HUKUM PIDANA
A. Pengertian
1. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan terjemahan dari perkataan “strafrecht”
(bahasa Belanda), “criminal law” dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut
dipergunakan untuk membedakannya dengan istilah dalam hukum
perdata, privaatrecht atau burgerlijkrecht. Bahwa perkataan hukum
pidana itu mempunyai banyak makna dan pengertian, misalnya: ada
hukum pidana materiil (substantive criminal law), ada hukum acara
pidana atau hukum pidana formil atau criminal procedure law.
Berhubung dengan itu pula sulit untuk memberikan suatu perumusan
tentang hukum pidana yang lengkap dan sempurna, mengingat banyak
segi-seginya dan liku-likunya. Nampun demikian tidak ada salahnya
untuk mengemukakan batasan tentang hukum pidana (hukum pidana
materill) agar dapat sedikit gambaran tentang apakah hukum pidana
materiil itu.
2. Batasan Hukum Pidana
a. Simons.1
Hukum pidana itu dibagi dalam dua bagian:
1) Hukum pidana objektif dan,
2) Hukum pidana subjektif.
1) Hukum pidana objektif adalah merupakan suatu keseluruhan dari
larangan larangan dan keharusan-keharusan, yang atas
pelanggarannya oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum
lainnya si pelanggar diancam dengan suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yaitu berupa suatu pidana sesuai dengan
peraturan-peraturan yang mengatur akibat hukum tersebut dan
1
D. Simons & P.A.F. Lamintang, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, Penerbit
Pionir Jaya, Bandung 1992, hlm. 1.
1
2
2
Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia,
1978, hlm. 14.
3
D. Simons & P.A.F. Lamintang, opcit, hlm. 3.
3
d. Satochid Kartanegara.4
Hukum pidana merupakan sejumlah peraturan yang merupakan
bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan
lain yang berwenang.
4
Satochid Kartanegra, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun.
5
Soedarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 1977, hlm. 100-101.
4
6
Buchari Said H, Ringkasan Hukum Pidana, F.H.Unpas, 2005, hlm, 4.
5
Dengan perkataan lain kalau tidak ada ketentuan hukum khusus maka
yang dipergunakan adalah ketentuan hukum umum. Dasar hukum ini
dapat dilihat dalam Pasal 103 KUHPidana mengatakan:”ketentuan-
ketentuan dalam bab I sampai bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang itu
ditentukan lain”. Misalnya: percobaan (poging), ajaran mengenai
berlakunya ketentuan undang-undang pidana menurut waktu dan
tempat, tetap berlaku bagi ketentuan-ketentuan perundang-undangan
pidana yang terdapat diluar KUHPidana.
1. Aliran Klasik
Tujuan dari aliran ini adalah untuk melindungi kepentingan
individu terhadap kekuasaan negara. Tokoh aliran ini adalah Cessano
de Beccaria. Dalam bukunya Dei delitti e delle pene (tentang delik-
delik dan pidana-pidana).
2. Aliran Modern
Lahir dan berkembangnya aliran ini erat kaitannya dengan lahirnya
perkembangan krimonologi. Pada zaman aliran klasik, ilmu yang
mempelajari sebab musabab kejahatan ini belum lahir dan karenanya
pula krimonologi tidak mendapat perhatian dari aliran ini. Krimonologi
dalam penyelidikan ilmiahnya lebih mengedepankan penjahat, sebab
sebab terjadinya kejahatan dan cara untuk menanggulangi kejahatan
daripada kejahatannya. Aliran ini lebih mengutamakan penjahat, sebab-
sebab apa penjahat melakukan kejahatan daripada kejahatannya sendiri.
Dengan demikian terlihatlah bahwa aliran ini tidak mengutamakan
perlindungan kepentingan perseorangan akan tetapi melindungi
kepentingan umum, masyarakat dari berbagai macam kejahatan
(prevensi umum). Oleh sebab itu aliran ini lebih mempelajari sebab-
sebab apa penjahat melakukan kejahatannya (etiologi kriminal) dan
pidana apakah yang paling tepat dan effisien untuk dijatuhan kepada
penjahat maupun bagi masyarakat, agar kejahatan tidak terulang lagi
7
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, hlm. 15.
8
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1. Hukum pidana materill, hlm. 30.
12
BAB II
4. Azas Universalitas
Kalau azas nasionalitas pasif melindungi kepentingan nasional
dengan tidak memperhatikan kewarnegaraan pelaku dan tempat dimana
tindak pidana itu dilakukan, maka dalam azas universalitas ini juga
tidak memperhatikan kewarnegaraan atau nasionalitas dari kepentingan
yang hendak dilindungi. Kepentingan negara asing dilindungi oleh azas
universalitas ini. Jadi azas ini memperhatikan kepentingan dunia.
Azas ini tertuang dalam Pasal 4 ke.2 dalam kalimat: “suatu
kejahatan tentang mata uang, uang kertas negara atau uang kertas bank.
Juga dalam Pasal 4 ke.4 : “salah satu kejahatan yang disebutkan dalam
Pasal-pasal 438, 444 s/d 446 tentang bajak laut (lanun) dan yang
tersebut dalam Pasal 447 tentang menyerahkan sesuatu alat pelayaran
kepada kekuasaan bajak laut (lanun)”.
23
BAB III
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri”.
Redaksi pasal diatas jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya
merumuskan syarat-syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara
percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana. Percobaan
yang dapat dipidana menurut sistem KUHP bukanlah percobaan terhadap
semua jenis tindak pidana, tapi yang dapat dipidana hanyalah beberapa
terhadap tindak pidana berupa “kejahatan” saja.
3. Teori Campuran
Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi
yaitu:
C. Unsur-Unsur Percobaan
Rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP di atas jelas terlihat bahwa unsur-unsur
percobaan ialah :
1. Adanya niat;
2. Permulaan pelaksanaan;
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata mata karena kehedaknya
sendiri.
1. Adanya Niat
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat itu sama
dengan sengaja dalam segala tingkatan/coraknya. Para sarjana yang
berpendapat demikian antara lain Simons, Jonkers, Merger, dan
Langemeyer.
Tidak setuju dengan pendapat yang luas itu ialah VOS. Ia hanya
mengartikan secara sempit yaitu bahwa niat adalah sama dengan
kesengajaan dengan maksud (opzset als oogmerk), jadi tidak meliputi
kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn/
noodzakelijkheidssbewustzijn) dan kesengajaan dengan sadar
kemungkinan (voorwaardelijk opzet atau dolus eventualis).
Pendapat VOS yang sempit ini, disamping berbeda pendapat para
sarjana pada umumnya, juga nampaknya tidak diikuti oleh yurisprudensi.
Misal :
Misal:
Misal:
Karena inti dari percobaan adalah hanya dua segi itu (subyektif dan
obyektif) yang mempunyai hubungan erat secara timbal balik, maka Prof.
Meljatno pada Kongres Persahi II di Surabaya 1964 itu mengusulkan
perumusan percobaan sebagai berikut: “Ada delik percobaan jika orang
telah mulai melaksanakan kejahatan yang dituju tetapi pelaksanaan itu
tidak menjadi selesai”. Menurut Beliau dalam rumusan kata-kata “mulai
melaksanakan kejahatan yang dituju” disitu dinyatakan baik segi subyektif
(yaitu kejahatan yang dituju) maupun segi obyektif (yaitu mulai
melaksanakan).
Yurisprudensi yang terkenal ialah Arrest Hoge Raad tahun 1934 tentang
pembakaran Eindhoven.
Putusan Pengadilan
Konklusi Besier dan terutama pendapat Hoge Raad, lebih cocok dengan
teori atau pendapat Simons (teori obyektif materiil) sedangkan Putusan
Hof sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (teori obyektif formil);
Terhadap putusan Hoge Raad tersebut, Duynstee sendiri telah mennulis
bahwa menurut pendapatnya, terdakwa H telah mulai dengan perbuatan
pelaksanaan pembakaran.
37
Syarat pertama, tidak perlu diragukan adanya, secara potensiil apa yang
telah dilakukan terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju;
Syarat kedua, yaitu bahwa yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah
wajar;
Syarat ketiga, yaitu apakah yang telah dilakukan itu sudah bersifat
melawan hukum? Kalau di ingat bahwa dirumah itu didiami oleh orang
lain, maka berbuat seperti yang telah terjadi dirumah yang didiami orang
lain diwaktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan melawan
hukum.
BAB IV
PENYERTAAN (DEELNEMING)
A. Beberapa Istilah
1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna);
2. Turut berbuat delik (Karni);
3. Turut serta (Utrecht);
4. Deelneming (Belanda) Complicty (Inggris) Teilnahme/Tatermehrhelt
(Jerman);
5. Participation (Prancis).
Catatan :
C. Pembagian Penyertaan
1. Von Feuerbach membagi penyertaan dalam dua bentuk :
a. Urheber (pembuat); dan
b. Gehelf (pembantu).
2. KUHP Belanda dan Indonesia, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Dader/pembuat (Pasal 47 Belanda/Pasal 55 KUHP. Indonesia);
b. Medeplichtige/pembantu (Pasal 56 KUHP Indonesia Belanda/Pasal
48 KUHP Belanda).
3. Code Penal Perancis dan Belgia, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Autores;
b. Complices.
4. Di Inggris, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Principals (peserta pelaku);
b. Accessories (peserta pembantu).
5. Di Jerman, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Tater (pembuat);
b. Anstiter (penganjur);
c. Gehife (pembantu).
6. Di Jepang, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Co principals (pembuat);
b. Instigator (penganjur);
c. Accessories (pembantu).
7. Pembagian empat di Uni Soviet, membagi penyertaan dalam bentuk :
a. Executive of a crime;
b. Organizer;
c. Instigator;
42
Jenis Pertama
Jenis Kedua
Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain
(kawanan berbuat) yang mau harus ada. Apabila kawanan yang berbuat itu
tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud
dengan penyertaan yang tak dapat dihindarkan atau penyertaan yang
diharuskan.
Catatan :
BAB V
A. Pengertian Recidive
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang
yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan
suatu putusan Hakim yang tetap (in kracht van gewijsde) kemudian
melakukan suatu tindak pidana lagi.
Jadi dalam Recidive, sama halnya dengan concursus realis, seseorang
melakukan lebih dari satu tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada
recidive sudah ada putusan hakim yang berkekuatan tetap yang berupa
pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan terdahulu atau
sebelumnya.
1. Recidive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak
pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan
alasan untuk pemberatan pidana.
Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana yang dilakukan maupun
tenggang waktu pengulangannya. Dengan tidak ditentukan tenggang
waktu pengulangannya, maka dalam sistem ini tidak ada daluwarsa
recidive.
2. Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan
pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
B. Recidive Menurut KUHP
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP, tidak diatur secara umum
dalam “Aturan Umum” Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk
48
2. Recidive Pelanggaran
Dengan dianutnya sistem recidive khusus, maka recidive
pelanggaran menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap
pelanggaran-pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam Buku III.
Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku III KUHP yang
apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan
pidana, yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Pasal 489, kenakalan terhadap orang atau barang;
b. Pasal 492, dimuka umum merintangi lalu lintas/mengganggu
ketertiban dan keamanan orang lain;
53
Catatan:
Catatan :