PENDAHULUAN
Menurut Pompe
Hukum Pidana Semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatanperbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macamnya
pidana itu.
Menurut Simons
Hukum Pidana Semua perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dan yang
diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa yang tidak
menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan oleh
negara yang berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut.
Hukum pidana adalah seperangkat norma/aturan yang berlaku yang berisikan perintah,
larangan, kebolehan serta mengandung sanksi yang nyata tentang perbuatan apa yang dilarang,
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dan sanksi apa yang dapat dijatuhkan.
Perbuatan
Pidana
Pertanggungjawaban
Pidana
Sanksi
Pidana
Perbuatan Pidana
Perbuatan itu melanggar hukum.
Pertanggungjawaban Pidana
Orang yang melanggar hukum.
Sanksi Pidana
Ancaman pidana harus tetap merupakan ultimum remedium (upaya terakhir dalam
hal penegakan hukum).
BAB II
SEJARAH SINGKAT HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Zaman VOC
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku didaerah yang dikuasai oleh VOC ialah :
1) Hukum statute yang termuat didalam: Statuten van Batavia
2) Hukum Belanda kuno
3) Asas-asas hukum Romawi
Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statute itu ialah sebagai pelengkap, jika
statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan,
sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht).
D. Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi
kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
mengatakan : Segala badan Negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA
A. Pengertian
Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum
perdata. Dalam gugatanperdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar
jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang
sepadan untuk mengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana sebaliknya, seberapa
jauh terdakwa merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa
karena telah melanggar hokum (pidana).
Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.
Jika seorang anak dimasukkan ke pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki
tingkah lakunya yang buruk.
B. Tujuan Pidana
Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R dan
satu D. tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan satu D ialah
Deterrence, yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan
khusus dan pencegahan umum).
Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan
berguna bagi masyarakat.
Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual
maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan
kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18, dianut antara lain oleh Immanuel
kant, Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak, dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya
pada filsafat katolik dan sudah tentu juga sarjana Hukum Islam yang mendasarkan teorinya
pada ajaran kisas dalam Al-Quran.
Teori kedua ialah Herbart yang mengikuti Aristoteles dan Thomas Aquino yang
mengatakan bahwa, apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana, maka timbullah perasaan
tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika.
Teori ketiga adalah Hegel yang mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinkan
berlakunya suatu kehendak subjektif yang bertentangan dengan hukum.
Teori keempat, pertama kali dikemukan oleh Heymans yang diikuti oleh Kant,
Rumelin, Nelson, dan Kranenburg. Asas persamaan hokum yang berlaku bagi semua
anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hokum yang sama terhadap setiap
anggota masyarakat.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 6
Teori kelima dikemukakan oleh Heymans yang mengatakan bahwa keperluan untuk
membalas tidak ditujukan kepada persoalan: apakah orang lain mendapat bahagia atau
penderitaan, tetapi keperluan untuk membahas itu ditujukan kepada niat masing-masing
orang.
Teori yang keenam diperkenalkan oleh Leo Polak sendiri, berpangkal pada etika.
Menurut etika Spinoza, tiada seorangpun boleh mendapatkan keuntungan, karena suatu
perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya (nemalis expeidiat esse malos).
BAB IV
RUANG LINGKUP KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum didalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli
didalam bahasa Belanda disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata, maka akan
berbunyi: Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana, selain berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya (Nullum Delictum Nulla Poena
Sine Praevia Legi Poenali).
Asas ini tercantum juga didalam Hukum Acara Pidana (Pasal 3 KUHP/Pasal 1
RKUHP) yang mirip dengan pasal 1 Strafvordering (KUHAP) Belanda, yang berbunyi:
Strafvordering heft allen plaats op de wijze, bij de wet voorzien (Hukum Acara Pidana
dijalankan hanya menurut cara yang ditentukan Undang-Undang).
Dasar pemikiran asas legalitas menurut Klaas Rozemond ialah :
1. Adanya kepastian hukum (rechtszekerheid)
2. Legitimasi demokratis (democratische legitimatie)
B. Penerapan Analogi
KUHP RRC mengenal juga analogi yang tercantum didalam pasal 79 KUHP RRC
yang berbunyi: jika suatu kejahatan tidak diatur secara tegas didalam ketentuan Khusus
Undang-Undang ini, tetapi harus diajukan kepada Mahkamah Agung Rakyat untuk
disetujui. Jadi, analogi diperkenankan, tetapi harus diperkuat oleh Mahkamah Agung.
Penerapan analogi menurut Hermann Mannheim, tidak menunjukkan suatu Negara
demokratis atau totaliter, karena KUHP Italia Fascist 1930 tegas melarang analogi,
sedangkan Negara demokrasi seperti Denmark menerima analogi. Jerman Timur (dulu) juga
menganut asas legalitas dan melarang analogi.
Penerapan analogi hanya diizinkan kata Pompe, jika ditemukan adanya kesenjangan
didalam Undang-Undang yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat
dipikirkan (hal-hal baru) oleh pembuat Undang-Undang dan karena itu Undang-Undang tidak
merumuskan lebih luas, sehingga meliputi hal-hal itu didalam teksnya.
Sebagai suatu kesimpulan, dapat dikatakan bahwa memang ada kekhawatiran dengan
memakai analogi asas legalitas dibahayakan. Hal ini dapat dilihat pada zaman Hitler. Tetapi
jika yang dimaksud adalah penerapan analogi secara terbatas dalam arti sama dengan
penafsiran ekstensif, sebagai contoh arrest aliran listrik, dan sekarang ini delik-delik
dibidang computer, maka sebenarnya masalah yang diperdebatkan hanya secara teoritis yang
hasilnya sama saja.
C. Hukum Transitoir (Peralihan)
Asas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum didalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP, dibatasi dengan kekecualian yang tercantum didalam ayat 2 pasal itu.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 8
Asas Perlindungan
atau
Asas Nasional Pasif
Asas Personalitas
atau
Asas Nasional Aktif
Asas Teritorialitas
Asas Universalitas
Asas
Hukum
Pidana
1. Asas Teritorialitas
Pasal 2 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, tindak pidana yang terjadi di wilayah
Indonesia (baik di daratan, lautan maupun udara) maka akan dikenakan aturan hukum pidana
Indonesia baik itu dilakukan oleh warga Negara atau warga asing.
Pasal 3 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia.
Ketentuan pasal diatas merupakan perluasan dari Asas Teritorialitas Pasal 2 KUHP.
Dan menunjukkan bahwa :
a) Jika kendaraan/pesawat tersebut berada dilaut lepas yang berlaku adalah ketentuan
pidana Indonesia.
b) Jika seorang yang berada diatas kendaraan/pesawat tersebut sedang berlabuh di
tempat asing melakukan suatu tindak pidana, oleh penguasa asing belum dituntut,
maka sekembalinya ke Indonesia petindak tersebut dapat dituntut, tetapi jika sudah
selesai secara juridis maka berlaku asas nebis in idem.
c) Sebaliknya jika ada seseorang asing yang berlabuh/mendarat kendaraan/pesawat di
Indonesia melakukan tindak pidana dapat dituntut sesuai ketentuan pidana Indonesia.
Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
(2)
Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara
atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan
oleh Pemerintah Indonesia;
(3)
Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas
tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia termasuk pula pemalsuan
talon, tanda deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan
tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan suratsurat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak pals.
(4)
Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446
tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 10
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan yang
mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Ketentuan pasal diatas mengutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan suatu negara, atau dengan kata lain yang diutamakan adalah keselamatan
kepentingan
suatu
negara.
Sehingga
asas
ini
dinamakan
asas
perlindungan
Ketentuan Hukum Pidana Indonesia dapat diberlakukan terhadap WNI maupun WNA
baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia untuk melindungi kepentingan hukum
Indonesia, seperti yang disebut Pasal 4 KUHP.
Pasal 4 KUHP adalah jenis kejahatan yang mengancam kepentingan hukum Indonesia
yang mendasar, berupa keamanan, dan keselamatan negara, perekonomian Indonesia,
serta sarana dan prasarana angkutan Indonesia.
Pasal 5 KUHP
Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga
Negara yang di luar Indonesia melakukan :
Ke-1 : Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan
Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.
Ke-2 : Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundangundangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan
pidana.
(2)
Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika
terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, bagi warga negara yang melakukan
tindak pidana di luar wilayah Indonesia menyangkut pasal-pasal yang tertera pada ayat (1)
Pasal 5 KUHP, maka pelakunya akan dituntut menurut aturan hukum pidana Indonesia oleh
pengadilan Indonesia. Kepentingan nasionalnya disini terlihat agar pelaku tindak pidana yang
warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar negara Indonesia, tidak
diadili dan dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa hukum atau
perbuatan pidana itu dilakukan. Inti dari asas ini, yaitu :
-
Bergantung atau mengikuti subyek hukum atau orangnya yakni warga negara di manapun
keberadaannya (Nasional Aktif).
Diatur dalam Pasal 5 KUHP dan diperluas Pasal 5 ayat (2), diperlunak Pasal 6, diatur
lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP.
Pasal 6 KUHP
Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan
pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan,
terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
Tertonjolkannya asas personalitas dalam pasal 5 dan 6 KUHP, jelas ditentukan secara
tegas bahwa subyeknya adalah warga negara Indonesia. Perbedaan antara pasal 5 ayat 1 ke-1
dengan sub ke-2 ialah bahwa tersebut dalam sub ke-1 tidak dipersoalkan apakah tindakan itu
merupakan tindak pidana atau tidak diluar negeri yang bersangkutan.
Pasal 7 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat
yang di luar Indonesia melakukan salah-satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan
dalam Bab XXVIII Buku Kedua.
Ketentuan pasal diatas memperluas asas personalitas yaitu walaupun pegawai negeri
Indonesia (seseorang yang diangkat oleh penguasa umum dan ditetapkan untuk melakukan
suatu tugas umum yang merupakan sebagian dari tugas negara atau badan-badan negara)
itu pada umumnya berkewarganegaraan Indonesia, tapi tidak kurang banyaknya yang
berkewarganegaraan asing terutama dikedutaan-kedutaan RI, konsulat RI. Dalam hal ini yang
berkewarganegaraan
asing
itu
lebih
diutamakan
kepegawaiannya
dari
pada
kewarganegaraannya.
Pasal 8 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakoda dan
penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu melakukan
salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab
IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas
kapal Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.
Ketentuan pasal diatas berlaku jika :
-
4. Asas Universalitas
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam
hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal)
adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata
hukum sedunia (hukum internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 12
1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak
eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial.
3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar
kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang
mempunyainya.
4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
BAB V
INTERPRETASI UNDANG-UNDANG PIDANA
A. Pentingnya Interpretasi
Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil yang diapit oleh dua benua
[Asia dan Australia] dan dua samudra [Samudra Hindia dan Samudra Pasifik] dengan
puluhan suku bangsa yang berada adat istiadat, bahasa dan budaya, menyebabkan pentingnya
interpretasi Undang-Undang Pidana, sehingga rumusan delik yang abstrak dapat
diterjemahkan ke dalam keadaan yang konkret.
Penafsir yang paling sesuai dengan ini ialah penafsiran sosiologis atau sesuai dengan
kehidupan masyarakat setempat.
Dalam KUHP sendiri, khususnya Bab IX Buku I, tercantum penafsiran istilah secara
otentik. Ada pakar yang berpendapat, bahwa dengan penafsiran otentik atas suatu kata itu,
sebenarnya Undang-Undang sendiri telah secara tersamar menganut analogi.
Pelaksanaan peradilan pidana ditentukan oleh beberapa factor kata Herman
Mannheim. Faktor-faktor itu, ialah pertama teknik legislative yang dipergunakan untuk
merancang suatu Undang-Undang pidana, yang pada gilirannya akhirnya tergantung kepada
sifat masalah yang akan dipecahkan dengan Undang-Undang tertentu, yang kedua ialah
metode interpretasi yang akan dipergunakan oleh mereka yang dipercayakan melaksanakan
peradilan pidana, ketiga ialah sifat dan latihan pelaksana ini, yang keempat ialah sifat
pemulihan hokum yang menentukan terjaminnya kesatuan pelaksanaan peradilan
pidana.Butir kesatu dan kedua menyangkut hokum substantive, sedangkan yang ketiga dan
keempat menyangkut acara atau prosedur. Di sini, ternyata betapa pentingnya metode
interpretasi yang dipergunakan, sehingga peradilan pidana terlaksana dengan baik.
10
11
penafsiran gramatika artinya penafsiran ini berdasarkan kepada kata-kata Undang-Undang. Jika katakata Undang-Undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun
seandainya maksud pembuat Undang-Undang lain.
penafsiran sistematis atau dogmatis, interpretasi ini didasarkan kepada hubungan secara
umum suatu aturan pidana.
penafsiran historis [historia legis]. Penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat UndangUndang ketika diciptakan.
penafsiran teleologis. Penafsiran ini mengenai tujuan Undang-Undang. Ada kritikan terhadap
metode interpretasi berdasarkan tujuan Undang-Undang ini, yaitu jika melampaui kata-kata
Undang-Undang.
penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran luas. Hal ini telah dibicarakan di Bab III, dengan
hubungannya dengan analogi.
penafsiran rasional [rationeele interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada ratio atau
akal. Ini sering muncul dalam Hukum Perdata.
penafsiran antisipasi [Anticeperende interpretatie]. Interpretasi ini didasarkan kepada UndangUndang baru yang bahkan belum berlaku.
penafsiran tradisionalistik [traditionalistiche interpretatie]. Dalam hokum pun ada tradisi yang
kadang-kadang tersembunyi dan kadang-kadang jelas.
12
13
Interpretasi sosiologis, yang berdasarkan dampak waktu [zaman]. Interpretasi inilah yang
mestinya sering dipergunakan di Indonesia, agar unifikasi hokum pidana dapat menjangkau
semua golongan etnik yang beraneka ragam. Juga perkembangan kemajuan zaman.
BAB VI
PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK
A. Pengertian Delik
Hukum pidana Belanda memakai istilah Stratbaarfeit,kadang-kadang juga delict yang
berasal dari bahasa latin delictum.Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WVS
Belanda,maka istilah aslinyapun sama yaitu Strafbaarfeit.Timbulah masalah dalam
menerjemahkan istilah strafbaarfeit itu kedalam bahasa Indonesia.
Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana,karena katanya peristiwa itu adalah
pengertian yang komplit yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu
saja,misalnya matinya orang.Hukum pidana tidak melarang orang mati,tetapi melarang
adanya orang mati karena perbuatan orang lain.
Di negeri belanda dipakai diistilah feit dengan alasan bahwa istilah itu tidak meliputi
hanya perbuatan atau handelen,tetapi juga pengabaian atau nalaten.Pemakaian istilah feit itu
disana dikritik oleh Van Der Hoeven,karena katanya yang dapat dipidana ialah
pembuat,bukan feit itu.Senada dengan itu,Van Hamel mengusulkan istilah Strafwaardigfeit
(Strafwaardige artinya patut dipidana).Oleh karena itu Hazewinkle Suringa mengatakan
istilah delict kurang dipersengketakan,hanya karena istilah Strafbaarfeit itu telah biasa
dipakai.
B. Rumusan Delik
Simons yang merumuskan bahwa Strafbaarfeit ialah kelakuan yang diancam dengan
pidana yang bersifat melawan hokum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan
oleh orang ang ampu bertanggung jawab.Jonkers dan Utrech memandang rumusan simons
merupakan rumusan yang lengkap,yang meliputi:
a)
b)
c)
d)
member contoh rumusan demikian seperti dibuat oleh Clark Marshall yang member batasan
delik atau crime.
Yang dilarang ialah perbuatan (termasuk pengabaian) dan yang diancam dengan
pidana ialah orang yang melakukan perbutan atau pengabaian itu. Hazewinkle-Suringa
menulis bahwa sesuai berfungsinya system undang-undang pidana belanda,lebih baik
dikatakan suatu kelakuan manusia (yang meliputi perbuatan dan pengabaian).Yang
memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana.
Jadi meskipun yang memisahkan antara Actus reus pada kalimat pertama dan
Mensrea pada kalimat kedua,ia tidak memisahkan secara tajam antar keduanya.Yang pertama
bersifat konkrit,dan yang kedua bersifat umum.Ia menunjuk putusan Hooge Raad 1946,N.J.
1946 No.548,mengenai Melawan Hukum sebagai dapatnya dipidana (Strafbaarfeit) suatu
perbuatan.
E. Pembagian Delik
Delik ini dapat dibedakan atas berbagai pembagian tertentu, seperti berikut ini :
a. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en overtredingen)
b. Delik Materiel dan delik formel (materiel en formele delicten)
c. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten en omissiediedelicten)
d. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en voort gezette
delicten)
e. Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten)
f. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samengestelde delicten)
g. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi (eenvoudige en gequalificeerde delicten)
h. Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (doleuse en culpose delicten)
i. Delik politik dan delik komun atau umum (politieke en commune delicten)
j. Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en commune delicten)
k. Delik delik dapat dibagi juga atas kepentinganhukum yang dilindungi, seperti delik
terhadap keamanan negara, delik terhadap orang, delik kesusilaan, delk terhadap benda
dan lain-lain.
l. Untuk Indonesia, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 284,
dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, teroroisme,
dan lain-lain.
Pembagian delik tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1. Delik kejahatan dan pelanggaran : Delik ini muncul di dalam WvS (KUHP) Nederland
tahun 1986, yang kemudian turun ke WvS (KUHP) Indonesia tahun 1918. Pembagian
delik atas kejahatan dan pelanggaran di dalam Ned WvS 1886 dan WvS (KUHP)
Indonesia 1918 itu menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan
sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur di dalam undang-undang, sudah
dipandang sebagai seharusnya dipidana (strafwaardig), sedangkan pelanggaran sering
disebut sebagai delik undang-undang, artinya barulah karena tercantum di dalam undangundang menyatakan sebagai dapat dipidana. Pasal itu misalnya Pasl 489 (Artikel 424
Ned.WvS, kenakalan terhadap orang atau barang sehingga dapat mendatangkan bahaya
atau kerugian atau kerusakkan), Pasal 490 (Artikel 425 Ned WvS), yaitu perbuatan
menggalakan hewan terhadap orang, Pasal 506 (Artikel 432 ayat 3 Ned WvS), yaitu
muncikari. Secara Kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan
pelanggaran itu :
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 19
yang mengakibatkan kematian. Sebaliknya ialah delik ber-privilege, bentuk khusus yang
mengakibatkan keadaan-keadaan pengurangan pidana (tidak menjadi soal apakah itu
unsur ataukah tidak), dipidana lebih ringan dari bentuk dasar, misalnya pembunuhan anak
sendiri karena takut ketahuan melahirkan, dipidana lebih ringan dari pembunuhan biasa.
7. Delik yang dilakukan dengan sengaja dan delik kelalaian (culpa) penting dalam hal
percobaan, penyertaan, pidana kurungan, pidana perampasan. Unsur-Unsur delik yang
diliputi culpa: Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan
perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai de
nogide en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid atau tanpa disertai kehati-hatian
dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut
Profesor SIMONS, culpa itu pada dasrnya mempunyai dua unsurmasing-masing het
gemis aan voorzichtigheid dan het gemis van de voorzienbaarheid van het gevoig atau
masing-masing tidak adanya kehati-hatian dan kurangnya perhatian terhadap akibat
yang dapat timbul.
8. Delik politik dibagi atas : yang murni, yaitu tujuan politikyang hendak dicapai yang
tercantum dalam Bab 1 Buku II, seperti Pasal 107 KUHP. Di dalam konperensi hukum
pidana di Kopenhagen 1935 diberikan definisi tentang delik politik sebagai berikut :
Suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi negara dan juga
hak-hak warga negra yang bersumber dari situ. Delik politik campuran, setengah delik
poliotik setengah delik komun (umum) seperti pembunuhan seorang tiran. Di sini
pembunuhan politik.
9. Dengan Delicta propria diartikan delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai kualitas tertentu, seperti delik jabatan, delik militer, dan sebagainya.
10. Lihat judul-judul bab pada Buku II KUHP
satu locus delicti yang berarti berlebihan untuk mencari locus delicti yang sebenarnya
yang mnyampingkan semua yang lain. Tempat berita dan dokumen dari penipu diterima
oleh korban harus dipandang sebagai tempat bersama locus delicti. Selanjutnya HR
tanggal 4 Februari 1958, 294; memutuskan tempat surat penghinaan dikirim dan tempat
orang yang dihina menerimanya sebagai locus delicti. Lebih lanjut, HR 27 April 1993,
NJ. 1993, 744; memutuskan bahwa delik dilakukan di tempat-tempat secara bersama di
mana bilyet pemberitahuan diserahkan. Di Jerman ajaran ini sudah masuk ke dalam
KUHP (STGB) Part 9.
Dalam hal delik omisi locus delicti ialah tempat perbuatan yang diabaikan itu
seharusnya dilakukan (HR 19 April 1940, NJ. 1940, 805). Tempat- tempat itu sering
merupakan kebetulan.
Penyertaan seperti pemancingan (uitlokking), membuat orang lain melakukan (doen
plegen) dan pembantuan mengenal locus delictinya sendiri. Misalnya dalam kasus
penyerbuan kantor PDI pada tanggal 27 Juli 1996, tempat pemancingan untuk melakukan
penyerbuan di tempat lain, tetapi locus delicti penyerbuan ialah di Jl. Diponegoro.
BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELAWAN HUKUM
A. Sengaja
Sengaja (opzet) berarti De (Bewuste) richting van den wil open bepaald misdrijven,
(Kehendak yang disadari yang ditunjukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Kemudian perlu
dikemukakan tentang adanya teori-teori tentang sengaja itu. Pertama-tama ialah yang disebut teori
kehendak. Menurut teori ini, maka kehendak merupakan akikat sengaja itu. Bantahan dari teori
kehendak adalah teori membayangkan teori dikemukakan oleh frank dalam tulisan Ueber den
Aufbau des Schulbegriffs, ia mengatakan secara Piskologis, tidak mungkin suatu akibat dapat
dikehendaki
B. Kelalaian ( Culpa)
Van Hamel membagi Culpa atas dua jenis: Kurang melihat ke depan yang perlu, kurang
pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib hatihati.
Tetapi Memori mengatakan, bahwa kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan.
Bagaimana pun juga culpa itu dipandang lebih ringan disbanding sengaja. Dikenal juga di
Negara
Anglo-Sexson.
Disebut
dalam
pembunuhan
pada
pasal
359
KUHP.
Dalam pengertian hokum pidana dapat disebut cirri atau unsure kesalahan dalam arti
yang, yaitu: Dapatnya dipertanggung jawabkan pembuat. Tidak adanya dasar peniadan pidana
yang menghapus dapatnya dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Adanya kaitan piskis antara pembuat dan perbuatan yang adanya sengaja atau kesalahan
dalam arti sempit (Culpa).
D. Melawan Hukum
E. Subsosialitas (subsocialiteit)
Subsosialitas adalah tingkah laku akan penting bagi hukum pidana jika perbuatan itu
mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali jika tidak ada bahaya
demikian, maka unsur subsosialitas tidak ada.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 24
Didalam hukum pidana jerman yang diikiuti Zevenbergen di Negeri belanda, diterima
adanya delik dengan syarat Taat bestandmassikeit, yang berarti bahwa semua rumusan delik
tidak perlu semua bagian inti ada. Unsar-unsur seperti melawan hukum dan patutnya sesuatu
perbuatan pidana walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik. Sebaliknya, di Jerman
ajaran ini diganti oleh Wesenchau pada tahun 1930. ajaran Wesenchau mirip sekali dengan
ajaran melawan hukum yang materiel. Ini adalah bahwa ajaran sekali pun seuatu perbuatan telah
selesai dengan rumusan delik didalam Undang-undang pidana belumlah otomatis merupakan
suatu delik. Perbuatan pada dasarnya Pada hakikatnya merupakan delik sesuai dengan rumusan
delik yang dipandang sebagai delik.
BAB VIII
DASAR PENIADANAAN PIDANA
A. Pengertian
Dasar peniadaan pidana lazim dibagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf :
1. Dasar Pemaaf, unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada
pembuat. Maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini misalnya:
a. adanya ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (Pasal 44 ayat 1)
b. adanya daya paksa mutlak dan perlampuan keadaan darurat (noodtoestandexces,
Pasal 48)
c. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2)
d. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51
ayat 2)
2. Dasar Pembenar, sifat melawan hukum perbuatan hapus atau tidak terbukti, maka
perbuatan terdakwa dianggap patut dan benar sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh
hakim. Dalam hal ini misalnya :
adanya daya paksa relative dan keadaan darurat (overmacht, Pasal 48)
akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van
Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa
seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan
nilai dari perbuatannya.
b. Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c. Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara
negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan
bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undangundang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan
berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim, maka dalam hal
kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu
mengenai jiwa seorang yang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana karena
melakukan perbuatan.
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si
pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu
bertanggungjawab, yaitu :
metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal
yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmapuan bertanggungjawab;
metode psikologis, dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada kemudian dari ciriciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggungjawab
atau tidak;
metode gabungan.
Dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan bertanggungjawab memerlukan selain
perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakiy yang disebabkan gangguan kejiwaan,
juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan.
Misalnya, hanya orang yang disebut gila saja yang dianggap tidak mampu
bertanggungjawab terhaap semua delik, tetapi semua penyakit jiwa tertentu yang hanya ada
hubungan kausalnya dengan pencurian misalnya seperti cleptomanie, tidak membebaskan
pembuat dari tanggungjawab pidana terhadap delik-delik lain, misalnya penganiayaan,
pembunuhan, dan sebagainya. Oleh karena itu kerjasma hakim dan psikiater menjasi syarat
mutlak tentang penentuan bertanggungjawab atau ketidakmampuan bertanggungjawab.
Hal ini diatur dalam Pasal 48 KUHP menyatakan barangsiapa yang melakukan
perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Menurut MvT (penjelasan
KUHP) bahwa daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan.
Menurut Jonkers, Daya Paksa terbagi dalam 3 macam, yaitu :
1. Daya paksa mutlak;
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 27
E. Pembelaan Terpaksa
Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) tidak dapat dipidana barangsiapa melakukan
perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.
Dalam hal ini, asas yang harus diperhatikan adalah asas subsdiariteit dan asas
propositionaliteit. Asas ini mensyaratkan bahwa bilamana terdapat cara pembelaan yang
sifatnya lebih ringan, maka yang diserang tidak boleh meggunakan cara yang memberikan
kerugian yang lebih besar pada penyerang. Dengan kata lain pembelaan yang diberikan itu
haruslah tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan, yang diserang harus memilih
cara yang tidak mendatangkan kerugian yang lebih besar pada penyerang daripada yang
perlu. Kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai harus maksimal dan seimbang dengan
kepentingan yang dikorbankan.
Menurut Zainal Abidin Farid, Noodweer ialah pembelaan yang diberikan karena
sangat mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. Yang mana serangan
itu dilakukan terhadap dirinya sendiri atau diri orang lain terhadap serangan yang bersifat
fisik; dalam hal membela kehormataan kesusilaan diri sendiri atau orang lain; dalam hal
pembelaan harta benda sendiri atau orang lain. Dalam noodweer ada alas an pembenar dalam
dasar peniadaan pidana.
Syarat pembelaan terpaksa :
untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat mewalan hukum;
overmacht terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh yang diserang (korban)
adalah perbuatan yang memang dimaksudkan dan dinginkan oleh penyerang;
orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki oleh si
penyerang, karena dia tidak berdaya melwan serangan yang memaksa itu;
tidaklah ditentukan bidang kepentigan hukum apa dan dalam hal apa penyerangan yang
dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa;
pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik
antara dua kepentingan hukum, konflik antara kewajiban hukum dan konflik antara
kewajiban dan kepentingan hukum.
Pada Noodweer:
Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak
menjadi atau maksud si penyerang;
Pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan
untuk berbuat untuk melawan serangan;
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 30
Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu tidak dapat dipidana.
Apa yang dimaksudkan dengan noodweer exces ialah perlampuan batas pembelaan
terpaksa, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang
lain yang mengancam dan dapat terjadi walaupun serangan telah tiada. noodweer exces
termasuk alas an pemaaf dalam dasar peniadaan pidana
Perbedaannya dengan pembelaan terpaksa (noodwer):
a. perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan
yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya
haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui
dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi dalam noodweer exces perbuatan
apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi diri apa yang diperlukan dalam hal
pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu
sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan. Misalnya seorang menyerang
lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu
(noodweer) tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat ia melawan dengan
menembaknya (noodweer exces).
b. dalam hal pembelaan terpakasa, perbuataan pembelaan hanya dapat dilakukan pada
ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh
dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi dalam noodweer exces
perbuataan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.
Tidak dapat dipidananya si pembuat noodweer karena sifat melawan hukum pada
perbuatannya jadi merupakan alasan pembenar. Sedangkan pada noodweer exces adanya
alasan penghapusan kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar
tidak dipidananya si pembuat noodweer exces terletak pada diri orangnya bkan pada
perbuatannya.
Perbuatan
masuk akal yang menyebabkan baginya, dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah.
Dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah memerlukan syarat yaitu : orang yang
memberikan perintah itu disdadarinya adalah benar yang berhak. Dan mengenai apa yang
menjadi isi perintah itu disadarinya memang masuk dalam ruang lingkup kewenangan
yang memberi perintah.
Contoh: seorang penyidik menurut Pasal 16 (1) KUHAP berwenang memberi perintah
pada penyidik pembantu utnuk melakukan penangkapan. Andaikata perintah itu ditujukan
pada orang yang telah diketahui penyidik bukan orang yang boleh ditangkap, tetapi adalah
orang yang dibenci, apabila 2 syarat telah dipenuhi maka penyidik pembantu menjadi masuk
akal apabila dia membela dirinya dengan beritikad baik dalam menjalakan perintah iitu dan
dia tidak dapat dipidana. Sikap batin mengira perintah yang sah adalah harus ditujukan
pada kedua faktor diatas.
Tidak sahnya perintah ada 2 kemungkinan (1) orang yang memberi perintah secara objektif
bukanlah orang yang berwenang (2) apa yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar.
b. Syarat Objektif; syarat kedua berupa isinya perintah harus menjadi bidang pelaksaannan
tugasnya, adalah berupa hubungan antara jkabatannya dan tugas pekerjan suatu jabatan.
Pada jabatan publik terdapat tugas jabatan tertentu baik merupakan pelaksanaan hak
jabatan dan atau pelaksanaan kewajiban jabatan.
Misalnya : pejabat penyidik pembantu atas dasar perintah penyidik dia berwenang
melakukan penangkapan yang sekaligus berupa kewajiban untuk melaksanakan perintah itu,
ini adalah masuk ruang lingkup pekerjaan dalam jabatannya. Andaikata si penyidik
memerintahkan pada penyidik pembantu untuk memukuli tersangka yang tidak memberikan
keterangan berisi pengakuan, lalu perintah itu dilaksankan. Maka perbuatan penyidik
pembantu ini sudah berada diluar ruang lingkup pekerjaan jabatannya, dan dia bertanggung
jawab sepenuhnya taas penyiksaan.
Hak mendidik orang tua dan wali terhadap anaknya, hak mendidik guru, dosen, (dan guru
mengaji) terhadap murid/siswanya.
Hak jabatan atau pekerjaan dokter, apoteker, bidan, dan peneliti ilmu-ilmu alam.
izin mereka yang kepentingannya dilanggar, kepada orang yang melanggar kepentingan
itu, yang perbuatannya merupakan delik seandainya tak ada izin tersebut.
BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG SEBAB AKIBAT
A. Pengertian
Setiap kejadian baik kejadian alam maupun kejadian social tidak lah terlepas dari
rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah merupakan rangkaian
akibat dari peristiwa alam atau social yang sudah ada sebelumnya. Setiap peristiwa social
menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya yang satu
mempengaruhi yang lain sehingga merupakan satu lingkaran sebab akibat.
Hal ini disebut hubungan kausal yang artinya adalah sebab akibat atau kausalitas.
Penentuan sebab suatu akibat dalam hokum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit
dipecahkan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP], pada dasarnya tidak
tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan
suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik
tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya delik atau
actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat tertentu, yaitu a. delik
materiel, misalnya pembunuhan [Pasal 33 KUHP]. Penipuan [Pasal 38 KUHP]. b. delik culpa,
misalnya karena kelalainnya mengakibatkan kematian orang lain [Pasal 359 KUHP], karena
lalainya menyebabkan lukanya orang lain [Pasal 360 KUHP], dan sebagainya.
Ada pula yang berupa syarat yang memperberat
tertentu pada suatu delik atau delik-delik yang dikualifikasikan karena akibatnya misalnya
penganiayaan yang berunsurkan luka berat [Pasal 351 ayat-ayat KUHP] dan matinya orang lain
[Pasal 351 ayat 3 KUHP], Pasal 18tujuh ayat 3 KUHP yang mengandung unsure timbulnya
bahaya terhadap nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Sedangkan apabila
perbuatan itu dilakukan dengan suatu kesengajaan [Pasal 354 KUHP] untuk membuat luka berat
orang lain, kemudian apabila kesengajaan itu dilakukan untuk atau demi kematian orang lain.
Di luar ketiga macam delik tersebut di atas, ada delik formel yang tidak mensyaratkan
adanya akibat tertentu, yaitu misalnya sumpah palsu [Pasal 242 KUHP], pemalsuan surat-surat
[Pasal 263 KUHP], pencurian [Pasal 362 KUHP], penghasutan [Pasal 160 KUHP], pemalsuan
materai dan merek [Pasal 253 KUHP], dan sebagainya. Dalam hal ini delik formel ini, ajaran
kausalitas tidak diperlukan, karena tidak disyaratkan adanya akibat tertentu.
B. Teori-teori Kausalitas
Keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadangkala menimbulkan berbagai
permasalahan yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang
menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan factor
berangkai yang menimbulkan akibat.
Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas tersebut adalah Von Buri dengan
teori condition sine qua non yang pertama kali dicetuskan pada tahun 18tujuh3.
Menurut Von
Buri bahwa semua factor, yaitu semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan
yang tidak dapat weggedacht [dihilangkan] dari rangkain factor-faktor yang bersangkutan harus
dianggap causa [sebab] akibat itu. Tiap factor yang dapat dihilangkan [weggedacht] dari
rangkaian factor-factor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, tidak
diberi nilai. Demikian sebaliknya tiap factor yang tidak dapat dihilangkan [niet weggedacht] dari
rangkaian factor-factor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya akibat yang
bersangkutan, harus diberi nilai yang sama. Semua factor tersebut adalah sama dan sederajat.
Penganut teori Von Buri adalah Van Hamel yang berpendapat bahwa pada prinsipnya
teori Von Buri dapat diterima walaupun harus diimabangi dengan restriksi [pembatasan].
Menurut Van Hamel restriksi tersebut dapat ditemukan dalam pelajaran tentang kesengajaan dan
kealpaan [opzet en schuldleer].
Dalam perkembangannya banyak bermunculan teori-teori baru yang berusaha untuk
memperbaiki serta menyempurnakan kekurangan di dalam teori Van Buri, di antaranya adalah
teori mengindividualisasikan [individualiserende theorien] yang dipelopori oleh Birkmeyer.
Pendapat Birkmeyer berpangkal pada dalil Ursache ist die wirksamste Bedingung, yang menjadi
causa adalah factor [Bedingung, kejadian] yang paling berpengaruh [atas terjadinya delik yang
bersangkutan]. Teori ini ternyata juga tidak dapat menyelesaikan masalah terutama apabila di
antara semua factor itu sama berpengaruh atau apabila sifat dan coraknya dalam rangkaian
factor-faktor itu tidak sama.
Dari ketidakpuasan terhadap teori yang mengindividualisasi, menimbulkan teori baru
yang menggeneralisasi [generaliserende theory]. Pada prinsipnya teori tersebut menjelaskan
bahwa teori Vin Buri terlalu luas sehingga harus dipilih satu factor saja yaitu yang menurut
pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai causa [sebab].
Teori yang menggeneralisasi dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Teori adaequaat dari Von Kries > Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbang,
sepadan. Jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau
sebading dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui.
2. Teori obyektif nachttraglicher Prognose dari Rumelling. Teori Rumelling
mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah factor obyektif yang
diramalkan dari rangkaian factor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik
setelah delik itu terjadi. Tolak ukur teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi
menetapkan harus timbul suatu akibat.
3. Teori adaequaat dari Traeger > Menurut Traeger bahwa akibat delik haruslah in het
algemeen voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai
suatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh Van
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 35
Bemmelen bahwa yang disebut dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge
mate van waarschijnlijkheid yang artinya adalah disadari sebagai sesuatu yang sangat
mungkin dapat terjadi.
Sebagaimana diketahui delik omisi atau pengabaian ada dua macam, yaitu delik omisi yang
sebenarnya dan yang tidak sebenarnya. Menurut Vos pada delik omisi yang sebenarnya tidak ada
masalah kausalitas, dapat dipidana karena tidak berbuat, tidak ada akibat karena tidak berbuat.
Pada delik omisi yang tidak sebenarnya, muncul masalah kausalitas.
Pompe menerima kausalitas pada pengabaian, tetapi sejauh pengabaian itu menimbulkan
akibat. Jadi, dia juga menerapkan formula sebab adekuat dalam pengabaian.
Van Hamel menerapakan ajaran kausalitas condition sine qua non secara konsekuen, karena
ia mengatakan bahwa jika pengabaian itu ditiadakan dari pikiran [wegdenkt], maka tidak ada
akibat juga.
BAB X
HUKUM PENITENSIER
A. Pendahuluan
Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuanketentuan atau peraturan-peraturan ang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan
hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum
B. Jenis-jenis Pidana
Jenis-jenis Pidana
a. Pidana Pokok
i. Pidana Mati
ii. Pidana Penjara
iii. Pidana Kurungan
iv. Pidana Tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 tahun 1946)
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
a. Pidana Pokok
Rincian pidananya adalah sebagai berikut :
1. Pidana Mati
Delik yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu
:
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8
Pasal 444 k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2) KUHP.
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Tetapi juga
berupa pengasingan, misalnya di Rusia pengasingan Siberia dan juga berupa pembuangan ke
sebrang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.
3. Pidana Kurungan
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai 2 tujuan. Pertama ialah
sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delikdelik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu dan pailit sederhana.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 37
Yang kedua sebagai custodia simpleks, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik
pelanggaran
4. Pidana Denda
Pada zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya
pidan ayang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan disediakan bagi para politis yang melakukan kejahatan yang disebabkan
oleh ideologi yang dianutnya tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan
tersebut diterapkan.
b. Pidana Tambahan
Pidana tambahan disebut dalam pasal 10 KUHP pada bagian b, yang terdiri dari :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
Sumber hukum penitensier( pasal 10 KUHP ) yang berbunyi pidana terdiri atas :
perbuatan yang asalnya bukan merupakan perbuatan pidana dikarenakan pengaruh kondisi social
yang berkembang yang berkaitan dengan rasa keadilan dalam masyarakat maka perbuatan itu
akhirnya dijadikan merupakan perbuatan pidana. Contoh lahirnya UU penyalahgunaan narkotika
( UU No. 9 / 1976), dimana berdasarkan UU ini penyalahgunaan narkotika merupakan perbuatan
yang dapat dipidana.
De kriminalisasi adalah suatu perbuatan yang secara konkrit diancam pidana dalam
hukum positif dikaernakan pengaruh perubahan perkembangan masyarakat berubah menjadi
perbuatan yang tidak dapat dipidana. Contoh pasal 534 KUHP, dalam pasal ini disebutkan
barang siapa yang memperagakan alat kontrasepsi pencegah kehamilan di muka umum diancam
dengan hukuman penjara, dikarenakan khususnya di Indonesia dalam kerangka pelaksanaan
program KB dimana alat kontrasepsi itu dianjurkan untuk digunakan oleh BKKBN, dengan
kondisi demikian maka pasal 534 KUHP itu sampai saat ini tidak memilik daya paksa.
Masalah pokok didalam Hukum Penitensier
1. Pemidanaan ( fungsi Hakim Besar )
2. Proses pemidanaan (tugas atau fungsi LP)
3. Terpidana ( siapa yang diproses )
Alasan perubahan KUHP
Pertimbangan politis
Bahwa RI sudah merdeka 60 tahun dan sudah sepantasnya dan sewajarnya memilik
KUHP Nasional hasil karya bangsa sendiri karena KUHP yang ada sekarang ini adalah hasil
karya pemerintahan kolonial Belanda dan dibuat diBelanda, bila bangsa Indonesia memiliki
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 38
KUHP Nasional dapat menumbuhkan kebanggaan nasional yang dapat mengangkat harkat dan
martabat bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain di dunia.
Pertimbangan sosiologis
Karena KUHP yang kita miliki sekarang dibuat oleh pemerintahan Belanda sudah barang
Pertimbangan praktis
KUHP yang ada sekarang di Republik Indonesia adalah merupakan hasil terjemahan
tidak resmi, keberadaanya itu hanyalah merupakan hasil terjemahan dari para ahli hukum kita
yang kebetulan menguasai bahasa Belanda, dengan demikian dengan adanya hasil terjemahan
beberapa para ahli menurut Prof. Muladi tidak mustahil adanya hasil terjemahan yang tidak
konsisten satu sama lainnya sehingga dapat menimbulkan kerancuan bagi para penegak hukum.
Tujuan pemidanaan
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hokum demi
pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
baik dan berguna dalam masyarakayt.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana dengan memulihkan
keseimbangan dan medatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada diri terpidana.
Kewajiban Hakim sebelum menjatuhkan pidana
a. Kesalahan sipelaku
b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
c. Cara melakukan tindak pidana
d. Sikap batin sipelaku
e. Riwayat hidup dan keadaan sosial sipelaku
f. Sikap sipelaku sesudah melakukan tindak pidana
g. Pengaruh pidana terhadap masa depan sipelaku
h. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban & keluarga
j. Tindak pidana yang dilakukan terencana atau tidak
Hak Narapidana
Hak remisi
Hak asimilasi
Kewajiban Narapidana
Mantaati semua peraturan tata tertib yang diterapkan dilingkungan LP tersebut,meliputi :
Kewajiban bekerja
Proses pelaksanaan pembinaan terhukum atau narapidana di Indonesia dihadapkan pada kendala
yang pokok yaitu :
Dari segi struktur bangujnan LP seratus persen masih menggunakan struktur kepenjaraan,
padahal pedoman-pedoman kepenjaraan sudah dihapus sejak program pemasyarakatan
dicanangkan pada tahun 1970.
Objek hukum penitensier adalah putusan Hakim yang berkaitan dengan perkara pidana, putusan
Hakim dalm kasus pidana, dalam kitab undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia,ada 3
(tiga) jenis yaitu
Putusan bebas
Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan atau didakwakan oleh jaksa penuntut
umum sama sekali tidak terbukti dipersidangan.
Dilepaskan semua dari tuntutan hukum
Putusan ini dijatuhkan oleh Hakim apabila Hakim berkesimpulan bahwa yang dituduhkan oleh
jaksa penuntut umum itu terbukti tetapi perbuatan itu bukan merupak perbuatan yang dapat
dipidana.
Contohnya kasus utang piutang yang oleh jaksa penuntut umum di dakwakan sebagai
perbuatan pidana.
Penghukuman
Putusan ini dijatuhkan apabila apa yang dituduhkan oleh jaksa penuntut umum seluruhnya
atau sebagian terbukti.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum penitensier ini hanyalah berkaitan dengan
putusan hakim yang berisi pemidanaan atau penghukuman saja.
Sering kali putusan hakim yang mengadili tindak pidana ringan putusannya itu adalah
pidana bersyarat atau disebut juga pidana percobaan.
Pidana bersyarat adalah suatu pidana dimana si terpidana tidak usah menjalani pidana
tersebut melainkan tetap berada ditengah-tengah masyarakat terkecuali bilamana si terpidana
dalam waktu masa percobaan tersebut melakukan pelanggaran tindak pidana apapun maka
hukuman penjara harus segera dilaksanakan.
Ex : Terpidana dijatuhi hukuman pidana bersyarat 1 Tahun, artinya bahwa si terpidana
tersebut tidak perlu menjalani pidananya didalam Lembaga Pemasyarakatan ( LP ) melainkan
tetap berada didalam masyarakatnya , tetapi dalam kurun waktu 1 tahun itu si terpidana tidak
boleh melakukan pelanggaran tindak pidana apapun dan apabila sebelum masa 1 tahun itu habis
si terpidana melakukan pelanggaran tindak pidana lagi maka putusan I yang berisi hukuman 1
tahun penjara harus segera dilaksanakan.
Fungsi dari penegakan hukum adalah menempatkan hukum pada posisi yang tepat
sebagai bagian usaha manusia untuk menjadikan dunia ini lebih nyaman untuk di tinggal. ( The
function of law enforcement is to put in law prover prespective as a part man effort to make this
world better place in which to life )
Hak perogatif Presiden berkaitan dengan masalah pemidanaan
1. Pemberian Grasi
Masalah grasi telah diatur tersendiri oleh undang-undang pengajuan grasi hanya dapat diajukan
oleh terhukum atau ahli warisnya, putusan grasi yang dikeluarkan oleh presiden dapat berupa :
a. Penolakan atau ditolak grasinya
b. Diterima grasinya dalam bentuk :
Pemidanaannya dirubah, contoh : Dari pidana mati dirubah menjadi pidana seumur hidup
Lama pemidanaannya, contoh : Dari pidana 20 tahun penjara dirubah menjadi pidana 10
tahun penjara
2. Pemberian Amnesti
Amnesti adalah putusan presiden yang berisi pembebasan terhadap semua terhukum khususnya
terhadap terhukum yang berkaitan dengan kejahatan politik dan maker. Masalah amnesti ini
diatur berdasrkan kepres yang bersifat situasional.Contoh : Presiden mengeluarkan Kepres No 22
Tahun 2005 tentang membebaskan semua terhukum GAM.
3. Pemberian abolisi
Abolisi adalah putusan presiden yang berisi pembebasan penuntutan hukum terhadap
kejahatan politik dan maker. Masalah abolisi ini diatur berdasarkan kepres yang bersifat
situasionalContoh : Semua anggota GAM yang menyerah setelah 15 september 2005 dibebaskan
dari penuntutan hukum.
Perjanjian ekstradisi adalah suatu perjanjian antara 2 negara yang berisi pengembalian
seorang tersangka atau terdakwa yang melarikan diri kenegara yang bersangkutan maka negara
yang kedatangan pelarian tersebut wajib menangkap dan mengembalikan ke Negara asal
sebaagaimana dalam perjanjian.
Masalah pemidnaan anak diatur oleh UU No.3 Tahun 1997
Tentang anak ini bila melihat pasal 44 KUHP disebutkan apa yang disebut anak itu
adalah manusia yang belum berumur 16 tahun, dan pasal ini dapat disimpulkan bahwa anak yang
baru lahir pun mengandung arti dapat di pidana sekalipun hal yang demikian mustahil.
Di dalam UU No.3 tahun 1997 telah digunakan model batasan usia tentang usia yang
disebut seorang anak yaitu 10 tahun sampai 18 tahun. Lahirnya UU No. 3 tahun 1997 langsung
mencbut pasal 44 tentang batasan usia.
Tentang hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap anak apabila seorang anak melakukan
tindakan pidana tidak diancam pidana mati, maka :
Hakim harus menjatuhkan pidananya dikurung 1/3 apabila tindakan pidan tersebut
dilakukan oleh orang dewasa.
Hakim dapat memutuskan apabila anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan
kepada orang tuanya.
No.3 Tahun 1997 antara lain dikatakan sejak tingkat penyidikan sampai proses sidang di
pengadilan harus bersifat tertutup untuk umum dan aparat penegak hukumnya tidak
menggunakan pakaian uniform (seragam dinas).
Pelaksanaan pemidanaannya berdasarkan UU peradilan anak bahwa di LP anak, anak
pidana ini harus mendapatkan pendidikan lanjutannya. Di dalam UU peradilan anak telah
ditentukan bahwa anak hanya boleh dipidana maximal 10 tahun, dengan kata lain terhadap
seorang anak tidak boleh dijatuhi hukuman seumur hidup dan pidana mati. Masalah pidana mati
diatur dalam UU No. 2 Tahun 1964.
Ketentuan-ketentuan pokok tentang pidana mati itu disebutkan
1. pidana mati hanya dapat dilaksanakan setelah segala upaya hukum termasuk grasi telah
ditolak oleh Presiden, dan kasasi ditolakn oleh MA
2. Apabila grasi telah ditolak oleh Presiden, penolakan itu ahrus disampaikan kepada
pengadilan dimana keputusan pidana mati dijatuhkan.
3. Oleh pengadilan penolakan upaya hukum pidana mati disampaikan kepada Kejaksaan
Tinggi sesuai dengan wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan.
4. 3 X 24 jam setelah Kejaksaan Tinggi menerima perihal penolakan dari pengadilan,
Kejaksaan Tinggi memberitahukan kepada terpidana bahwa upaya hukum telah ditolak.
5. Kejaksaan Tinggi memohon kepada Kapolda untuk menyiapkan regu tembak eksekusi
(12 orang) yang dipimpin oleh seorang perwira polisi.
6. Si terpidana mati berhak tuntunan rohaniawan sesuai dengan agama dan kepercayaanya.
7. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan apabila si terpidan dalam keadaan sakit atau hamil.
8. Permohonan terakhir siterpidana mati harus dicatat oleh petugas LP
9. Pidana mati tidak boleh dilaksanakan dimuka umum dalam arti harus jauh dari keramaian
dan tempatnya sesuai dengan wilayah hukum dimanapidana mati dijatuhkan
10. Yang menghadiri eksekusi pidana mati :Jaksa atau Hakim yang menjatuhkan pidan
mati,Dokter yang ditunjuk oleh pihak kejaksaan, rohaniawan
11. Jenazah terpidana mati harus dikembalikan kepada pihak keluarganya dan jika pihak
keluarga tidak mau menenrima jenazah tersebut segala urusn jenazah ditanggung negara
Tentang pidana penjara
Pidana penjara lamanya berdasarkan KUHP minimal 1 (satu) hari dan maximal 15 tahun
atau diperberat menjadi 20 tauhn.
Pidana penjara pelaksaannya belum tentu sesuai sepenuhnya dengan putusan Hakim,
karena setiap narapidana memiliki hak-hak remisi dan hak-hak asimilasi atau apabila
narapidana mengajukan grasi dan diterima grasinya oleh presiden bias berubah baik jenis
pidananya maupun lama pidananya.
Pidana penjara ini dalam masa reformasi sekarang masih belum sesuai dengan apa yang
diharapkan dalam system pemasyarakatan, sebagaimana yang diatur dalam UU No.12
Tahun 1995.
C. Tindakan (Maatregel)
Sering dikatakan berbeda dengan piidana, maka tindakan bertujuan melindungi
masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu
perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun
sering disebut bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan mamperbaiki terpidana.
D. Pidana Bersyarat
Pidana abersyarat yang tercatum pada pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP diwarisi
dari Belanda tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan atara keduanya.
Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak akan
melaksanakan delik apapun dalam waktu yang ditentukan sedangkan syart khusus akan
ditentukan oleh hakim dan ada juga yang disebut syarat khusus.
E. Pelepasan Bersyarat
Pada pelepasan bersyarat terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3
nya. Pelepasan bersyarat ini tidak inferatif atau otomatis. Dikatakan dapat dierikan
pelepasan bersyarat yang dikeluarkan oleh mentri kehakiman.
BAB XI
DASAR PENIADAAN PENUNTUTAN
Harus dibedakan antara dasar peniadaan pidana, seperti penulis telah uraikan dengan
dasar peniadaan penuntutan. Dasar peniadaan pidana ditujukan kepada hakim, sedangkan dasar
peniadaan penuntutan ditujukan kepada Penuntut Umum. Seperti telah diuraikan sebelumnya
bahwa dasar peniadaan pidana terbagi dua, yaitu dasar pembenar dan dasar pemaaf. Ditinjau dari
segi pandangan dualistis maka dasar pembenar meniadakan sifat melawan hukumnya perbuatan,
dan terdakwa seharusnya dibebaskan. Sedangkan bilamana terdapat dasar pemaaf berarti
perbuatan criminal terdakwa terbukti, tetapi pembuat delik dimaafkan.
Dasar Peniadaan Penuntutan yang ada di dialam KUHP adalah :
1. Ne Bis In Idem (Pasal 76)
2. Lampau Waktu/Verjaring (Pasal 79)
3. Kematian Terdakwa atau Terpidana (Pasal 77)
4. Penyelesaian di Luar Proses Pengadilan (Pasal 82)
5. Tidak adanya aduan pada Delik Aduan
Dasar Peniadaan Penuntutan di Luar KUHP :
1. Abolisi
2. Amnesti
Dasar peniadaan penuntutan di dalam Bab VIII KUHP adalah sebagai berikut :
Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yangdidakwakan
terdahulu.
Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyaikekuatan
hukum yang tetap.
Belakangan dasar Ne bis in idem Itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadapseseorang
itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakimdengan vonis yang
tidak diubah lagi. Putusan ini berisi:
1. Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa
terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dijatuhkankepadanya; atau
2. Pembebasan dari penuntutan hukum (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini hakim
memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itudibuktikan dengan
cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya
kedapatan tidak dapat dihukum, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya itu, atau
3. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa
yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.
2. Lampau Waktu/Verjaring
Daluwarsa adalah pengaruh lampau waktu yang diberikan oleh Undang-undanguntuk
menuntut seseorang tertuduh dalam perbuatan pidana. Yang menjadi dasar ataualasan pembuat
KUHP menerima lembaga lewat waktu (verjaring) adalah :
1. Sesudah lewatnya beberapa waktu, apalagi waktu yang lewat itu cukup panjang,maka
ingatan orang tentang peristiwa telah berkurang bahkan tidak jarang hampir hilang.
2. Kepada
individu
harus
diberi
kepastian
hukum
(rechtsverligheid)
terutama
3. Kematian Terdakwa/Terpidana
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 77 KUHP : Kewenangan menuntut pidana hapus jika
terdakwa meninggal dunia
Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan
maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan itu
dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harusoleh pengadilan
dinyatkaan tidak dapat diterima dengan tentunya (niet-outvanhelijk verklaard). Umumnya
demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masihharus memutuskan
perkaranya.
Dalam pasal 77 KUHP terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus
ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana
itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja artinya tidak
dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya.
Pengecualiannya diatur dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang menerangkan bahwa dalam
hal menuntut denda, ongkos perkara atau merampas barang-barang yang tertentu mengenai
pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, tuntutan itu dapat dilakukan kepada ahli
waris orang yang bersalah. Oleh karena sifat individual hukum acara pidana, maka baik
wewenang penuntut umum untuk menuntut pidana seseorang yang disangkamelakukan delik,
maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus karena kematian terdakwa atau terpidana.
demikian juga dibayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan izinamtenaar yang
ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.
Pasal 82 ayat (2)
Jika perbuatan itu terencana selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu
ataudibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama.
Pasal 82 ayat (3)
Dalam hal hukuman itu ditambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh
juga tambahan itu dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebeb pelanggaran yang dilakukan
dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu.
Pasal 82 ayat (4)
Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum cukup umur
yang pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.
Ketentuan ini memuat lembaga hukum pidana yang terkenal dengan namaafkoop yaitu
penebusan tuntutan pidana karena pelanggaran. Jadi dalam hal kejahatan afkoop ini tidak
mungkin, yang diatasnya tidak ditentukan, hukuman pokok lain dari pada denda, dengan
membayar sukarela maksimum denda.
Menurut Pasal 82 KUHP ada 2 macam syarat untuk dipenuhi agar seorang dapat lepas
dari pidana yang harus dijalankan atas pelanggaran itu, yaitu :
1. Dengan membayar secara sukarela denda tertinggi (maksimum) yangdiancamkan kepada
pelanggaran ini.
2. Dengan ijin dari pegawai yang ditunjuk undang-undang, misalnya KepalaJawatan Pajak
dalam hal orang yang melanggar peraturan di dalam hukum fiscal.
BAB XII
DASAR PEMBERATAN PIDANA
Menurut Jonkers, bahwa dasar umum pemberatan atau penambahan pidana adalah:
1. Kedudukan sebagai pegawai negeri
2. Recidive (pengulangan delik)
3. Samenloop atau Concursus (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik)
Sebelum berlakunya Undang-undang Tipikor No. 31/1999, dalam hukum pidana tidak
ada unsure menerima gaji dalam hal pegawai negeri.
Sehubungan dengan lebih dari satu delik yang dilakukan oleh satu orang, maka ada 3
kemungkinan yang terjadi yaitu :
1. Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua delik
tidaklah telah ditetapkan satu pidana karena delik yang paling awal di antara kedua delik
itu. Dalam hal ini, dua atau lebih delik itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara
dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini
tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa
delik itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup
dengan satu pidana saja tanpa memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang
diancamkan pada masing-masing delik. Misalnya dua kali pembunuhan (Pasal 338)
tidaklah dipidana dengan dua kali yang masing-masing dengan pidana penjara maksimum
15 tahun, tetapi cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun
ditambah sepertiga, Pasal 56).
2. Apabila delik yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat oleh
hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan. Pada
pemidanaan si pembuat karena delik yang kedua ini terjadi pengulangan, dan disini
terdapat pemberian pidana dengan sepertiganya.
3. Dalam hal delik yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana si pembuatnya,
namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hokum pasti, maka disini tidak terjadi
perbarengan maupun pengulangan, melainkan tiap delik itu dijatuhkan tersendiri sesuai
dengan pidana maksimum yang diancamkan pada beberapa delik tersebut.
Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi pembarengan dan disana tidak
terjadi pemberatan tetapi justru peringanan. Pendapat itu tidaklah berlaku umum karena ada
beberapa macam bentuk perbarengan dengan system penjatuhan pidananya tersendiri, dan
demikian juga tergantung dari jenis dan maksimum pidana yang diancamkan pada masingmasing delik dalam perbarengan itu.
Misalnya : yang satu pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian korban
(365 (4))diancam penjara 15 tahun, dan yang lain melakukan pemerkosaan (285) diancam
penjara 12 tahun. Maka menurut Pasal 66 hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap delik
Pasal 365 ayat 4 dengan ditambah sepertiganya menjadi maksimum 20 tahun, apabila
dipidananya tersendiri maka berjumlah 27 tahun.
Benar dalam perbarengan seperti ini terdapat peringanan bukan pemberatan, tetapi tidak
tepat pendapat Utrecht itu apabila 2 delik yang berat ancaman pidana maksimumnya berbeda
cukup jauh, misalnya terjadi pembunuhan (338) 15 tahun penjara dan pencemaran (310 (1)) 9
bulan penjara, yang dapat dijatuhkan satu pidana penjara pada si pembuat dua delik itu dengan
maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah spertiganya)., yang apabnila dipidana tersendiri secara
maksimum adalah 15 tahun 9 bulan. Dalam kasus ini jelas perbarengan adalah memperbat
pidana.
juga pendapat itu tidak tepat jika yang terjadi adalah perbarengan dengan kejahtan dan
pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 yang
menggunakan system penjatuhan pidana dengan kumulasi murni, artinya untuk si pembuat
beberapa delik itu dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan yang diancamkan pada masingmasing delik. Dalam hal ini tidak ada factor pemeberatan pidana dan peringanan pidana.
Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar memperberat pidana atau peringanan pidana,
bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkrit tertentu,
tidaklah bersifat general untuk segela kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa
hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana
yang terberat, tanpa melihat disana ada beberapa delik, maka disini perbarengan dapat dianggap
sebagai alasan pemeberatan.akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa delik, tetapi
hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan yang terberat (seperti pasal 65) maka
tampaknya ada perbarengan tidaka ada pemberatan.
BAB XIII
DASAR PERINGANAN PIDANA
Menurut Jonkers (1946 : 169), bahwa sebagai dasar peringanan atau pengurangan pidana
yang bersifat umum, biasa disebut:
a.
b.
c.
Strafrechtelijke minderjarigheid, atau orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana
(pasal 45 KUUHP).
Titel ketiga KUUHP hanya menyebut butir c, karena yang disebut pada butir a dan b
bukanlah dasar peringanan pidana yang sebenarnya. Pendapat Jonkers tersebut sesuai dengan
pendapat Hazewinkel Suringa (1973 : 571), yang mengemukakan bahwa percobaan dan
pembantuan adalah bukan suatu bentuk keadaan yang memberikan ciri keringanan kepada suatu
delik tertentu, tetapi percobaan dan pembantuan merupakan bentuk keterwujudan yang berdiri
sendiri dan tersendiri delik-delik.
Jonkers (1946 : 169) menyatakan bahwa ketentuan dalam pasal 53 (2) dan (3) serta
pasa157(2) dan (3) KUUHP bukanlah dasar pengurangan pidana berdasarkan keadaan-keadaan
tertentu; tetapi adalah algemene straffixering (penentuan pidana umum) pembuat percobaan dan
pembantu, yang merupakan pranata hukum yang diciptakan khusus oleh pembuat undangundang. Kalau di Indonesia masih terdapat satu dasar peringanan pidana umum seperti tersebut
di dalam pasa145 KUUHP, maka di Nederland pasa139 oud WvS, yang mengatur hal yang
sama, telah dihapuskan pada tanggal 9 November 1961, Staatsblad No. 402 dan 403, dan
dibentuk Kinderstrafivet (Undang-undang Hukum Pidana Kanak-kanak) dan Beginselenwet voor
de Kinderbescherming (Undang-undang Pokok Tentang Perlindungan Kanak-kanak), yang
memerlukan karangan tersendiri.
Pasal 45 KUUHP, yang sudah ketinggalan zaman itu, memberikan wewenang kepada
hakim untuk memilih tindakan dan pemidanaan terhadap kanak-kanak yang belum mencapai
usia 16 tahun, yaitu: mengembalikan kanak-kanak itu kepada orang tuanya atau walinya tanpa
dijatuhi pidana; atau memerintahkan supaya anak-anak itu diserahkan kepada Pemerintah tanpa
dipidana dengan syarat-syarat tertentu; atau pun hakim menjatuhkan pidana. Jikalau
kemungkinan yang ketiga dipilih oleh hakim, maka kalau ia hendak menjatuhkan pidana
maksimum kepada kanak-kanak itu, maka pidananya harus dikurangi dengan sepertiganya.
Misalnya seorang murid SMP menghilangkan nyawa seorang murid SMA, yang usianya
barulah 13 tahun. Kalau hakim hendak menjatuhkan pidana tertinggi, maka pidananya ialah 15
tahun dikurangi 5 tahun = 10 tahun penjara. Perlu juga penulis jelaskan bahwa pidana yang
dijatuhkan oleh hakim tidaklah perlu yang tertinggi sebagaimana pandangan keliru sebagian
mahasiswa Fakultas Hukum yang terbaca dalam skripsi mereka, tetapi hakim dapat memilih
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 52
pidana yang paling ringan yaitu satu hari menurut pasal 12 (2) KUUHP sampai pidana
maksimum yang ditentukan di dalam pasal 338 KUUHP yang dikurangi dengan sepertiganya,
dengan kata lain pidana terendah ialah satu hari, dan yang tertinggi ialah sepuluh tahun penjara.
a.
dipungut oleh orang lain tidak berapa lama setelah anak itu dilahirkan, oleh karena takut akan
diketahui orang bahwa ia telah melahirkan anak atau dengan maksud akan terbebas dari
pemeliharaan anaknya, meninggalkannya, maka pidana maksimum yang tersebut dalam pasal
305 dan 306 KUUHP dikurangi sehingga seperduanya. Pidana maksimum tersebut dalam pasal
305 KUUHP ialah lima tahun enam bulan penjara. Jadi pidana maksimum yang dapat dijatuhkan
oleh hakim kalau terdapat unsur delik yang meringankan yang disebut dalam pasal 308
(misalnya karena takut diketahui orang bahwa ia telah melahirkan) ialah dua tahun dan sembilan
bulan.
Pasal 306 (1) dan pasal 306 (2) KUUHP sesungguhnya mengandung dasar pemberatan
pidana, yaitu kalau terjadi luka berat, maka pidana diperberat menjadi tujuh tahun enam bulan
serta kalau terjadi kematian orang maka diperberat menjadi sembilan tahun. Jadi kalau terdapat
unsur "takut diketahui bahwa ia telah melahirkan" dapat dibuktikan, maka pidana maksimumnya
dikurangi dengan seperduanya.
b.
nyawa anaknya ketika dilahirkan atau tidak lama setelah itu, karena takut ketahuan bahwa ia
sudah melahirkan. Ketentuan ini sebenarnya memperingan pidana seorang pembunuh yaitu dari
15 tahun penjara menjadi tujuh tahun, karena keadaan ibu tersebut. Sebenarnya untuk Indonesia
kata "takut" harus diganti dengan perkataan "merasa aib", karena itulah yang terbanyak yang
menyebabkan perempuan-perempuan membunuh bayinya. Pembunuhan bayi dan pembuangan
bayi banyak terjadi oleh karena menjamumya budaya pacaran yang meruru-niru kehidupan
orang-orang Barat.
c.
diancam pidana maksimum sembilan tahun, sedangkan ancaman Pidana maksimum bagi
pembunuhan yang direncanakan ialah pidana mati, penjara seumur hidup atau dua puluh tahun.
Delik-delik tersebut di atas sering disebut geprivilingieerde delicten (delik privilege) atau
delik yang diringankan pidananya, dan termasuk dasar pengurangan atau peringanan pidana yang
subyektif. Lawannya disebut delik berkualifikasi, delik yang diperberat pidananya
dibandingkan dengan bentuk dasar delik itu.
BAB XIV
DELIK PERCOBAAN (POGING/ATTEMPT)
Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi percobaan. Yang dirumuskan
hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan.
Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
(1) ada niat
(2) adanya permulaan pelaksanaan, dan
(3) tidak selesainya pelakasanaan yang bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Adapun bunyi pasal 53 KUHP tersebut adalah sbb:
a) Mencoba melakukan kejahatan yang dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata adanya dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri.
b) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal ini percobaan dapat dikurangi
sepertiga.
c) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
d) Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.
Apabila kita membandingkan pengertian poging, maka harus terlebih dahulu dipahami
bilamana delik telah dianggap selesai. Dan untuk menentukan bahwa suatu delik telah selesai,
kita harus mengambil dasar sebagai suatu perbedaan yang terdapat dalam jenis delik:
a. Delik formil adalah delik telah dianggap telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang
dilarang. Misalnya, pasal 362 KUHP: yang dilarang mengambil barang orang lain.
b. Delik materiil adalh delik telah dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang
terlarang. Misalnya, pasal 338 KUHP yang dilarang adalah menyebabkan matinya orang lain.
Dalam ilmu hukum pidana, percobaan melakukan kejahatan diancam sebagai suatu
perbuatan terlarang. Hal ini diatur dalam pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Percobaan untuk melakukan kejahatan dapat dihukum apabila maksud akan melakukan
kejahatan itu sudah nyata dengan suatu permulaan pelaksanaan dan perbuatan itu tidak selesai
disebabkan hal ihwal yang tidak tergantung pada kemauannya sendiri.
Berdasarkan rumusan pasal 53 ayat (1) KUHP diatas, unsur-unsur percobaan adalah:
Adanya Niat
1. Adanya Niat
Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat disini diartikan sama dengan kesengajaan
(opzettelijk). Pendapat sempit telah dianut oleh VOS yang memberikan arti niat di sini sebagai
kesengajaan sebagai tujuan saja. Tentang niat di sini tampak secara jelas bahwa praktik hukum
menganut pandangan yang pada umumnya dianut oleh para ahli hukum , ialah niat adalah sama
artinya dengan kesengajaan dalam segala bentuknya.
Niat juga berarti maksud. Maksud dari orang yang hendak melakukan kejahatan, yang
diancam sanksi oleh suatu norma pidana. Kata maksud di sini adalah sengaja (opzet) sebagai
salah satu bentuk kesalahan. Kesengajaan tersebut harus ditujukan pada suatu kejahatan. Dengan
demikian, tidak dapat diberlakukan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang terjadi karena
kealpaan. Pada umumnya para pakar menganut pendapat bahwa yang dimaksud dengan niat
dalam percobaan atau poging adalah kesengajaan dalam arti luas, pendapat ini demikian dianut
oleh Van Hamel, Van Hattum, Johnkers, dan Van Bemmelen.
2. Permulaan Pelaksanaan
Mengenai semata-mata niat, sejahat apapun niat, tidaklah mempunyai arti apa-apa dalam
hukum pidana. Karena niat itu sendiri adalah suatu sikap batin yang belum ada apa-apanya,
murni masih di dalam batin seseorang, sikap batin mana boleh sembarang apa yang
dimaksudnya, tanpa dimintai pertanggung jawaban, dan tanpa ada akibat hukum apapun. Barulah
mempunyai arti menurut hukum pidana, apabila niat itu telah diwujudkan dalam suatu tingkah
laku tertentu, dan tingkah laku tertentu ini oleh pasal 53 ayat (1) dirumuskan sebagai permulaan
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 56
pelaksanaan. Persoalannya ialah permulaan pelaksanaan dari apa? Persoalan ini telah melahirkan
pandangan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Sebagaimana telah diketahui dilam hal percobaan kejahatan, terdapat dua ajaran yang
saling berhadapan, yaitu:
Ajaran Subjektif
Ajaran Objektif
Kedua ajaran diatas berbeda pokok pangkal dalam memandang hal permulaan
pelaksanaan. Perbedaan ini disebabkan karena ukuran yang digunakan adalah berbeda. Ajaran
subjektif bertitik tolak dari ukuran batin si pembuat atau niat jahatn orang itu yang dinilai telah
mengancam kepentingan hukum yang dilindungi. Sedangkan ajaran objektif bertitik tolak dari
sudut wujud perbuatannya atau wujud permulaan pelaksanaan itu yang telah dinilai mengancam
kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang, jadi telah mengandung sifat berbahaya bagi
kepentingan hukum.
Permulaan pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah satu unsure
dari norma pidana, misalnya:
Kehendak mencuri atau mengambil barang milik orang lain mulai diwujudkan misalnya,
telah memasuki rumah atau pencopet telah memasukkan tangan ke kantong orang yang
hendak dicopet.
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan perbuatan persiapan. Pengertian perbuatan
pelaksanaan menurut Hoge Raad adalah sebagai berikut:
Bahwa hanya perbuatan yang menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan perbuatan
lain lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai perbauatan pelaksanaan.
(Hoge Raad dengan arrest tanggal 19-3-1934, N.J. 1934 halaman 450) Act of preparation
merupakan perbuatan persiapan yang belum termasuk perbuatan pelaksanaan karena masih
dibutuhkan perbuatan lain lagi untuk mencapai maksudnya, misalnya:
a. A hendak menganiaya B, maka A mempersiapkan diri dengan membeli sebilah pisau,
kemudian diasah.
b. R bermaksud membakar rumah Y, kemudian B mempersiapkan diri dengan membeli
bensin.
Perbuatan-perbuatan tersebut masih memerlukan perbuatan lain lagi untuk merealisasikan
maksud atau kehendak si pelaku.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 57
Di dalam literatur lain, keadaan yakni pelaksanaan itu tidak selesai hanya karena
keadaan-keadaan yang tidak tergantung pada kehendak si pelaku. Dalam hal ini, jika si pelaku
sendiri membatalkan niat atau kehendaknya, tidak terpenuhi syarat baginya untuk dikenakan
sanksi, misalnya:
Si A hendak membunuh si C dan telah membidik dengan pistol, tetapi pada saat hendak
menembak atau menekan pelatuk, dalam pikirannya, terlintas rasa iba kepada istri C yang
kebetulan masih ada hubungan keluarga dengannya, sehingga ia membatalkan niat tersebut.
Percobaan melakukan kejahatan merupakan delik jika si pelaku tidak meneruskan
perbuatannya karena ada rintangan atau hambatan di luar kehendak si pelaku, misalnya:
A hendak mencuri di rumah P. Setelah diamatinya, A berencana masuk ke rumah P melalui
jendela samping yang tampaknya mudah dirusak. Demikianlah, A mulai melakukan aksinya,
namun pada saat merusak jendela rumah P, petugas ronda malam memergokinya sehingga ia
ditangkap.
C. Jenis-jenis Percobaan
Menurut Simons
Percobaan yang mampu ada apabila perbuatan dengan menggunakan alat tertentu dapat
membahayakan benda hukum. Contoh : Gula tidak berbahaya tetapi dalam keadaan tertentu
(bagi pengidap penyakit gula) dapat membahayakan orang itu.
2)
Menurut Pompe
Ada percobaan mampu apabila perbuatan dengan memakai alat yang mempunyai
kecenderungan (strekking) atau menurut sifatnya (naar haar aard) mampu untuk menimbulkan
penyelesaian kejahatan yang dituju.
Contoh : Orang yang dengan maksud membunuh musuhnya, yang sebelumnya datang ke
apotik membeli arsenicum karena kekeliruan pegawainya telah memberikan gula, kemudian
orang itu memasukkan kepada minuman yang disuguhkan pada musuhnya, sehingga tidak
menimbulkan kematian, kasus ini tidak boleh dipandang dari sudut gulanya saja, tetapi harus
secara meneluruh.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 59
Dari peristiwa ini maka telah ada percobaan yang dapat dipidana. Pandangan Pompe ini
berpijak dari ajaran percobaan subjektif. Pandangan Pompe ini lemah jika dilihat dari syarat
dipidananya percobaan pasal 53 (1) KUHP. Perbuatan demikian telah selesai penuh hanya
akibatnya saja yang tidak timbul berhubung alatnya yang mutlak tidak sempurna.Syarat mutlak
pembunuhan harus timbul akibat kematian.
3)
dipidana dengan menggunakan ajaran adekuat kausal yang penting ialah bagaimana caranya kita
memformulering perbuatan si pembuat dalam menggeneralisasi perbuatan itu sedemikian rupa
untuk dapat menentukan apakah perbuatan itu adekuat menimbulkan akibat yang dapat dipidana
atau tidak.
Contoh : Orang hendak membunuh musuhnya dengan pistol, pistol itu di isi peluru
kemudian ditaruh disuatu tempat. Tanpa diketahuinya ada orang lain mengosongkan pistol itu.
Ketika musuhnya lewat, pistol diambil dan ditembakkan pada musuhnya, tapi tidak meletup.
Dalam kasu ini keadaan konkret yang kebetulan ialah adanya orang yang mengosongkan isi
pistol, hal ini tidak perlu dimasukakan dalam pertimbangan.
Dengan demikian pada kejadian ini dapat diformulering sebagai berikut : mengarahkan
pistol yang sebelumnya telah diisi peluru kepada musuhnya dan menembaknya adalah adekuat
untuk menimbulkan kematian, dengan demikian dapat dipidana.
4)
Menurut Mulyatno
Mengenai persoalan mampu atau tidak mampunya percobaan tidak dapat dipecahkan melalui
teori adekuat kausal karena dalam kenyataannya tidak menimbulkan akibat yang dituju. Untuk
memecahkan persoalan ini kita harus kembali kepada delik percobaan ialah pada sifat melawan
hukumnya pada perbuatan. Jika percobaan bersifat melawan hukum maka percobaannya adalah
percobaan mampu sehingga dapat dipidana
2)
karena itu kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi. Karena objek yang tidak
sempurna absolut, secara mutlak tidak dapat menjadi objek kejahatan.
Contoh : A hendak membunuh B, pada suatu malam A yang mengira B sedang tidur
sehingga ditembaknya beberapa kali, dan A yakin B telah mati karena tembakannya. Ternyata
menurut visum dokter, B telah meninggal sebelum kena tembakan A tersebut, dikarenakan B
terkena serangan jantung mendadak. Berarti dia telah menembak mayat.
Objek mayat, tidak mungkin dapat dilakukan kejahatan pembunuhan pada orang yang
dikira tidur padahal ia sudah meninggal sebelumnya atau tidak mungkin menggugurkan
kandungan pada wanita yang tidak hamil karena objek itu tidak ada. Dalam kasus ini tidak dapat
dipidana.
b)
melakukan
perbuatan
dengan
maksud
mewujudkan
kejahatan,
dengan
menggunakan alatnya yang tidak sempurna relatif, maksudnya disini adalah percobaan tersebut
sebenarnya telah sampai kepada penyelesaian kejahatan yang diniatkan pelaku.
Hanya saja ada suatu keadaan sedemikian rupa sehinga kemungkinan penyelesaiannya
berkurang. Namun hal ini telah membahayakan kepentinga hukum sehingga pelaku perlu
dipidana.
Contoh : A berniat membunuh B dengan menggunakan racun tikus (arsenikum), ternyata
setelah dimakan oleh B, ia hanya sakit perut saja, hal ini mungkin disebabkan dosisnya kurang
atau B mempunyai daya tahan yang kuat terhadap arsenikum tsb.
Dalam hal ini: racun, alatnya kejahatan dapat mematikan jika diminum orang pada
umumnya, tetapi dapat menjadi relatif jika dosisnya kurang dan tidak cukup mematikan atau
orang yang dituju mempunyai daya tahan yang kuat terhadap jenis racun tersebut.
Disini dapat terjadinya percobaan karena dalam hal demikian kejahatan dapat terjadi (jika
dosisnya cukup). Oleh karena itu percobaan tidak mampu yang alatnya tidak sempurna relatif
dapat dipidana.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 61
melakukan
perbuatan
dengan
maksud
mewujudkan
kejahatan,
dengan
menggunakan alatnya yang tidak sempurna absolut, sehingga kejahatan tersebut tidaklah dapat
melahirkan tindak pidana atau mustahil akan terjadi.
Melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan dengan menggunakan
alatnya yang tidak sempurna absolut kejahatan itu tidak mungkin terjadi. Syarat-syarat yang
ditentukan dalam pasal 53 ayat 1 KUHP tidak mungkin ada dalam alat yang tidak sempurna
absolut (mutlak).
Contohnya : Menembak musuh dengan pistol tetapi lupa mengisi pelurunya, secara
absolut pembunuhan tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu percobaan juga tidak mungkin
terjadi. MvT WvS Belanda menerangkan bahwa syarat-syarat umum percobaan menurut pasal
53 yaitu syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan tertentu dalam buku II KUHP untuk
terwujudnya kejahatan itu harus ada objeknya, kalau tidak ada objeknya tidak ada percobaannya.
Dapat ditarik kesimpulan dari apa yang diterangkan MvT bahwa percobaan tidak mampu
hanya ada pada alat yang tidak sempurna saja dan tidak pada objeknya yang tidak sempurna.
Simons
Ia mengatakan bahwa percobaan mampu yaitu yang membahayakan benda hukum. Tidak
bahaya itu harus ternyata di dalam keadaan khusus dalam mana perbuatan dilakukan.
Pompe
Menurut beliau ada percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang dipakai pada
umumnya mempunyai kecndrungan atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik
selesai. Misalnya: mencoba mau membunuh orang dengan terus menerus mendoakan supaya
mati, bukan percobaan yang mampu.
Van Hattum
Adalah oranag yang terang-terangan menerangkan mampu atau tidaknya percobaan atas dasar
hukuman adaequat, artinya perbuatan terdakwa itu ada hubungan kausal yang adekwet dengan
akibat yang dilarang dengan undang-undang.
4).
Tidak Mampu
Perbedaan dalam hal ini hanya bagi mereka yang menganut teori obyektif. Bagi mereka
yang menganut teori ini tidak mengenal pemisahan antara percobaan mampu dan percobaan
tidak mampu, karena menurut penganut ajaran ini menganggap bahwa dasar dipidananya
percobaan kejahatan itu terletak pada niat untuk melakukan kejahatan.
Barda Nawari Arif mengatakan, bahwa menurut MvT tidak mungkin ada percobaan pada
objek yang tidak mampu (tidak memadai), yang ada hanya pada alatnya saja, dengan demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang membedakan antara percobaan mampu dan tidak mampu
adalah pada alat yang digunakan percobaannya saja.
Universitas Mahasaraswati Denpasar| 62
Hal ini diatur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3)yang berbunyi sebagai berikut:
(2) Maksimum hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan
sepertiga.
(3) Kalau kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka
dijatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebgaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP
dikurangi sepertiga dari hukuman pokok maksimal dan paling tinggi lima belas tahun penjara.
Dalam ayat (2) dari pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan
dasar perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan diancaman
hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya
diancamkan hukuman maksimum 15 tahun penjara.
Dalam hal percobaan maksimum anacaman hukuman (bukan yang diajtuhkan) pada
kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup
diganti dengan hukuman penjara maksimum 15 tahun, akan tetapi mengenai hukuman tambahan
sama saja halnya dengan kejahatan yang selesai dilakukan.
Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Ternyata KUHP
mencantumkan hal tersebut dengan memuat rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak
pidanan tertentu tidak dapat dihukum, antara lain:
a. Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahiaan tanding antara seseorang
lawan seseorang;
b. Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang;
c. Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan dan
penganiayaan ringan;
d. Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.
Menurut ketentuan pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian antara
seseorang lawan seseorang itu tidak dapat dihukum, dengan alasan bahwa pembentuk undangundang ingin memberi kesempatan kepada setiap orang yang mengetahui adanya maksud
mengadakan perkelahian antara seseorang lawan seseorang, untuk sampai saat terakhir mau
memberitahukan masalah tersebut kepada polisi, denga menganggap tidak perlu melakukan
penuntutan terhadap pihak-pihak yang tersangkut didalamnmya apabila perkelahiannya itu
sendiri dan dapat dicegah.
Menurut ketentuan pasal-pasal 351 ayat (5) dan 352 ayat (2) KUHP, percobaan-percobaan
melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan itu tidak dapat dihukum, oleh karena hal
tersebut tidak dianggap begitu penting oleh pembentuk undang-undang.
Hal ini bermakna bahwa percobaan disamakan dengan delik. Dalam KUHP dirumuskan
bahwa percobaan melakukan delik, antara lain:
1. Pasal-pasal 104-107, 139a, dan 139b KUHP, yakni mengenai makar. Hal ini dirumuskan
dalam pasal 87 KUHP yang berbunyi:
Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat itu sudah nyata
dengan permulaan melakukan perbuatan itu, seperti dimaksudkan dalam pasal 53.
2. Pasal-pasal 110, 116, 125, dan 139c KUHP, yakni tentang permufakatan atau jahat. Hal
ini dirumuskan pasal 88 KUHP yang berbunyi:
Dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih bersama-sama sepakat
akan melakukan kejahatan itu.
Perbuatan persiapan yang secara umum, pelakunya tidak dapat dihukum. Namun, pada
pasal 250, 261, dan pasal 275 KUHP dirumuskan sebagai delik. Untuk jelasnya, perlu dicemati
pasal-pasal tersebut yakni:
1. Pasal 250 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa membuat atau menyediakan bahan atau barang yang diketahuinya bahwa
itu disediakan untuk meniru, memalsukan atau mengurangi harga mata uang, atau meniru
memalsu uang kertas negeri atau uang kertas bank, dihukum penjara selama-lamanya
4tahun.
2. Pasal 261 KUHP yang berbunyi:
Barang siapa menyimpan bahan atau benda, yang diketahuinya bahwa diperuntukkan
untuk melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 253 atau dalam pasal
260 bis berhubung dengan pasal 253, diancam
3. Pasal 275 KUHP bunyinya:
(1) Barang siapa yang menyimpan bahan atau barang yang diketahuinya akan digunakan
untuk salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 264, nomor 2-5,dihukum.
b. Arrest Hoge Raad tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920, halaman 458, W. 10554, antaralain
memuat:
suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai telah
terjadi, yaitu segera setelah kejahatan mulai dilakukan oleh pelakunya. Perbuatan
menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan
didepan orang lain dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan didalam tulisan itu,
merupakan suatu permualaan dari tindakan pelaksanaan yang dapat dihukum.
pembunuhan.
Pengemudi
mobil
tersebut
sadar
akan
kemungkinan
terlanggarnya anggota polisi itu dan secara wajar dapat memperkirakan bahawa anggota
polisi itu dapat meninggal dunia apabila ia benar-benar terlanggar.
BAB XV
DELIK MELAKUKAN DAN BENTUK-BENTUK PENYERTAAN
A. Pendahuluan
Judul bab V buku I KUHP yang diterjemahkan oleh Moeljatno Tentang penyertaan
dalam melakukan perbuatan pidana, didalam Pasal 55 KUHP disebut juga pelaku (pleger), yaitu
seseorang yang memenuhi seluruh unsur delik dan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana.
Pasal 59 Code Penal Prancis menentukan pembantu (complices) memiliki ancaman
pidana yang sama dengan pembuat (auctores). Menurut Pasal 60 Code Penal yang disebut
complices meliputi pembantu seperti Pasal 56 KUHP. Pemancing atau penganjur (uitlokker:
assists another personally with knowledge that he has commited) menurut pasal 55 ayat (1) ke 2
KUHP.
Pasal 66 KUHP Belgia menyebut secara limitative orang-orang yang dapat dipidana yang
dikategorikan sebagai pembuat, yaitu pelaku-pelaku peserta, pembantu dan pemancing. Satusatunya bentuk pembuat yang dikenal oleh Pasal 55 KUHP Indonesia yang tidak disebut doen
pleger yaitu adalah orang yang membuat sedemikian rupa sehingga orang lain melakukan
perbuatan yang mewujudkan delik yang tidak dapat dipidana karena tidak bersalah.
Principle in the first degree sejajar dengan pleger (pelaku) dan mencakup juga doen
pleger seperti tercantum didalam pasal 55 KUHP Indonesia.
Istilah pembuat merupakan istilah penghimpun bagi semua orang yang disebut didalam
Pasal 55 ayat (1) dan (2) KUHP. Adapun bagiannyaadalah sebagai berikut .
Pembuat (dader) Ex. Pasal 55 KUHP
1. Pelaku (pleger)
2. Pelaku Peserta (Medepleger)
3. Pembuat Pelaku atau Penyuruh (Doen pleger)
4. Pemancing atau Penganjur (Uitlokker)
D.
Apakah
Penyertaan
termasuk
Strafausdehnungsgrund
Ataukah
Tatbestandausdehnungsgrund
Sebagian besar sarjana hukum di Nederland dan Indonesia memandang ajaran tentang
penyertaan sebagai Strafausdehnungsgrund yaitu dasar yang memperluas dapat dipidana nya
orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik, sebagaimana halnya dengan ajaran tentang
percobaan.
Hazwinkel-Suringa salah seorang sarjana hukum terkenal di Nederland berpendapat bahwa
ajaran tentang penyertaan memperluas pertanggungjawaban (Tatbestand) selain pelaku yang
mewujudkan seluruh isi delik (dehnungsgrund) atau dalam bentuk percobaan juga mencakum
orang-orang turut serta mewujudkannya yang tanpa ketentuan tentang penyertaan tidak dapat
dipidana karena mereka tidak mewujudkan delik. Oleh karena itu, disamping delik-delik biasa, ada
delik-delik percobaan dan delik-delik penyertaan. Delik penyertaan ini adalah juga
tatbestandausdehnungsgrund seperti halnya delik percobaan.
G. Orang yang Membuat Orang Lain Melakukan atau Penyuruh (Doen Pleger)
Doen pleger secara harfiah dapat diterjemahkan dengan pembuat pelaku karena setiap
orang di Indonesia sudah memakai istilah penyuruh, dalam tulisan ini dipakai istilah pembuat
pelaku atau penyuruh bentuk keikutsertaan dalam terwujudnya delik yang disebut doen plegen
adalah ciptaan pembuat Undang-undang di Nederland yang tidak dikenal di negara lain.
Doen pleger (pembuat pelaku atau penyuruh) berbeda dengan pelaku. Hanyalah pembuat
peserta (mededader) dan medepleger (pelaku peserta) adalah pembuat (daders) yang sebenarnya,
sedangkan pembuat pelaku atau penyuruh dan pemancing atau penganjur (doen pleger dan
uitlokker) bukanlah dader, tetapi mereka dipidana sebagai pembuat (dader).
H. Pelaku-Peserta (Medeplegen)
Lamintang menjelaskan bentuk medeplegen sebagai berikut :
Oleh karena itu didalam bentuk deelneming ini selalu terdapat seseorang pelaku dan seorang
atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya sehingga
bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu mededaderschap.
Dengan demikian, medeplegen itu disamping merupakan bentuk deelneming, ia juga
merupakan suatu bentuk daderschap.
Menurut Langemeijer bahwa medeplegen (turut serta melakukan) sebagai suatu bentuk
penyertaan, tidak mensyaratkan bahwa tiap-tiap orang yang bekerja sama harus mewujudkan
semua unsur delik seperti pada rumusan doen plegen (penyuruhan, hal pembuat pelaku).
Langemeijer termasuk dalam lingkaran :
a. Tiap-tiap peserta melakukan seluruh delik
b. Ada yang sedemikian ada yang tidak
c. Tak ada yang sendirian mewujudkan seluruh deli, tetapi bersama
Dari uraian tersebut dibuat definisi batasan sebagai berikut. Para pelaku-peserta (medeplegers)
ialah dua atau lebih orang bekerja sama secara sadar dan bersama-sama melakukan perbuatanperbuatan yang secara keseluruhan mewujudkan delik ataupun sesuai dengan kesepakatan
pembagian peran, seorang melakukan perbuatan pelaksanaan seluruhnya, sedangkan kawan
berbuatnya melakukan perbuatan yang sangat penting bagi terwujudnya delik.
K. Pengertian
Menyangkut istilah samenloop van strafbare feiten atau bahasa Jerman verbrechens
konkurrenz (gabungan delik), ada pakar yang mempersoalkan seperti von liszt menyebutnya
gesetzeskonkurrenz (gabungan peraturan Undang-undang karena satu perbuatan) atau feit seperti
dimaksud pasal 63 ayat 1 KUHP hanya dapat mengakibatkan satu feit saja. Oleh karena itu,
Schaffmeister, et.al., menyebut gabungan delik dalam pasal 63 ayat (1) KUHP yang orang
Belanda sebut sebagai eendaadse samenloop (gabungan satu perbuatan) sebagai gabungan
peraturan, sedangkan concursus realis yang merupakan gabungan beberapa perbuatan seperti
dimaksud dalam pasal 65, 66, dan 70 sebagai gabungan perbuatan (feiten). Begitu pula
Hazewinkel-Suringa lebih senang memakai istilah concursus idealis daripada eendaadse
samenloop.
misalnya concursus realis penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1 KUHP) dan kejahatan yang
tercantum dalam Pasal 403 KUHP (Pasal 347 Ned. WvS) dijatuhkan masing-masing pidana,
sedangkan mengenai pidana denda (dalam pasal 403 KUHP) akan diperhitungkan kurungan
penggantinya.