),
karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja/ berbuat bersama-sama oleh
beliau adalah sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen).

Dalam pasal-pasal di atas ada yang menetapkan bahwa yang dipidana


hanya sipelaku tetapi ada juga yang menetapkan bahwa kawan pelakunya
45

dapat dipidana. Mengenai Pasal 287, Karni mempersoalkan bagaimana


apabila justru yang membujuk terjadinya delik itu adalah anak perempuan
yang belum berumur 15 tahun itu? Terhadap hal ini, Karni menyatakan
tidak keberatan untuk memidana anak gadis tersebut.

G. Tindakan-Tindakan Sesudah Terjadinya Tindak Pidana


Misal :
Pasal 221 : menyembunyikan penjahat;
Pasal 223 : menolong orang melepaskan diri dari tahanan;
Pasal 480 : idem
Pasal 481 : idem
Pasal 482 : idem
Pasal 483 : menerbitkan tulisan gambar yang dapat dipidana karena
sifatnya.
H. Perbuatan Penyertaan Pada Penyertaan (Deeloneming Aan
Deelnemingshandelingen)
Misal :
1. Membujuk untuk membujuk (Pasal 55 jo 56);
1) Putusan Landraad Batavia 18-2-1936;
2) Putusan RV J Batavia 20-3-1936;
3) Putusan RV J Semarang 20-3-1936;
2. Membujuk untuk membantu (Pasal 55 jo 56);
Putusan RV J Batavia 8-5-1930;
3. Membantu untuk menganjurkan (Pasal 56 jo 55);
Putusan Hoge Raad 25-1-1950.

Catatan :

Bagi mereka yang memandang “deelneming” sebagai


“Tatbestandausdehnungsgrund” antara lain Prof. Moeljatno, contoh-
contoh di atas dapat dimaklumi karena penyertaan dipandang sebagai
“delictum sul generis” namun bagi mereka yang memandangnya sebagai
46

“strafausdehnungsgrund” contoh di atas dipandang tidak mungkin atau


janggal.

Beberapa contoh di Indonesia dapat dilihat pada putusan-putusan


Pengadilan Negeri Magelang :

1. No. perbs : 77/82 sm : 55 jo 56 jo 363 (1) ke 4;


2. No. perbs : 285/82 sm : 55 jo 56 jo 351 (1);
3. No. perbs : 35/83 sm : 56 jo 55 jo 330 jo 331 jo 227.
47

BAB V

PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)

A. Pengertian Recidive
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang
yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan
suatu putusan Hakim yang tetap (in kracht van gewijsde) kemudian
melakukan suatu tindak pidana lagi.
Jadi dalam Recidive, sama halnya dengan concursus realis, seseorang
melakukan lebih dari satu tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada
recidive sudah ada putusan hakim yang berkekuatan tetap yang berupa
pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan terdahulu atau
sebelumnya.

Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya recidive, yaitu :

1. Recidive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak
pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan
alasan untuk pemberatan pidana.
Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana yang dilakukan maupun
tenggang waktu pengulangannya. Dengan tidak ditentukan tenggang
waktu pengulangannya, maka dalam sistem ini tidak ada daluwarsa
recidive.
2. Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan
pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
B. Recidive Menurut KUHP
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP, tidak diatur secara umum
dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk
48

sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan di dalam


Buku II maupun yang berupa pelanggaran di dalam Buku III.
Disamping itu KUHP juga mensyaratkan tenggang waktu
pengulangan tertentu, dengan demikian KUHP menganut sistem Recidive
khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan
jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) tertentu saja dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
Adapun syarat-syarat recidive untuk tiap-tiap tindak pidana, baik
terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Recidive Kejahatan
Menurut sitem ini recidive khusus, bahwa recidive kejahatan
menurut KUHP adalah recidive “kejahatan-kejahatan tertentu”.
Mengenai recidive kejahatan tertentu ini KUHP, membedakan antara :
a. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”.
Diatur secara tersebar dalam sebelas pasal tertentu di Buku II
KUHP yaitu dalam Pasal 137 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 155
ayat (2), Pasal 157 ayat (2), Pasal 161 ayat (2), Pasal 163 ayat (2),
Pasal 208 ayat (2), Pasal 216 ayat (3), Pasal 321 ayat (2), Pasal 393
ayat (2) dan Pasal 303 bis ayat (2).
Nampaknya di dalam sistem recidive kejahatan sejenis ini
hanya ada 11 jenis kejahatan yang dapat merupakan alasan
pemberatan pidana.
Pesyaratan recidive disebutkan dalam masing-masing pasal yang
bersangkutan, yang pada umumnya mensyaratkan sebagai berikut :
1) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan
kejahatan yang terdahulu;
2) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi
harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah
mempunyai kekuatan tetap;
49

3) Si Pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu


menjalankan pencahariannya (khusus untuk Pasal 216, 303 bis
dan 393 syarat ini tidak ada);
4) Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang
disebut dalam pasal-pasal yang bersangkutan yaitu :
a) Dua tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk
delik-delik dalam Pasal 137, Pasal 144, Pasal 208, Pasal 216,
Pasal 303, Pasal bis dan Pasal 321);
b) Lima tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk
delik-delik dalam Pasal 155, Pasal 157, Pasal 161, Pasal 163
dan Pasal 393), mempunyai kekuatan tetap (in kracht van
gewijsde) seperti tersebut pada syarat kedua diatas, maka
tidak ada recidive dalam hal :
(1) Keputusan hakim tersebut tidak merupakan pemidanaan,
misalnya keputusan yang berupa “pembebasan dari
segala tuduhan” (vrijspraak) berdasar Pasal 313 RIB dan
yang berupa “pelepasan dari segala tuntutan” (onslag van
alle recht vervolging) berdasar Pasal 314 RIB : sekarang
Pasal 191 ayat (2) KUHP;
(2) Keputusan hakim tersebut masih dapat diubah dengan
upaya-upaya hukum yang berlaku (misal: dengan upaya
banding atau kasasi);
(3) Keputusan hakim tersebut berupa “penetapan-
penetapan” (beschikking)
Syarat keputusan hakim yang berupa pemidanaan
misalnya :
(a) Keputusan yang menyatakan tentang tidak
berwenangnya Hakim untuk memeriksa perkara yang
bersangkutan. (Pasal 247 dan Pasal 252 RIB);
50

(b) Keputusan tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa


karena terdakwa tidak melakukan kejahatan (Pasal
250 ayat 3 RIB);
(c) Tidak diterima perkara karena penuntutannya sudah
daluwarsa.

Mengenai pemberatan pidana dalam sistem recidive kejahatan yang


sejenis ini nampak berbeda-beda yaitu :

1) Dapat diberikan pidana tambahan berupa pelanggaran atau


pencabutan hak untuk menjalankan mata pencahariannya
(untuk delik-delik yang pengulangannya dilakukan pada waktu
menjalankan pencahariannya);
2) Pidananya dapat ditambah sepertiga (khusus untuk delik dalam
Pasal 216): Pasal 216 ayat (3) hanya menyebutkan “pidana”
saja yang berarti ancaman pidana penjara atau denda yang
disebut dalam Pasal 216 ayat (1) dapat ditambah sepertiga;
3) Pidana penjaranya dapat dilipatkan dua kali, yaitu khusus untuk
Pasal 393 dari 4 bulan 2 minggu menjadi 9 bulan penjara.
b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk
dalam “kelompok jenis”.
Terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu
“kelompok jenis” diatur dalam Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488
KUHP.
Adapun persyaratan recidive menurut ketentuan pasal-pasal
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Kejahatan yang dilindungi harus termasuk dalam satu
kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang
terdahulu.
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah :
51

a) Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 486 yang pada


umumnya mengenai kejahatan terhadap harta benda
misalnya :
Pemalsuan mata uang Pasal 244 – Pasal 248,
pemalsuan surat Pasal 263 – Pasal 264, Pencurian Pasal
362, Pasal 363, Pasal 365; pemerasan Pasal 368,
pengancaman Pasal 378 kejahatan jabatan Pasal 415,
Pasal 417, Pasal 425, Pasal 432; penadahan Pasal 480,
Pasal 481;
b) Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 487 pada
umumnya mengenai kejahatan terhadap orang
misalnya:
Penyerangan dan makae terhadap Kepala Negara Pasal
131, Pasal 140, Pasal 141 pembunuhan biasa dan
berencana Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340 pembunuhan
anak Pasal 341, Pasal 342; euthanasia Pasal 344
abortus Pasal 347, Pasal 348, penganiayaan biasa/berat
dan penganiayaan berencana Pasal 351, Pasal 353,
Pasal 354, Pasal 355 kejahatan pelayaran yang berupa
pembajakan Pasal 438 – Pasal 443 dan insubordinasi
Pasal 459 – 460;
c) Kelompok jenis kejahatan dalam Pasal 488 pada
umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang
berhubungan dengan penerbitan/percetakan misalnya :
Penghinaan terhadap Presiden/ Wakil Presiden (Pasal
134 – Pasal 137) penghinaan kepada kepala negara
sahabat (Pasal 142 – Pasal 144) penghinaan terhadap
pengusaha/badan umum (Pasal 207- Pasal 208)
penghinaan terhadap orang pada umumnya (pasal 310 –
Pasal 321) dan kejahatan penerbitan/percetakan (Pasal
483 – Pasal 484).
52

Dengan adanya kelompok jenis kejahatan-kejahatan seperti


dikemukakan diatas, maka tidak dapat dikatakan ada recidive apabila
seseorang yang melakukan pencurian biasa (Pasal 362), kemudian
melakukan tindak pidana lagi yang berupa penganiayaan (Pasal 351)
ataupun penghinaan (Pasal 310) karena masing-masing tindak pidana
itu masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang berbeda-beda.

Baru dapat dikatakan ada recidive apabila masing-masing tindak


pidana yang dilakukan termasuk dalam satu kelompok jenis yang
sama, misalnya setelah melakukan pencurian (Pasal 362) kemudian
melakukan penggelapan (Pasal 372) atau penipuan (Pasal 378) karena
semuanya masuk dalam kelompok jenis kejahatan yang tersebut dalam
Pasal 486 KUHP.

Disamping itu perlu pula diperhatikan bahwa kejahatan-kejahatan


yang disebut dalam kelompok Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488
KUHP itu hanyalah jenis kejahatan kejahatan tertentu saja. Pada
umumnya kejahatan-kejahatan ringan tidak dimasukan sebagai alasan
adanya recidive misalnya pencurian ringan (Pasal 364) penggelapan
ringan (Pasal 373) penipuan ringan (Pasal 379) dan penadahan ringan
(Pasal 482) tidak dimasukkan dalam kelompok Pasal 486 KUHP.

2. Recidive Pelanggaran
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive
pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap
pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III.
Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku III KUHP yang
apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan
pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Pasal 489, kenakalan terhadap orang atau barang;
b. Pasal 492, dimuka umum merintangi lalu lintas/mengganggu
ketertiban dan keamanan orang lain;
53

c. Pasal 495, memasang perangkap/alat untuk membunuh binatang


buas izin;
d. Pasal 501, menjual makanan/minuman yang dipalsu, busuk atau
yang berasal dari ternak sakit atau mati;
e. Pasal 512 melakukan pencaharian tanpa keharusan/kewenangan
atau melampaui batas kewenangannya;
f. Pasal 516, mengusahakan tempat bermalam tanpa register catatan
tamu atau tidak menunjukkan register tersebut kepada pejabat yang
memintanya;
g. Pasal 517, membeli barang-barang anggota militer tanpa izin;
h. Pasal 530, petugas agama yang melakukan upacara perkawinan
sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan dimuka pejabat
catatan sipil/BS telah dilakukan;
i. Pasal 536, dalam keadaan mabuk berada di jalan umum;
j. Pasal 540, mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau
menyakitinya;
k. Pasal 541, menggunakan kuda muatan yang belum tukar gigi;
l. Pasal 544, mengadakan sabungan ayam/jangkri dijalan umum tanpa
izin;
m. Pasal 545, melakukan pencaharian sebagai tukang ramal;
n. Pasal 549, membiarkan ternaknya berjalan dikebun/tanah yang
terlarang.

Adapun persyaratan recidive pelanggaran disebutkan dalam


masing-masing pasal yang bersangkutan,pada umumnya masyarakat
sebagai berikut :

a. Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan


pelanggaran yang terdahulu. Jadi baru dapat dikatakan ada
recidive pelanggaran apabila yang bersangkutan melanggar
pasal yang sama.
54

Namun demikian perlu diperhatikan bahwa pelanggaran


terdahulu terhadap Pasal 492 dapat merupakan alasan recidive
untuk pelanggaran Pasal 536 dan sebaliknya demikian pula
pelanggaran terdahulu terhadap Pasal 302 (penganiyaan hewan
ringan) dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran
Pasal 540 dan Pasal 541;
b. Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah
berkekuatan tetap untuk pelanggaran Pasal 540 dan Pasal 541;
c. Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 atau 2 tahun
sejak adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap yaitu:
1) Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran Pasal 489, Pasal
492, Pasal 495, Pasal 536, Pasal 540, Pasal 541, Pasal 544,
Pasal 545, dan Pasal 549;
2) Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran Pasal 501, Pasal
512, Pasal 516, Pasal 517, dan Pasal 530.
C. Recidive Diluar KUHP
1. Recidive kejahatan diluar KUHP terdapat antara lain di dalam
Pasal 39 Undang-Undang Narkotika (UU No. 9 Tahun 1976) yang
berisi sebagai berikut :
a. Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat 1 sampai
dengan ayat 7 dapat ditambah dengan sepertiga jika terpidana
ketika melakukan kejahatan, belum lewat 2 tahun sejak menjalani
seluruhnya atau sebagian pidana penjara dijatuhkan padanya;
b. Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat 1
diancam dengan pidana denda, maka pidana denda tersebut
dikalikan dua;
c. Dari rumusan di atas terlihat, bahwa UU Narkotika menganut juga
sistem recidive khusus yaitu, baik tindak pidana yang diulangi
maupun tenggang waktu pengulangannya sudah tertentu.
55

Adapun sistem pemberatan pidananya ialah :

a. Untuk pidana penjara, ditambah sepertiga dari ancaman


maksimum;
b. Untuk pidana denda, dilipatkan dua kali.

Catatan:

UU No. 9 Tahun 1976 ini sudah diganti dengan UU No. 22 Tahun


1997 dan masalah recidive dalam UU baru ini diatur dalam Pasal 96.

2. Recidive pelanggaran diluar KUHP terdapat antara lain di dalam:


a. Pasal 11 (5) Ordanansi perlindungan Cagar Alam
(Natuurbeschermings ordonnantie) S. 1941 No. 167 (sudah dicabu
berdasarkan UU no 5/1990);
b. Pasal 18 (2) Undang-undang Kerja No. 12 tahun 1948 jo UU No. 1
Tahun 1951;
c. Pasal 32 (2) dan 33 (2) Undang-undang lalu lintas dan angkutan
jalan raya no. 3/1965, yang sudah diganti dengan UU No.14 Tahun
1992.

Catatan :

Penggantian UU No. 3/1965 dengan UU No. 14/1992, aturan recidive


dalam UU – LLAJ yang baru ini terdapat dalam Pasal 69.

Dalam peraturan-peraturan tersebut juga dianut sistem recidive


khusus, tenggang waktu pengulangan ada yang 1 tahun dan ada yang 2
tahun, sedangkan pemberatan pidananya ada yang ditambah separuh,
sepertiga dan ada yang dilipat gandakan (dikalikan dua).

Anda mungkin juga menyukai