Anda di halaman 1dari 7

Balqis Mar’atus Sholehah

110110160073 / KELAS A
ANTROPOLOGI HUKUM
Dr. Dadang Epi Sukarsa, S.H., M.H.

 SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT ROHINGYA DI MYANMAR

Permulaannya pengusiran Rohingya dari Arakan dimulai pada tahun 1666 Lanun Mogh
yang kalah kembali ke Arakan semula dan bermulalah episod anti Bengali, anti Rohingya dan
rasa tidak puas hati di Arakan. Dari 1670, lanun Mogh dilaporkan telah terlibat dengan rusuhan
anti Muslim. Pada 1760 Burma untuk menyerang Chittagong telah digagalkan oleh British
dengan sokongan yang menggalakkan daripada orang Bengali di Chittagong. Akhirnya, 1784 –
1824 Burma memerintah Arakan. Migrasi Mogh-Rohingya ke Chittagong dan Bukit Chittagong
dari Bangladesh. 1784 – 1785 Raja Burma, Bodapawpaya menakluk Arakan yang membawa
kepada migrasi besar-besaran Mogh dan Rohingya ke Chittagong. Rohingya melarikan diri
mengikut jalan laut dan Mogh ke hutan. Mogh-Rohingya kembali ke Arakan semasa
pemerintahan British. Pada1824: Perang pertama Anglo-Burma dan British menawan Arakan
dan Tenasserim. Selanjutnya Rohingya kembali ke Arakan dan lain-lain menetap di Selatan
Chittagong. 1824 – 1826 Burma menyerahkan jalur persisiran pantai Arakan, antara Chittagong
dan Cape Negrais. Pada 1852 Perang Anglo-Burma kedua dan penaklukan Pegu. 1885 Perang
Anglo-Burma ketiga dan penaklukan bahagian atas Burma. Mogh secara resmi menukarkan
nama mereka kepada Rakhine. 1935 Burma berpisah dari British India. Pada 1938 Rusuhan
Buddhist-Muslim. Migrasi Rohingya ke Chittagong. Penjajahan Jepun di Burma dan nasionalis
ultra Burma melakukan pembunuhan beramai-ramai terhadap golongan minoriti seperti Haren,
Shans, Chin dan Rohingya. Lebih 100,000 orang Rohingyas dibunuh.

Kerajaan Burma memanggil Rohingya sebagai pemisah. 1948: Kemerdekaan Burma.


Golongan minoriti yang tidak berpuas hati seperti Karen, Mon dan lain-lain, termasuk Rohingya
memberontak. Pada 1949 Pemberontakan Karen dan Mon. Rohingya menduduki sebahagian
besar utara Arakan. 1951 Rohingya menuntut penamatan segera pembunuhan beramai-ramai
Rohingya di Arakan. Hartanah Rohingya dirampas dan nasionalis mula mengenepikan Rohingya
dari kerja kerajaan. 1954: Memorandum rayuan oleh Rohingya untuk menuntut hak-hak asasi
dan kebebasan. Pusat penyiaran Rohingya dibenarkan.

Brigadier Aung Gi memanggil Rohingya sebagai komuniti aman. U Nu mengisytiharkan


agama rasmi Burma ialah Buddha. Pembentukan pentadbiran tentera di kawasan Rohingya.
1962: UN membuka seminar persekutuan bagi mendengar masalah golongan minoriti. Kerajaan
ketenteraan Ne Win dan permulaan pembunuhan beramai-ramai Rohingya secara sistematik
1962: Jeneral Ne Win ambil alih kuasa pada 2 Mac dan membatalkan seminar persekutuan serta
menangkap pemimpin-pemimpin golongan minoriti. Tempat Rohingya di Arakan turut
dimusnahkan. 1970: Kerajaan Burma bersetuju kawasan Rohingya ditabir oleh tentera bersama
Arakanese Burmese dalam pentadbiran. Rohingya menghadapi penindasan berterusan oleh
kerajaan tentera di Burma, dan telah melarikan diri ke Bangladesh dalam jumlah yang besar.
Kebanjiran pelarian terbesar berlaku pada tahun 1991 dan 1992, apabila lebih 250,000 Rohingya
menyeberangi sempadan. Walau bagaimanapun, kebanyakan pelarian telah dihantar semula ke
Myanmar. Lebih kurang 21,500 pelarian tinggal di dua kem di selatan Bangladesh. Pelarian
bergantung sepenuhnya kepada Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu dan agensi-agensi bantuan
makanan. Dianggarkan 200,000 Rohingya tinggal secara haram di Bangladesh tanpa akses
kepada perlindungan atau bantuan kemanusiaan. 2004: Laporan Antarabangsa Pelarian
menyatakan Rohingya:

“… perlu kebenaran untuk kembara di luar kawasan kampung mereka, tanah mereka dirampas
oleh kerajaan untuk digunakan oleh pendududk beragama Buddha, masjid mereka dimusnahkan
oleh tentera dan mereka menjadi buruh paksa secara rutin.”

2005: Aye Chan seorang pro ketenteraan kerajaan, Rakhine, telah merendahkan martabat
Rohingya sebagai musuh berbahaya yang perlu dihapuskan dari muka bumi ini. Pada tahun 2006
Rusuhan anti-Muslim terjadi daripada khabar angin mengatakan beberapa lelaki Muslim telah
merogol perempuan Burma telah disokong oleh beberapa orang Sami Buddha dan ditentang oleh
pencinta keamanan Burma di Rangoon tetapi merebak ke Arakan menyebabkan ketegangan
antara umat Islam dan penganut Buddha. Larangan berkahwin dengan Rohingya diperkenalkan
sebagai satu pembunuhan beramai-ramai terhadap kemanusiaan.
Hingga pada tahun 2017 konflik ini terus berkelanjutan di negara bagian Rakhine,
Myanmar. Konflik bersenjata antara pejuang Rohingya dengan tentara Myanmar memaksa
puluhan ribu orang melarikan diri ke Bangladesh. Kelompok militan yang menamakan diri
mereka Tentara Penyelamat Arakan Rohingya (ARSA), menyerang tentara, polisi, dan 25 pos
perbatasan Myanmar yang berada di Rakhine pada Jumat 25 Agustus 2017. Kekerasan itu
menewaskan setidaknya 98 orang. Pertempuran terus berlangsung hingga Sabtu 26 Agustus.
Sementara operasi militer masih berjalan hingga hari ini. 4.000 Warga Myanmar Diungsikan
dari Rakhine. Pemerintah Myanmar langsung mengevakuasi setidaknya 4.000 warga dari
wilayah Negara Bagian Rakhine akibat keadaan yang semakin memanas. Di saat bersamaan,
ribuan warga etnis Rohingya juga melarikan diri ke Bangladesh. Mereka terpaksa mengambil
rute tersebut karena bagai dianaktirikan oleh pemerintah Nay Pyi Taw.

Evakuasi terhadap 4.000 orang warga Rakhine di luar Muslim Rohingya terkesan
diskriminatif. Pemerintah Myanmar seakan membiarkan begitu saja terkepung di antara
pertempuran kedua pihak. Kondisi semakin parah usai pemerintah menuding para sukarelawan
kemanusiaan berkolusi dengan militan ARSA. Mereka berpendapat, sejumlah biskuit dari
World Food Program (WFP) ditemukan di salah satu tempat yang dicurigai sebagai pelatihan
militan. Tuduhan senada dilontarkan Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun. Ia
mengatakan, ammonia dan pipa yang digunakan oleh pekerja pembangunan, dipakai untuk
membuat bom oleh militan ARSA. WFP dan sejumlah badan kemanusiaan meminta Myanmar
membuktikan bukti sehingga bisa dilacak. Akibat tuduhan tersebut, sebagian besar organisasi
kemanusiaan menarik staf mereka dari Rakhine. Selain tuduhan, meningkatnya kekerasan juga
menjadi alasan penarikan mundur para staf tersebut.

Pemerintah Myanmar bersikeras bahwa aksi bersih-bersih itu sudah sesuai hukum serta
mengklaim rumah-rumah yang dibakar itu ditinggali oleh kelompok militan ARSA. Sedikitnya
110 orang tewas terbunuh selama operasi tersebut. Pemerintah mengklaim sebagian besar
korban tewas merupakan anggota kelompok ARSA. Akan tetapi, Muslim Rohingya mengaku
bahwa rumah mereka sengaja dibakar oleh tentara, polisi, dan penganut garis keras. Warga sipil
juga ditembaki saat berupaya menyelamatkan diri. Puluhan ribu Muslim Rohingya terpaksa
melarikan diri ke Bangladesh sejak Jumat lalu. Jumlah mereka saat ini sudah mencapai 27.400
orang yang ditampung di Cox’s Bazar. Sebagian besar Muslim Rohingya masuk Bangladesh
dengan cara menyusuri Sungai Naf yang terletak di antara perbatasan kedua negara. Kondisi
mereka yang ada di penampungan sementara pun bisa dikatakan memprihatinkan. Bangladesh
menyatakan hampir tidak mampu lagi menampung kedatangan para pengungsi etnis Rohingya.
Sebab, hingga hari ini, Bangladesh total sudah menerima sedikitnya 400 ribu orang Muslim
Rohingya sejak konflik Rakhine meletus 2012.

 ANALISIS KONFLIK ROHINGYA DARI SISI ANTROPOLOGI

Istilah “masyarakat” merupakan istilah yang paling lazim digunakan untuk menyebut suatu
kelompok kolektif manusia. Dalam kasus ini masyarakat Myanmar yang terbagi dalam beberapa
etnis merupakan objek kajian dari antropologi. Jika dianalisis dari pengertian pendapat ahli
yaitu, Selo Soemardjan (1968) menyatakan “masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama, yang menghasilkan kebudayaan”.

Rohingya adalah kelompok etnik yang muncul melalui peristiwa sejarah yang panjang
memiliki akar sejarah yang kuat sebagai salah satu ras pribumi asli yang berada di negara bagian
di Rakhine yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Myanmar, masyarakat Rohingya yang
diidentifikasi sebagai Muslim Arakan adalah salah satu ras asli di Burma. Pengertian diatas
sesuai dengan keberadaan masyarakat Rohingya, memiliki banyak kebudayaan dialek yang
dipertuturkan orang-orang Rohingya mempunyai kesamaan dengan bahasa yang digunakan
masyarakat Vesali Kuno. Dan kebudayaan Rohingya sama tuanya dengan usia Monumen Batu
Ananda Sandra yang didirikan di Arakan pada abad kedelapan silam.

Maka disimpulkan bahwa unsur-unsur terbentuknya masyarakat, yaitu

1. Ada dua orang atau lebih yang hidup bersama


2. Ada batas-batas wilayah tempat mereka berada
3. Hidup bersama dalam jangka waktu yang relatif lama
4. Adanya suatu kesadaran bahwa mereka merupakan satu kesatuan
5. Memungkinkan untuk menghasilkan suatu budaya tertentu

Selain faktor latar belakang sejarah negara antara lain yaitu faktor sifat dasar masyarakat
yang merupakan makhluk sosial yang membuat mereka tidak pernah dapat lepas dari orang lain.
Berawal dari penyebab konflik ini terjadi masyarakat Rohingya secara umum orang berpendapat,
krisis Rohingya di Myanmar adalah masalah agama. Tetapi analis Siegfried O. Wolf
berpendapat, krisis ini lebih bersifat politis dan ekonomis, karena memang pada khususnya Di
Myanmar, etnis Rohingya tak diakui sebagai warga negara. Mereka kesulitan memperoleh akses
kesehatan, pendidikan dan perumahan yang layak, hal ini terjadi karena masyarakat Rohingya
merupakan makluk yang dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain,
dan memungkinkan terjadi suatu timbal balik. Juga disebabkan oleh tingkat kebutuhan manusia
yang semakin kompleks yang menyebabkan manusia untuk saling bekerja sama satu sama lain
demi tercapainya suatu tujuan, yakni pemenuhan kebutuhan.

Negara bagian Rakhine dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam.
Tetapi hal itu menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata
tinggi. Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara
ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma.
Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan
ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah penyebab utama ketegangan di negara bagian itu,
dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok. Kekerasan terus
terjadi, hingga pemerintah Myanmar mengerahkan pasukannya ke Provinsi Rakhine. Puluhan
orang tewas saat pasukan pemerintah menyerbu kampung-kampung.

Oleh karena perkembangan jaman dan semakin kompleksnya kebutuhan manusia maka
banyak muncul masyarakat-masyarakat tertentu. Perkembangan masyarakat tersebut dapat
didasarkan kepada tingkat kekuasaan mayarakat, tingkat kebudayaan, maupun dilihat dari
wilayah keberadaannya. Salah satu jenis perkembangan masyarakat adalah munculnya
masyarakat mayoritas dan minoritas. Penduduk Rohingya adalah sekelompok penganut Muslim
yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine
juga ditempati oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha. Kaum minoritas yang
tertindas, tidak diakui dan diusir menyebabkan mereka imigrasi ke negara lain tanpa adanya izin.
Seakan-akan mereka tidak memiliki saudara yang membantu dan tidak ada negara yang mau
menerima mereka.

Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut mayoritas adalah orang-orang
yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memiliki derajat yang lebih tinggi.
Maka yang dimaksud dengan masyarakat mayoritas ialah orang-orang yang biasanya memiliki
kekuasaan dalam masyarakat tersebut, baik itu kekuasaan politik, ekonomi, maupun sumber daya
alam. Kinloch juga berpendapat mengenai masyarakat minoritas, yaitu mereka yang tidak
memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri tertentu cacat secara fisik
ataupun mental sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. Dapat kita lihat bahwa
yang diamaksud dengan masyarakat minoritas ialah mereka yang sama sekali tidak memiliki
kekuasaan baik itu di bidang politik, ekonomi, maupun sumber daya. Masyarakat minoritas
biasanya juga kurang mendapat perlakuan yang baik mereka cenderung dieksploitasi dan
didiskriminasi oleh kelompok lain.

Berkaitan dengan hal ini, penulis menyimpulkan bahwa Permusuhan' antara penduduk
mayoritas Buddha dan kelompok minoritas Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar masih dapat
dirasakan sejak terjadi pembakaran masjid dan pembunuhan pada 2012. Masjid yang berfungsi
tinggal sedikit, sementara sisanya dipaksa ditutup atau tidak boleh dibangun lagi. Larangan itu,
kata pihak berwenang, ditujukan untuk meredam ketegangan antara etnik mayoritas Rakhine
yang beragama Buddha dan kelompok Rohingya yang beragama Islam. Komunitas Rohingya
juga hidup tersegregasi, menempati kamp-kamp khusus atau perkampungan khusus untuk
mereka. Mereka harus meminta izin jika ingin keluar dari lingkungan mereka dan dalam tataran
sehari-hari jarang terjadi kontak langsung dengan penduduk dari etnik-etnik lain seperti Rakhine,
Chin dan Burman.

Menurut penulis, konflik yang berlatar belakangi agama, politik dan ekonomi bahkan
pembantaian manusia dalam penyelesaian masalah ini sudah terlalu melewati batas hak asasi
manusia dan prikemanusiaan. Maka dari itu, pemerintah Burma harus menilai tuduhan
pelanggaran hak asasi manusia serius yang dilakukan terhadap pengungsi etnis Rohingya. Dalam
pengaruh dampaknya anak-anak merupakan pihak yang paling terkena dampak akibat
pertempuran dan kemiskinan.

Berdasarkan riset UNICEF melaporkan bahwa 150 anak meninggal setiap hari di negara
ini, sebelum mereka mencapai usia lima tahun. Bertrand Bainvel, perwakilan UNICEF untuk
Myanmar mengatakan bahwa penyakit yang tidak diobati pada bayi yang baru lahir adalah salah
satu faktor pembunuh terbesar. Angka kematian anak diperkirakan sekitar 50 per 1.000 kelahiran
hidup di Myanmar. Hampir 30% anak balita menderita gizi buruk, sedang, atau parah. Adapun
lebih dari separuh anak hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan UNICEF menjelaskan bahwa
Myanmar telah mengalami periode perubahan dan kesempatan yang belum pernah terjadi
sebelumnya, tapi optimisme pada tahun 2015 dan awal tahun 2016 telah dipengaruhi oleh
kemajuan ekonomi dan kebijakan lainnya, yang bergerak lebih lamban dari perkiraan semula.

Secara keseluruhan dampak yang diberikan dari permasalahan ini adalah adanya rasa iba
dari seluruh masyarakat dunia. Dampak yang dirasakan Myanmar yaitu dorongan dari negara-
negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang telah mengirimkan Menteri Luar Negeri terjun
langsung ke Myanmar melalui jalur diplomasi dan memberikan bantuan kemanusiaan untuk
segera menyelesaikan masalah tersebut, negara Bangladesh dengan menerima sebagian
pengungsi dari Myanmar. Konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine itu berpotensi
mengganggu harmonisasi, keamanan dan pertahanan negara-negara anggota ASEAN.

Oleh sebab itu, diperlukan penanganan yang cepat dan terstruktur untuk menghindari
dampak berkelanjutan yang mungkin timbul dari pembantaian Rohingya maupun pelanggaran
HAM terhadap masyarakat Myanmar. Kerjasama antar negara ASEAN sangat diperlukan untuk
mempercepat resolusi konflik dan mencegah jatuhnya korban yang lebih besar.

SUMBER:

Shamil S, “Rohingya Sebenarnya Bukan Konflik Agama”, http://www.dw.com/id/rohingya-


sebenarnya-bukan-konflik-agama/a-18683571, diakses 7 September 2017 07:30 WIB.

Wikanto A, “Kronologi Kekerasan Di Rakhine Pemicu Eksodus Muslim Rohingya”,


https://news.okezone.com/read/2017/08/31/18/1767078/kronologi-kekerasan-di-rakhine-
pemicu-eksodus-muslim-rohingya, diakses 7 September 2017 08.00 WIB

Diyana AR, “Kronologi Sejarah Kekejaman Dan Penindasan Ke Atas Rohingya Di Myanmar
Sehingga Kini”, https://www.thevocket.com/kronologi-sejarah-kekejaman-dan-penindasan-ke-
atas-rohingya-di-myanmar-sehingga-kini/, diakses 9 September 2017 19.34 WIB.

Pandasurya W, “Kronologi Lengkap Kekerasan Terhadap Muslim Rohingya di Myanmar”


https://www.merdeka.com/dunia/ini-kronologi-lengkap-kekerasan-terhadap-muslim-rohingya-
di-myanmar.html, diakses 10 September 2017 10:14 WIB.

Anda mungkin juga menyukai