Anda di halaman 1dari 38

HUKUM PIDANA

Dosen :
1. Karjoso Kasimoen, S.H.
2. Lies Sulistiani, S.H., MH.
3. Somawidjaja, S.H.

PENGERTIAN
 Ada 2 pandangan, yaitu :
1. Pandangan monistis/ monoistis (pandangan kuno),
2. Pandangan dualistis (pandangan modern).

Ad l): Pandangan monistis/ monoistis (pandangan kuno)


 Aliran ini dipengaruhi oleh aliran klasik yang semata-mata
menitikbcratkan pada perbuatan.
 Tokohnya: Mezger, dll.
 Hukum Pidana adalah aturan hukum yang mengikat pada
pcrbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dengan akibat berupa pidana.
 Jadi inti dari pengertian monoistis di sini mengandung 2 hal
pokok, yaitu:
1. Perbuatan (perbuatan orang) yang memenuhi syarat-syarat
tertentu (yang memenuhi isi undang-undang).
Jadi kesimpulan dari pokok pertama adalah adanya perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana, sedang orang yang melakukan dapat dijatuhi pidana.
2. Pidana dimaksudkan sebagai sanksi dalam Hukum
Pidana.
Dalam pidana modern, sanksi dalam Hukum Pidana dapat berupa 2 macam :
a. Straf - pidana; dimaksudkan dengan
nestapa/penderitaan.
b. Maatzegel - tindakan; tidak menggambarkan
nestapa melainkan semata-mata ditujukan untuk prevensi (pencegahan),
oleh karena itu menurut pandangan monistis Hukum Pidana mengacu pada
perbuatan.
 Kesan dari pandangan monistis ini adalah
bahwa seakan-akan orang yang telah melakukan perbuatan, dalam hal ini tindakan
pidana harus dipidana. Pandangan ini menyatukan tindak pidana dengan
pertanggungjawaban pidana dari orang yang melakukan tindakan.

Ad 2): Pandangan dualistis (pandangan modern)


 Pandangan ini dipengaruhi oleh aliran neoklasik.
 Tokohnya: Pompe, Prof. Moeljatno, dll.
 Pandangan ini memisahkan tindak pidana di satu pihak dengan
pertanggungjawaban di lain pihak. Adanya pemisahan ini mengandung konsekuensi
bahwa untuk mempidana seseorang tidak cukup kalau orang tersebut hanya telah
melakukan tindak pidana saja melainkan masih dibutuhkan satu syarat lagi yaitu
apakah orang tersebut terbukti kesalahannya (ini menyangkut
pertanggungjawaban pidana); mengandung asas kesalahan.
 OIeh karena itu pandangan ini menyatakan bahwa pidana mengacu pada orang
tanpa melupakan perbuatannya, yang dianut saat ini dan yang akan datang.
 Pandangan dualistis nampak pada definisi Hukum Pidana menurut Moeljatno
yaitu :
“Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang memberikan aturan-aturan dan
dasar-dasar :
1. Perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan dan dilarang. Kepada yang
melanggar larangan dikenakan sanksi pidana. Berkenaan dengan perbuatan
pidana. –criminal act-
2. Kapan dan dalam hal apa pengenaan atau penjatuhan pidana dapat
dikenakan kepada orang yang melanggar larangan tersebut. Bcrkenaan dengan
pertanggungjawaban.
Tegasnya bagian pertama definisi Moeljatno itu menyangkut tindak pidana
(criminal act), bagian keduanya menyangkut pertanggungjawaban tindak pidana
(responsibility).
Bagian 1 dan 2 disebut Hukum Pidana materiil (substantie/criminal law).
Jenis-jenis Hukum Pidana
Antara lain :
1. a. Hukum Pidana materiil,
Isinya meliputi norma-norma dari perbuatan yang dapat dipidana.
b. Hukum Pidana formil/Hukum Acara Pidana.
Menggambarkan hak negara beserta aparat penegak hukum dalam melakukan
penuntutan perkara pidana, menjatuhkan pidana, dan melakukan pidana.
Di dalam bahasa latin ; Hukum Pidana materiil (ius poenale), Hukum Pidana
formil (ius Poeniendi).
2 a. Hukum Pidana umum,
Berlaku untuk setiap orang, contoh : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Sifatnya sudah dikodifikasi dan sekaligus diunifikasi.
b. Hukum Pidana khusus.
Berlaku untuk orang-orang tertentu, beserta yang dipersamakan, contoh KUHP
Tentara, Hukum Pidana fiscal (pajak), Hukum Pidana ekonomi. Sifatnya juga
sudah dikodifikasi.
3. a. Hukum Pidana tertulis,
Contoh: KUHP, KUHAP, UU Psikotropika, dll.
b. Hukum Pidana tidak tertulis.
Hukum Pidana Adat, masih diberlakukan untuk wilayah-wilayah tertentu saja
seperti : Bali, Lombok, Makasar, berdasarkan UU Darurat No. l tahun 1951,
sebagai pengganti Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat.
4. a. Hukum Pidana yang berlaku untuk seluruh rakyat yang dibentuk oleh
pembentuk undang-undang di pusat,
b. Hukum Pidana lokal yang dibuat oleh Daerah Tingkat 1 dan
Daerah Tingkat II.
5. a. Hukum Pidana nasional,
Karya murni dari bangsa yang sudah merdeka.
b. Hukum Pidana internasional.

Sumber Hukum
 Antara lain : (UU); KUHP, KUHAP, UU Korupsi, dsb., Hukum Pidana
Adat, yurisprudensi.

Tujuan Hukum Ptdana


 Meliputi:
- Tujuan umum :
Seperti halnya ilmu hukum lainnya maka Hukum Pidana mempunyai tujuan
umum yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat.
- Tujuan khusus :
Menanggulangi kejahatan maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara
memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingan hukum yaitu orang (martabat, jiwa, harta,
tubuh. dsb.), masyarakat dan negara.
 Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dikatakan
mempunyai fungsi yang subsider. Artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang
maka baru dipergunakan Hukum Pidana, sering juga dikatakan Hukum Pidana itu
merupakan ultimum remedium atau obat terakhir.
 Adakalanya sanksi Hukum Pidana merupakan hal yang
tragis, singkatnya Hukum Pidana itu mengiris dagingnya sendiri. Ia merupakan
pedang bermata dua, artinya bahwa Hukum Pidana yang melindungi kepentingan
hukum apabila ternyata kepentingan hukum itu sendiri dilanggar maka sanksi
pidana tidak pilih bulu.
 Ada yang mengatakan Hukum Pidana itu merupakan
hukum sanksi (menurut Utrecht), artinya Hukum Pidana tidak mengadakan norma-
norma baru melainkan norma-norma yang sudah ada pada hukum-hukum lainnya
tetap dipertahankan dengan pemberian sanksi pidana. Sudarto ; contoh-contoh tadi
dimasukkan dalam kelompok perundang-undangan lain dengan sanksi pidana.

Pembaharuan Hukum Pidana


 Tokoh penting dalam pembaharuan hukum Pidana,
diantaranya adalah Sudarto, Barda Nawawi.
 Nama asli KUHP yaitu Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie/WvSNI.
 Kodifikasi tahun 1915, unifikasi tahun 1918, tahun 1946
dengan UU No 1 berubah menjadi KUHP.
 Hal-hal yang bertentangan dengan kedudukan RI sebagai
negara merdeka dihapuskan, seperti ; perbudakan, pengemisan dan gelandangan,
dan perang tanding.
 Dengan UU No. 20 tahun 1946 pemerintah RI
memasukan jenis pidana baru, yaitu pidana tutupan yang khusus ditetapkan bagi
para politikus yang saat itu menentang pemerintahan dwi tunggal. Pidana ini hanya
berlaku sampai tahun 1958 yaitu berdasarkan UU No. 73 tahun 1958 tentang
unifikasi Hukum Pidana materiil oleh karena saat itu di Indonesia ada 2 KUHP yaitu
: KUHP untuk RI dengan ibukota Yogyakarta dan KUHP Federal dengan ibukota
Batavia. Dualisme ini berakhir tahun 1958 dengan dikeluarkannya Undang-undang
No. 73 Tahun 1958 tersebut.
 Pada tahun 1960 muncul UU No. 1 Tahun 1960, 3 pasal
kejahatan yaitu 359 dan 360 tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena
kealpaan, dan pasal 180; dari 1 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara, dari
kurungan 9 bulan menjadi kurungan 1 tahun. Dengan Perpu No. 16 tahun 1960,
pidana denda dilipatgandakan.
 Ada 3 sasaran pembaharuan Hukum Pidana antara lain :
1. Hukum Pidana materiil (KUHP) belum tuntas karena belum memiliki apa yang
disebut dengan hukum nasional.
2. Hukum Pidana formil (KUHAP) sudah tuntas dengan keluarnya UU No. 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
3. Hukum pelaksanaan pidana sudah tuntas dengan keluarnya UU No. 12 tahun
1995 tentang Lapas (Lembaga Pemasyarakatan).
 Dari 3 sasaran tersebut menggambarkan bahwa pembaharuan tidak berjalan
secara sistematis. Cara untuk melakukan pembaharuan biasanya dengan cara
kriminalisasi yaitu menciptakan tindak pidana baru baik yang diselipkan dalam
KUHP atau yang dibuat khusus dalam KUHP yang semula tidak ada dalam KUHP.
 Prof. Muladi menyatakan bahwa kriminalisasi sebagai cara pembaharuan
Hukum Pidana bisa dilaksanakan melalui pilihan legislatif berupa evolusi dan
kompromis.
 Evolusi yaitu menyelipkan pasal-pasal baru di dalam KUHP, contoh : dalam
KUHP pasal 33 A (grasi), pasal 142 A, pasal 156 A, pasal 303 Bis, sedangkan yang
dibuat di luar KUHP dengan UU misalnya: UU Korupsi, UU Tindak Pidana
Ekonomi, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Senjata Api Gelap, dll. Kompromis
yaitu menciptakan delik baru dalam KUHP dalam Bab baru tentang jenis kejahatan
baru, yaitu Bab 31 A mengatur tentang kejahatan penerbangan dari pasal 479 A s/d
479 R
 AIasan—alasan pembaharuan Hukum Pidana (menurut Sudarto):
1. Alasan politis,
Jati diri negara merdeka dengan memiiiki KUHP nasional
2. Alasan sosiologis,
Memasukkan nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia ke dalam KUHP.
3. Alasan kebutuhan praktis,
Kebutuhan untuk menunjang praktek, penafsiran/penerjemahan KUHP Belanda
secara subjektif menghambat praktek.

Batas-Batas Berlakunya
 Batas-batas berlakunya UU Pidana menurut waktu dan tempat :
1. Tempat terjadinya tindak pidana (lex locus delicti); pasal 2 s/d 9 KUHP.
2. Waktu terjadinya tindak pidana (lex tempiis delicti); pasal 1 ayat (2) KUHP.
 (1) dan (2) ini penting bagi Hukum Acara Pidana dalam hal pembuatan surat
dakwaan Jaksa, dalam surat dokumen dakwaan jaksa wajib dicantumkan (1) dan (2),
apabila kedua hal ini tidak dicantumkan maka akibat hukumnya dakwaan batal demi
hukum.

Ad 1): Tempat terjadinya tindak pidana (lex locus delicti)


 Tempus delicti penting dipelajari karena berhubungan dengan pertanyaan-
pertanyaan :
1. Apakah saat perbuatan dilakukan, UU-nya sudah ada apa belum?
2. Apakah saat perbuatan dilakukan orang yang melakukan sudah dewasa atau
masih di bawah umur?
Ini penting karena berkaitan dengan badan peradilan mana yang berhak
mengadili.
3. Pada saat perbuatan dilakukan pelakunya dalam keadaan tertangkap tangan/
tertangkap basah. Ini penting dalam hal menentukan penahanan sementara bagi
orang tersebut.
 Dasar hukum tempus delicti diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang di
dalamnya terkandung asas yang fundamental, yaitu asas legalitas (legaliteit
beginsel/principle of legality); pasal 1 ayat (1) KUHP disebut nullum delictum nulla
poena sine proevina lege poenali.
 KUHAP mengenal asas, yaitu Jaksa wajib menuntut seseorang apabila
ada sangkaan kuat orang itu telah melakukan tindak pidana. Asas legalitas dalam
hukum acara dikecualikan dengan adanya asas yang dimiliki oleh Jaksa Agung saja,
yaitu asas oportunitas, artinya kewajiban untuk menuntut perkara pidana dapat
dipeti-eskan apabila ini terjadi untuk kepentingan umum.
 Definisi pasal 1 KUHP tentang legalitas dapat disimpulkan dalam 2
bagian pokok, yaitu:
1. Tindak pidana harus dirumuskan dan diatur dalam UU,
Konsekuensinya suatu perbuatan yang belum diatur dalam UU berarti bukan
tindak pidana.
Pengecualian terhadap konsekuensi ini mengenai Hukum Adat yang sifatnya
tidak tertulis yang berlaku hanya bagi daerah tertentu seperti: Bali, Makasar.
NTB, berdasarkan UU No. 1 Drt/1951 pasal 5 ayat 3 (b), bisa diadili di
Pengadilan Negeri sebagai pengganti dari Pengadilan Swapraja dan Pengadilan
Adat.
Terhadap pokok yang pertama Utrecht memberikan catatan :
a. Asas legalitas lebih memberikan perlindungan
kepada kepentingan individu dan menelantarkan kepentingan kolektif.
b. Bagi mereka yang mempunyai pandangan
individualistis terhadap Hukum Pidana maka asas legalitas inilah menjadi
jaminannya.
c. Adanya asas legalitas tidak memberi keleluasaan
bagi Hakim pidana untuk mengadili perkara yang sifatnya patut dipidana
(bukan dapat dipidana).
Patut dipidana: sirafwaardig
Dapat dipidana: strafhaar
2. Perundang-undangan harus ada sebelum pcrbuatan dilakukan;
Dengan rasio/dasar pemikiran dari pembentuk Undang-undang;
a. Untuk kepastian hukum dan mengantisipasi perbuatan sewenang-wenang
dari penguasa,
b. Adanya UU yang mencantumkan sanksi pidana dimaksudkan pula untuk
mencegah terjadinya kejahatan.
Ini berhubungan dengan teori An selm van Feuerbach (Jerman)/ teori
paksaan psikis, dalam Moeljatno disebut pengereman batin. Ini pun
berhubungan dengan politik Hukum Pidana pembentuk UU.
 Pasal 1 ayat 2 KUHP :
Apabila terjadi perubahan perundang-undangan setelah terjadi perbuatan dilakukan
maka terhadap terdakwa haruslah dikenakan ketentuan yang paling menguntungkan.
 Keuntungan di sini bisa UU yang lama atau bisa juga UU yang
baru pada waktu ia diadili.
 Hal ini berhubunga n dengan hukum transito/ hukum peralihan,
karena dalam kasus tersebut UU yang lama lebih menguntungkan maka lalu
dikatakan di sini berlaku retro aktif (berlaku surut/ mundur).
 Mengenai masalah pasal 1 ayat 2 KUHP ini ternyata tidak semua
sarjana menyetujuinya, ada yang menentang dan ada pula yang menyarankan agar
pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut ditiadakan saja karena dalam prakteknya
menimbulkan ketidakadilan (menurut Hazeurinkel Suringa).
 Kalau dibandingkan ketentuan pasal 1 KUHP dengan Inggris, maka
Inggris tidak mengenal rumusan seperti KUHP tersebut, sehingga kalau ada
perubahan, maka UU yang dipakai adalah tetap yang lama dengan alasan demi
kepastian hukum. Lain halnya dengan Swedia, kalau ada perubahan UU yang
dipakai adalah yang baru dengan alasan UU baru sifatnya lebih baik daripada yang
lama.
 Walaupun pasal 1 ayat 2 KUHP memunculkan banyak teori namun
yang dipakai dalam prakteknya adalah teori yang lebih menguntungkan terdakwa,
kecuali yaitu apabila suatu peraturan yang dibuat oleh pembentuk UU hanya berlaku
untuk masa temporer saja maka di sini bukanlah perubahan perundang-undangan
(perubahan UU yang bersifat temporer bukan termasuk pengertian perubahan dalam
pasal 1 ayat 2 KUHP).

Ad 2): Waktu terjadinya tindak pidana (lex tempus delicti)


 Locus delicti diatur dalam pasal 2 s/d 9 KUHP, penting dipelajari karena
berhubungan dengan hal-hal :
1. Apakah perundang-undangan kita berlaku untuk warga negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri,
2. Kejaksaan Negeri mana dan Pengadilan Negeri mana yang
berhak menuntut dan mengadili seseorang.
 Dikenal adanya beberapa asas:
1. Asas territorial
Artinya KUHP berlaku untuk setiap orang baik ia WNI maupun WNA yang
melakukan tindak pidana di dalam wilayah teritorial RI.
Pasal 2 KUHP : Untuk terjadinya tindak pidana di wilayah RI tidak perlu selalu
pelaku ada di wilayah RI, bisa juga di wilayah asing tapi korban ada di wilayah
RI, maka ia dinyatakan bersalah melakukan kejahatan di wilayah teritorial RI.
Kemudian pasal 2 KUHP ini diperluas dengan adanya pasal 3 KUHP : Ini
berlaku untuk WNA melakukan kejahatan di atas kapal RI (dulu kapal itu hanya
di air sedangkan sekarang termasuk di udara).
2. Asas personal/ asas nasional aktif
Pasal 5 KUHP: KUHP Indonesia berlaku untuk warga negara yang melakukan
kejahatan di luar negeri.
Pasal 5 ini dibatasi oleh pasal 6 yang menyatakan perbuatan yang dilakukan
menurut hukum Indonesia dinyatakan sebagai kejahatan sedangkan di luar
negeri tempat perbuatan itu dilakukan dinyatakan sebagai dapat dipidana.
3. Asas nasional pasif
Asas ini disebut juga dengan asas perlindungan karena bukan saja melindungi
kepentingan nasional RI tapi juga kepentingan negera asing.
4. Asas universal
Dalam asas universal ini terkandung pengertian menyelenggarakan tertib dunia.
 Locus delicti menganut pula beberapa teori, antara lain :
1. Teori perbuatan; dilakukannya aktivitas perbuatan,
2. Teori perbuatan diluaskan dengan alat; di sini dilihat tempat alat
bekerja,
3. Teori akibat; tempat akibat itu terjadi.

PERBUATAN PIDANA
 Ada 3 inti perbuatan pidana, antara lain:
1. Tindak pidana,
2. Pertanggungjawaban,
3. Pidana dan pemidanaan.

Tindak Pidana (Strafbaar Feit)


 Pengertian dari tindak pidana menurut
dualistis: Tindak pidana tidak mencakup pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang/tidak boleh dilakukan dan kepada yang
melanggar dikenakan sanksi. Tindak pidana ini merupakan pengertian yuridis
sifatnya dapat dipidana. Beda dengan perbuatan jahat, kalau perbuatan jahat
merupakan perbuatan dalam kriminologis sifatnya patut dipidana karena perbuatan
tersebut belum diatur dalam UU tetapi masyarakat mencelanya.
 Yuridis : Undang-undang melarang,
masyarakat mencela. Kriminologis : UU tidak melarang, masyarakat mencela.
 Tindak pidana (strafbaar feit) memiliki
unsur-unsur :
1. Unsur objektif yaitu unsur yang tidak
melekat pada diri pelakunya, bisa terdiri dari perbuatan, akibat sifat melawan
hukum, syarat tambahan untuk mempidana seseorang hal yang memberatkan
dari tindakan pidana.
2. Unsur subjektif, yaitu unsur yang
melekat pada diri orang yang berbuat, misalnya sengaja, niat, sepatutnya
menduga (lalai), maksud, alpa, mengetahui.
 Tindak pidana dirumuskan
dalam UU. Cara merumuskan UU:
1. Hanya menyebutkan
norma-norma saja tanpa menyebutkan nama tindak pidana.
2. Hanya menyatakan
nama tindak pidananya saja tanpa unsur-unsur.
 Yang paling banyak dipakai adalah disamping mencantumkan unsur-unsur
sekaligus kualifikasi (nama dari tindak pidana). Di luar KUHP dalam perundang-
undangan pidana khusus, norma dan sanksi dipisah (tetap berlaku berdasarkan asas
legalitas pasal 1 ayat 1).
 Tindak pidana memiliki unsur :
1. Perbuatan manusia,
2. Perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan delik,
3. Bersifat melawan hukum: formil dan materil
Ketiga ini merupakan bagian inti dari delik. Ada pula yang berpendapat bahwa
perbuatan pidana memiliki unsur ke-4, yaitu tidak ada alasan pembenar.
 Ada 3 pandangan atas perbuatan pidana ini :
1. Prof. Moeljatno,
Setiap perbuatan pidana harus ada sifat melawan hukum, sifat melawan hukum
ini merupakan sifat yang mutlak harus ada, bila tak ada unsur ini maka
putusannya berbunyi bebas. Jika tindak pidana terbukti, kesalahan/
pertanggungjawaban tak ada maka putusannya adalah lepas.
Tindak pidana (sifat melawan hukum) tak terbukti, maka jelas putusannya
adalah bebas.
2. Prof. Vrij.
Apabila unsur-unsur itu/syarat dalam tindak pidana dirumuskan maka ini
disebut bagian inti delik, dan apabila bagian inti delik ini tidak terbukti maka
putusannya harus berbunyi dibebaskan. Sedangkan unsur-unsur yang tercantum
di luar rumusan delik, misalnya asas-asas umum (masalah kesalahan) dan unsur
ini tidak terbukti putusannya harus berbunyi dilepaskan.
Menurut Prof. Vrij, terdapat :
1). Inti (betendelen), bila ada dalam rumusan delik.
2). Unsur (Elemen), bila tidak termuat dalam rumusan delik.
Sedangkan yang dianut oleh kita bahwa (1) dan (2) menurut Prof. Vrij di atas
adalah merupakan unsur delik.
Bagian inti delik tidak terbukti, maka putusannya adalah bebas
Sedangkan apabila sifat melawan hukum bukan merupakan inti delik karena
tidak dirumuskan dalam delik, sedang sifat melawan hukum tersebut tidak
terbukti maka putusannya adalah lepas, karena sifat melawan hukum di sini
bukanlah inti delik. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan Prof.
Moeljatno, bahwa sifat melawan hukum adalah mutlak, jadi putusan bebas
diberikan apabila unsur sifat melawan hukum ini tak terbukti.
3. Mahkamah Agung,
Apabila seseorang yang melakukan tindak pidana tidak terbukti perbuatannya,
artinya perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang dibenarkan secara
melawan hukum, maka putusannya berbunyi dilepaskan. Sebaliknya apabila
perbuatan tersebut terbukti sebagai tindak pidana namun perbuatan tersebut
dapat dipertanggungjawabkan, artinya orang tersebut tidak mempunyai
kesalahan maka putusannya berbunyi dibebaskan.
Perbuatan (melawan hukum) terbukti, namun ada alasan pembenar, maka
putusannya adalah lepas.
Perbuatan terbukti, tapi tak mempunyai unsur kesalahan/ pertanggungjawaban,
maka putusannya bebas.
Hal ini bertentangan dengan pandangan Prof. Moeljatno, dimana putusan bebas
hanya diberikan apabila tidak ada unsur sifat melawan hukum sedangkan
menurut pandangan MA di atas bahwa perbuatan terbukti berarti sudah
mengandung unsur sifat melawan hukum namun karena tidak mengandung
kesalahan maka putusannya bebas.
 Dari 3 pandangan tersebut berpengaruh pada
putusan :
1. Bebas (vrijsprach), Pasal l91(l)KUHAP.
2. Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rectuer volging).
Pasal l91 (2) KUHAP.
 Sebagai subjek hukum tindak pidana, dalam
KUHP menganut subjek hukum berupa orang/manusia sedangkan di luar KUHP
menganut lebih dari satu objek hukum, tegasnya orang atau korporasi/badan hukum
dalam KUHP pasal 59 mengatakan tentang badan hukum namun apa yang disebut
dengan pasal tersebut hanya fictif saja seakan-akan badan hukum itu subjek saja, ini
dapat dilihat lebih lanjut menurut pasal tersebut karena ternyata yang
mempertanggungjawabkan adalah pengurus badan hukum tersebut. Dalam RUU
KUHP temyata subjek Hukum Pidana di samping orang juga badan hukum.
 Dianutnya orang sebagai subjek hukum dalam KUHP
dikarenakan Hukum Pidana masih menganut ajaran kesalahan pribadi seseorang
artinya hanya orang yang bersangkutan saja yang harus mempertanggungjawabkan,
karena itu di sini dalam pembuktiannya berlakulah ajaran kesalahan/
pertanggungjawaban.
 Jenis tindak pidana, antara lain :
1. Rechtsdelicten - mala perse (kejahatan), Sifat: Krimilogis.
2. Wetsdelikten - mala qua prohibits (pelanggaran), Sifat:
Yuridis.
 Konsep Rancangan Undang-undang (RUU) KUHP tidak lagi membedakan
antara kejahatan dengan pelanggaran.
 Menurut dokrin perbedaan dari keduanya adalah :
- Kuantitas (berat ringannya ancaman),
- Kualitas (sifatnya).
 MvT (memorie van toelichting) tidak memberikan penjelasan
tentang perbedaan antara kejahatan (buku II) dengan pelanggaran (buku III).
 Dalam RUU KUHP hanya ada 2 buku saja, yaitu:
1. Buku I tentang Ketentuan Umum, dan
2. Buku II tentang Tindak Pidana.
 Pelanggaran termuat dalam UU.
 Kejahatan ada yang termuat ada juga yang tidak termuat.
 Jenis tindak pidana lainnya adalah:
1. Delik formil : esensinya adalah perbuatan (feit), menyangkut poging
(ajaran percobaan).
2. Delik materiil : esensinya adalah akibatnya, menyangkut causaliteit
(ajaran hubungan sebab akibat).
 Dalam KUHP :
Buku I. Ketentuan Umum (ps. 1 - ps 103),
Buku II. Kejahatan (ps. 104 - ps 448),
Buku III. Pelanggaran (ps. 489 - ps 569).
 Pasal 103 KUHP merupakan pasal yang sangat penting karena merupakan
landasan hukum bagi terjadinya penyimpangan di luar KUHP.

Pertanggungjawaban
 Hukum Pidana mengacu pada orang tanpa melupakan perbuatan.
 Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas disebut kesalahan (ajaran
kesalahan), ia mengacu pada satu asas pokok yang sifatnya tidak tertulis (karena
tidak diatur dalam UU), yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder
schuld).
 Jadi dalam peradilan pidana (Indonesia -Belanda) mengandung asas pokok
penting yaitu :
1. Unsur asas legalitas (legaliteit)\
2 Unsur kesengajaan (opzet),
3 Unsur alasan pembenar dan pemaaf.

Ad 1): Unsur asas legalitas (legaliteit)


Asas ini berlaku sebagai pegangan bagi Polisi dan Jaksa, sedangkan asas tiada pidana
tanpa kesalahan dipegang oleh Hakim. Di dalam Hukum Pidana asas tidak tertulis ini
dinyatakan dengan berbagai istilah hukum secara bervariasi :
1. Geen straf zonder schuld,
2 Nulla poena sine culpa,
3 Kerine stafre sine schuld,
4 Actus non facit reum russi mens sitrea,
5 An act doesn't make a person guilty unless the mind is guilty.
 Walaupun sifatnya tidak tertulis namun eksistensinya dalam
peradilan pidana diakui (pasal 6 ayat 2 UU No. 14 tahun 1970) tak ada suatu
perbuatan pun yang dapat dipidana kecuali setelah hakim dalam persidangan
meneliti bukti-bukti yang ada, berkeyakinan bersalah.
 Negeri Belanda sampai saat ini masih mengacu pada Hukum
Pidana yang mengacu pada ajaran kesalahan (schuld strafrecht) baik itu untuk orang
sebagai subjek hukum ataupun korporasi sebagai subjek hukum karena pada
hakikatnya perbuatan korporasi ini dilakukan oleh orang.
 Berbeda dengan Indonesia, selagi subjeknya orang, ia
menganut tiada pidana tanpa kesalahan.
 Apabila korporasi sebagai subjek hukum ia tidak menggunakan
asas kesalahan melainkan berlakulah pertanggungjawaban secara langsung (strict
liability), dasar pemikirannya untuk badan hukum sulit untuk dibuktikan
kesalahannya sehingga cukup dilakukan pemidanaan pada perbuatan yang
dilakukannya saja.
 Pertanggungjawaban pidana dalam arti seluas-luasnya tadi, ia
mempunyai beberapa unsur atau syarat-syaratnya:
1. Kemampuan bertanggung jawab,
Jadi kemampuan bertanggung jawab itu bukan unsur tindak pidana melainkan
hanya bagian saja dari pertanggungjawaban pidana.
2. Adanya hubungan kausal antara pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Ini
dapat berupa kesengajaan (intent, opzet, dolus) atau kealpaan (negligence.
matatig. culpa).
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan/ tidak ada alasan pemaaf.
Alasan pembenar : sifat melawan hukum hilang.
Alasan pemaaf : kesalahan yang hilang.
Kesamaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf adalah sama-sama
menghapuskan pemidanaan.
KUHP tidak mengatur penjelasannya yang ada hanya ketentuan tentang tidak
mampu bertanggung jawab dalam pasal 44 KUHP, rumusan yang panjang ini
dapat ditelaah dan disimpulkan dalam 2 hal :
1. Yang disebut dengan deskriptif,
2. Analitis: hakim menilai dari hasil descriptif ahli jiwa.
Deskriptif menjadi tugas dari ahli jiwa, sedangkan hasil dari psikiater diberikan
kepada hakim kemudian terjadilah penilaian oleh hakim bagaimana keadaan
jiwa orang tersebut saat melakukan perbuatan (hakim menilai)
 Didalam praktek mengenai tidak mampu bertanggungjawab ada 2
pandangan ;
1. Apabila hakim ragu-ragu menentukan mampu
bertanggung jawab atau tidaknya, orang tersebut tetap dipidana, dasar
pemikirannya; kemampuan bertanggung jawab tetap ada kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya.
2. Apabila ada keragu-raguan bagi hakim maka orang
tersebut tidak dipidana, alasannya dalam hal ini hakim berpegang pada
ketentuan yang sifatnya menguntungkan terdakwa (in dubio prorea).
 Masalah ketidakmampuan bertanggung jawab
dalam kepustakaan Hukum Pidana berhubungan pula dengan ilmu kedokteran yang
menyangkut penyakit jiwa. Seseorang pada dasarnya orang tersebut mampu
bertanggung jawab namun dalam hal-hal tertentu yang menyangkut penyakit
jiwanya menyebabkan orang tersebut tidak dipidana dengan perkataan lain, masalah
ini yang dinamakan tidak mampu bertanggung jawab sebagian. Contoh:
1. Kleptomania : secara insidentil ia mampu bertanggung jawab, ketika sembuh ia
tidak dapat dipidana.
2. Piromani ; kebiasaan seseorang melakukan pembakaran secara iseng.
3. Klostropobi : ia punya penyakit jiwa dimana kalau masuk ruangan sempit ia
akan mengamuk.
4. Paranoid ; seorang yang merasa dikejar-kejar musuhnya dll.

Ad 2): Unsur kesengajaan (opzet)


 Kesengajaan (intent) di dalam
KUHP tidak ada pengakuannya, hal ini hanya dapat kita ketahui dalam rumusan
yang diberikan oleh Memori Penjelasan (Memorie van Toelichting) dari KUHP, ia
menjelaskan berbuat dengan sengaja adalah apabila ia menghendaki dan mengetahui
(willens en wetens),oleh karena itu dari rumusan MvT melahirkan dua teori
kesengajaan :
1. Teori kehendak (willens
theorie),
Yaitu inti kesengajaan adalah kehendak orang tersebut untuk melakukan apa
yang dirumuskan dalam UU. Tokohnya; Von Hippel.
2. Teori pengetahuan (wetens theorie),
Yaitu inti kesengajaan adalah pengetahuan dari seseorang dengan
membayangkan apa yang ia lakukan beserta akibatnya akan timbul. Tokohnya:
Frank.
Beda dari kedua teori ini dilihat dari sikap batin.
 Dari dua teori ini melahirkan pula 3
corak kesengajaan:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet ols oogmerk), contoh ; menempeleng orang
supaya berkata jujur.
2. Kesengajaan sebagai tujuan (nood zakelijkheid bewistzijn),contoh : menembak
orang dengan terlebih dahulu merusak benda lain.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan,
 Dari 3 corak
kesengajaan tersebut melahirkan 2 pandangan tentang kesengajaan:
1. Kesengajaan berwarna (gekleurd),
Mensyaratkan bahwa si pembuat atau si pelaku yang berbuat haruslah
mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum.
Dalam praktek sulit dibuktikan pembuktian bahwa si pembuat harus sadar
perbuatannya bertentangan dengan hukum.
2. Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos),
Pelaku tidak usah mengetahui apakah perbuatan itu bersifat melawan hukum
atau tidak, pokoknya ia menghendaki dilakukannya perbuatan tersebut. Si
pembuat menghendaki perbuatan yang dilarang.
Pandangan inilah yang dianut dalam prakteknya.
 Kealpaan (salah satu Jcnis kesengajaan): Alpa atau kulpa pada umumnya
diartikan bahwa orang tersebut tidak melakukan penghati-hatian/ penduga-dugaan
sehingga timbul akibat yang dilarang.
 Jenis-jenis Kulpa:
1. Kulpa lata (brat),
2. Kulpa levis (ringan).
 Di dalam BW buku II KUHP pasal 188, 359, 360 tentang
kejahatan alpa, maka kedua jenis kulpa menyatu dalam pasal-pasal tadi.
 Kulpa yang disadari : si pembuat dapat menyadari tentang apa
yang dilakukannya beserta akibat tetapi ia berharap akibatnya itu tidak akan terjadi.
 Pada dolus eventualis — tidak mengurungkan niatnya.
 Menurut ilmu pengetahuan (dokrin):
a. Dolus premeditatus (Ps. 303, 340,342 KUHP); direncanakan dulu.
b. Dolus directus; ditujukan pada perbuatan dan akibatnya.
c. Dolus indirectus; perbuatan yang dilarang dilakukan dengan sengaja timbul
akibat yang tidak diinginkan.
d. Dolus determinatus dan indeterminatus; pendirian bahwa kesengajaan dapat
lebih pasti/tidak.
e. Dolus alternativus; menghendaki A atau B.
f. Dolus generalis; harus ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa (pelaku)
dan akibatnya.

Ad 3): Unsur alasan pembenar dan pemaaf


 Alasan pemaaf diartikan sebagai alasan yang meniadakan alasan seseorang,
contoh dalam Buku 1 KUHP: Pasal 44, 48 tentang daya paksa.
Contoh : Pembelaan darurat melampaui batas (49 ayat 2 KUHP).
Melaksanakan perintah atasan yang dianggap sah (pasal 51 ayat 2 KUHP).
Putusan hakimnya adalah berbunyi dibebaskan.
 Mengenai pertanggungjawaban, maka dalam KUHP selain dikenal strict liability
dikenal pula vicarious liability.
 Strict liability/ mutlak/ langsung, langsung dipidana tanpa memperhatikan
kesalahan.
 Dasar hukum untuk strict liability :
Pasal 37 KUHP : Seseorang hanya dipertanggungjawabkan jika orang tersebut
melakukan tindak pidana karena sengaja/ kealpaan.
Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
kecuali peraturan perundang-undangan menentukan secara tegas bahwa suatu tindak
pidana yang dilakukan dengan kealpaan dapat dipidana.
Pasal 36 : UU dapat menentukan bahwa pelaku tindak pidana tertentu dapat
dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana atas
perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih dahulu kesalahan dalam melakukan
tindak pidana tersebut.
 Dasar hukum untuk vicarious liability:
Pasal 35 KUHP : Suatu Undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain kalau ada
hubungan kerja. Misalnya antara buruh dan majikan.

Pidana dan Pemidanaan


 Pemidanaan diartikan sebagai vonis/ penjatuhan sanksi pidana.
 Unsur dari pemidanaan ada 2 yaitu :
1. Yang bersifat kemanusiaan,
Unsur ini harus dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.
2. Unsur edukatif,
Unsur ini mampu membuat orang sadar sepenuhnya akan perbuatan yang telah
dilakukan dan mampu menimbulkan nilai positif.
 Tujuan dari pemidanaan: tanpa melupakan teori absolut (teori
pembalasan) dan teori relatif maka tujuan pemidanaan adalah berusaha :
1. Menampung adanya perlindungan dalam masyarakat (social depense theory).
2. Berusaha mencegah baik secara umum/ khusus terhadap timbulnya kejahatan
(general and special prevention theory).
3. Berusaha menyelesaikan konflik dalam masyarakat (conflict solution theory)
Tujuan yang ke-3 ini sesuai dengan konsep Hukum Adat.
4. Berusaha membebaskan rasa bersalah terpidana (teori pembebasan rasa
bersalah).
 Pemidanaan/penjatuhan sanksi dengan vonis
hakim, maka sanksi pidana di dalam Hukum Pidana modern berupa starf - pidana
dan maatregel - tindakan.
 Pidana pada hakikatnya merupakan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan yang diberikan oleh
negara kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
 Jenis-jenisnya diatur datam pasal 10 KUHP yang
terdiri dari 2 bagian :
Bagian Pertama ; mengatur tentang jenis-jenis pidana pokok yang terdiri dari:
1. pidana mati,
2. pidana penjara; seumur hidup dan
sementara waktu paling lama 20 tahun,
3. pidana kurungan; kurungan biasa dan kurungan pengganti denda,
4. pidana denda
Pada tahun 1946 dengan UU No. 20 tahun 1946 pernah dimasukkan pada pasal 10
KUHP adanya jenis pokok pidana baru yaitu pidana tutupan yang hanya khusus
ditetapkan bagi para pelaku tindak pidana politik. Ini hanya berlaku sampai tahun
1958, sekarang dicabut oleh UU No. 73 Tahun 1958 tentang unifikasi Hukum
Pidana di Indonesia.
Bagian kedua : Pidana tambahan, ini terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim
merupakan peringatan yang diberikan terhadap diri seseorang terhadap pelaku
kejahatan yang telah divonis, hal ini dilakukan untuk membuat masyarakat jera.
 Pidana pokok mempunyai beberapa sifat :
1. Mandiri - selalu harus dijatuhkan oleh hakim.
2. Keharusan - imperatif.
 Sedangkan pidana tambahan mempunyai sifat;
Tidak berdiri sendiri artinya hakim boleh memutuskan boleh juga tidak, atau disebut
fakultatif. Sifat fakultatif dapat menjadi imperatif khusus terhadap delik pemalsuan
uang.
 Jenis-jenis pidana pada pasal 10 KUHP diurut secara sengaja - dasar hukumnya
adalah pasal 69. Di luar KUHP kita jumpai pula adanya perluasan terhadap pasal 10
KUHP misal dalam delik ekonomi, korupsi, narkoba, yaitu dikenalnya jenis-jenis
sanksi baru, misalnya terpidana wajib mengganti kerugian yang diderita negara.
 Dalam UU tindak pidana ekonomi mengenai sanksi administratif/sanksi
organisatoir yaitu mengenai perusahaan terpidana dicabut izin usahanya, dsb. dan
sanksi keperdataan misalnya perusahaan terpidana ditempatkan pada pengampuan
(kuratel) yang berwajib (bisa kejaksaan atau bisa juga Pengadilan Negeri).
Dicakupnya keuntungan dari perusahaan baik yang sudah nyata baik yang akan di
terima itu dicabut.
 Dalam RUU KUHP mengenal jenis pidana pokok yang baru yang semula tidak
ada yaitu pidana pengawasan, dimaksud sebagai pengganti dari pidana ringan yang
semula akan dijatuhi hakim.
 Jenis pidana dalam KUHP disertai dengan sistem pemidanaan yang berbeda
dengan sistem pemidanaan di luar KUHP. KUHP mengenal sistem alternatif, artinya
hakim hanya diperkenankan memilih satu dari beberapa pidana pokok yang
diancamkan. Kodenya "atau".
 Di luar KUHP ia memakai sistem yang bervariasi, pada umumnya dipakai
sistem kumulatif dengan kode "dan", juga ada perkataan "dan/atau" disebut sistem
kumulatif altematif, dimana hakim boleh memilih "dan" saja atau "atau'' saja.
 Ada juga sistem tunggal (terdapat dalam UU Pemilu), artinya hanya pidana
penjara saja. Sedangkan masih ada sistem lagi di luar KUHP yang disebut double
track system (sistem pemidanaan melalui 2 jalur), misalnya pada tindak pidana
ekonomi, jalur pertama adalah kumulasi penjara dan denda, jalur kedua adalah
diberikan tindakan berupa ijin perusahaan dicabut.
 Contoh-contoh dari tindakan pada pasal 45 KUHP, contoh : Hakim
memerintahkan agar terdakwa ditempatkan di rumah sakit jiwa untuk
direhabilitasi.
 Prof. Sudarto membedakan pidana dan tindakan dari 2 segi/sudut :
1. Sudut tradisional,
Pidana merupakan pembalasan/ nestapa/ penderitaan/ akibat-akibat lain yang
tidak menyenangkan dan diberikan kepada orang yang mampu bertanggung
jawab sedangkan tindakan untuk prevensi untuk ketertiban dalam masyarakat
dan pembinaan.
2. Sudut dogmatis,
Tindakan sebenarnya lebih tepat diberikan kepada orang yang tidak mampu
bertanggungjawab (tak ada kesalahan).
 Pada umumnya sebagian besar sarjana menyetujui bahwa pidana itu merupakan
pembalasan/ nestapa/ penderitaan kecuali seorang sarjana Belanda, yaitu Hulsman,
beliau tidak sependapat dengan pendapat pada umumnya, mengatakan bahwa
hakikat pidana adalah menyerukan untuk tertib dengan 2 tujuannya :
1. Mempengaruhi tingkah laku pelaku;
2. Penyelesaian konflik (meminta maaf pada lingkungan adat);
 Di dalam praktek dengan mengacu pada KUHP maupun perundang-
undangan di luar KUHP, seseorang yang telah divonis bersalah oleh hakim dapat
akhimya tidak usah menjalani pidananya dalam LP. Ini dapat terjadi dengan melihat
pada KUHP, bisa terjadi kalau terpidana tersebut :
1. Meninggal dunia (84, 85 KUHP).
2. Cara lain : memanfaatkan lembaga daluarsa (dengan sembunyi/ buron dalam
waktu lama).
3. Yang di luar KUHP yaitu dengan memanfaatkan UU No. 3 Tahun 1950 tentang
grasi dengan syarat formal, yaitu ia harus menerima dahulu putusan hakim yang
dijatuhkan lalu memohon grasi. Dengan grasi apabila dikabulkan maka hak
untuk menjalankan pidana menjadi gugur, ini tidak berarti bahwa kesalahan
terpidana juga hilang (apabila mengulangi lagi (residivis) pidananya + 1/3
sebagai pemberatan).
4. Cara lain dengan memanfaatkan UU No.11/Drt/ tahun 1954 tentang amnesti,
dengan amnesti yang diberikan Presiden maka segala akibat Hukum Pidana dari
orang tersebut hilang termasuk kesalahannya. Namun tidak semua terpidana
bisa mengharapkan pemberian amnesti dari presiden.
 Perbedaan grasi dengan amnesty :
- Grasi diberikan untuk semua tindak pidana, sedangkan amnesti hanya
diberikan kepada pelaku-pelaku kejahatan politik saja.
- Grasi diminta oleh terpidana, sedangkan amnesti diberikan oleh Presiden
setelah mendapat saran dan pertimbangan dari MA dari sudut yuridisnya,
sedangkan saran dari Menkopolkam dari sudut politik keamanan negara.
- Grasi menghilangkan pelaksanaan pidana (kesalahan masih tetap ada)
sedangkan amnesti menghilangkan segala akibat Hukum Pidana yang melekat
pada diri orang tersebut termasuk kesalahannya.
- Grasi menimbulkan residive dengan pemberatan pidana berupa
penambahan 1/3 sedangkan amnesti tidak menimbulkan residive karena vonis
hakim menyatakan kesalahan seseorang turut hilang atau hapus.
 Menurut Sudarto :
Pidana adalah pembalasan terhadap kesalahan, sedangkan tindakan adalah untuk
perlindungan masyarakat dan pembinaan/perawatan pelaku.
 Hulsman :
menyerukan ketertiban, hal ini menimbulkan disparitas (perbedaaan penjatuhan
pidana).
 Konsep KUHP mengenai pemidanaan; bahwa tujuan pemidanaan meliputi
keseimbangan 2 sasaran pokok, yaitu:
1. Perlindungan masyarakat,
2. Perlindungan/ pembinaan pelaku.
 Perlindungan kepentingan masyarakat :
Mempertahankan jenis-jenis sanksi pidana yang baru (mati dan seumur hidup),
pidana mati bukan pidana pokok, tapi pidana yang bersifat khusus/ pengecualian
(harus selektif, hati-hati dan berorientasi pada perlindungan pelaku).
Ada penundaan pelaksanaan pidana mati/pidana mati bersyarat (masa percobaan 10
tahun).
 Pedoman pemidanaan :
Umum : pengarahan mengenai hal-hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan.
Khusus : dalam menjatuhkan/ memilih jenis pidana.
Dalam menerapkan sistem perumusan ancaman pidana yang digunakan dalam
perumusan delik.
 Definisi pidana:
Menurut Soedarto : Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Roeslan Saleh : Pidana ialah reaksi atas delik yang berwujud nestapa yang sengaja
ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
 Ciri-ciri pidana:
1. Merupakan penderitaan/ nestapa atau nestapa/ akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan.
2. Diberikan dengan sengaja oleh instansi/badan yang berwenang (hakim).
3. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
 Dari ketiga ciri ini dapat diambil dua buah inti :
1. Untuk memberikan penderitaan,
2. Untuk menyerukan ketertiban
 Perbedaan antara pidana dan tindak (menurut H.L.
Packer) :
Tindakan:
Tindakan (treatment) = maatregelen,
Fokusnya pada tujuan, yaitu untuk memperbaiki orang yang bersangkutan/ untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Pidana (punishment) = starf,
Fokusnya pada perbuatan salah/tindak pidana si pelaku, yaitu:
- Mencegah terjadinya tindak pidana,
- Mengenakan penderitaan/ pembalasan yang layak kepada si pelaku.
 Gugurnya hak penuntut dan pelaksanaan pidana
diatur dalam Buku I Bab VIII KUHP :
- Tidak ada pengaduan pada delik-delik aduan,
- Ne bis in idem (pasal 76),
- Matinya terdakwa (pasa! 77),
- Daluarsa (pasal78),
- Lembaga afkoop (pasal 82),
Afkoop (penebusan) : telah ada pembayaran denda maksimal kepada pejabat
tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (hanya untuk
perkara dengan ancaman denda).
Di luar KUHP:
- Abolisi,
- Amnesti,
Keduanya ini hanya dibcrikan bagi yang berjasa bagi bangsa dan negara.
 Tak hapusnya pelaksanaan pidana :
Dalam KUHP:
- Matinya terdakwa (pasal 83),
- Daluarsa (pasal 84. 85).
Di luar KUHP :
- Grasi (UU No. 2 Tahun 1950),
- Amnesti (UU no 11 drt Tahun 1954).
 Dikenal pula kekeliruan/kesesatan (dwaling), yaitu ;
- menyangkut peristiwa (feitelijke dwaling/ error facti non nocet),
- menyangkut hukumnya (recht dwaling/ erroeiusris).
 In objekto : error iuris nocet (tidak menghapuskan pemidanaan).
 In Persona : kemiripan rupa.
 A berratioictus: (karena meleset)
A menembak B tapi B mengelak dan kena C sehingga C mati. Kualifikasinya :
Percobaan pembunuhan terhadap B, menyebabkan matinya C karena kelalaian.

HUBUNGAN SUBJEK HUKUM DENGAN AJARAN PERCOBAAN,


PENYERTAAN DAN PERBARENGAN

Percobaan
 Pada umumnya suatu tindak pidana diselesaikan secara tuntas oleh si subjek,
tidak timbul permasalahan dan dinyatakan sebagai tindak pidana/kejahatan. Namun
sering terjadi dimana subjek tidak dapat tuntas menyesaikan tindak pidana yang
diinginkan, masalah ini menyangkut ajaran percobaan (poging/attemp). Ini diatur
dalam pasal 53 KUHP dengan unsur-unsurnya;
1. ada niat,
2. harus ada permulaan pelaksanaan,
3. pelaksanaan tidak tuntas dikarenakan hal-hal diluar
kemampuan si subjek.
Ketiga unsur tersebut merupakan syarat untuk dipidananya pelaku percobaan.
 Mengenai unsur pertama yaitu niat, Moeljatno mengatakan niat dalam pasal 53
KUHP belum dapat dikatakan kesengajaan sebelum niat itu ditindaklanjuti.
 Yang dimaksud dengan hal-hal di luar kemampuan si pelaku (unsur ke-3), misal;
saat ia melakukan perbuatan sudah terlanjur tertangkap basah/diteriaki orang.
 Maka di dalam dakwaan tcrgantung tindak pidananya, misal :
Percobaan pencurian: pasal 53 jo 362 KUHP. Percobaan pembunuhan: pasal 53 jo
338 KUHP.
 Maka untuk pelaku percobaan menurut pasal 53 KUHP, pidananya dikurangi
1/3, namun sering juga terjadi orang mempunyai niat, niat itu sudah ditindaklanjuti,
pada saat mau melaksanakan timbul niat dalam pikirannya untuk tidak
melanjutkannya/ mengurungkan niatnya, maka di sini merupakan percobaan yang
tidak dipidana.
 Kesimpulannya tidak terselesaikan tindak pidana ada kalanya pengaruh dari luar
dan dalam diri orang itu sendiri.
 Dalam Buku II KUHP ada bentuk percobaan yang oleh pembentuk UU
dinyatakan sebagai delik berdiri sendiri (delictum suigeneris), misalnya delik-delik
makar (pasal 104 KUHP), hakikatnya adalah percobaan namun dinyatakan berdiri
sendiri dikarenakan ancaman pidana dikurangai 1/3-nya. Kemudian pasal 54
KUHP, percobaan terhadap pelanggaran tindak pidana (dalam KUHP Pidana, maka
percobaan hanya untuk kejahatan tidak untuk pelanggaran). Ketentuan ini
dikecualikan oleh delik-delik di luar KUHP, misalnya delik ekonomi dimana
percobaan terhadap pelanggaran justru dipidana (UU No. 7 drt /1955, percobaan
terhadap tindak pidana ekonomi justru dipidana dan pidananya justru disamakan
dengan pelaku), jadi pasal 53 dan 54 KUHP disimpangi oleh UU ini dan ini
dibenarkan dengan/oleh pasal 103 KUHP : Adanya ketentuan yang umum
menyimpangi yang khusus.

Penyertaan
 Kemudian seperti kita ketahui bahwa suatu tindak pidana cukup diselesaikan
oleh satu orang disebut pelaku dari tindak pidana, namun sering terjadi dimana
tindak pidana tidak cukup dilakukan oleh satu orang melainkan melibatkan beberapa
orang, ini menyangkut ajaran penyertaan (deelneming/complicity).
 Ini diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP (memuat bentuk-bentuk penyertaan)
yaitu bentuk-bentuk penyertaan yang dikenai dalam pasal 55 KUHP tersebut ada 4
bentuk:
1. mereka yang melakukan (pleger),
2. mereka yang menyuruh (doen pleger),
3. mereka yang turut serta melakukan (mendeplegen),
4. mereka yang sengaja menganjurkan/ membujuk (uitlokker).
 Ini pidananya disamakan dengan alasan sama jahatnya,
sedangkan pasal 56 KUHP mengatur bentuk yang ke-5 yaitu mereka yang
membantu (medeplichtige), pidananya tidak disamakan dengan mereka dalam pasal
55 KUHP, tegasnya pidana untuk pembantu dengan melihat pasal 57 ada yang
dikurangi 1/3, ada juga yang ditentukan 15 tahun.
 Yang sering terjadi dalam praktek misalnya yang menyangkut
bentuk ke-3 harus dipenuhi syarat-syaratnya, menurut Langemeijer, yang dianut
sampai saat ini dan dianggap yurisprudensi :
1. Tidak semua orang yang terlihat harus melakukan perbuatan pelaksanaan cukup
satu orang saja asal peserta yang lain menginsyafi bahwa perorangan cukup
untuk menunjang terselesaikannya delik bersangkutan.
2. Harus ada kerjasama yang erat diantara mereka meliputi:
a. Kerjasama kesadaran
Yaitu sebelum mereka berbuat, terlebih dahulu diantara mereka sudah
melakukan pemufakatan/ perundingan untuk mengatur taktik dan strategi.
b. Kerjasama fisik (physieke samenwerking),
ini muncul saat mereka berbuat maupun setelah mereka berbuat.
 Misalnya :
Penyertaan pencurian: pasal 55 jo 362 KUHP.
Penyertaan perampokan: pasal 55 jo 365 KUHP.
Penyertaan penganiayaan: pasal 55 jo 351 KUHP.
 Perangai pembantu tanpa syarat, sering
terjadi dalam praktek yaitu ke-4, syaratnya :
1. Ada orang yang sengaja menganjurkan dan ada orang yang mau dibujuk;
2. Cara melakukan penganjuran harus dengan insentif/ daya upaya (diatur dalam
pasal 55 ayat 1 (2)).
3. Orang yang dianjurkan harus mau melakukannya (kalau tak ada yang disebut
penganjuran yang gagal (mislukte uitlokking) pasal 163 bis (1)).
 Contoh kasus:
A menganjurkan kepada B untuk membakar rumah X, tapi B tidak melakukannya
melainkan malah menyuruh C, dan C-Iah yang melakukan.
Pasal 55 (l) jo

187 KUHP

(A) (B)

Pasal 163 bis (l)

jo l87 KUHP X

(C)

Pasal 187 KUHP

Putusan yang diberikan adalah bahwa pidana B dan C sama.


Di dalam kepustakaan, penganjuran diartikan sebagai seseorang menghendaki
sesuatu, tidak mau melakukannya sendiri, menggerakan orang lain agar yang
digerakkan mau meakukan kehendak yang rnenggerakan. Rumusan ini maknanya
luas, mungkin juga masuk pcngertian menyuruh melakukan, mungkin juga
menghasut (dikatakan luas karena tidak dengan daya upaya).

Perbarengan
 Adakalanya pada subjek hukum tak cukup hanya melakukan satu kejahatan
saja melainkan banyak kejahatan, adakalanya dengan satu perbuatan adapula yang
beberapa perbuatan yang tempat/ waklu berbeda, dengan kata lain seseorang
melakukan kejahatan dengan satu perbuatan dengan beberapa perbuatan disebut:
perbarengan (samenloop/ concursus).
 Pasal 63, 64, 66 dan 71 KUHP, apabila beberapa tindak pidana yang dilanggar
hanya dengan satu perbuatan maka itu dinamakan concursus idealis/ eedaadre
samenloop (satu perbuatan dalam tempat dan waktu yang sama menimbulkan
beberapa tindak pidana), contoh klasik :
Dengan satu tembakan mengakibatkan orang yang duduk dibelakang kaca mati.
Maka perbuatan pidananya;
1. merusak kaca (pasal 402 KUHP),
2. pembunuhan (pasal 338 KUHP).
maka hakim hanya menganibil satu ancaman pidana yang paling berat saja, ini
namanya stelsel pemidanaan hisapan murni.
 Dalam praktek sering terjadi seorang perampok menembak si korban
menembus 3 orang langsung A, B dan C, ini namanya concorsus idealis
homogenius, perbedaan dengan idealis biasa adalah akibatnya yang tidak sama.
 Kemudian yang sering dipakai dimana seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang sifatnya berdiri sendiri, kita tahu berdiri sendin dilihat dari waktu
dan tempat berbeda/beberapa tindak pidana dilakukan dalam waktu dan tempat
berbeda (concursus realis), maka menurut pasal 65 KUHP hakim hanya akan
mengambil satu kejahatan saja ditambah 1/3 dari hukuman maksimalnya: stelsel
hisapan dipertajam.
Contoh:
Pada tanggal 1 September A mencopet di Terminal (pasal 362 KUHP), 5 September
memperkosa di Station (pasal 285 KUHP), 7 september membunuh di Pasar (pasal
338 KUHP). Maka hakim mengambil ancaman maksimal pidana terhadap
pelanggaran pasal 338 + 1/3 dari hukuman maksimal pasal 338, ajaran concorsus
ini meringankan.
 Aturan permainan di dalam concorsus realis, beberapa kejahatan harus dituntut
sekaligus dalam waktu bersamaan.
 Namun dalam prakteknya aturan main tersebut sangatlah sulit, untuk mengatasi
kendala tersebut maka dimungkinkan pengajuan perkara secara bertahap, pegangan
hakim dalam menghadapi pengajuan perkara secara bertahap, ia harus berpegang
pada pasal 71 KUHP.
 Agar tidak terjadi perkosaan terhadap hak asasi terdakwa yang menyangkut
keadilannya, maka kewajiban Jaksa apabila mengajukan perkara tidak sekaligus
maka Jaksa wajib memberikan catatan dalam berkas tentang tidak dapat diajuk-
annya sekaligus dari sekian kejahatan yang dilakukan.

SIFAT MELAWAN HUKUM


 Sifat melawan hukum: (penilaian objektif mengenai perbuatan).
 Dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar UU yang
ditetapkan oleh hukum.
 Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada
alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, 51 KUHP. Contoh;
Pasal 51 ayat (2) bila dihubungkan dengan pasal 338 tentang pembunuhan maka
apabila seorang petugas menembak seorang penjahat dalam rangka tugas negara
maka petugas tersebut tidak dikenai pidana.
 Sifat melawan hukum, meliputi :
1. Formil : harus diatur oleh UU (Simons, dll).
2. Materiil : tidak selalu harus diatur UU tetapi juga dengan perasaan keadilan
masyarakat (Von Liszt, Zu Dohna, Maycr, Zevenbcrgen, Van Hattum, dll.).
 Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan:
1. Fungsi negatif,
Mengakui kemungkinan adanya hal-hal di luar UU dapat menghapus sifat
melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan UU (sebagai alasan
penghapus sifat melawan hukum).
2. Fungsi positif,
Mengakui bahwa suatu perbuatan itu tetap merupakan tindak pidana meskipun
tidak dinyatakan diancam pidana dalam UU, apabila bertentangan dengan
hukum atau aturan-aturan yang ada di luar UU.
 Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam UU secara tegas harus
dibuktikan.
 Jika unsur sifat melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu
delik maka hal itu harus dibuktikan.
 Jika unsur sifat melawan hukum dianggap memiliki fungsi negatif maka hal itu
tidak perlu dibuktikan.

UNIFIKASI KUHP
 Unifikasi 1918 (berlaku bagi Indonesia dan Belanda) sebagai unifikasi pertama.
 Berdasarkan UU No. l Tahun 1946, pasal 1 tanggal 8 Maret 1942 : diberi nama
WvSNI (Wetboek van Strafrecht Nedherland Indische).
 Kemudian berdasarkan pasal VI WvSNI ini diberi nama WvS (Wetboek van
Strafrecht) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana).
 Berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958 (UU Unifikasi Pidana), pasal I :
merupakan unifikasi KUHP ke-2. Dengan unifikasi ini maka terjadi dualisme
Hukum Pidana, yaitu:
1. KUHP yang berlaku bagi RI yang beribukota di Yogyakarta, dan
2. KUHP yang berlaku bagi RIS yang beribukota di Batavia.
Unifikasi ke-2 ini berlaku untuk Jawa dan Madura, selanjutnya untuk daerah lain
ditetapkan oleh pemerintah melalui PP, contohnya : untuk Sumatera dengan PP 8
tahun 1946.

1918 - 1942 - 1945 dualisme sekarang

UU No. 1 Tahun 1946 UU No. 73 Tahun 1958


 Pasal V UU No. 1 Tahun 1946 yang berbunyi:
"Peraturan Hukum Pidana. yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat
dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai
negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau
sebagian sementara tidak berlaku".
memiliki fungsi sebagai batu penguji (toetsteen).
 Pasal V ini memuat pandangan :
I. Restriktif (pandangan sempit), Prof. Soedarto :
Pandangan ini berpendapat bahwa pasal V hanya bisa digunakan untuk
ketentuan-ketentuan Hukum Pidana di luar KUHP saja karena perubahan-
perubahannya sudah diatur sedemikian rupa (lihat pasal VIII UU No. 1 Tahun
1946, berbunyi "Semua perubahan sudah dilakukan dalam buku ini").
II. Ekstensif (pandangan luas), Prof. Moeljatno :
Pandangan ini berpendapat bahwa pasal V ini dapat diterapkan baik dalam
KUHP maupun di luar KUHP berhubung KUHP yang berlaku ini masih
merupakan warisan kolonial.
 Eksistensi pasal V ini mempunyai arti bagi hukum bukan hanya menghapuskan
sifat ancaman pidananya melainkan juga menghapuskan perbuatan pidananya
(depenalisasi dan dekriminalisasi).
 Fungsi batu penguji memuat kriteria;
1. seluruh/ sebagian,
2. bertentangan,
3. tak mempunyai arti lagi.
 Ketiga kriteria ini mempunyai akibat hukum:
1. Depenalisasi,
Dulu merupakan tindak pidana, sekarang sudah bukan merupakan tindak pidana
lagi, dimana sanksi pidananya dicabut tapi UU-nya belum dicabut, contoh: pasal
283 KUHP (mengenai alat kontrasepsi).
2. Dekriminalisasi,
Dulu merupakan tindak pidana, namun karena perkembangan masyarakat maka
tindak pidana tersebut tidak lagi merupakan tindak pidana dan UU-nya di cabut,
contoh : pasal 523 KUHP (tentang pekerjaan rodi).

Konsep KUHP 1997-1998


 Konsep ini berorientasi kepada perbuatan (daad) - pelaku (dader) - Hukum
Pidana (starfrecht).
 Pasal 1 KUHP mengandung asas legalitas:
Ayat (1): "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan."
 Pasal 1 ayat (1) KUHP ini mengandung konsekuensi :
1. Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana atau dikenakan tindakan kecuali :
a. Perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan tersebut
dilakukan.
b. Perbuatan yang tidak dilakukan merupakan tindak pidana
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat tidak
dilakukan perbuatan tersebut.
2. Dalam mcnetapkan adanya tindak pidana di.larang menggunakan analogi.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seorang
patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
 Konsep ini memperluas daya berlakunya asas legalitas (materiil). Asas legalitas
sekarang tidak berlaku mutlak. Asas legalitas mempunyai 3 arti :
1. Menjamin kepastian hukum,
2. Larangan menggunakan analogi,
3. Tidak berlaku surut.
 Tindak pidana merupakan perbuatan melakukan atau tidak melakukan perbuatan
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.

Ajaran Causaliteit (Hubungan sebab - akibat)


 Ajaran ini penting untuk menentukan sebab-akibat dan terjadinya tindak pidana.
 Ajaran ini penting dalam delik materiil, delik yang dikualifikasi oleh akibatnya
seperti pada pasal 187, 188, 194 (2), 195 (2). 333 (2), 351 (2) KUHP ; terjadinya
akibat sebagai "esentialia".
 Ajaran ini melahirkan Teori Conditio Sine Quanon (ekuivalensi): tiap syarat baik
positif (sebab-sebab yang dekat/dominan) ataupun negatif (sebab-sebab jauh/kecil)
mempunyai nilai sama sebagai sebab.
 Teori ini dibagi menjadi 2 teori:
1. Teori Individualisasi (Post Pactum}, tokohnya adalah Brikmayer.
Teori ini melihat secara post pactum (setelah peristiwa-peristiwa itu terjadi) dari
serangkaian penstiwa itu dipilih persoalan yang penting dan yang paling
menentukan dari peristiwa tersebut, sedang faktor-faktor lainnya hanya
merupakan syarat belaka. Penentuan mana yang paling penting dan menentukan
ini dalam prakteknya sangat sulit.
2. Teori Generalisasi (Ante Pactum)
Teori ini menyebutkan bahwa dari serangkaian syarat itu ada perbuatan manusia
yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut
pengalaman hidup biasa (perhitungan hidup yang layak) orang yang tidak hati-
hati akan menimbulkan akibat pelanggaran hukum.
Teori ini melihat sebelum peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam menentukan
sebab-sebab di luar akibat. Sehingga dapat dikatakan teori lebih objektif dan
teori inilah yang dipakai dalam praktek.
 Untuk menentukan sebab-sebab yang pada umumnya dapat diterima, ada beberapa
pendirian :
1. Penentuan secara subjektif, menurut Von Kries ;
Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh pembuat dapat diperkirakan
bahwa apa yang dilakukannya itu dapat menimbulkan akibat semacam itu.
2. Penentuan objektif, menurut Rumellin :
Dasar penentuannya ditentukan secara objektif kemudian diketahui atau pada
umumnya layak dipertanggungjawabkan bahwa sebab tersebut memang sebagai
akibatnya. Teori generalisasi dengan penentuan objektif ini disebut Teori
Adequat.
 Ajaran causaliteit :
1. Teori Von Kries : mengandung/ menyangkut kesalahan;
perbuatan (kausaliteit tidak murni, sedangkan yang murninya adalah teori Von
Buri).
2. Teori Rumellin : mengandung/ menyangkut
pertanggungjawaban.
 Dalam delik formil tidak diajarkan ajaran
Causaliteit.
 Ajaran causaliteit ini tidak mempunyai peranan
penting terhadap delik formil karena di dalam delik formil yang dilarang dan
diancam hanyalah serangkaian perbuatan tanpa mempersoalkan akibat dari
perbuatan tersebut. Sebaliknya dalam delik materiil, akibat terjadinya kejahatan
justru merupakan bagian esensial dari delik tersebut, sehingga dipersoalkan sebab-
sebab terjadinya akibat tersebut.
 Oleh karena itu delik materiil mempunyai
relevansi dengan ajaran causaliteit yang khusus mempersoalkan atau menentukan
sebab-sebab timbulnya kejahatan.
HUKUM PIDANA ADAT
 Dalam peristilahannya dikenal :
1. Hukum Adat Pidana, dimana norma-normanya merupakan norma adat,
sedangkan sanksinya merupakan sanksi pidana.
2. Hukum Pidana Adat.
Hukum Pidana Adat
 Dasar berlakunya adalah UU No. 1 Drt/1951, pasal 5 ayat (3) sub b. Yang mana
UU ini memuat syarat dan unsur :
1. Perbuatan ini bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang dianggap oleh
masyarakat sebagai perbuatan pidana.
2. Tidak ada bandingannya/ padanannya dengan KUHP.
3. Berlaku untuk daerah dan orang-orang tertentu.
 Eksistensi dari Hukum Pidana Adat ini pada saat ini tidak berlaku secara
universal namun dalam konsep dianggap sebagai perbuatan yang mempunyai fungsi
positif artinya perbuatan-perbuatan yang tidak ada persamaannya dalam KUHP/
RUU KUHP dianggap sebagai tindak pidana.
 Jadi kesimpulannya bahwa Hukum Pidana Adat ini berlaku apabila tidak
ada bandingannya dalam KUHP.

DELIK ADUAN (KLACHT DELICT)


 Dibagi atas :
1. Delik aduan absolut,
2. Delik aduan relatif.
Ad 1): Delik aduan absolut
 Suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan dan yang diadukan hanyalah perbuatannya saja meskipun demikian
apabila yang bersangkutan dalam perkara tersebut Iebih daripada satu orang dan
yang diadukan hanya orang tertentu, bukan berarti orang lain lepas dari tuntutan
hukum, oleh karena itu delik aduan absolut ini mempunyai akibat hukum dalam
masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/ onsplitsbaar.
Contoh : A dan B adalah sepasang suami istri. B selingkuh dcngan C dan D
maka yang diadukan oleh B adalah A dan yang terlibat adalah C dan D.
 Yang diadukan ialah perbuatannya.
 Akibat hukumnya onsplitsbaar (tak dapat dipidah-pisahkan/ karena yang
diadukan perbuatannya maka orang tersangkut harus diadukan pula).
 Ps. 284, 293, 294, 310-320 kecuali ps 316 KUHP (delik biasa).
Ad 2): Delik aduan relatif
 Suatu delik yang semula merupakan delik biasa karena ada hubungan istimewa/
keluarga maka sifatnya berubah menjadi delik aduan, misalnya; pencurian
dalam keluarga, penggelapan dalam keluarga, dalam hal ini yang diadukan
orangnya saja sehingga yang dilakukan penuntutan sebatas orang yang diadukan
saja meskipun dalam perkara tersebut terlibat orang lain, agar orang lain itu
dapat dituntut maka harus ada pengaduan kembali. Oleh karena itu dalam delik
aduan relatif sifatnya dapat dipisah-pisahkan/splitsbaar. Contoh: A adalah orang
tua dari B dan C adalah keponakan dari A. B dan C kerjasama untuk melakukan
pencurian terhadap A. dalam perkara ini jika A hanya mengadukan C saja maka
hanya hanya C sajalah yang dituntut sedangkan B tidak.
 Yang diadukan ialah masalah orangnya.
 Akibat hukumnya : splitsbaar (dapat dipisah-pisahkan).
 Ps. 370, 376, 394, 411 KUHP.
 Delik aduan sifatnya pribadi/privat memiliki syarat :
Harus ada aduan dari pihak yang dirugikan, bila tak ada pengaduan maka "tuntutan"
menjadi gugur. Lihat pasal 72 - 75 KUHP: bukan merupakan dasar hukum tapi
merupakan dasar tata cara pengaduan. Kecuali perkosaan : mengandung unsur
pemaksaan yang berakibat luas pada tindak pidana lain.
REFERENSI

 Prof. Sudarto:
 Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II,
 Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat,
 Pembaharuan Hukum Pidana.
 Prof. Moeljatno :
 Asas-asas Hukum Pidana,
 Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana,
 Delik-delik Percobaan,
 Delik-delik Penyertaan.
 Prof. Ruslan Saleh :
 Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan,
 Sel-sel Pidana di Indonesia,
 Ku
 mpulan Putusan-putusan Perkara Pidana
 Prof. Muladi :
 Perspektif Hukum Pidana Materiil di Masa Mendatang
 Prof. Barda Nawawi :
 Teori-teori Kebijakan Pidana Dalam
 Hukum Pidana,
 Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II.

 Prof. Satochid Kertanegara :


 Hukum Pidana Bagian I dan II
 Prof. Utrecht :
 Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II
 Dll.

Anda mungkin juga menyukai