Anda di halaman 1dari 7

Dalam beberapa organisasi internasional spt General Agreement of Tariffs and Trade (GATT) dan World

Trade Organization (WTO) negara-negara maju atau yang memiliki power lebih besar seperti USA
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai kepentingn nasional mereka disbanding negara-
negara berkembang yang merupakan anggota organisasi internasional tsb. WTO mendesain sistem
perdagangan yang tidak adil, negara berkembang ditekan untuk membuka pintu perdagangan
seluas-luasnya bagi negara maju dengan menghapuskan seluruh hambatan perdagangan,
hambatan impor, baik itu hambatan tarif(tarrif barrier) maupun hambatan non-tarif(non-tarrif
barrier). Sementara negara maju hanya memberikan peluang dan akses yang kecil terhadap
produk barang dan jasa dari negara berkembang bahkan cenderung tertutup dengan regulasi yang
sangat ketat bahkan WTO menutup mata atas ketimpangan tersebut.

Di sisi lain, negara berkembang akan sangat sulit untuk berkompetisi dengan negara maju,
karena kalah dari segi sumber daya, manajerial dan teknologi. Dalam kompetisi perdagangan
yang didesain WTO ala globalisasi ekonomi mensyaratkan akan kebutuhan produk yang
memiliki standard produk yang tinggi dengan basis pengembangan berdasarkan riset dan
teknologi oleh manajemen yang modern. Kondisi ini masih belum merata dalam negara
berkembang seperti Indonesia dan hanya perusahaan multinasional yang mampu bersaing dan
mendominasi perdagangan internasional. Tentunya, akan merugikan bagi pelaku usaha kecil dan
menengah nasional sehingga ekonomi akan dikuasi oleh asing. Berdasarkan pengalaman Indonesia,
sejak menjadi pengikut setia IMF dan WTO dalam upaya menghilangkan subsidi pertanian telah menjadi
sektor pertanian rapuh dan hancur, akibatnya hingga saat ini sektor pangan lokal merugi dan
tersingkirkan sehingga produk pangan impor menguasai sektor pangan nasional yang memiskinkan
petani. 

Pertemuan organisasi perdagangan internasional yang tergabung dalam World Trade


Organization (WTO) yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 3-6 Desember 2013. WTO
merupakan salah satu pilar pendukung ekonomi kapitalisme global bersama dengan IMF dan
menjadi otak dalam setiap skema perjanjian perdagangan internasional dengan berperan dalam
pengelolaan perjanjian multilateral, melakukan negoisasi, mengatur dan mengintervensi
kebijakan perdagangan setiap negara yang menjadi anggota WTO dengan tujuan mendukung
liberalisasi perdagangan antar negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan
yang dapat menganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.

Terdapat beberapa isu penting yang akan dibahas dalam agenda Konferensi Tingkat Menteri
(KTM) WTO IX putaran Bali seperti memuluskan agenda liberalisasi ekonomi nasional dalam
bidang pertanian, perdagangan dan pembangunan.  Kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah
dalam pertemuan mengindikasikan bahwa pemerintahan mempunyai komitmen tinggi dalam
mendukung perdagangan bebas tanpa mempertimbangkan kerugian jangka panjang
perekonomian nasional.

Ketimpangan Keputusan WTO


Keputusan WTO sesungguhnya perang akal-akalan negara maju terhadap negara berkembang
untuk mendapatkan keuntungan yang tak terbatas atas kekurangan dan keterbelakangan ekonomi
negera berkembang. WTO mendesain sistem perdagangan yang tidak adil, negara berkembang
ditekan untuk membuka pintu perdagangan seluas-luasnya bagi negara maju
dengan menghapuskan seluruh hambatan perdagangan, hambatan impor, baik itu hambatan
tarif(tarrif barrier)  maupun hambatan non-tarif(non-tarrif barrier). Sementara negara maju
hanya memberikan peluang dan akses yang kecil terhadap produk barang dan jasa dari negara
berkembang bahkan cenderung tertutup dengan regulasi yang sangat ketat bahkan WTO
menutup mata atas ketimpangan tersebut.

Di sisi lain, negara berkembang akan sangat sulit untuk berkompetisi dengan negara maju,
karena kalah dari segi sumber daya, manajerial dan teknologi. Dalam kompetisi perdagangan
yang didesain WTO ala globalisasi ekonomi mensyaratkan akan kebutuhan produk yang
memiliki standard produk yang tinggi dengan basis pengembangan berdasarkan riset dan
teknologi oleh manajemen yang modern. Kondisi ini masih belum merata dalam negara
berkembang seperti Indonesia dan hanya perusahaan multinasional yang mampu bersaing dan
mendominasi perdagangan internasional. Tentunya, akan merugikan bagi pelaku usaha kecil dan
menengah nasional sehingga ekonomi akan dikuasi oleh asing.

Globalisasi perdagangan merupakan senjata dan batu loncatan bagi korporasi-korporasi untuk
menguasai perdagangan global dan sangat timpang dari cita-cita awal berdirinya WTO yang
mendukung kemajuan dan perlindungan bagi kepentingan negara-negara miskin. Akibat dari
liberalisasi dan globalisasi ekonomi telah mengakibatkan setengah dari penduduk di dunia saat
ini hidup dibawah garis kemiskinan, negara negara berkembang dikontrol negara-negara maju
dengan 90 % investasi dikuasai oleh tangan-tangan kapitalis pemilik perusahaan raksasa Eropa
dan AS.

Hal ini didukung oleh laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNTAD
pada Juli 2012 bahwa “data dan fakta perputaran liberalisasi perdagangan dan globalisasi tidak
hanya menghasilkan ketimpangan dalam distribusi manfaat dan memperlebar kesenjangan antara
negara maju dan berkembang, tapi bahkan juga meningkatkan ketimpangan pendapatan dalam
negeri itu sendiri”.

Hilangnya Kedaulatan Ekonomi

Menjalankan keputusan WTO akan merugikan dan menghilangkan kedaulatan ekonomi nasional.
Berdasarkan pengalaman Indonesia, sejak menjadi pengikut setia IMF dan WTO dalam upaya
menghilangkan subsidi pertanian telah menjadi sektor pertanian rapuh dan hancur, akibatnya
hingga saat ini sektor pangan lokal merugi dan tersingkirkan sehingga produk pangan impor
menguasai sektor pangan nasional yang memiskinkan petani. Hampir semua kebutuhan pangan
Indonesia didapatkan melalui impor: impor  impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen),
susu (72 persen), gula (54 persen), daging sapi, (18 persen), dan bawang putih (95 persen).
Di sisi lain, negara maju tidak berlaku adil dalam soal penghapusan subsidi ini. Sampai sekarang
ini negara-negara maju masih memberi subsidi besar-besaran bagi sektor pertaniannya. AS,
misalnya, pada tahun 2010, menggelontorkan US$ 130 miliar (sekitar Rp 1.430 triliun) untuk
pertaniannya. Sementara di Eropa, pada tahun 2009, subsidi sektor pertanian mencapai US$ 106
milliar.

Pemerintah harus sadar dan membatasi WTO demi kedaulatan ekonomi nasional. Pertama,
kebijakan WTO akan membawa ekonomi nasional terbius oleh ketergantungan impor.
Pembukaan hambatan ekonomi dan pencabutan segala bentuk perlindungan ekonomi nasional
akan membuat ekonomi jauh dari kemandirian oleh ketergantungan impor pangan dan impor
bahan baku industri yang dapat mengakibatkan gap defisit perdagangan yang besar. Kedua,
Ketergantungan impor oleh liberalisasi ekonomi akan mengakibatkan meningkatnya defisit
neraca pembayaran. Resep WTO yang menuntut untuk meningkatkan utang dalam negeri dalam
pembiayaan pembangunan akan semakin memperbesar defisit neraca pembayaran akibat
pembayaran utang untuk impor, cicilan utang dan jatuh tempo. Ketiga, APBN akan semakin
menyusut pemasukannya karena penghilangan bea keluar dan beas masuk secara otomatis akan
mengurangi pendapat negara pada APBN sementara utang makin meningkat.

Indonesia sudah saatnya mengambil pelajaran berharga dari kebijakan WTO dan menolak keras
perdagangan bebas yang merugikan karena kenyataannya WTO hanya menjadi alat perpanjangan
tangan kepentingan asing.

https://www.kompasiana.com/safri_haliding/5528cd1ef17e61d6068b4612/kedaulatan-ekonomidijajah-
wto

https://pinterpolitik.com/wto-ancam-ketahanan-pangan-indonesia/

https://www.cermati.com/artikel/dampak-krusial-mea-bagi-indonesia

asean

Akhir tahun 2015 perekonomian Indonesia memasuki babak baru. Gerbang pasar
bebas di Asia Tenggara dibuka, era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN
Economic Community (AEC) resmi diberlakukan.

MEA yang hadir menggantikan ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan telah
ditandatangani delapan tahun lalu itu digembar-gemborkan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.

Berbeda dengan sikap percaya diri pemerintah, beberapa kalangan menilai Indonesia
belum siap menghadapi MEA. Pemberlakuan liberalisasi ekonomi itu hanya merugikan
negara. Imbasnya Indonesia akan menjadi sasaran empuk negara ASEAN lain.
Tentunya fundamental ekonomi yang kuat harus dibangun dengan itegrasi masyarakat ekonomi ASEAN.
karena dengan asanya kesatuan atau integrasi masyarakat ekonomi ASEAN tersebut langkah-langkah
yang sudah dibuat oleh ASEAN untuk menjadi penggerak dalam ekonomi global 

MEA tampaknya bak pisau bermata dua yang mempunyai sisi positif dan negatif.  Implikasinya,
Masyarakat Ekonomi ASEAN memiliki 4 karakteristik seperti pasar tunggal, basis produksi,
pembangunan ekonomi secara merata, dan sebagai kawasan yang ter-integrasi penuh dengan
ekonomi global. Karakteristik yang tersentralisasi tersebut diharapkan dapat menuju kemandirian
ekonomi bangsa serta mampu untuk menjalankan kebijakan ekonomi yang pro kepada
kepentingan masyarakat. Namun disamping hal itu, terdapat sebuah telaah kritis terhadap
realisasi konsep pasar bebas MEA terkait integrasi ekonomi yang kini tengah menjadi pusat
perdagangan dunia.

Apakah kemudian kebijakan MEA ini justru lebih dipertimbangkan sebagai simbol kolonialisme
modern yang dibungkus oleh retorika nasionalistik dan mengancam kedaulatan NKRI.
Bagaimana tidak, sejumlah kekhawatiran muncul dimana MEA mengintergrasikan kepulauan
Asia Tenggara sepenuhnya dalam arus ekonomi global. Sejatinya, kebijakan pasar bebas ini
justru secara tidak sadar menjadi sebuah bumerang bagi pilar ekonomi kerakyatan yakni industri
kreatif dan UKM dalam negeri. Pasalnya, dengan diimplementasikannya MEA tidak menutup
kemungkinan adanya penguasaan terhadap jenis komoditas, jasa dan tenaga kerja, juga mobilitas
barang mengingat terbukanya akses bagi investasi dan korporasi asing yang dimana hal ini dapat
menjadi batu sandungan bagi produk lokal yang bersaing dengan produk impor.

Jika menggarisbawahi hak demi hak, terkait dengan agenda ekonomi berdikari untuk
mewujudkan suatu kemandirian ekonomi dengan pembangunan berkelanjutan yang
dimanifestasikan melalui sektor UKM menjadi tanda tanya besar bagaimana untuk menjaga
eksistensinya terhadap adanya rezim pasar bebas ditambah dengan konsep MEA yang tak lain
adalah membuka peluang bagi masuknya investor asing yang secara bebas untuk menggerakan
penanaman modal. Lantas, apakah kemudian MEA berpotensi menjadi ancaman bagi keberadaan
dan kontribusi UMKM itu sendiri. Maka dari itu, atensi dan peran proaktif pemerintah sangat
diperlukan untuk menekan daya saing bangsa dari cengkraman sang pemangku ambisi global.

Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan selat malaka dan samudera hindia sebagai jantungnya
jalur pelayaran, terlebih dengan adanya MEA sebagai representasi telah menandai konstelasi global
dengan bergeraknya proyeksi kekuatan ekonomi dari Eropa ke Asia yang secara berkala dapat diprediksi
menjadi magnet. Dalam arti, semakin menarik minat bagi negara hegemon untuk menancapkan
pengaruh yang signifikan dengan menanamkan kepentingannya beserta unsur politis di Indonesia.
Kedaulatan nasional terancam manakala MEA lebih diinterpretasikan sebagai ajang untuk “menjual”
kota, wilayah, atau sumberdaya kepada para investor asing yang artinya semakin mengeruk kekayaan
Indonesia. Aliansi antara pejabat pemerintahan dengan pemilik modal inilah yang akan menghasilkan
budaya oligarki ekonomi “yang kaya makin kaya, si miskin makin miskin”.

Disisi lain, MEA yang disebut-sebut sebagai upaya untuk mempromosikan potensi nasional justru
menjadi alat terselubung bagi imperalisme gaya baru yang dirancang melalui strategi ketergantungan
ekonomi terhadap produk asing berkualitas yang dipatok dengan harga murah dimana kemudian lambat
laun secara otomatis pasar sertamerta akan dikuasai dan akhirnya mematikan produksi dalam negeri
dan terancam gulung tikar sehingga menyebabkan alih fungsi dari produsen ke penjual yang menjadi
pukulan keras bagi pengusaha dan pekerja.

politik dan budaya ini cukup menggambarkan bagaimana MEA menggerogoti ketahanan nasional dari
dalam dan luar karena tidak selaras dengan nilai pancasila serta prinsip ekonomi kerakyatan.

https://www.antaranews.com/berita/215240/kedaulatan-ekonomi-ri-dalam-perdagangan-antarnegara-
asean

https://membunuhindonesia.net/2015/12/masyarakat-ekonomi-asean-menghilangkan-kedaulatan-
negara/

BIT

Dalam setiap perundingan free trade agreement (FTA) atau bilateral investment treaty
(BIT), salah satu isu yang paling kontroversial adalah persoalan penyelesaian sengketa
investasi antara investor asing dan negara di arbitrase internasional. keperluan untuk
melindungi hak investor asing dan kepentingan untuk menjaga kedaulatan ekonomi.

Di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali lalu, Kamis (11/10) lalu
terjadi penandatanganan perjanjian investasi bilateral (bilateral investment treaty)
untuk melindungi investasi Singapura yang akan masuk ke Indonesia. Perjanjian
BIT memuat salah satu instrument Bank Dunia dalam memberikan perlindungan maksimum
kepada Investor asing dibawah Konvensi ICSID. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Keadilan Ekonomi, mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi Perjanjian
Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaty) dengan Singapura karena penandatanganan
perjanjian tersebut mengancam kedaulatan negara. Koalisi ini menilai penandatanganan
yang dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya sidang tahunan IMF dan Bank Dunia
berada dibawah tekanan sistem neo-liberal yang dianut oleh IMF dan Bank Dunia. 

Pakta Investasi Bilateral ini adalah untuk melindungi investasi antarnegara. Perjanjian
ini akan melindungi kepentingan investor dan memperkuat hubungan ekonomi antara
Singapura dan Indonesia. Kesepakatan ini juga menetapkan aturan tentang bagaimana
Indonesia harus memperlakukan investasi dan investor dari Singapura dan sebaliknya.

menuntut agar Pemerintah Indonesia untuk membuka transparansi teks perjanjian dan


melibatkan publik acara luas dalam proses pengambilan keputusanbaik pada
institusi pemerintah maupun institusi legislatif. Tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap
informasi serta draft teks perjanjian di dalam negosiasi BIT telah mengancam demokrasi dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia Penandatanganan
BIT Indonesia-Singapura dipandang sebagai
bentuk kemunduran dari kebijakan yang pernah diambil Pemerintah Indonesia
pada 2013 untuk mereview dan menghentikan pemberlakuan BIT. Sejak tahun
1960-an hingga 2013, Indonesia memiliki sebanyak 63 BIT. Dampak dari BIT
tersebut, Indonesia sudah punya paling tidak 8 pengalaman kasus gugatan
investor asing terhadap Indonesia dengan nilai klaim ganti rugi oleh investor
asing mencapai miliaran dolar.

Beberapa kasus tersebut antara lain, gugatan Rafat Ali Rizvi (BIT Indonesia-UK),


Churcill Mining (BIT Indonesia-UK), Newmont (BIT Indonesia-Belanda), India
Metal Ferro Alloys (BIT Indonesia-India), dan Oleovest Ltd (BIT Indonesia-
Singapura). Bahkan, potensi kasus Indonesia ke depan jika BIT tidak dihentikan
dapat meluas ke berbagai sektor seperti kesehatan, di mana beberapa negara
sudah pernah mengalami gugatan investor asing terkait isu kesehatan dan obat.

Dalam proses peninjauan kembali yang melibatkan publik, akademisi, dan praktisi hukum,
pemerintah pada akhirnya mengambil posisi baru. Hak investor untuk menggugat di
arbitrase internasional tetap dapat dipertahankan sepanjang dalam pelaksanaannya
memenuhi persyaratan, yaitu harus memperoleh persetujuan (prior-consent) Pemerintah
Indonesia. osisi baru tersebut dapat dipastikan akan menghadapi tantangan dalam
beberapa perundingan FTA, atau BIT khususnya dengan negara-negara maju. Oleh karena
itu, konsistensi pemerintah untuk mempertahankan posisi baru sangat diperlukan untuk
melindungi kedaulatan ekonomi nasional.

Investor asing lebih memperhatikan stabilitas politik, potensi pertumbuhan ekonomi,


ketersediaan infrastruktur, dan pertimbangan-pertimbangan komersial lainnya. Sebagai
contoh, meskipun Brasil sampai saat ini tidak terikat pada FTA atau BIT yang memberikan
hak kepada investor asing untuk mengajukan gugatan secara langsung ke arbitrase
internasional, Brasil menjadi tujuan investasi tertinggi ke-7.

Maka, dalam perundingan BIT atau FTA yang sedang atau akan dilakukan Indonesia,
pemerintah sepatutnya tetap konsisten mempertahankan posisi yang mensyaratkan prior-
consent dari pemerintah bagi investor asing untuk mengajukan gugatan ke arbitrase
internasional.

Langkah tersebut perlu dilakukan untuk menyeimbangkan kepentingan investor asing


dengan keperluan melindungi kedaulatan ekonomi nasional.

Pemerintah diimbau berhati-hati dan meninjau ulang rencana memasukkan asas


pengecualian aturan atau grandfather clause dalam template perundingan bilateral
investment treaty (BIT) atau perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman
modal (P4M). Menurutnya, perubahan mendasar dalam skema BIT harus
mengedepankan keutuhan kedaulatan Indonesia dalam mengeluarkan atau
memastikan efektivitas dari kebijakan atau peraturan yang ada dalam negeri.

http://igj.or.id/pemerintah-didesak-batalkan-bit-indonesia-singapura/

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bdda8eb74b90/ada-potensi-gugatan-investor-asing-di-
balik-perjanjian-investasi-bilateral-indonesia-singapura
https://igj.or.id/kedaulatan-dan-sengketa-investasi/

Anda mungkin juga menyukai