Dosen :
1. Karjoso Kasimoen, S.H.
2. Lies Sulistiani, S.H., MH.
3. Somawidjaja, S.H.
PENGERTIAN
Ada 2 pandangan, yaitu :
1. Pandangan monistis/ monoistis (pandangan kuno),
2. Pandangan dualistis (pandangan modern).
Sumber Hukum
Antara lain : (UU); KUHP, KUHAP, UU Korupsi, dsb., Hukum Pidana
Adat, yurisprudensi.
Batas-Batas Berlakunya
Batas-batas berlakunya UU Pidana menurut waktu dan tempat :
1. Tempat terjadinya tindak pidana (lex locus delicti); pasal 2 s/d 9 KUHP.
2. Waktu terjadinya tindak pidana (lex tempiis delicti); pasal 1 ayat (2) KUHP.
(1) dan (2) ini penting bagi Hukum Acara Pidana dalam hal pembuatan surat
dakwaan Jaksa, dalam surat dokumen dakwaan jaksa wajib dicantumkan (1) dan (2),
apabila kedua hal ini tidak dicantumkan maka akibat hukumnya dakwaan batal demi
hukum.
PERBUATAN PIDANA
Ada 3 inti perbuatan pidana, antara lain:
1. Tindak pidana,
2. Pertanggungjawaban,
3. Pidana dan pemidanaan.
Pertanggungjawaban
Hukum Pidana mengacu pada orang tanpa melupakan perbuatan.
Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas disebut kesalahan (ajaran
kesalahan), ia mengacu pada satu asas pokok yang sifatnya tidak tertulis (karena
tidak diatur dalam UU), yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder
schuld).
Jadi dalam peradilan pidana (Indonesia -Belanda) mengandung asas pokok
penting yaitu :
1. Unsur asas legalitas (legaliteit)\
2 Unsur kesengajaan (opzet),
3 Unsur alasan pembenar dan pemaaf.
Percobaan
Pada umumnya suatu tindak pidana diselesaikan secara tuntas oleh si subjek,
tidak timbul permasalahan dan dinyatakan sebagai tindak pidana/kejahatan. Namun
sering terjadi dimana subjek tidak dapat tuntas menyesaikan tindak pidana yang
diinginkan, masalah ini menyangkut ajaran percobaan (poging/attemp). Ini diatur
dalam pasal 53 KUHP dengan unsur-unsurnya;
1. ada niat,
2. harus ada permulaan pelaksanaan,
3. pelaksanaan tidak tuntas dikarenakan hal-hal diluar
kemampuan si subjek.
Ketiga unsur tersebut merupakan syarat untuk dipidananya pelaku percobaan.
Mengenai unsur pertama yaitu niat, Moeljatno mengatakan niat dalam pasal 53
KUHP belum dapat dikatakan kesengajaan sebelum niat itu ditindaklanjuti.
Yang dimaksud dengan hal-hal di luar kemampuan si pelaku (unsur ke-3), misal;
saat ia melakukan perbuatan sudah terlanjur tertangkap basah/diteriaki orang.
Maka di dalam dakwaan tcrgantung tindak pidananya, misal :
Percobaan pencurian: pasal 53 jo 362 KUHP. Percobaan pembunuhan: pasal 53 jo
338 KUHP.
Maka untuk pelaku percobaan menurut pasal 53 KUHP, pidananya dikurangi
1/3, namun sering juga terjadi orang mempunyai niat, niat itu sudah ditindaklanjuti,
pada saat mau melaksanakan timbul niat dalam pikirannya untuk tidak
melanjutkannya/ mengurungkan niatnya, maka di sini merupakan percobaan yang
tidak dipidana.
Kesimpulannya tidak terselesaikan tindak pidana ada kalanya pengaruh dari luar
dan dalam diri orang itu sendiri.
Dalam Buku II KUHP ada bentuk percobaan yang oleh pembentuk UU
dinyatakan sebagai delik berdiri sendiri (delictum suigeneris), misalnya delik-delik
makar (pasal 104 KUHP), hakikatnya adalah percobaan namun dinyatakan berdiri
sendiri dikarenakan ancaman pidana dikurangai 1/3-nya. Kemudian pasal 54
KUHP, percobaan terhadap pelanggaran tindak pidana (dalam KUHP Pidana, maka
percobaan hanya untuk kejahatan tidak untuk pelanggaran). Ketentuan ini
dikecualikan oleh delik-delik di luar KUHP, misalnya delik ekonomi dimana
percobaan terhadap pelanggaran justru dipidana (UU No. 7 drt /1955, percobaan
terhadap tindak pidana ekonomi justru dipidana dan pidananya justru disamakan
dengan pelaku), jadi pasal 53 dan 54 KUHP disimpangi oleh UU ini dan ini
dibenarkan dengan/oleh pasal 103 KUHP : Adanya ketentuan yang umum
menyimpangi yang khusus.
Penyertaan
Kemudian seperti kita ketahui bahwa suatu tindak pidana cukup diselesaikan
oleh satu orang disebut pelaku dari tindak pidana, namun sering terjadi dimana
tindak pidana tidak cukup dilakukan oleh satu orang melainkan melibatkan beberapa
orang, ini menyangkut ajaran penyertaan (deelneming/complicity).
Ini diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP (memuat bentuk-bentuk penyertaan)
yaitu bentuk-bentuk penyertaan yang dikenai dalam pasal 55 KUHP tersebut ada 4
bentuk:
1. mereka yang melakukan (pleger),
2. mereka yang menyuruh (doen pleger),
3. mereka yang turut serta melakukan (mendeplegen),
4. mereka yang sengaja menganjurkan/ membujuk (uitlokker).
Ini pidananya disamakan dengan alasan sama jahatnya,
sedangkan pasal 56 KUHP mengatur bentuk yang ke-5 yaitu mereka yang
membantu (medeplichtige), pidananya tidak disamakan dengan mereka dalam pasal
55 KUHP, tegasnya pidana untuk pembantu dengan melihat pasal 57 ada yang
dikurangi 1/3, ada juga yang ditentukan 15 tahun.
Yang sering terjadi dalam praktek misalnya yang menyangkut
bentuk ke-3 harus dipenuhi syarat-syaratnya, menurut Langemeijer, yang dianut
sampai saat ini dan dianggap yurisprudensi :
1. Tidak semua orang yang terlihat harus melakukan perbuatan pelaksanaan cukup
satu orang saja asal peserta yang lain menginsyafi bahwa perorangan cukup
untuk menunjang terselesaikannya delik bersangkutan.
2. Harus ada kerjasama yang erat diantara mereka meliputi:
a. Kerjasama kesadaran
Yaitu sebelum mereka berbuat, terlebih dahulu diantara mereka sudah
melakukan pemufakatan/ perundingan untuk mengatur taktik dan strategi.
b. Kerjasama fisik (physieke samenwerking),
ini muncul saat mereka berbuat maupun setelah mereka berbuat.
Misalnya :
Penyertaan pencurian: pasal 55 jo 362 KUHP.
Penyertaan perampokan: pasal 55 jo 365 KUHP.
Penyertaan penganiayaan: pasal 55 jo 351 KUHP.
Perangai pembantu tanpa syarat, sering
terjadi dalam praktek yaitu ke-4, syaratnya :
1. Ada orang yang sengaja menganjurkan dan ada orang yang mau dibujuk;
2. Cara melakukan penganjuran harus dengan insentif/ daya upaya (diatur dalam
pasal 55 ayat 1 (2)).
3. Orang yang dianjurkan harus mau melakukannya (kalau tak ada yang disebut
penganjuran yang gagal (mislukte uitlokking) pasal 163 bis (1)).
Contoh kasus:
A menganjurkan kepada B untuk membakar rumah X, tapi B tidak melakukannya
melainkan malah menyuruh C, dan C-Iah yang melakukan.
Pasal 55 (l) jo
187 KUHP
(A) (B)
jo l87 KUHP X
(C)
Perbarengan
Adakalanya pada subjek hukum tak cukup hanya melakukan satu kejahatan
saja melainkan banyak kejahatan, adakalanya dengan satu perbuatan adapula yang
beberapa perbuatan yang tempat/ waklu berbeda, dengan kata lain seseorang
melakukan kejahatan dengan satu perbuatan dengan beberapa perbuatan disebut:
perbarengan (samenloop/ concursus).
Pasal 63, 64, 66 dan 71 KUHP, apabila beberapa tindak pidana yang dilanggar
hanya dengan satu perbuatan maka itu dinamakan concursus idealis/ eedaadre
samenloop (satu perbuatan dalam tempat dan waktu yang sama menimbulkan
beberapa tindak pidana), contoh klasik :
Dengan satu tembakan mengakibatkan orang yang duduk dibelakang kaca mati.
Maka perbuatan pidananya;
1. merusak kaca (pasal 402 KUHP),
2. pembunuhan (pasal 338 KUHP).
maka hakim hanya menganibil satu ancaman pidana yang paling berat saja, ini
namanya stelsel pemidanaan hisapan murni.
Dalam praktek sering terjadi seorang perampok menembak si korban
menembus 3 orang langsung A, B dan C, ini namanya concorsus idealis
homogenius, perbedaan dengan idealis biasa adalah akibatnya yang tidak sama.
Kemudian yang sering dipakai dimana seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang sifatnya berdiri sendiri, kita tahu berdiri sendin dilihat dari waktu
dan tempat berbeda/beberapa tindak pidana dilakukan dalam waktu dan tempat
berbeda (concursus realis), maka menurut pasal 65 KUHP hakim hanya akan
mengambil satu kejahatan saja ditambah 1/3 dari hukuman maksimalnya: stelsel
hisapan dipertajam.
Contoh:
Pada tanggal 1 September A mencopet di Terminal (pasal 362 KUHP), 5 September
memperkosa di Station (pasal 285 KUHP), 7 september membunuh di Pasar (pasal
338 KUHP). Maka hakim mengambil ancaman maksimal pidana terhadap
pelanggaran pasal 338 + 1/3 dari hukuman maksimal pasal 338, ajaran concorsus
ini meringankan.
Aturan permainan di dalam concorsus realis, beberapa kejahatan harus dituntut
sekaligus dalam waktu bersamaan.
Namun dalam prakteknya aturan main tersebut sangatlah sulit, untuk mengatasi
kendala tersebut maka dimungkinkan pengajuan perkara secara bertahap, pegangan
hakim dalam menghadapi pengajuan perkara secara bertahap, ia harus berpegang
pada pasal 71 KUHP.
Agar tidak terjadi perkosaan terhadap hak asasi terdakwa yang menyangkut
keadilannya, maka kewajiban Jaksa apabila mengajukan perkara tidak sekaligus
maka Jaksa wajib memberikan catatan dalam berkas tentang tidak dapat diajuk-
annya sekaligus dari sekian kejahatan yang dilakukan.
UNIFIKASI KUHP
Unifikasi 1918 (berlaku bagi Indonesia dan Belanda) sebagai unifikasi pertama.
Berdasarkan UU No. l Tahun 1946, pasal 1 tanggal 8 Maret 1942 : diberi nama
WvSNI (Wetboek van Strafrecht Nedherland Indische).
Kemudian berdasarkan pasal VI WvSNI ini diberi nama WvS (Wetboek van
Strafrecht) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana).
Berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958 (UU Unifikasi Pidana), pasal I :
merupakan unifikasi KUHP ke-2. Dengan unifikasi ini maka terjadi dualisme
Hukum Pidana, yaitu:
1. KUHP yang berlaku bagi RI yang beribukota di Yogyakarta, dan
2. KUHP yang berlaku bagi RIS yang beribukota di Batavia.
Unifikasi ke-2 ini berlaku untuk Jawa dan Madura, selanjutnya untuk daerah lain
ditetapkan oleh pemerintah melalui PP, contohnya : untuk Sumatera dengan PP 8
tahun 1946.
Prof. Sudarto:
Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II,
Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat,
Pembaharuan Hukum Pidana.
Prof. Moeljatno :
Asas-asas Hukum Pidana,
Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana,
Delik-delik Percobaan,
Delik-delik Penyertaan.
Prof. Ruslan Saleh :
Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan,
Sel-sel Pidana di Indonesia,
Ku
mpulan Putusan-putusan Perkara Pidana
Prof. Muladi :
Perspektif Hukum Pidana Materiil di Masa Mendatang
Prof. Barda Nawawi :
Teori-teori Kebijakan Pidana Dalam
Hukum Pidana,
Hukum Pidana I dan Hukum Pidana II.