Anda di halaman 1dari 7

PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Istilah Hukum Pidana

Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai


dengan yang diharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau
pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Dalam keadaan yang demikian
ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat.

Istilah hukuman berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan
sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu
dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.

Istilah “hukum pidana” merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “Strafrecht”.
“Straf” berarti “pidana”, dan “Recht” berarti ”hukum”. Adapun pengertian atau apa yang
dimaksud dengan Hukum Pidana itu sendiri di dalam llmu Pengetahuan Hukum Pidana
dan menurut beberapa pakar dinyatakan sebagai berikut.

W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan
larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu
sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.

W.F.C. Van Hattum

Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara
atau suatu masyarakat hukum umum lainnya di mana mereka itu sebagai pemelihara
dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang
bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-
peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.

W.P.J. Pompe

Bahwa, Hukum Pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan
Iain-Iain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstraktir dari keadaan-
keadaan yang konkrit.
Wirjono Prodjodikoro

Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal
yang dipidanakan yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak sehari-hari
dilimpahkan.

Satochid Kartanegara

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan-peraturan yang merupakan bahagian dari


hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang
ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan
peraturan-peraturan pidana; larangan atau keharusan mana disertai ancaman pidana,
dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan,
menjalankan pidana dan melaksanakan pidana.

Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

• Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang


dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut.

• Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.

• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan


apabila ada orang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Bambang Poernomo

Menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan
berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain,
yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan
sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk
menguatkan ditaatinya norma- norma di luar hukum pidana. Secara tradisional definisi
hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat.
Eddy O.S. Hiariej, memberikan definisi hukum pidana sebagai berikut:

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara
yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak
boleh dilakukan, dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang
melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan
itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan.

Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum di atas dapat dibuat kesimpulan, hukum
pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya
berupa larangan maupun keharusan/perintah sedangkan bagi pelanggar terhadap
larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara
berupa pidana.

Pembagian Hukum Pidana

Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:

1.Hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.

Hukum pidana objektif (Ius Poenale), adalah seluruh peraturan yang memuat larangan-
larangan atau keharusan-keharusan, terhadap pelanggaran aturan itu diancam dengan
pelanggaran peraturan itu diancam dengan pidana. Jadi, hukum pidana objektif itu
memuat perumusan tindak pidana serta ancaman pidana.

Hukum pidana subjektif (Ius poenendi) adalah seluruh peraturan yang memuat hak
negara untuk memidana seseorang yang yang melakukan perbuatan terlarang (tindak
pidana).

Hak negara untuk memidana itu terdiri dari:

Hak untuk mengancam perbuatan dengan pidana. Hak ini terletak pada negara,
misalnya ancaman pidana yang terdapat dalam pasal 362 KUHP (pencurian), diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda sembilan ratus
rupiah.

Hak untuk menjatuhkan pidana. Hak ini terletak pada alat-alat negara yang berwenang,
yaitu Hakim.

Hak untuk melaksanakan pidana. Hak ini juga terletak pada alat negara yang
berwenang yaitu Jaksa.

Pada hakekatnya hukum pidana subjektif (hak negara untuk memidana) itu
berdasarkan hukum pidana objektif, oleh karena hak negara untuk memidana itu baru
ada setelah dalam hukum pidana objektif ditentukan perbuatan-perbuatan yang
diancam pidana.

Jelaslah dengan ini bahwa negara tidak dapat menggunakan hak untuk memidana itu
dengan sewenang-wenang, karena dibatasi oleh hukum pidana objektif.

2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat
dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-
tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang
tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.

Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana


caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit.
Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.

Hukum Pidana materiil (hukum pidana substantif), adalah seluruh peraturan yang
memuat perumusan :

1. Perbuatan-perbuatan apakah yang dapat diancam pidana. Misalnya pasal 338


KUHP (pembunuhan), pasal 351 KUHP (penganiayaan), pasal 362 KUHP
(pencurian).

2. Siapakah yang dapat dipidana, atau dengan perkataan lain mengatur


pertanggung jawaban terhadap hukum pidana.

3. Pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan
tindak pidana dan telah terbukti secara sah dan meyakin-kan bersalah
melakukan tindak pidana.

Hukum pidana materiil dimuat di dalam KUHP dan dalam peraturan perundang-
undangan hukum pidana lainnya di luar KUHP.

Hukum Pidana formil lazim disebut dengan Hukum Acara Pidana, adalah seluruh
peraturan yang memuat cara-cara negara menggunakan haknya untuk melaksanakan
pidana.

Hukum pidana formil dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana /KUHAP) dan dalam peraturan perundang-
undangan hukum acara pidana lainnya di luar KUHAP seperti dalam :
• Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tentang Undang-undang Kepolisian, yang
kemudian diubah dan diganti dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 1997 dan
terakhir diubah diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

• Undang-undang Nomor 15 tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Undang-


undang Nomor 5 tahun 1991 dan diganti kembali dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

• Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Undang-undang Kekuasaan


Kehakiman, kemudian disempurnakan dan diubah dengan Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 serta disempurnakan dan diubah lagi dengan Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004.

• Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

• Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang


tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd).

Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum


Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).

Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang
tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt)   No. 7 Tahun 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, dan sebagainya.

4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian
khusus (bijzonder deel).

Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di
dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum;

Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan


Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
Hukum Pidana Umum (Algemeen Strafrecht) (jus commune) adalah hukum pidana
yang berlaku umum atau yang berlaku bagi semua orang. Hukum Pidana Umum dimuat
di dalam KUHP.

Hukum Pidana Khusus (bijzonder strafecht) (jus speciale), adalah hukum pidana yang
berlaku khusus bagi golongan orang-orang tertentu (anggota ABRI dan yang
disamakan dengan anggota ABRI) atau yang memuat perkara-perkara pidana tertentu
(seperti tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi, tindak pidana narkotika, dan
Iain-Iain).

Hukum Pidana khusus dimaksud jelas dimuat dalam peraturan perundang-undangan


hukum pidana di luar KUHP.

Hubungan hukum pidana umum dengan hukum pidana khusus adalah ketentuan
hukum pidana umum itu tetap berlaku disamping ketentuan-ketentuan hukum pidana
khusus sebagai hukum pelengkap.

Ketentuan hukum pidana khusus dapat menyimpang dari ketentuan hukum pidana
umum. Dalam hal penyimpangan ini, maka yang dipakai adalah ketentuan hukum
pidana khusus. Hal ini merupakan penjelmaan dari suatu adagium klasik yang
dirumuskan dalam bahasa latin yang berbunyi “Lex specialis derogat legi generalis”
(ketentuan -hukum khusus mengenyampingkan ketentuan hukum umum.

Dasar hukum tentang penyimpangan dari Ketentuan Khusus ini adalah sebagaimana
diatur di dalam pasal 103 KUHP yang menyatakan sebagai berikut.

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana


khusus (bijzonder strafrecht).

Van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah
hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap
orang (umum).

Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah
dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota
Angkatan Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana
tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.

6. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis.


Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut
Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum
pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah
pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas
kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam
menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.

7. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk
strafrecht).

Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana
nasional. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah
Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar
larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara.

Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh
hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana
lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten
maupun Pemerintahan Kota.

3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang


tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd).

Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum


Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).

Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang
tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt)   No. 7 Tahun 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai