Anda di halaman 1dari 24

HUKUM PIDANA

DASAR-DASAR
PEMBELAJARAN I
HUKUM PIDANA
1. PENGERTIAN
2. RUANG LINGKUP MHD TEGUH SYUHADA LUBIS, SH.,MH
BERLAKUNYA Staff Pengajar Fakultas Hukum UMSU
HUKUM PIDANA
E-mail: mhdteguhsyuhadalubis@yahoo.co.id
3. Tujuan Hukum 081370136613
Pidana
I. PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Prof. Pompe
Hukum Pidana adalah semua aturan- aturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya
dijatuhi pidana, dan apakah macamnya pidana itu
Prof. Simons
Hukum Pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan
larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam
dengan suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak
mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yg menentukan syarat-
syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk
mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.
Van Hamel
Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang
dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban
hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan
dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang
melanggar larangan-larangan tersebut
PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

HUKUM PIDANA

HUKUM PIDANA HUKUM PIDANA


MATERIL FORMIL
PERBEDAAN HUKUM PIDANA & PERDATA
Bahwa dahulu baik di indonesia maupun erofa, tidak ada perbedaan tuntutan
pidana maupun gugatan perdata. Keduanya ada ditangan pihak yang
dirugikan.
Fameo Hukum “Wo Kien Klager Its Its Kien Rechter”

- PERBEDAAN PENUNTUTAN
namun saat ini, dalam perkara pidana tuntutan diwakili oleh jaksa atas
nama negera sedangkan gugatan dalam perkara perdata dilakukan oleh
orang yang merasa dirugikan.
- PERBEDAAN HASIL
Dalam Perkara Pidana orang yang terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melanggar ketentuan pidana maka dijatuhi nestapa (pidana/ganti
rugi). Orang yang terbuki bersalah dlm perkara perdata maka tergugat
akan dihukum mengganti kerugian atau melakukan suatu perbuatan.
- PERBEDAAN PEMBUKTIAN
Dalam perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materil (atau yang
sesungguhnya). Sedangkan dalam perkara perdata adalah kebenaran
Formil.
II. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM
PIDANA
ASAS LEGALITAS
Pasal 1 Ayat (1) KUHP
Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Legi
Poeneli (tidak ada delic, tidak ada pidana
tanpa kekuatan pidana yang mendahuluinya”

Dua hal yang dapat ditarik dari isntruksi pasal 1


ayat (1) KUHP tersebut antara lain:
a. Perbuatan yang dilarang atau pengabaian yang
diharuskan meski tercantum di dalam KHUP.
b. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut,
dengan satu kekecualian yang tercantum dalam
pasal 1 ayat (2) KUHP.
Moeljatno, menulis bahwa legalitas
mendukung tiga hal:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
Undang-undang.
2. Untuk menetukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh menggunakan analogi.
3. Aturan-aturan pidana tidak boleh berlaku
surut.
Cleiren & Nijboer, mengatakan bahwa
hukum pidana adalah hukum tertulis. Tidak
seorangpun dapat dipidana dengan hukum
kebiasaan.
Dasar pemikiran asas legalitas menurut Klass
Rozemond yakni:
1. Adanya kepastian Hukum (Rechzakerheid)
2. Legitimasi Demokrasi (Demokratische
Legitimatie)

KUHP yang tidak mencantumkan asas


Legalitas:
3. KUHP Inggris.
4. KUHP Malaysia.
5. KUHP Singapura.
6. KUHP Brunai
7. KUHP Argentina
PENERAPAN ANALOGI
Sebagaimana yang telah dikemukankan oleh
Muljatno, bahwa salah satu pengartian asas
legalitas yakni tidak boleh menggunakan
analogi.

Hazewinkel – Suriga, mengatakan penerapan


analogi itu relatif.
1. Satu sisi penggunaan sarana analogi ditolak
oleh pencipta hukum pidana
2. Disisi yang lain tidak keberatan jika hakim
menciptakan hukum baru In Bonam Porten yang
kadang-kadang menggunakan analogi.
HUKUM TRANSITOIR
Asas dasar bahwa hukum pidana tidak
berlaku surut pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi
dengan kekecualian ayat (2) yakni “apabila
perundang undangan setelah waktu
perbuatan dilakukan, maka terhadap
terdakwa digunakan keuntungan yang paling
menguntungkan”

Pompe mengatakan bahwa jika undang-


undang yang lama dan baru sama menguntuk
dan merugikan, maka yang digunakan adalah
undang-undang yang baru.
BERLAKUNYA HUKUM PIDANA,
MENURUT TEMPAT, RUANG, DAN ORANG
jika pada pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2), kita
melihat berlakunya hukum pidana menurut
ruang dan waktu, maka disini kita mengikat
berlakunya Hukum Pidana menurut ruang
dan berkaitan pula dengan orang atau
subyek yang antara lain:
1. Asas teritorialitas (wilayah)
2. Asas Nasionalitas Pasif (asas perlindungan)
3. Asas Personalitas (Nasionalitas Aktif)
4. Asas Universalitas
ASAS TERITORIALITAS
Pasal 2 KUHP:
“Peraturan hukum pidana berlalku di indonesia
berlaku terhadap tiap-tiap orang yang ada dalam
wilayah indonesia melakukan dellik”

Pasal 3 KUHP:
memperluas berlakunya asas teritorialitas dengan
memandang kendaraan air (vaartuig) Indonesia
sebagai ruang tempat berlakunya Hukum Pidana.
Vaartuig artinya kapal air 16 juni 1952 digunakan
penafsiran bahwa vaartuig tidak hanya kapal air
saja melainkan juga kapal udara.
berlakunya hukum pidana menurut wilayah dibatasi
oleh pasal 9 KUHP yang berbunyi pasal 2 s/d 5, 7, dan 8
dibatasi oleh yang dikecualikan, yang diakui oleh
hukum internasional.

KUHP tidak merinci hukum internasional yang


memabatasi berlakunya hukum pidana. Van Bamelen
menyebutkan kecuali itu berlaku pada:
1. Ditempat seorang duta besar dan utusan asing yang secara
resmi diterima oleh kepala negara.
2. Pegawai pegawai kedutaan yang berpungsi dibidang
diplomatik.Yaitu para kanseler atau konsul, para sekretaris
dan sebagainya walaupun mereka tidak berseragam.
3. Pelayan duta.

Mereka mendapatkan imunitas atas berlakunya hukum


pidana bedasarkan perjanjian wina 18 april 1961.
NASIONALITAS PASIF
pasal 4 Ayat 1, 2, dan 4 KUHP. Kemudia diperluas dengan UU No. 4
Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan

disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual orang


indonesia. Tetapi kepentingan nasional atau kepentingan umum
secara luas.

Pasal 4 Ke- 1 mengenai orang indonesia yang berada diluar wilayah


indonesia melakukan kegiatan yang tersebut dalam pasal 104, 106,
107, dan 108, 110, 111.

Pasal 4 Ke- 2 mengenai orang indonesia yang berada diluar wilayah


indonesia melalkukan kejahatan tentang mata uang, uang kertas
negara atau mata uang kertas bank tentang materi atau merk yang
dikeluarkan oleh pemerintah RI

Pasal 4 ke- 3 meneganai orang indonesia yang melakukan pemalsuan


surat-surat utang atau sertifikat utang yang ditanggung oleh
pemerintah indonesia
PERSONALITAS/ N. AKTIF
asas ini bertumpu pada kewarganegaraan
pembuat delic. Hukum pidana indonesia
mengikuti kemanapun warganya pergi.

inti asas ini tercantum pada pasal 5 KUHP


yang berbunyi:
“ketentuan pidana dalam perundang-undang
RI. berlaku berlaku bagi warga negara
indonesia yang melakukan delic diluar negri”
UNIVERSALITAS
asas ini melihat hukum pidana berlaku umum,
melampaui batas wilayah dan ruang orang
indonesia. Yang dilindungi diisini adalah
kepentingan dunia.

Pasal 4 Sub ke – 2 KUHP, khususnya kalimat


pertama yang berbunyi, melakukan kejahatan
tentang mata uang. Uang kertas yang dikeluarkan
oleh negara atau bank.

Pasal 4 Sub ke – 4 melakukan kejahatan pasal


458, 444, 446 tentang perampokan dilaut dan 447
tentang penyerahan alat pelayaran pada
perampok.
HUKUM PIDANA SUPRANASIONAL

1. pengadilan penjahat perang dunia II.


2. Mahkamah Kriminal Internasional untuk
Yugoslavia dan rwanda.
3. Pengadilan pidana intersaional.
III. TUJUAN HUKUM PIDANA
Remmelink
Hukum Pidana bukan tujuan pada diri
sendiri, tetapi ditujukan untuk tertib hukum
dan melindungi masyarakat Hukum.
Dalam Literatur bahasa Inggris, tujuan
pidana biasa disingkat dengan tiga (R) satu
(D) atau:
1. Reformation
2. Restraint
3. Retribution
4. Deterrence
Reformasi
Berarti memperbaiki atau merehabilitasi
penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi
masyarakat.
sebagai kritikan bahwa reformasi sebagai salah
satu tujuan pidana belum optimal dibuktikan
dengan masih banyak orang yang kembali
melakukan kejahatan setelah menjalani pidana
penjara.
Restraint
Yakni mengasingkan pelanggar/penjahat dari
masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar
dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan
lebih aman.
Retribution
Yakni pembalasan terhadap pelanggar karena
telah melakukan kejahatan.
Konsep retribution dewasa ini banyak di kritik
karena dianggap sebagai cara bar-bar dan
tidak sesuai dengan masyarakat yang beradab.
Deterrence
Yakni menjera dan mencegah, sehingga baik
terdakwa sebagai individual maupun orang lain
yang potensial menjadi penjahat akan jera atau
takut untuk melakukan kejahatan karena
melihat pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa.
TIGA TEORI YANG MEMBENARKAN
PENJATUHAN PIDANA

1. Teori Absolud atau teori pembalasan


(vergeldings theorien)
2. Teori Relatif atau tujuan (doel theorien)
3. Teori gabungan (Verenigingstheorien)
 TEORI ABSOLUD/PEMBALASAN (vergeldings theorien)
teori ini muncul pada akhir abad ke 18 yang dianut oleh:
Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Sthal, Leo Polak dan
beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada
filsafat katolik serta beberapa sarjana hukum islam yang
mendsarkan teorinya pada hukum qur’an dan kisas.

teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah


bertujuan praktis dan tidaklah perlu memikirkan
manfaat penjatuhan pidana itu melainkan pidana
diadakan sebagai akibat dari kejahatan yang dilakukan
oleh si pelanggar.

Vos: teori pembalasan terdiri atas:


1. subjectif, yakni pembalasan atas kesalahan pelaku.
2. objectif yakni melihat akibat yang ditimbulkan pelaku
terhadap dunia luar.
 Teori Relatif atau tujuan (doel theorien)
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam
menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya
prevensi terjadinya kejahatan.
Wujud pidana sebagai prevensi berbeda beda antara
lain:
1. Menakutkan
2. Memperbaiki
3. Membinasakan
Prevensi terdiri dari umum dan khsus.
 Prevensi umum mengkehendaki agar orang-orang pada
umumnya tidak melakukan delik. Prevensi umum
dipraktikkan sampai revolusi prancis dengan menakuti orang
lewat cara menjatuhi pidana di muka umum. Nemo prudens
punit, quia peccatum, sed net peccatur (supaya khalayak
benar-benar takut)
 Prevensi Khusus yang dianut van hammel mengatakan tujuan
prevensi khusus mencegah niat buruk pelaku (deader)
 Teori gabungan (Verenigings theorien)
Van Bamellen mengatakan Pidana bertujuan
membalas kesalahan dan mengamankan
masyarakat (teori gabungan)

Seiring dengan teori gabungan ini banyak


sarjana yang lebih menitik beratkan pada
teori pembalasan.
TERIMAKASIH

Sampai jumpa pada minggu yang akan datang


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Anda mungkin juga menyukai