Anda di halaman 1dari 15

PENDIDIKAN ANTI KORUSI

SUBTANSI BENTUK-BENTUK KORUPSI

A. SUBJEK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Pada mulanya korupsi hanya dipahami orang sebagai suatu bentuk


penyalahgunaan kekuasaan yang beehubungan dengan pemerintahan, korupsi
hanya dianggap sebagai penyimpangan dari norma-‘norma yang berlaku bagi
orang yang menjabat suatu jabatan di lingkungan pemerintahan. Esensinya
terletak, di satu pihak pada penggunaan kekuasaan atau wewenang yang
terkandung dalam suatu jabatan, dan dilain pihak terdapat unsur keuntungan,
baik berupa uang ataupun bukan.

J.S Nye dalam artikelnya _” Corruption and political Development :


A cost Benefit Analysis _ mendiskripsikan perilaku korupsi sebagai pelaku
menyimpang dari tugas yang normal dalam pemerintahan karena
pertimbangan pribadi ( keluarga, sahabat pribadi dekat ), kebutuhan uang
atau pencapaian status atau melanggar peraturan dengan melakukan tindakan
yang memanfaatkan pengaruh pribadi, lebih jauh lagi dikatakan bahwa ke
dalam tindakan itu termasuk perilaku penyuapan ( penggunaan hadiah untuk
menyampingkan keputusan seseorang dalam posisi mengemban amanah )
nepotisme ( menggunakan perlindungan oleh seseorang yang mempunyai
hubungan darah atau keturunan daripada berdasar kinerja ), dan
penyalahgunaan ( penggunaan secara tidak sah sumber daya milik umum
untuk manfaat pribadi ).

Korupsi hanya digambarkan sekedar sebagai suatu gejala politik.


Pemahaman seperti ini dapat menimbulkan implikasi hukum, khususnya
terhadap cara orang memandang korupsi, khususnya terhadap cara orang
memandang korupsi dalam perspektif hukum pidana. Akibatnya, tindak
pidana korupsi akan dipersepsikan orang sebagai suatu kejahatan yang hanya
mungkin dilakukan oleh pemegang kekuasaan ( pejabat ) pemerintah dengan
kualifikasi pegawai negeri. Pertanyaannya bagaimana mereka yang tidak
memenuhi kualifikasi pegawai negeri tidak dimungkinkan untuk dituntut dan
dipidana sebagai pelaku tindak pidana korupsi. P|ermasalahnya menjadi
semakin rumit apabila dikaitkan dengan adanya kerangka hukum dalam
kebijakan perundang-‘undangan yang memposisikan subjek hukum tentang
korupsi yang tidak hanya sekedar pegawai negeri, pejabat atau
penyelenggara negara belaka, kerangka hukum sebagai terobosan dimaksud
adalah menyangkut rumusan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana
korupsi.

Dalam konteks cara berpikir, sering muncul dalam kaitanya dengan


pemindanaan terhadap korporasi adalah tentang Apakah korporasi bisa
dipidana, atau mungkinkah suatu korporasi dapat melakukan suatu
kejahatan..? Secara analogis dapat dijawab dengan pertanyaan kembali
tentang mungkinkah atau dapatkah suatu korporasi dapat melakukan suatu
perbuatan hukum atau tindakan hukum,.?. Pada dasarnya yang dapat

25
melakukan tindak pidana adalah manusia ( natuurlijk person ),dimana dari
rumusan tindak pidana dalam undang-‘undang yang selalu dimulai dengan
kata ” Barang siapa ” yang tidak dapat diartikan lain selain orang
( manusia), disamping itu, yang dapat dipertnggungjawabkan dalam hukum
pidana adalah manusia yang disebabkan karena kesalahan, baik dalam
bentuk kesengajaan maupun kealpaan merupakan sikap batin
manusia,.kemudian didalam perkembangan pemikiran hukum pidana, ajaran
seperti itu sudah mulai ditinggalkan, mengingat bahwa subjek hukum pidana
dalam rumusan tidak seluruhnya dimulai dengan perkataan ”barang siapa”
sebagaimana dalam penjelasan dan bunyi pasal 59 KUHP yang membatasi
diri kepada pengurus, anggota-‘anggota badan pengurus atau
komisaris-‘komisaris secara pribadi.

Sejalan dengan perkembangan ilmu hukum, pemindanaan terhadap


korporasi sudah dikenal semenjak abad ke 14 di Eropa, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Hazewinkel-‘Suringa di Eropa barat dikenal dengan yang
dinamakan ” gilden ” yakni semacam badan hukum atau korporasi pada
waktu itu sudah dijatuhi pidana, sepanjang pemindanaan dipandang sebagai
suatu system pengaturan masyarakat yang murni, dengan argumentasinya
yang fungsionalistis dan pragmatis, maka dengan sendirinya bukan saja
manusia, tetapi juga badan hukum atau korporasi dapat dijatuhi pidana.

Pemindaan terhadap korporasi bukanlah sesuatu yang baru di


Indonesia, Pemindanaan terhadap kolektivitas sudah dikenal di dalam
tatanan kehidupan hukum adat berbagai daerah di Indonesia, seperti
dikampung terjadi pencurian atau pembunuhan, si pencuri atau pelaku
pembunuhan yang dilakukan oleh orang asing diwajibkan membayar denda
atau kerugian kepada golongan keluarganya orang yang dibunuh atau orang
yang kecurian. Persoalanya sekarang adalah menyangkut perbuatan pidana
apa saja yang dapat dilakukan oleh suatu korporasi.

B. BENTUK-‘BENTUK KORUPSI

Bentuk-‘bentuk korupsi dapat dibedakan dalam tiga kelompok antara lain :

1. Korupsi Politik

Definisi korupsi politik kerapkali digunakan secara tumpang tindih, seperti tidak
ada bedanya dengan korupsi birokrasi, hanya bagaimana memahami perbedaan
antara korupsi tingkat tinggi dan rendah ( korupsi besar versus kecil), bentuk
korupsi tingkat lokal dan nasional ( lokasi korupsi yang meluas, misalnya terhadap
kontrak pekerjaan umum kota), bentuk korupsi antara pribadi dan intusional
( korupsi yang ditujukan untuk pengayaan pribadi dan apa yang berusaha
menguntungkan institusi seperti partai politik ) bentuk korupsi tradisonal dan
modern (nepotisme dan patronase versus pencucian uang melalui sarana elektronik )

Menurut Inge Amundsen bentuk korupsi politik adalah transaksi antara aktor
sektor swasta dan publik yang melaluinya barang kolektif secara tidak sah dirubah
menjadi pembayaran pribadi. prosesnya melibatkan keputusan yang diambil melalui
keputusan politik

Aspek-‘aspek dapat mempengaruhi terjadinya korupsi antara lain :

26
a. Aspek individu
 Sifat tamak atau serakah.
 Sikap mental
 Penghasilan tidak cukup
 Gaya hidup yang konsumtif
 Ajaran dan pemahaman Agama kurang diterapkan.

b. Aspek Organisasi

 Lemahnya system pengawasan dan pengendalian


 Manajemen cenderung tutupi korupsi dalam organisasi.
 Sistem akuntabiltas tidak transp\aran
 Job Discrip\tion atau tugas fungsi jabatan tidak berjalan semetinya

c. Aspek Partisipatif masyarakat tempat Individu dan organisasi berada

 Nilai-‘nilai di masyarakat cenderung kondusif untuk terjadinya korupsi


dan sering terjadinya korupsi.
 Generasi muda dihadapkan dengan praktek korupsi yang selalu terjadi
dilingkunganya.
 Kekeliruan mengartikan antara budaya dan korupsi.

d. Aspek peraturan perundang-‘undangan

 Monolistik peraturan perundang-‘undangan atau tumpang tidih yang


mengatur masalah tersebut.
 Kualitas peraturan perundang-‘undangan terkadang tidak jelas.
 Ketidak mengertian perbuatan melawan hukum oleh sebagaian pejabat
negara sehingga berakibat dapat timbulkan kerugian negara atau
ekonomi negara.

2. Korupsi Birokrasi

Alfiler menyatakan bahwa korupsi adalah suatu perilaku yang dirancang dengan
sengaja sebagai perilaku yang menyimpang dari norma-‘norma yang diharapkan dan
dilakukan untuk mendapatkan imbalan material atau penghargaan lainya, Bentuk
korupsi ini terjadi dalam konteks social pada suatu organisasi publik yang
merupakan otoritas /kewenangan pegawai negeri.

Berdasarkan Undang-‘undang Nomor 28 tahun 1999, sebagaimana dimaksud


dalam pasal 1 uandang-‘undang tersebut, Pegewai negeri atau penyelenggara
negara adalah Pejabat negara yang dijalankan fungsi eksekutif, yudikatif dan
legislative dan pejabat lain yang melaksanakan fungsi penyelenggara negara sesuai
peraturan perundang-‘undangan, selanjutnya berdasarkan Undang-‘undang nomor
43 tahun 1999 pasal 1 tentang pokok-‘pokok. Kepegawaian, yang dimaksud
pegawai negeri adalah Setiap warga negara RI yang telah penuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang, dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan di gaji berdasarkan peraturan
perundang-‘undangan.

27
Dalam konteks praktek korupsi dalam birokrasi pada umumnya bersinggungan
dengan proses administrasi dan pelayanan public yang sengaja dilakukan karena
memang motif keserakahan dan adanya kebutuhan yang mendesak. Kualitas
pelayanan public dijadikan sebagai salah satu acuan atau paremeter untuk
menentukan korupsi birokrasi, Contohnya seorang pegawai negeri membuat
masyarakat menunggu berhari-‘hari bahkan bermingu-‘minggu untuk sekali
mengurus kepentinganya. Sementara, jika masyarakat mau membayar kepada
pegawai tersebut, pengurusanya begitu cepat, bahkan bukan hanya untuk satu
kepentingan,. Akan tetapi banyak masyarakat yang kurang menyadari bahwa
pemberian sesuatu kepada pegawai pemerintahan adalah bentuk korupsi yang
memiliki daya rusak yang tinggi terhadap moralitas pegawai tersebut, dimana
dengan kekuasaan yang ada padanya, ia akan semakin merasa berkuasa, akibatnya,
jabatan tersebut, digunakan bukan untuk melayani masyarakat, melainkan untuk
memeras mereka.

3. Korupsi Yudisial

Dalam arti sempit korupsi yudisial adalah bentuk korupsi yang terjadi di
lingkungan peradilan, yang melibatkan hakim dan pegawai di lingkungan tersebut.
Dan dalam arti luas korupsi yudisial dapat diartikan sebagai perilaku korupsi yang
terjadi di dalam proses penegakan hukum, mulai dari tahan penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di muka pengadilan hingga tahap eksekusi, dan dilakukan oleh aparat
penegak hukum baik polisi, jaksa, advokat dan hakim.

Lahirnya mafia peradilan merupakan bukti bahwa praktek korupsi ini bukanlah
hal baru, melainkan memang telah lama terjadi di lingkungan peradilan Indonesia.
Secara umum, terdapatnya kekuatan utama yang mengakibatkan terjadinya korupsi
antara lain :
a. Pengaruh kekuatan politik, diawali berpengaruhnya sejak saat proses
pengangkatan seorang calon hakim dan ketika calon hakim tersebut menduduki
jabatan hakim. Kedudukan seorang hakim yang dihasilkan karena dorongan
kekuatan poltik, sehingga dapat dipastikan tidak dapat diharapkan mampu
memberikan keputusan hukum yang berkeadilan, dimana ia memberikan
putusan karena takut pada ancaman maupun intimidasi politik yang terjadi.
b. Pengaruh pribadi hakim terhadap ketamakan, sehingga banyak aparat penegak
hukum yang tidak berdaya ketika dihadapkan dengan sejumlah materi maupun
asset berharga lainya oleh pelaku kejahatan ( termasuk pelaku korupsi ) saat
akan mengeluarkan keputusan yang memberatkan pelaku. Sehingga pada
akhirnya integritas, profesionalitas, dan moralitas, berani mereka pertaruhkan
demi maraih kentungan pribadi

Yasonna H.Laoly menyatakan dalam tulisanya tentang Kolusi fenomena atau


penyakit kronis dikatakan bahwa bagi sebagian besar praktis hukum, dugaan adanya
kolusi, bahkan korupsi dan nepotisme di lingkungan peradilan bukan suatu hal yang
aneh dan mengejutkan. Sudah bukan rahasia di kalangan pengacara, bahkan mereka
tidak hanya bergantung pada argumentasi-‘argumentasi yuridis semata untuk
memenangkan setiap perkara yang mereka tangani di pengadilan.
pendekatan-‘pendekatan nonyuridis sangat diperlukan, bahkan tidak jarang lebih
menentukan disbanding factor yuridis. Artinya secara umum, advokat mengetahui
alur ke mana dan kepada siapa mereka harus _” mengadu _” dan membangun
kongkalingkong demi memenangkan perkara di tangan mereka

28
Lebih jauh lagi, bentuk korupsi yudisial yang tidak disadari dan sering luput
dari perhatian masyarakat ialah tatkala berhubungan dengan perampasan sumber
penghidupan mereka. persekongkolan yang terjadi antara pejabat daerah, pihak
swasta dan hakim dalam uji material pemenfaatan sumber daya alam di daerah
seringkali melukai nurani rakyat. Di satu sisi, masyarakat merasa dirugikan dengan
adanya eksplotasi alam yang merusak sumber penghidupan dan kehidupan mereka.
Di sisi lain, pihak swasta dan oknum pemerintah daerah berjuang untuk
mengeksplotasi dan mengurus potensi alam yang ada di daerah tersebut tanpa
memperdulikan akibat buruk yang akan terjadi dikemudian hari. Akhirnya, mereka
sepakat untuk perang argumentasi di pengadilan demi mendaptkan keputusan yang
adil berdasarkan nurani hakim. Tidak dipungkiri, modal besar yang dimiliki pihak
swasta sangat memberikan p\engaruh besar dalam pengambilan keputusan oleh
hakim. Berbagai upaya mereka lakukan, termasuk menyewa pengacara yang
handal, menyuap hakim dan oknum pejabat daerah, dan akhirnya lahirlah keputusan
yang merugikan masyarakat setempat. Dengan keputusan tersebut, masyarakat akan
sulit menolak, karena diharuskan tunduk pada putusan hakim yang esensinya
melukai rasa keadilan masyarakat.

Dengan demikian, korupsi yudisial dapat dikatakan sebagai bentuk korup\si


yang paling sulit diungkap, karena korupsi tersebut terjadi berkaitan dengan
unsur-‘unsur politik yang ada, skaligus proses adminitrasi yang seakan-‘akan
pengambilan keputuasn atau kebijakan tersebut memiliki legalitas yang dan
mengikat

Berikut dipaparkan berbagai bentuk korupsi yang diambil dari Buku Saku yang dikeluarkan
oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK : 2006)

29
No Bentuk Korupsi Perbuatan Korupsi

1 Kerugian Keuangan • Secara melawan hukum melakukan perbuatan mem-


Negara perkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
• Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada.

2 Suap Menyuap • Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada


Pegawai Negeri atau penyelenggara negara .... dengan
maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya;
• Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penye-
lenggara negara .... karena atau berhubungan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
ja- batannya;
• Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
mele- kat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh
pemberi hadiah/janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedu- dukan tersebut;
• Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji;
• Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakan agar melakukan
sesuatu atau ti- dak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang ber- tentangan dengan
kewajibannya;
• Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan sesuatu
atau ti- dak melakukan sesuatu dalam jabatannya,
yang ber- tentangan dengan kewajibannya;
• Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau pa-
tut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubung-
an dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya;
• Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara;
• Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan, berhubung dengan perkara;
• Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
di- ketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
ter- sebut diberikan untuk memepengaruhi putusan
per- kara.
3 Penggelapan dalam • Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
Jabatan ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan

30
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau uang/surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;
• Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
di- tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan adminstrasi;
• Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
di- tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja menggelapkan, merusakkan atau membuat
tidak da- pat dipakai barang, akta, surat atau daftar
yang digu- nakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jaba- tannya;
• Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
di- tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancur- kan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
• tersebut;
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
di- tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja membantu orang lain menghilangkan,
menghancur- kan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
4 Pemerasan • Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain se-
cara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
• sendiri; Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
pada wak- tu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-
olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bu- kan merupakan utang;
• Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima atau
memotong pembayaran kepada Pegawai negeri atau
peny- elenggara negara yang lain atau kepada kas umum,
seolah- olah Pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang.

5 Perbuatan Curang • Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat


ban- gunan, atau penjual bahan bangunan yang pada
waktu me- nyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
• perang;
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
menyerahkan bahan bangunan, sengaja membiarkan per-
buatan curang;
• Setiap orang yang pada waktu menyerahkan
barang
keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI
melaku- kan perbuatan curang yang dapat
• membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang;
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI
melakukan perbuatan curang dengan sengaja mem-
6 Benturan Kepentingan • Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik lang-
Dalam Pengadaan sung maupun tidak langsung dengan sengaja turut
serta dalam pemborongan, pengadaan atau perse-
waan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
se- luruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya.

7 Gratifikasi • Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau peny-


elenggara dianggap pemberian suap, apabila ber-
hubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

Bentuk/jenis tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi
berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dapat dikelompokkan :
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan
keuangan Negara
3. Menyuap pegawai negeri
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5. Pegawai negeri menerima suap
6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat menerima suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
12. Pegawai negeri merusakkan bukti
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
15. Pegawai negeri memeras
16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
17. Pemborong berbuat curang
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25. Merintangi proses pemeriksaan
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan
atau memberi keterangan palsu
30. Saksi yang membuka identitas pelapor
Selain perbuatan sebagaimana dipaparkan di
atas, dalam praktik di masyarakat dikenal pula Hasil survei Transparency Internasional mengenai
istilah gratifikasi. penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap
pelayanan publik di Indonesia. Memberikan nilai
1. Pengertian Gratifikasi
IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada
Black’s Law Dictionary memberikan Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia
pengertian Gratifikasi atau Gratification: pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei
“a voluntarily given reward or recompense Transparency International Indonesia berkesimpulan
for a service or benefit” (gratifikasi adalah bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut
“sebuah pemberian yang diberikan responden adalah: lembaga peradilan (27%),
atas diperolehnya suatu bantuan atau perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%),
keuntungan”). kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%),
BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan
2. Bentuk Gratifikasi (3%), dan pekerjaan umum (2%). (Adnan Topan
a. Gratifikasi positif adalah pemberian Husodo : 2008)
hadiah dilakukan dengan niat yang
tulus dari seseorang kepada orang Dengan demikian secara perspektif
laitanpa pamrih artinya pemberian gratifikasi tidak selalu mempunyai
dalam bentuk “tanda kasih” tanpa arti jelek, namun harus dilihat dari
mengharapkan balasan apapunb. kepentingan gratifikasi. Akan tetapi
b. Gratifikasi negatif adalah pemberian dalam praktik seseorang
hadiah dilakukan dengan tujuan memberikan sesuatu tidak mungkin
pamrih, pemberian jenis ini yang telah dapat dihindari tanpa adanya
membudaya dikalangan birokrat pamrih.
maupun pengu- saha karena adanya Di negara-negara maju, gratifikasi
interaksi kepentingan kepada kalangan birokrat dilarang
keras dan kepada pelaku diberikan
sanksi cukup berat, karena akan
mempengaruhi pejabat birokrat
dalam menjalankan tugas dan
pengambilan keputusan yang dapat
menimbulkan ketidakseimbangan
dalam pelayanan publik. Bahkan di
kalangan privat pun larangan juga
diberikan, contoh pimpinan
stasiun televisi swasta melarang
dengan tegas reporter atau
wartawannya menerima uang atau
barang dalam bentuk apa pun dari
siapapun dalam menjalankan tugas
pemberitaan. Oleh karena itu
gratifikasi harus dilarang bagi
birokrat dengan disertai sanksi
yang berat (denda uang atau
pidana kurungan atau penjara) bagi
yang melanggar dan harus
dikenakan kepada kedua pihak
(pemberi dan penerima
Gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU
Nomor 31 tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
penjelasannya didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Dalam Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa “Setiap gratifikasi kepada


pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya”. Apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suatu
pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 C UU No 20 Tahun 2001, yaitu :

a. Ketentuan pada Pasal 12 B ayat (1) mengenai gratifikasi dianggap sebagai pemberian
suap dan tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
KPK;
b. Laporan penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi diterima;
c. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan
laporan, KPK wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
negara;
d. Tata cara penyampaian laporan dan penentuan status gratifikasi diatur menurut
Undang-undang tentang KPK.

Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain :


a. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu;
b. Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan
anaknya;
c. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya untuk
keperluan pribadi secara cuma-cuma;
d. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk pembelian
barang atau jasa dari rekanan;
e. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat/pegawai negeri;
f. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;
g. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat kunjungan
kerja;
h. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat hari raya
keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya;
i. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif, karena hal ini dapat memengaruhi
legislasi dan implementasinya oleh eksekutif;
j. Cideramata bagi guru (PNS) setelah pembagian
rapor/kelulusan;
k. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan
tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas),
retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR dan masyarakat (preman). Apabila kasus
ini terjadi KPK menyarankan agar laporan dipublikasikan oleh media massa dan
dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku;
l. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.
m. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi
Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah;
n. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke
pejabat;

o. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan;


p. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah ( karena biasanya sudah tersedia
anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus
dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat
menggunakan kotak amal);
q. Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran;
r. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang “dipercepat” dengan uang tambahan;
s. Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang
transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak
masuk akal;
t. Pengurusan izin yang dipersulit.
Dengan demikian pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalah
pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan
dan/atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan
pejabat/pegawai negeri dengan si pemberi.
Bab 01. Pengertian Korupsi Bab 01. Pengertian Korupsi

27 27
Bab 01. Pengertian Korupsi Bab 01. Pengertan Korupsi
i

27 27
Bab
i 01. Pengertian Korupsi Bab 01. Pengertan Korupsi

Anda mungkin juga menyukai