Anda di halaman 1dari 42

HUKUM PIDANA

AHMAD NURDIN
010117034
APA ITU HUKUM
PIDANA ?
W.P.J. POMPE :

Hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya
dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian.

SATAUCHID KARTANEGARA :

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan-peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang
mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan lain
yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana. Larangan/keharusan yang disertai ancaman pidana,
apabila hal ini dilanggar timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan, menjalankan pidana, dan
melaksanakan pidana.
Prof. MOELJANTO :

Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk
menentukan :

 Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai
ancaman saksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut;

 Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

 Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut.
BAMBANG POERNOMO ;

Hukum pidana adalah hukum sanksi, definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang

membedakan dengan lapangan hukum yang lain, bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan

norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk

menguatkan ditaatinya norma-norma diluar hukum pidana.


Sumber Hukum Pidana
Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia sebagai berikut :
1) Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis

Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch
indie (W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat
tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan penyimpangan-
penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar
filsafatnya tetap sama. KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-8-1945
mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah
RI, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi : “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945
No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada
pada tanggal 8 Maret 1942”. Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda.
2) Hukum pidana adat

Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu, hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat
menjadi sumber hukum pidana.
Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum
pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3
sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka
sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana
tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas
yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla

poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine

crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan

pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada

perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen

sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi dan sistem di luar kodifikasi. Sistem yang
terkodifikasi adalah apa yang termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis perbuatan yang
digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum. Namun di luar KUHP, masih terdapat berbagai
pengaturan tentang perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum dengan sanksi pidana. Dalam hal ini,Loebby Loqman
membedakan sumber-sumber hukum pidana tertulis di Indonesia adalah :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Peraturan Perundang-Undangan lain (UU No.5 Tahun 1960, UU No.9 Tahun 1999, UU No. 19 Tahun 2002, dll)

3. Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;

4. Undang-undang Hukum Pidana Khusus;

5. Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.


TUJUAN HUKUM PIDANA
Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi

manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah

Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara.

Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi;

2. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana.
Fungsi Hukum Pidana

1) Fungsi yang umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum pidana juga
sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau
untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat

2) Fungsi yang khusus

Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan
rechtsguterschutz dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan
dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya.
Ruang Lingkup Hukum Pidana :
1. Hukum pidana tertulis ;

2. Hukum pidana sebagai hukum positif;

3. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik;

4. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif;

5. Hukum pidana materil dan hukum pidana formil;

6. Hukum pidana terkodifikasi dan tersebar;

7. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus;

8. Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat


NORMA DAN SANKSI
Norma merupakan ketentuan tingkah laku dalam hubungan/pergaulan, ketentuan atau
pengaturan ini yang disebut norma atau kaidah.

Norma mempunyai sifat yang memaksa, tergantung pada kesadaran dan keinginan bersama
yang tidak terlepas dari bentuk dan susunan masyarakat yang bersangkutan (kelurga, family,
serikat kerja, gereja, agama, partai, dan bangsa).

Norma dikelompokkan menjadi :

1. Norma Keagamaan;

2. Norma Kesusilaan;

3. Norma Kesopanan;

4. Norma Hukum
SANKSI
Pada dasarnya hukum itu memiliki sifat mengatur dan memaksa. Didalam sifat hukum yang mengatur,
terdapat larangan-larangan. Apabila suatu larangan tersebut dilanggar, maka dapat menimbulkan sanksi.
Sanksi hukum ini bersifat memaksa, hal ini berarti bahwa tertib itu akan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa
tertentu karena dianggap merugikan masyarakat sebagai akibat dari adanya pelanggaran tersebut.

Pengertian sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia : tanggungan (tindakan atau hukuman) untuk
memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan,
dan sebagainya); tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu Negara.

Demi ketertiban umum, perlu adanya kelompok norma lain yang disebut norma hukum. Norma hukum
dikaitkan dengan sanksi yang lebih mengikat dan memaksa.

1. Sanksi terhadap norma hukum ;

2. Sanksi hukum pidana;

3. Sanksi ganda
ASAS – ASAS HUKUM PIDANA

1. Asas yang dirumuskan dalam KUHP atau perundang-undangan :

A. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat;

B. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu;

C. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang, pada

saat terjadinya perbuatan pidana.

2. Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak

tertulis, dan dianut dalam yurisprudensi.


ASAS-ASAS TIDAK TERTULIS DALAM HUKUM PIDANA
Asas yang tidak tertulis atau tidak dirumuskan dengan tegas dalam KUHP tetapi telah dianggap
berlaku didalam praktek hukum pidana, meliputi 4 hal yaitu :

1. Tidak dipidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld); Ketentuan


tentang penghapusan pidana yang disebut oleh pasal-pasal tertentu (Pasal 48, 49, 50, 51
KUHP). Asas tiada pidana tanpa kesalahan dan asas penghapusan kesalahan merupakan
dua hal yang mempunyai titik kesamaan, akan tetapi penggunaannya berbeda. Tiada
pidana tanpa kesalahan adalah asas penghapusan pidana yang bersifat umum dan luas
yang biasa nya “schuld” itu mengandung 3 sifat dan elemen terdiri dari : tentang adanya
kemampuan bertanggung jawab dari pembuat; tentang adanya keadaan batin tertentu dari
pembuat yang dihubungkan dengan kejadian dengan bentuk kesengajaan atau kealpaan;
karena tidak terdapatnya pertanggung jawaban dari suatu kejadian atas pembuat.
Syarat kemampuan bertanggung jawab dari pembuat merupakan bagian pokok didalam asas kesalahan.
Ketidakmampuan bertanggung jawab berlaku bagi seorang yang tidak dapat menginsyafi perbuatannya
karena umur yang masih muda /anak-anak yang keadaan batinnya belum sempurna, dan meskipun sudah
cukup umur akan tetapi keadaan serta fungsi batinnya tidak dapat menginsyafi perbuatannya berhubung
dengan pertumbuhan jiwa yang tidak normal/ penyakit jiwa. Bagi mereka ini tidak dapat dipidana.

Elemen yang kedua dari asas kesalahan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan
(opzet/culpa/onachtzaamheid/schuld) merupakan hubungan antara keadaan batin dan kejadian karena
kelakuan pembuat yang didalam KUHP dirumuskan menjadi delik.

Elemen yang ketiga dari asas kesalahan yang merupakan dasar untuk alasan penghapusan pidana, yaitu :
terjadinya keadaan tertentu terhadap perbuatan pidana yang kesalahannya dihapuskan (alasan pemaaf).
Misalnya : seorang dokter yang melakukan perbuatan daya paksa (pasal 48), seorang yang memukul orang
lain karena perbuatan pembelaan terpaksa (pasal 49 ayat (2).
2. Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgronden); Suatu keadaan tertentu dari perbuatan seseorang yang
menghapuskan atau meniadakan sifat elemen hukum sehingga perbuatan yang bersangkutan tidak melawan
atau bertentangan dengan hukum (alasan pembenar), seperti misalnya perbuatan seseorang karena
pembelaan terpaksa (noodweer) dalam pasal 49 ayat (1), perbutaan seeorang karena melaksanakan
ketentuan undang-undang dalam pasal 50 KUHP.

3. Alasan Pemaaf, “schulduitsluitinggronden” yang artinya perbuatan seseorang tetap sebagai perbuatan
melawan hukum yang karena alasan tertentu perbutaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada pembuat sehingga kesalahannya dihapuskan (dimaafkan),sedangan “rechtvaardigingsgronden”
sebagai perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum (dibenarkan oleh hukum) dengan sendirinya tidak
dapat dipidana. Pasal 44 KUHP,  dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak
berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan undang undang; dalam hal ia ada dalam suatu
keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan
hukum dan tidak dapat menentukan akibat dari perbuatannya. Pasal 48 KUHP dalam keadaan memaksa
(overmacht).
4. Alasan Penghapusan Penuntutan (onvervolgbaarheid/vervolgbaarheid uitsluiten);
Penghapusan pidana dihapuskan bukan karena kesalahannya atau dihapuskan sifat
melawan hukumnya, akan tetapi karena perbuatan itu menurut politik kriminil pemerintah
lebih baik tidak menuntut akan bermanfaat daripada kalau menuntut. Dalam KUHP,
pernyataan tidak dapat dituntut dalam pasal 61-62 tentang kejahatan dari
penerbitan/percetakan, pasal 367,376, 394 tentang kejahatan harta kekayaan. Dalam
aturan umum Buku I KUHP, alasan penghapus penuntutan dalam pasal 2-8 mengenai
batas berlakunya peraturan perundang-undangan hukum pidana, pasal 61-62 mengenai
penuntutan penerbitan/percetakan, pasal 72 mengenai delik aduan, pasal 76 mengenai
asas nebis in idem, pasal 77-78 mengenai hapusnya penuntutan karena terdakwa
meninggal dan karena kadaluarsa.
HUBUNGAN HUKUM PIDANA DENGAN KRIMINOLOGI,
DAN VIKTIMOLOGI
Objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah mempelajari asas-asas dan peraturan-peraturan
hukum pidana yang berlaku, menghubungkan asas-asas/peraturan-peraturan yang satu dengan
yang lainnya, mengatur penempatan asas-asas/peraturan-peraturan tersebut dalam suatu
sistematika, dengan demikian dapat dipahami pengertian yang objektif dari peraturan-peraturan
yang berlaku (hukum positif) yang merupakan tujuan dari ilmu pengetahuan huum pidana.
Tujuan dari ilmu hukum pidana :
 Mempelajari dan menjelaskan (interpretasi) hukum (tindak) pidana yang berlaku pda suatu
waktu dan Negara (tempat) tertentu;
 Mempelajari norma-norma dalam hubungannya dengan pemidanaan (konstruksi);
 Menerapkan hukum pidana yang berlaku secara teratur dan berurutan (sistematika);
 Mengolah suatu tindak pidana yang sudah terjadi kemudian dihubungkan dengan penerapan
hukum pidana yang berlaku.
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan dan keadaan-keadaan yang pada
umumnya turut mempengaruhinya, mempelajari cara-cara memberantas kejahatan tersebut.

Menurut SUTHERLAND and CRESSEY kriminologi adalah himpunan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala masyarakat.
Objek dari kriminologi adalah proses-proses perbuatan perundang-undangan, pelanggaran perundang-undangan dan reaksi dari
pelanggaran tersebut yang saling mempengaruhi secara beruntun.

Definisi kriminologi secara lebih jelas :

1. Krimonologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.

2. Kriminologi Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan
gejala sosial. Karena kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat dilakukan manusia. Agar makna
kejahatan jelas, perlu memahami eksistensi manusia.

3. Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh penjahat sedangkan
pengertian mengenai gejala kejahatan merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan
dari kejahatan, pelaku kejahatan, serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.

4. Kriminologi merupakan keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, mulai dari lingkungan mereka
sampai pada perlakuan secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.

5. Kriminologi sebagai Ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat
dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.
Objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri sebagai gejala dalam
masyarakat (bukan sebagai norma hukum positif semata-mata).

Tugas Kriminologi :

 Untuk mencari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan serta menemukan cara-cara
pemberantasannya.

Tujan Kriminologi :

 Untuk mengamankan masyrakat dari penjahat;


Hubungan Kriminologi dengan Ilmu Hukum Pidana

Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada masa lampau, perbedaan antara Hukum Pidana dengan

Kriminologi sangat besar. Kriminologi bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum pidana. Hukum

pidana adalah ilmu pengetahaun dogmatis yang berkerja secara deduktif. Sedangkan kriminologi adalah ilmu

pengetahuan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan alam kodrat yang menggunakan metoda empiris-

induktif.

Sesuai perkembangannya, perbedaan ini menjadi tidak begitu tajam, terutama setelah Perand Dunia II, di mana

kriminologi berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang lebih banyak membahas tentang tingkah laku manusia.

Dikatakan bahwa kriminologi telah berubah dari ilmu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan gamma. Begitu

pula dengan ilmu pengetahuan hukum pidana, yang mulai banyak memberikan tekanan kepada arti fungsional

dan arti sosial dari kelakukan seseorang, dan kasuistik memainkan peranan yang besar, di mana sampai batas-

batas tertentu, hukum pidana juga menggunakan induksi dan empiri.


Namun demikian, perbedaan antara kedua disiplin ilmu tetap ada. Hukum Pidana masih dipandang sebagai ilmu

pengetahuan normatif yang penyelidikan-penyelidikannya adalah sekitar aturan-aturan hukum dan penerapan dari aturan-

aturan hukum itu dalam rangka pendambaan diri terhadap cita-cita keadilan. Hukum pidana adalah ilmu pengetahuan

yang mengkaji norma-norma atau aturan-aturan yang seharusnya, lalu dirumuskan dan ditetapkan, dan kemudian

diberlakukan. Hukum pidana bersifat umum dan universal, dan disebut sebagai post factum ‘setelah kejaidan’. Suatu

ketetapan dapat dirumuskan jikalau apabila permasalahan kejahatan telah terjadi di dalam masyarakat, kemudian

diberlakukan suatu aturan atau norma yang memberikan batas-batas.

Sementara itu, kriminologi, yang meskipun dalam beberapa hal berpangkal tolak dari konsepsi hukum pidana, lebih

banyak menelusuri dan menyelidiki tentang kondisi-kondisi individual dan kondisi-kondisi sosial dari konflik-konflik, dan

akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh dari represi konflik-konflik dan membandingkannya secara kritis efek-efek dari

represi yang bersifat kemasyarakatan disamping juga tindakan-tindakan itu. Berbeda dengan hukum pidana yang bersifat

normative, kriminologi lebih mengkaji tentang kenyataan yang senyata-nyatanya, menafsirkan konteks, yang didapati dari

hasil penelitian. Kriminologi bersifat lebih khusus dan terbatas. Oleh karena itu kriminologi disebut sebagai pre factum

‘sebelum kejadian’, di mana kriminologi lebih mengkaji sebab musabab dari suatu permasalahan kejahatan.
Meski berbeda, para ahli hukum pidana tetap memerlukan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan pembantu. Dengan menyadari sifat
tersendiri dari masing-masing ilmu pengetahuan ini, ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi harus bekerja secara
berpasangan, tetapi dengan arahnya yang berlawanan. Di antara kedua disiplin ilmu pengetahuan ini, terdapat pikiran integrasi yang
saling memerlukan antara satu sama lain. Meskipun berbeda, ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi tidak dapat dipisahkan.

Hubungan antara ilmu hukum pidana dan kriminologi, dapat dikatakan mempunyai hubungan timbal balik dan bergantungan satu sama

lain(interrelation dan dependence). Ilmu hukum pidana mempelajari akibat hukum daripada perbuatan yang dilarang sebagai kejahatan

(crime) yang dapat disingkat pula dengan nama ”ilmu tentang hukumnya kejahatan”, dengan demikian sebenarnya bagian hukum yang

memuat tentang kejahatan disebut hukum kejahatan, hukum kriminil (criminil law/penal law, misdaads-recht/delicten-recht). Akan tetapi

telah menjadi lazim bagi hukum tentang kejahatan itu dinamakan ”strafecht” yang salinannya ke dalam bahasa Indonesia

menjadi hukum pidana.

Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan, yang lazimnya mencari sebab-sebabnya sampai timbul kejahatan dan cara

menghadapi kejahatan dan tindakan/reaksi yang diperlukan. Kedua ilmu pengetahuan itu bertemu dalam fokus pada kejahatan,

dengan prinsip-prinsip yang berbeda karena objek dan tujuannya. Ilmu hukum pidana mempunyai objek pada aturan hukum tentang

kejahatan dengan akibat hukum berupa pidana dan tujuanna untuk mendapatkan pengertian dan penggunaan pidana yang sebaik-

baiknya guna mencapai keadilan hukum, sedangkan krimonologi mempunyai objek manusia penjahat di belakang peraturan hukum

pidana dan tujuannya memperoleh pengertian tentang sebab kejahatan untuk memberikan pidana atau tindakan yang tepat agar tidak

melakukan lagi kejahatan.


Viktimologi

Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari


viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang
merupakan suatu kenyataan sosial. Viktimologi berasal dari kata Latin
victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau
studi.

Sedangkan JE.Sahetapy menjelaskan bahwa Viktimilogi merupakan istilah


yang berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban dan “logos”
yang berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji
permasalahan korban beserta segala aspeknya.
Hubungan Viktimologi dengan Kriminologi

Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat diragukan
lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari
suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari
tentang korban dari suatu kejahatan. 

Jika ditelaah, dapat dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang
dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-
bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa
viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas
secara tersendiri.
Pendapat mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari ilmu Kriminologi :

1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, diantaranya

adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi

merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala

aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan

dapat membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan

yang melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi

merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak

dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri. Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa

keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan

hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan

penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum,

sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi. J.E Sahetapy

juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang

ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat

perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh

pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari

satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada

kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatanharus memperhatikan dan memahami korban suatu

kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.
TINDAK PIDANA
 Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, namun demikian belum ada
konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para
ahli hukum memberikan arti terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang
mereka masing-masing;

 Strafbaarfeit, terdiri dari tiga suku kata yakni, straf yang diterjemahkan sebagai pidana dan hukum,
kata baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan
tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan;

 Strafbaarfeit diartikan sebagai sebuah tindak, peristiwa, pelanggaran atau perbuatan yang dapat
atau boleh dipidana atau dikenakan hukuman;

 Wirjono Prodjodikoro, menterjemahkan istilah strafbaarfeit sama dengan tindak pidana yakni suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana;
 Simons, merumuskan bahwa strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tindakan, kelakuan (hendeling) yang
menurut rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. ;

 Mulyatno, berpendapat perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut;

 Van Hemel, Strafbaar Feit adalah kelakuan (Menselijke Gedraging) orang yang dirumuskan dalam UU
yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Staff Waardig) dan dilakukan dengan kesalahan;

 W.P.J.Pompe, Pengertian Strafbaar Feit dibedakan antara definisi yang bersifat teoritis dan yang bersifat Undang-

Undang. Menurut Teori : Strafbaar Feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan

umum. Menurut Undang-Undang / Hukum Positif Strafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang oleh peraturan

perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.


UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

W.P.J.Pompe Mulyatno Soedarto Van Hemel


1. Unsur Obyektif : Perbuatan 1. Perbuatan manusia; 1. Perbuatan memenuhi rumusan 1. Perbuatan manusia;
orang, Akibat yang kelihatan 2. Memenuhi rumusan undang-undang dan melawan 2. Memenuhi rumusan
dari perbuatan itu Mungkin ada hukum;
undang-undang; undang-undang;
keadaan tertentu yang menyertai 2. Dilakukan dengan orang yang
3. Bersifat Melawan hukum 3. Dilakukan dengan
perbuatan itu; mampu bertanggung jawab;
2. Unsur Subyektif : Orang yang 3. Kesalahan (Sculd) baik dalam kesalahan;
mampu bertanggung jawab, bentuk kesengajaan (Dolus) 4. Patut dipidana
Adanya kesalahan (Dolus atau maupun kealpaan (Culpa) dan
Culpa). Kesalahan ini dapat tidak ada alasan pemaaf
berhubungan dengan akibat dari
perbuatan atau keadaan mana
perbuatan itu dilakukan.
Kesalahan (schuld)

 Kesalahan dalam hk.pidana berarti menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana;

 Kesalahan sebagai unsur dari pertanggung jawaban pidana;

 Kesalahan telah ditegaskan dalam pasal 44 KUHP yang berbunyi : “Tidak ada pemidanaan, tanpa adanya
kesalahan”, “Geen straf zonder schuld”.

 Untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang
menyangkut pelaku : kemampuan bertanggung jawab, hubungan kejiwaan antara pelaku dan akibat yang
ditimbulkan, dolus atau culpa;

 Ciri-ciri kesalahan yang berhubungan dengan hukum positif : pelaku mengetahui/harus dapat mengetahui dari
hakekat dan kelakuannya dan keadaan yang bersamaan dengan kelakuan itu; pelaku mengetahui /patut harus
menduga bahwa kelakuannya bertentangan dengan hukum; bahwa kelakukannya itu dilakukan, bukan karena
sesuatu keadaan jiwa yag tidak normal; kelakuan itu dilakukan, bukan karena pengaruh dari sesuatu keadaan
darurat/paksa.
Kesengajaan (dolus)
 Kesengajaan merupakan bagian dari kesalahan, kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat
terhadap suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa;
 Kesengajaan dari sudut terbentuknya dibedakan menjadi : karena adanya motif dari kelakuannya, adanya kehendak
(keinginan), adanya tindakan;
 Menurut Simons, kesengajaan adalah merupakan kehendak dari pelaku;
 Kesengajaan formal : apabila kehendak itu ditujukan kepada perbuatan; Kesengajaan material : kehendak ditujukan
kepada akibat yang timbul dari perbuatan tersebut;
 Ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan dengan apabila
dilakukan dengan kealpaan;
 Kesengajaan dalam KUHP : kesengajaan, dengan sengaja, sengaja (opzettelijk) terdapat pada pasal 187, 281, 304,
310, 333, 338, 354, 372 KUHP; Yang diketahuinya (wetende dat) terdapat pada pasal 204, 220, 419 KUHP; Sedang
diketahuinya (waarvan hij weet) terdapat pada pasal 110 (1),(2), 250,275 KUHP; Sudah tahu (wist) pasal 483 (2)
KUHP; Dapat mengetahui (kennis dragende) pasal 164, 464 KUHP; Telah dikenalnya (waarvan hem beken was) pasal
245, 247 KUHP; Telah diketahuinya (waarvan hij kent) pasal 282 KUHP; Bertentangan dengan pengetahuannya
(tegen beter weten) pasal 311 KUHP; Pengurangan hak secara curang terdapat pada pasal 397 KUHP; Dengan tujuan
yang nyata pasal 310 KUHP; atau Dengan kehendak atau maksud ( met het oogemerk).
Kealpaan (culpa)
Ciri-ciri kealpaan dalam hk.pidana :

 Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan otak nya secara
salah;

 Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya

 Dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat : kekurangan pemikiran; kekurangan pengetahuan;
kekurangan kebijaksanaan;

 Istilah untuk kealapaan dalam undang-undang : karena salahnya antara lain pasal 188,191, 195,
360 KUHP; karena kealpaan pasal 231, 232 KUHP; Harus dapat menduga terdapat pada pasal
287, 292, 480 KUHP; Ada alasan kuat baginya untuk menduga pasal 282 (2).
PEMIDANAAN
Sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya
ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).

A. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari :

Pidana Pokok Pidana Tambahan


1. Pidana Mati; 1. Pencabutan beberapa hak tertentu;

2. Pidana Penjara; 2. Perampasan barang-barang tertentu;


3. Pidana Kurungan;
4. Pidana Denda; 3. Pengumuman putusan hakim
5. Pidana Tutupan
TUGAS INDIVIDU
Resume :
1. Teori Perbuatan Materil dalam Hk.pidana;
2. Teori Alat;
3. Teori Akibat;
4. Tempus Delicti;
5. Locus Delicti;
Instruksi :
 Tanggal 7 april perkuliahan ditiadakan, sebagai pengganti absensi kehadiran mahasiswa/i
diwajibkan menulis resume;
 Tugas resume ditulis dengan rapi dan dapat dibaca dengan jelas pada kertas double polio
bergaris, sebanyak 4 halaman penuh;
 Tugas wajib dikumpulkan maksimal pada tanggal 21 April 2017, yang dikoordinir oleh ketua kelas;
 Apabila pada tanggal tersebut di atas tugas belum dikumpulkan, maka mahasiswa/i dianggap tidak
hadir;
Pertanggungjawaban Pidana/Teorekenbaarheid/Criminal Responsibility

 Menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak


pidana (crime) yang terjadi atau tidak;
 Apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan;
 Apabila terdakwa dipidana, harus dinyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bersifat melawan
hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab;
 Perbutaan tersebut memperlihatkan kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan dan
kealpaan.
 Tindakan tersebut merupakan tindakan yang tercela, dan tertuduh menyadari tindakan yang
dilakukan tersebut.
 Hubungan pelaku dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari
pelaku;
 Apabila tindakan yang akan dilakukan oleh pelaku, diketahui ketercelaan dari tindakan tersebut
maka tindakan tersebut merupakan kesengajaan atau kealpaan
Pompe mengatakan : hubungan pelaku dengan tindakannya ditinjau dari sudut kehendak,
kesalahan pelaku adalah merupakan bagian dalam dari kehendak tersebut, dan bersifat
melawan hukum dari suatu tindakan adalah bagian luar dari kehendak tersebut.
Asas : “Tiada pidana, tanpa kesalahan”

Untuk menentukan pertanggungjawaban suatu tindakan pidana harus dibuktikan dengan :


1. Subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang;
2. Terdapat suatu kesalahan dari pelaku;
3. Tindakan tersebut bersifat melawan hukum;
4. Tindakan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
5. Tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lain
yang ditentukan dalam undang-undang.
Ketentuan Pertanggungjawaban Pidana dalam Undang-Undang

Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP secara umum tersimpulkan dan ditentukan dalam BAB
III buku ke-1, dan tersebar dalam pasal-pasal undnag-undang. Hal ini disimpulkan dengan
menggunakan penafsiran secara argument a contrario.

Seorang pelaku yang telah melakukan suatu tindakan (yang dapat dipidana) mungkin dipidana
(pemidanaan biasa, pidana ringan, atau pidana berat) atau dibebaskan. Pembebasan ada 2
macam, yaitu pembebasan dari pemidanaan apabila tidak terdapat kesalahan, dan pembebasan
dari segala dakwaan/tuntutan bilamana dakwaan terbukti akan tetapi bukan merupakan suatu
tindak pidana, atau lebih tegas lagi tiada terdapat unsur bersifat melawan hukum (Pasal 191
KUHAP)
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno,
bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan
dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan. Apabila hakim akan menjalankan
Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu :

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah
akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit
jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan
pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan
sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
Kesimpulan :

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak

pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata

lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif

mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.


Dalam hukum pidana kesengajaan umumnya diklasifikasikan menjadi 3, yaitu kesengajaan sebagai maksud,
kesengajaan sebagai keharusan, dan kesengajaan sebagai kemungkinan.

a. Kesengajaan sebagai maksud : Dalam bentuk kesengajaan ini, pembuat menghendaki sesuatu, ia bertindak dan
menciptakan suatu akibat yang sesuai dengan apa yang dikehendakinya.”Maka dapat dikatakan pembuat
sebelumnya sudah mengetahui akibat dari perbuatannya dan memang menghendaki akibat tersebut terjadi.

b. Kesengajaan sebagai kemungkinan : Dalam kesengajaan ini, pembuat mengetahui bahwa perbuatannya
mempunyai jangkauan untuk dalam keadaan-keadaan tertentu akan terjadi suatu akibat. Dapat diartikan seorang
pembuat sebelum melakukan perbuatannya telah membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
sebagai akibat dari perbuatannya, namun perbuatan tersebut tetap dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu.

c. Kesengajaan sebagai kepastian : Dapat terjadi bila seseorang menghendaki sesuatu namun terhalang oleh
keadaan, namun untuk memenuhi kehendaknya ia harus menyingkirkan penghalang tersebut, yang merupakan
peristiwa pidana tersendiri.15 Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan, pembuat menghendaki suatu tujuan tertentu
yang dapat berupa peristiwa pidana ataupun bukan, namun untuk mencapai tujuannya tersebut pembuat harus
melakukan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi tujuan utamanya. Dalam bentuk kesengajaan ini terdapat dua
akibat yaitu, akibat yang memang menjadi tujuan dan akibat yang tidak diinginkan namun harus dilakukan untuk
mencapai tujuannya.

Anda mungkin juga menyukai