Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil.
Jadi Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta
syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Apakah Hukum Pidana Formil itu dan bagaimana hubungan antara Hukum Pidana Formil
atau Hukum Acara Pidana dengan Hukum Pidana Materiil?
Hukum Pidana Formil ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang
melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materiil).
Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat
peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum
Pidana Materiil, dan karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang
melanggar peraturan pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana terkumpul/diatur dalam Reglemen Indonesia yang dibarui disingkat
dahulu RIB (Herziene Inlandsche Reglement — HIR) sekarang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981.
Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi), ialah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum
berdasarkan Hukum Pidana Objektif.
Pada hakikatnya Hukum Pidana Objektif itu membatasi hak Negara untuk menghukum.
Hukum Pidana Subjektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari Hukum Pidana
Objektif terlebih dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh Negara, yang berarti,
bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak
pidana (perbuatan melanggar hukum = delik).
Hukum Pidana Umum ialah Hukum Pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk
(berlaku terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.
Apakah yang dimaksud dengan Hukum Pidana Khusus?
Hukum Pidana Khusus ialah Hukum Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang
tertentu.
Contoh:
a. Hukum Pidana Militer., berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang
dipersamakan dengan militer.
b. Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar
pajak (wajib pajak).
2. Paul Johan Anslen von Feuerbach seorang sarjana hukum pidana Jerman menciptakan
asas legalitas. Asas legalitas tersebut diikuti hukum pidana nasional.
Apa pendapat Saudara mengenai asas legalitas menurut Feuerbach dan dalam konteks
hukum pidana nasional?
Jawaban:
Asas legalitas merupakan salah satu dari beberapa asas hukum yang paling tua dalam
sejarah peradaban umat manusia.
Keberadaan asas ini tidak sulit untuk ditemukan dalam berbagai ketentuan hukum
nasional berbagai negara.
Asas leglitas menurut Feuerbach yaitu disebut sebagai Nullum delictum nulla poena siena
praevia lege poenali ada pidana, tanpa undang-undang pidana yang mendahului) yang
berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.
Jadi merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad ke sembilan belas (Beccaria).
Adagium dari von Feuerbach itu dapat dialirkan menjadi tiga asas seperti yang dirumuskan
oleh W.A. van der Donk, yaitu nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum
crimen sine poena legali.
Ternyata, pengapilkasian adaqium ini nulla poena sine lege yang sama itu disatu pihak
lebih menitik beratkan kepada asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah
tidak sewenang-wenang (Monstesquieu dan Rousseau).
Dan di lain pihak menitik beratkan kepada asas hukum yang terbagi atas titik berat pada
hukum acara pidana dengan maksud peraturan ditetapkan lebih dahulu agar individu
mendapat perlindungan dan para penerap hukum terikat pada peraturan itu.
Dan yang paling terkenal adalah fokus yang menitik beratkan pada hukum pidana pidana
materiel dengan maksud setiap pengertian perbuatan pidana dan pemidanaannya itu
didasarkan pada undang-undang yang ada (Beccaria dan von Feurbach).
Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa kontinental, penerapan asas legalitas ini
mengalami beberapa permasalahan yang umumnya juga dihadapi oleh negara lain di
mana masyarakat berkembang selalu lebih cepat daripada perkembangan hukum.
Yang cukup menarik adalah bahwa keberlakuan secara retroaktif dinyatakan dalam
Penjelasan Pasal surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia yang digolongkan sebagai kejahatan manusia.
Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia tidak lagi kaku. Dalam
penerapannya asas legalitas dapat dikecualikan terutama dalam terjadinya kejahatan
terhadap hak asasi manusia.
Pelaku dapat dihukum dengan ketentuan hukum yang dibuat kemudian untuk menjamin
keadilan, meskipun dengan mengenyampingkan kepastian hukum.
Meskipun dibuat kemudian tetap harus dibuat tertulis karena dalam hukum pidana positif
di Indonesia harus ada ketentuan tertulis yang menjadi dasar dan tidak dapat menghukum
orang dengan menggunakan hukum kebiasaan.
Penerapan asas legalitas dalam Hukum Pidana Internasional lebih fleksibel, mengingat
bahwa salah satu sumber hukum internasional adalah kebiasaan internasional.
Kejahatan terhadap hak asasi manusia merupakan jus cogens yang dianggap kejahatan
internasional yang mengakibatkan semua negara berhak melakukan penuntutan terhadap
para pelaku.
Pengecualian terhadap asas ini dalam hukum pidana internasional untuk memastikan
pelaku kejahatan dihukum dan keadilan dapat ditegakkan.
3. Dalam teori kesengajaan, harus terdapat kehendak dari pelaku tindak pidana. Bila dalam
satu kejadian, A menabrakkan kendaraanya ke arah B dan B ternyata kemudian
kehilangan nyawanya. Bagaimana cara mengetahui bahwa A sengaja menabrakkan
kendaraannya, untuk melakukan tindak pidana?
Apa pendapat Saudara jika A tidak sengaja menabrak B, dan bagaimana bentuk
pertanggungjawabannya secara pidana?
Jawaban:
Berbicara mengenai dolus (sengaja) dan culpa (lalai) dalam hukum pidana masuk dalam
pembahasan mengenai asas kesalahan (culpabilitas) sebagai salah satu asas fundamental
dalam hukum pidana yang pada prinsipnya menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
dipidana tanpa adanya kesalahan dalam dirinya.
Asas ini dikenal juga dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, geen straaf zonder
schuld, nulla poena sine culpa, actus non facit reum, nisi mens sit rea.
Dalam hukum pidana, kesalahan adalah dasar pencelaan terhadap sikap batin seseorang.
Seseorang dikatakan memiliki kesalahan apabila sikap batinnya dapat dicela atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (sikap batin yang jahat/tercela).
Kesalahan sebagai salah satu syarat pemidanaan merupakan kesalahan dalam pengertian
yuridis, bukan kesalahan dalam pengertian moral atau sosial.
1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk) dimana perbuatan yang dilakukan dan
akibat yang terjadi memang menjadi tujuan pelaku,
2. Sengaja sebagai sadar kepastian/sengaja sebagai sadar keharusan (opzet bij
zekerheidsbewustzijn) di mana akibat yang terjadi bukanlah akibat yang menjadi
tujuan, tetapi untuk mencapai suatu akibat yang benar-benar dituju, memang harus
dilakukan perbuatan lain tersebut sehingga dalam hal ini perbuatan menghasilkan 2
(dua) akibat, yaitu:
Dengan kata lain, pelaku pernah berpikir tentang kemungkinan terjadinya akibat yang
dilarang undang-undang, namun ia mengabaikannya dan kemungkinan itu ternyata
benar-benar terjadi.
Arrest Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911 (Hoornse taart arrest) menjadi putusan yang
hampir selalu dirujuk saat membahas bentuk kesengajaan dalam gradasi ketiga ini.
Kecelakaan lalu lintas adalah sebuah peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak
disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang
mengakibatkan korban manusia dan atau kerugian harta benda.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Penggolongan
Kecelakaan lalu lintas digolongkan atas kecelakaan lalu lintas:
Pengemudi
Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas, WAJIB:
a. Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya,
b. Memberikan pertolongan kepada korban,
c. Melaporkan kecelakaan kepada kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat, dan
d. Memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
Saksi
Setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya kecelakaan lalu
lintas, WAJIB:
a. Memberikan pertolongan kepada korban kecelakaan lalu lintas,
b. Melaporkan kecelakaan tersebut kepada kepolisan, dan
c. Memberikan Keterangan kepada kepolisian.
Tangungg Jawab
Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum
bertanggung jawab atas:
a. Kerugian yang diderita atau dialami oleh penumpang dan/atau pemilik barang
dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.
b. Kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan
pengemudi.
Perkecualian
a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan
pengemudi.
b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan atau
c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan
pencegahan.
Hak Korban
Korban kecelakaan lalu lintas berhak mendapatkan:
a. Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
kecelakaan lalu lintas dan/atau Pemerintah,
b. Ganti rugi dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas,
dan
c. Santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi.
Ganti Rugi
Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti kerugian yang
besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.