Anda di halaman 1dari 17

Hukum Pidana

Jumat, 28 April 2023

DISKUSI MATA KULIAH HUKUM PIDANA

PERKUMPULAN GEMAR BELAJAR FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pembicara : 1. Alfaner Nababan (G20)


2. Jerni Pasaribu (G20)
Pemateri : 1. Hilda Monika (G22)
2. Jhonathan Simanungkalit (G22)
3. Karina Sibuea (G22)
Moderator : Wahyu (G22)

I. PENGERTIAN DAN SUMBER HUKUM PIDANA

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA MATERIL DAN FORMIL

Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut van Hattum:

a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat
dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-
tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang
tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan- peraturan yang mengatur tentang bagaimana
caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit.
Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.

B. SUMBER HUKUM PIDANA

Sumber Sumber Hukum Pidana Di Indonesia :

1. KUHP ( beserta UU yang merubah & menambahnya )

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 1


Beberapa UU yang merubah & menambah KUHP

- UU No.1/1946 : berlakunya KUHP, perubahan beberapa istilah, penghapusan beberapa


pasal, penambahan pasal-pasal baru : Bab IX - XVI
- UU No. 20/1946 : tambahan jenis pidana Ps 10 a KUHP --> pidana Tutupan
- UU drt No. 8/1955 : menghapus Ps 527
- UU No. 73/1958 : menyatakan UU No. 1/1946 berlaku di seluruh Indonesia, tambahan
Ps 52a, 142a, 154a
- UU drt No. 1/1960 : menambah ancaman pidana dari Ps 188, 359, 360 menjadi 5 Tahun
penjara atau 1 tahun kurungan
- Perpu No. 16/1960 : penambahan nilai terhadap beberapa kejahatan ringan : Ps 364,
373, 379, 384, 407 (1)
- Perpu No. 18/1960 : pidana denda dilipatgandakan 15 X
- UU No. 1/PNPS/1965 : tambahan Ps 156 a
- UU No. 7/1974 : tambahan sanksi untuk judi Ps 303 menjadi 10 juta & denda 25 juta,
Ps 542 (1) menjadi Kejahatan, Ps 303 bis pidana menjadi 4 tahun, denda 10 juta.
- UU No. 4/1976 perubahan dan penambahan tentang Kejahatan penerbangan : Ps 3, Ps
4 angka 4, Ps 95a, 95b,95c, Bab XXIX A.
- UU No. 20/2001 : menghapus pasal-pasal tentang korupsi dari KUHP
2. UU Pidana di luar KUHP
- UU Anti Subversi, UU No. 11/PNPS/1963 (Sudah dihapus)
- UU Pemberantasan T.P. Korupsi, UU No. 20/2001 jo UU No. 31/1999
- UU Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 7/drt/1955
- Perpu 1/2002 UU 15/2003 Anti Terorisme
- UU Money Laundering
3. Ketentuan Pidana dalam Peraturan perundang-undangan non-pidana

Contoh UU non pidana yang memuat sanksi pidana

- UU Lingkungan
- UU Pers
- UU Pendidikan Nasional
- UU Perbankan
- UU Pajak
- UU Partai Politik

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 2


- UU pemilu
- UU Merek
- UU Kepabeanan
- UU Pasar Modal

HUKUM PIDANA UMUM DAN KHUSUS

H. Pidana Umum

1. H.Pidana non militer


2. KUHP & UU yg merubah & menambahnya
3. H. Pidana yg. Berlaku umum (KUHP, TPE,TPK, TPS, dll)

H. Pidana Khusus

1. H. Pidana militer
2. TPE,TPK,TPS, H.Pid. militer, H.Pid. Fiskal
3. UU non pidana yg. Bersanksi pidana

II. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

1. Asas Legalitas

Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap
peristiwa pidana (delik/ tindak pidana) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-
undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum
orang itu melakukan perbuatan.1 Pada dasarnya Asas Legalitas merupakan syarat sebuah
penuntutan untuk menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan atau kegiatan atau peristiwa
tersebut :

a) melanggar aturan pidana


b) merupakan perbuatan tercela.

Menurut Machteld Boot, a sa s legalitas mengandung beberapa syarat:

1
Dr.Fitri Wahyuni.,S.H.,M.H, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, (Tangerang Selatan: PT Nusantara
Persada Utama, 2017), Hal. 27.

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 3


1 . Nullum crimen, noela poena sine lege praevia, yang berarti, tidak ada pidana tanpa
undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan bahwa
hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
2. N ullum crimen noela poena sine lege scripta, artinya, tidak ada perbuatan pidana tanpa
undang-undang tertulis. Konsekuensi dari makna ini, adalah bahwa semua perbuatan
pidana harus tertulis.
3. Nullum crimen, noela poena sine lege certa, artinya tidak ada perbuatan pidana tanpa
aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi dari makna ini, adalah harus jelasnya
rumusan perbuatan pidana sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat
membahayakan kepastian hukum.
4. Nullum crimen, noela poena sine lege stricta, artinya tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Konsekuensi dari makna ini secara
implisit adalah tidak diperbolehkannya analogi.

Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat: nullum crimen, nulla poena sine
praevia lege poenali: tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan
undang-undang terlebih dahulu. Ada 7 (tujuh) aspek yang dapat dibedakan dari asas
legalitas, sebagai berikut: 2

1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-


undang;
2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan;
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex-certa);
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang;
7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat, sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana
baru.3 Di Indonesia asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP 4 yang berbunyi “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada.” Lalu kemudian, mengapa asas legalitas ini diterapkan di Indonesia?

2
D Schaffmesiter, N. Keijzer dan P.H. Sutorius, Op. Cit., Hal. 3-7.
3
Eddy O. S. Hiariej. Pengantar Hukum Pidana Internasional (Jakarta: Erlangga, 2009), Hal. 29.
4
Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 4


Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas legalitas
diadakan bertujuan untuk:5

a. Memperkuat adanya kepastian hukum;


b. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
c. Mengefektifkan deterent functiondari sanksi pidana;
d. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
e. Memperkokoh penerapan “the rule of law”.

2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan atau dalam istilah lain disebut dengan Geen Straf
Zonder Schuld, atau No Punishment Without Fault, atau Actus non facit reum nisi mens sist
rea. Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan hukum pidana yang berlaku, tidak dapat dipidana oleh karena
ketiadaan kesalahan dalam perbuatannya tersebut. Di Indonesia penerapan asas ini terdapat
dalam pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan
bahwa : “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undangundang, mendapat keyakinan bahwa seseorangyang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalahatas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya”. Jadi pada intinya, untuk menentukan seseorang telah terpidana, harus ada pembuktian
kesalahan terhadap diri seseorang tersebut. Untuk menentukan adanya kesalahan pada
seseorang maka harus memenuhi beberapa unsur, antara lain : (1) Adanya kemampuan
bertanggung jawab pada si pembuat, (2) Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya
yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), (3) Tidak adanya alasan penghapus
kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.

3. Asas Teritorial

Asas teritorial merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum pidana suatu negara
berlaku di wilayah negara itu sendiri dan tidak bisa digunakan di luar cakupan negara tersebut.
Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada
kedaulatan negara.6 Asas teritorial mempersoalkan tentang tempat berlakunya hukum pidana
terhadap ruang atau wilayah berlakunya hukum pidana.

5
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebagai Syarat Pemidanaan, Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, Hal.13.
6
Dr.Fitri Wahyuni.,S.H.,M.H “Dasar-dasar Hukum pidana” (PT Nusantara Persada Utama : 2017) Hal. 30

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 5


Asas teritorial termuat dalam pasal 2 dan 3 KUHP. Pasal 2 berbunyi:” Ketentuan
pidana dalam Undang-Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan suatu
tindak pidana di wilayah Indonesia”. Dan Pasal 3 berbunyi: ”Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.” Jika bunyi
pasal tersebut dapat dihubungkan dengan uraian pengertian diatas maka akan diperoleh
beberapa unsur penting tentang apa itu asas teritorialitas, unsur-unsur tersebut antara lain:

1. Undang-undang (ketentuan pidana) Indonesia hanya berlaku dan menjadi pegangan


rakyat jika masih berada di teritorial Indonesia;
2. Orang/pelaku berada di wilayah dan teritorial hukum Indonesia;
3. Suatu tindak pidana terjadi hanya di wilayah Indonesia saja.

4. Asas Nasionalitas Aktif/ Personalitas

Pemberlakuan hukum pidana bagi menurut asas ini tergantung atau berdasarkan status
kewarganegaraan subjek hukum/ orangnya terlepas dimanapun keberadaan orang tersebut.
Menurut sistem hukum pidana Indonesia, dalam batas-batas dan dengan syarat tertentu, di luar
wilayah hukum Indonesia, hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya artinya hukum
pidana Indonesia berlaku terhadap warga negaranya dimanapun di luar wilayah Indonesia. Di
Indonesia penerapan asas ini terdapat pada Pasal 5, diatur lebih lanjut dalam Pasal 6, 7, dan 8.

Urgensi diberlakukannya asas Nasionalitas aktif adalah kewarganegaraan pembuat


delik yang dapat diartikan hukum pidana mengikuti warganya sampai keluar dari negaranya
tersebut. Asas tersebut diberlakukan karena dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa undang-
undang dari negara berdaulat seperti Indonesia senantiasa mengikuti kehendak warga
negaranya. Terdapat konsep kedaulatan negara yang mengatakan bahwa setiap negara
berdaulat harus mengingatkan kepada setiap warga negaranya untuk tunduk dan patuh pada
undang-undang negaranya di manapun mereka berada.

5. Asas Nasional Pasif /Asas Perlindungan (Bescherming -Beginsel)

Asas perlindungan atau nasional pasif adalah asas berlakunya hukum pidana menurut
atau berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar di luar
wilayah Indonesia. Asas ini berpijak pada pemikiran dari asas perlindungan yang menyatakan
bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya dan kepentingan

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 6


nasionalnya. Ciri dari asas perlindungan adalah subjeknya berupa setiap orang (tidak terbatas
pada warga negaranya).

Kepentingan-kepentingan nasional yang ditentukan harus dilindungi ialah:

a. Keselamatan kepala/wakil kepala negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah dari RI, keamanan negara terhadap pemberontakan, keamanan
penyerahan barang-barang angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan martbat
kepada negara RI dst.
b. Keamanan ideologi negara Pancasila dan haluan negara
c. Keamanan perekonomian negara RI
d. Keamanan uang negara, nilai-nilai dari surat-surat berharga yang dikeluarkan/disahkan
oleh pemerintah RI
e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan lain sebagainya.

Ketentuan-ketentuan yang bertitik berat kepada asas perlindung terutama dapat ditemukan
dalam Pasal 4 KUHP. Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam ketentuan pasal 4, yaitu:

1. Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, 106, 107, 108, 111 bis ke-1 dan 127)
2. Kejahatan penyerangan terhadap presiden dan atau wakil presiden dan atau wakil presiden
(Pasal 131);
3. Kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas, secara konkret dapat disebutkan adalah
kejahatan-kejahatan mengenai pemalsuan mata uang dan uang kertas (Bab X Buku II
KUHP);
4. Kejahatan mengenai Materai dan Merek adalah kejahatan yang diatur dalam Bab XI Buku
II KUHP;
5. Kejahatan pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan Indonesia, atau
daerah atau bagian daerah, dan lain-lain, kejahatan pemalsuan ini diatur dalam Pasal 264;

Kejahatan pelayaran, beberapa contoh kejahatan pelayaran, yaitu:


1. Pembajakan laut (Pasal 438);
2. Pembajakan laut, pembajakan tepi laut, pembajakan sungai, pembajakan pantai yang
mengakibatkan matinya orang (Pasal 444);
3. Memperlengkapi dengan biaya sendiri dengan maksud melakukan pembajakan laut (Pasal
445);

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 7


4. Turut menyewa kapal dan lain-lain yang diketahui akan melakukan pembajakan laut,
pembajakan tepi laut, pembajakan pantai dan pembajakan sungai (Pasal 446);
5. Kejahatan menyerahkan kendaraan air kepada pembajak laut (Pasal 447); dan
6. Termasuk pula kejahatan -kejahatan yang membahayakan penerbangan dan sarana
penerbangan (Pasal 479 huruf i,j, m, n, dan huruf o).

Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan
kejahatan seperti yang disebut dalam pasal-pasal ini dapat dikenakan ketentuan-ketentuan
pidana Indonesia meskipun mereka melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia. Pasal
ini menggunakan istilah “setiap orang” yang berarti bahwa orang tersebut bisa saja
berkebangsaan atau berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraan negara asing,
bahkan tidak berkebangsaan sekalipun. Pasal ini meninggalkan asas teritorial dan menerima
asas universal.

7. Asas Universal ( Asas Persamaan)

Asas universaliteit bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih luas yaitu
kepentingan hukum penduduk dunia atau bangsa-bangas dunia. Berdasarkan kepentingan
hukum yang lebih luas ini, maka menurut asas ini, berlakunya hukum pidana tidak dibatasi
oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku dimana
pun dan terhadap siapa pun.7 Dengan kata lain asas universal memiliki yurisdiksi atas pelaku
kejahatan yang tidak membatasi mengenai tempat maupun pelakunya, sehingga asas ini bisa
aktif terlepas dari lokasi kejahatan tersebut dilakukan dan siapapun pelaku serta korbannya.

Penerapan serta ketentuan asas ini diatur dengan jelas di dalam KUHP mengenai hal
apa saja yang dapat dikenakan dalam asas universal. Di dalam pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 KUHP
dijelaskan bahwa kejahatan yang pelakunya ditundukkan pada asas universal ini merupakan
kejahatan yang digolongkan sebagai musuh umat manusia seperti kejahatan narkotika,
terorisme, pembajakan pesawat udara, genosida, kejahatan perang dan lain-lain.

8. Asas Ekstrateritorial

Asas Ekstrateritorial merupakan yang memberikan pengecualian terhadap asas-asas


berlakunya hukum pidana menurut tempat (Locus Delicti) dalam hal ini asas teritorial dan asas
universal. Dapat dikatakan jika asas eksteritorial menganggap bahwa, walaupun seseorang

7
Adami Chazawi, Op.Cit.hlm.222

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 8


yang mendapatkan hak ekstrateritorialitas berada di negara lain, namun wilayah tersebut
dianggap sebagai wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya
pengecualian terhadap asas teritorial dan universal berlaku bagi warga negara asing yang sesuai
hukum Internasional mendapatkan Hak Ekstrateritorialitas. Hak ekstrateritorialitas merupakan
hak kebebasan yang dimiliki wakil diplomatik terhadap daerah perwakilannya termasuk
mengenai bangunan dan perlengkapan seperti lambang dan bendera Negara, surat serta
dokumen bebas sensor.

Pihak-pihak yang memiliki hak ekstrateritorial antara lain adalah:

1. Kepala Negara yang menjadi tamu Negara


2. Korps Diplomatik negara-negara asing
3. Konsulat atau Konsulat Jenderal
4. Pasukan Tentara negara Asing dan ABK Kapal Asing di bawah pimpinan Komandonya,
yang menjadi Tamu Negara.
5. Tamu Negara dari Badan-badan Internasional seperti utusan PBB, Palang Merah, dll.

Hak Eksteritorialitas diberlakukan juga bagi :

• Anggota Kedutaan, seperti Atase Kehormatan, Atase Militer termasuk keluarganya.


• Pegawai Kedutaan seperti: Sekretaris, Kanselir, Jurubahasa, Kurir, Supir, pengawal,
dll.

Dengan adanya “Hak Ekstrateritorial” bukan berarti bahwa setiap orang yang merupakan wakil
dari negara asing dapat berbuat tindak pidana sesuka hati (dalam wilayah hukum Indonesia)
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana Indonesia. Mereka tetap dapat
dituntut, tetapi harus melalui jalur Diplomatik.

III. PENGERTIAN TINDAK PIDANA (DELIK) DAN PEMBAGIANNYA

A. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN

Delik delik dalam KUHP:

Delik terhadap orang

Delik terhadap harta

Delik terhadap negara/kekuasaan

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 9


A. Pengertian tindak pidana

Dalam kepustakaan hokum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” merupakan Istilah yang
dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. Sebenarnya banyak istilah
yang digunakan yang menunjuk pada pengertian Strafbaarfeit. Misalnya, peristiwa
pidana,perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan
hokum dengan perturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman.

Moeljatno menggunakan istilah tindak pidana dengan perbuatan pidana yang didefinisikan oleh
beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum yang mana disertai ancaman
atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar ketentuan itu”

Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana
apabila perbuatan itu:

1. Melawan Hukum.

2. Merugikan Masyarakat.

3. Dilarang oleh aturan pidana.

4. Pelakunya diancam pidana

B. Pembagian
Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis- jenis tertentu atau
mengklasifikasikan dapat sangat bermacam- macam sesuai dengan kehendak yang
mengklasifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan,
demikian pula halnya dengan tindak pidana.
KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana/ delik ke dalam dua kelompok
besar yaitu dalam Buku Kedua dan Ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan
dan pelanggaran. Kemudian bab-babnya dikelompokkan menurut sasaran yang hendak
dilindungi oleh KUHP terhadap tindak pidana tersebut. Misalnya Bab I Buku Kedua
adalah Kejahata Terhadap Keamanan Negara, dengan demikian ini merupaka
kelompok tindak pidana yang sasarannya adalah keamana negara.

1. Kejahatan dan Pelanggaran

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 10


KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam Buku
Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan
pelanggaran. Semua nya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan
dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum
dan pelanggaran merupakan wetsdelict atas delik undang-undang. Delik hukum adalah
pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan
seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik
undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja
keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan
umum, atau mengenakan helm ketika mengendara sepeda motor. Di sini tidak
tersangkut keadilan sama sekali masalah.

2. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)


Pada umumnya rumusan delik di dalam KUHP merupakan rumusan yang selesai,
yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya.
Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan
itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak
dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan
aksidentalia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian),
Pasal 160 (penghasutan) dan Pasal 209-210 (penyuapan). Jika seseorang telah
melakukan perbuatan mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup.
Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar
mengikuti hasutan itu.
Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik
itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan
itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan), yang terpenting
adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan mencekik, menusuk, menembak, dan
sebagainya.
Van Hamel kurang setuju dengan pembagian delik formal dan material ini, karena
menurutnya walaupun perilaku yang terlarang itu tidak dirumuskan sebagai penyebab
dari suatu akibat, tetapi karena adanya perilaku semacam itulah seseorang dapat
dipidana. Ia lebih setuju menyebutnya sebagai "delik yang dirumuskan secara formal"
dan "delik yang dirumuskan secara material".

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 11


3. Delik Dolus dan Delik Culpa
Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan dibicarakan tersendiri
di belakang.
a. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan rumusan kesengajaan itu
mungkin dengan kata-kata yang tegas... dengan sengaja, tetapi mungkin juga
dengan kata-kata lain yang senada, seperti... diketahuinya, dan sebagainya
Contohnya adalah Pasal-pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi.
b. Delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata... karena
kealpaannya, misalnya pada Pasal 359 360, 195. Di dalam beberapa terjemahan
kadang-kadang dipakai istilah... karena kesalahannya.

4. Delik Commissionis dan Delik Omissionis


Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dilarang atau tidak berbuat
sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan; to omit = meniadakan).
a. Delik commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya berbuat
mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan sebagainya.
b. Delik omissionis dapat kita jumpai pada Pasal 522 (tidak datang menghadap ke
pengadilan sebagai saksi), Pasal 164 (tidak melaporkan adanya pemufakatan
jahat).
Di samping itu, ada yang disebut delik commissionis per omissionem commisa.
Misalnya seorang ibu yang sengaja tidak memberikan air susu kepada anaknya yang
masih bayi dengan maksud agar anak itu meninggal (Pasal 338), tetapi dengan cara
tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Keharusan menyusui bayi tidak
terdapat di dalam hukum pidana. Juga seorang penjaga pintu lintasan kereta api yang
tidak menutup pintu itu sehingga terjadi kecelakaan (Pasal 164).

5. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)


Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena.
Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini tidak banyak
terdapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis
deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan
adalah suami atau istri yang bersangkutan.

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 12


Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang penuntutannya
hanya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif di sini karena adanya hubungan
istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367
ayat (2) dan (3)).
Beberapa waktu yang lalu ada usul agar delik perzinahan tidak lagi dimasukkan
sebagai delik aduan, tetapi sebagai delik biasa. Ternyata banyak yang menentang, sebab
hal itu dapat berakibat lebih parah. Di dalam proses penangkapan, orang awam dapat
melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan jika dalam keadaan tertangkap
tangan, yaitu tertangkap ketika sedang berbuat.
Sebaliknya dalam masalah pembajakan buku, kaset, dan sebagainya, yang semula
merupakan delik aduan di dalam UU Hak Cipta yang baru dinyatakan bukan sebagai
delik aduan.

6. Jenis Delik yang Lain


Selanjutnya terdapat jenis-jenis delik yang lain menurutndari mana kita meninjau
delik tersebut, antara lain:
a. Delik berturut-turut (voortgezet delict): yaitu tindak pidana yang dilakukan
berturut-turut, misalnya mencuri satu juta rupiah, tetapi dilakukan setiap kali
seratus ribu rupiah.
b. Delik yang berlangsung terus: misalnya tindak pidana merampas kemerdekaan
orang lain, cirinya adalah perbuatan terlarang itu berlangsung memakan waktu.
c. Delik berkualifikasi (gequalificeerd), yaitu tindak pidana dengan pemberatan,
misalnya pencurian pada malam hari, penganiayaan berat (Pasal 351 ayat 3 dan
4). Hendaknya tidak dikacaukan dengan kualifikasi dari delik yang artinya
adalah nama delik itu.
d. Delik dengan privilege (gepriviligeerd delict), yaitu delik dengan peringanan,
misalnya pembunuhan bayi oleh ibu yang melahirkan karena takut diketahui
(Pasal 341), ancaman pidananya lebih ringan daripada pembunuhan biasa.
e. Delik politik, yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan negara sebagai
keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepala negara dan sebagainya (Bab
I-IV Buku II KUHP) dan juga tindak pidana subversi.
f. Delik propria, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
kualitas tertentu, seperti ibu, pegawai negeri, ayah, majikan, dan sebagainya yan
disebutkan di dalam pasal KUHP.

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 13


B. UNSUR DELIK

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri,
maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu:

A. Unsur objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan,
yaitu dalam keadaan- keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri
dari:
1. Sifat melanggar hukum.
2. Kualitas dari si pelaku.

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.

3. Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai pem bab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

B. Unsur subjektif.

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan
diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur ini terdiri dari:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam keja- hatan-kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu
pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

IV. ALIRAN-ALIRAN PEMIDANAAN

Para ahli telah merumuskan beberapa teori mengenai pemidanaan, yang menjadi dasar hokum
dan tujuan dari pemidanaan (Strafrecht Theori), yaitu :

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 14


1. De Vergelding Theori (Teori absolut atau pembalasan);
Salah satu penganut teori ini, Immanuel Kant, mengatakan bahwa “kejahatan itu
menimbulkan ketidakadilan, harus juga dibalas dengan ketidakadilan”. Menurut teori ini,
dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah
menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus
diberi penderitaan. Inti dari teori ini sendiri adalah pembalasan adalah alasan utama untuk
memidana suatu pelaku kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan
dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Ciri pokok
atau karakteristik teori Absolut atau pembalasan, yaitu :
1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan ;
2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana –sarana
untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; dan
5. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak
untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
2. De Relatif Theori (Teori Relatif atau Tujuan)
Berbeda dengan teori sebelumnya yang dimana tujuan pemidanaan hanya berfokus pada
pembalasan tanpa mengutamakan dampak pada masyarakat, teori ini menganggap bahwa
dasar dari pemidanaan itu adalah tujuan dari pidana itu sendiri yaitu ketertiban masyarakat.
Teori relatif menganggap bahwa pemidanaan itu sendiri merupakan sarana untuk mencapai
tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Berdasarkan teori
ini, tujuan dari pemidanaan atau hukuman yang diberikan dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Preventive theory (teori pencegahan), yang meliputi :
1. Generale Preventive (pencegahan umum), yaitu ditujukan kepada khalayak ramai,
kepada masyarakat luas; dan
2. Special Preventive (pencegahan khusus), yaitu ditujukan kepada pelaku kejahatan
secara khusus, agar tidak mengulangi lagi untuk melakukan kejahatan.
b. Verbetering van dader (memperbaiki si penjahat), caranya dengan menjatuhkan pidana
dan memberikan pendidikan selama ia menjalani pidana.

Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :

1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 15


2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku
saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan;
5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
3. De Verenigings Theori (Teori Gabungan)
Teori ini merupakan gabungan dari kedua teori sebelumnya, Teori Pembalasan dan Teori
Relatif. Dimana menurut pandangan teori ini, alasan pemidanaan harus didasarkan atas
pembalasan dan tujuan pidana itu sendiri. Harus ada keseimbangan antara pembalasan
dengan tujuan pemberian pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan, agar
tercapai keadilan dan kepuasan masyarakat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:8
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya
tata tertib masyarakat;
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan terpidana

8
Ayu Efritadewi, S.H. M.H., Modul Hukum Pidana, UMRAH Press, Tanjungpinang. Hal.7-11

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 16


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dr. Lukman Hakim, S.H., M.H., (2019), Asas-Asas Hukum Pidana, Deepublish,
Yogyakarta.

Dr.Fitri Wahyuni. S.H,M.H., (2017), Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, PT


Nusantara Persada Utama, Tangerang Selatan.

Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H., (2014), Hukum Pidana, Airlangga
Universitv Press (AUP), Surabaya.

Ayu Efritadewi, S.H. M.H., (2020), Modul Hukum Pidana, UMRAH Press,
Tanjungpinang.

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali. 17

Anda mungkin juga menyukai