Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut van Hattum:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat
dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-
tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang
tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan- peraturan yang mengatur tentang bagaimana
caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit.
Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.
- UU Lingkungan
- UU Pers
- UU Pendidikan Nasional
- UU Perbankan
- UU Pajak
- UU Partai Politik
H. Pidana Umum
H. Pidana Khusus
1. H. Pidana militer
2. TPE,TPK,TPS, H.Pid. militer, H.Pid. Fiskal
3. UU non pidana yg. Bersanksi pidana
1. Asas Legalitas
Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap
peristiwa pidana (delik/ tindak pidana) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-
undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum
orang itu melakukan perbuatan.1 Pada dasarnya Asas Legalitas merupakan syarat sebuah
penuntutan untuk menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan atau kegiatan atau peristiwa
tersebut :
1
Dr.Fitri Wahyuni.,S.H.,M.H, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, (Tangerang Selatan: PT Nusantara
Persada Utama, 2017), Hal. 27.
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat: nullum crimen, nulla poena sine
praevia lege poenali: tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan
undang-undang terlebih dahulu. Ada 7 (tujuh) aspek yang dapat dibedakan dari asas
legalitas, sebagai berikut: 2
Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat, sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana
baru.3 Di Indonesia asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP 4 yang berbunyi “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada.” Lalu kemudian, mengapa asas legalitas ini diterapkan di Indonesia?
2
D Schaffmesiter, N. Keijzer dan P.H. Sutorius, Op. Cit., Hal. 3-7.
3
Eddy O. S. Hiariej. Pengantar Hukum Pidana Internasional (Jakarta: Erlangga, 2009), Hal. 29.
4
Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan atau dalam istilah lain disebut dengan Geen Straf
Zonder Schuld, atau No Punishment Without Fault, atau Actus non facit reum nisi mens sist
rea. Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan hukum pidana yang berlaku, tidak dapat dipidana oleh karena
ketiadaan kesalahan dalam perbuatannya tersebut. Di Indonesia penerapan asas ini terdapat
dalam pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan
bahwa : “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undangundang, mendapat keyakinan bahwa seseorangyang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalahatas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya”. Jadi pada intinya, untuk menentukan seseorang telah terpidana, harus ada pembuktian
kesalahan terhadap diri seseorang tersebut. Untuk menentukan adanya kesalahan pada
seseorang maka harus memenuhi beberapa unsur, antara lain : (1) Adanya kemampuan
bertanggung jawab pada si pembuat, (2) Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya
yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), (3) Tidak adanya alasan penghapus
kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.
3. Asas Teritorial
Asas teritorial merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum pidana suatu negara
berlaku di wilayah negara itu sendiri dan tidak bisa digunakan di luar cakupan negara tersebut.
Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada
kedaulatan negara.6 Asas teritorial mempersoalkan tentang tempat berlakunya hukum pidana
terhadap ruang atau wilayah berlakunya hukum pidana.
5
Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana, memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebagai Syarat Pemidanaan, Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, Hal.13.
6
Dr.Fitri Wahyuni.,S.H.,M.H “Dasar-dasar Hukum pidana” (PT Nusantara Persada Utama : 2017) Hal. 30
Pemberlakuan hukum pidana bagi menurut asas ini tergantung atau berdasarkan status
kewarganegaraan subjek hukum/ orangnya terlepas dimanapun keberadaan orang tersebut.
Menurut sistem hukum pidana Indonesia, dalam batas-batas dan dengan syarat tertentu, di luar
wilayah hukum Indonesia, hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya artinya hukum
pidana Indonesia berlaku terhadap warga negaranya dimanapun di luar wilayah Indonesia. Di
Indonesia penerapan asas ini terdapat pada Pasal 5, diatur lebih lanjut dalam Pasal 6, 7, dan 8.
Asas perlindungan atau nasional pasif adalah asas berlakunya hukum pidana menurut
atau berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar di luar
wilayah Indonesia. Asas ini berpijak pada pemikiran dari asas perlindungan yang menyatakan
bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya dan kepentingan
a. Keselamatan kepala/wakil kepala negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah dari RI, keamanan negara terhadap pemberontakan, keamanan
penyerahan barang-barang angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan martbat
kepada negara RI dst.
b. Keamanan ideologi negara Pancasila dan haluan negara
c. Keamanan perekonomian negara RI
d. Keamanan uang negara, nilai-nilai dari surat-surat berharga yang dikeluarkan/disahkan
oleh pemerintah RI
e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan lain sebagainya.
Ketentuan-ketentuan yang bertitik berat kepada asas perlindung terutama dapat ditemukan
dalam Pasal 4 KUHP. Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam ketentuan pasal 4, yaitu:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, 106, 107, 108, 111 bis ke-1 dan 127)
2. Kejahatan penyerangan terhadap presiden dan atau wakil presiden dan atau wakil presiden
(Pasal 131);
3. Kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas, secara konkret dapat disebutkan adalah
kejahatan-kejahatan mengenai pemalsuan mata uang dan uang kertas (Bab X Buku II
KUHP);
4. Kejahatan mengenai Materai dan Merek adalah kejahatan yang diatur dalam Bab XI Buku
II KUHP;
5. Kejahatan pemalsuan surat utang atau sertifikat utang atas tanggungan Indonesia, atau
daerah atau bagian daerah, dan lain-lain, kejahatan pemalsuan ini diatur dalam Pasal 264;
Setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan
kejahatan seperti yang disebut dalam pasal-pasal ini dapat dikenakan ketentuan-ketentuan
pidana Indonesia meskipun mereka melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia. Pasal
ini menggunakan istilah “setiap orang” yang berarti bahwa orang tersebut bisa saja
berkebangsaan atau berkewarganegaraan Indonesia maupun berkewarganegaraan negara asing,
bahkan tidak berkebangsaan sekalipun. Pasal ini meninggalkan asas teritorial dan menerima
asas universal.
Asas universaliteit bertumpu pada kepentingan hukum yang lebih luas yaitu
kepentingan hukum penduduk dunia atau bangsa-bangas dunia. Berdasarkan kepentingan
hukum yang lebih luas ini, maka menurut asas ini, berlakunya hukum pidana tidak dibatasi
oleh tempat atau wilayah tertentu dan bagi orang-orang tertentu, melainkan berlaku dimana
pun dan terhadap siapa pun.7 Dengan kata lain asas universal memiliki yurisdiksi atas pelaku
kejahatan yang tidak membatasi mengenai tempat maupun pelakunya, sehingga asas ini bisa
aktif terlepas dari lokasi kejahatan tersebut dilakukan dan siapapun pelaku serta korbannya.
Penerapan serta ketentuan asas ini diatur dengan jelas di dalam KUHP mengenai hal
apa saja yang dapat dikenakan dalam asas universal. Di dalam pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 KUHP
dijelaskan bahwa kejahatan yang pelakunya ditundukkan pada asas universal ini merupakan
kejahatan yang digolongkan sebagai musuh umat manusia seperti kejahatan narkotika,
terorisme, pembajakan pesawat udara, genosida, kejahatan perang dan lain-lain.
8. Asas Ekstrateritorial
7
Adami Chazawi, Op.Cit.hlm.222
Dengan adanya “Hak Ekstrateritorial” bukan berarti bahwa setiap orang yang merupakan wakil
dari negara asing dapat berbuat tindak pidana sesuka hati (dalam wilayah hukum Indonesia)
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana Indonesia. Mereka tetap dapat
dituntut, tetapi harus melalui jalur Diplomatik.
Dalam kepustakaan hokum pidana Indonesia, istilah “tindak pidana” merupakan Istilah yang
dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. Sebenarnya banyak istilah
yang digunakan yang menunjuk pada pengertian Strafbaarfeit. Misalnya, peristiwa
pidana,perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan
hokum dengan perturan-peraturan yang dapat dikenakan hukuman.
Moeljatno menggunakan istilah tindak pidana dengan perbuatan pidana yang didefinisikan oleh
beliau sebagai “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan Hukum yang mana disertai ancaman
atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar ketentuan itu”
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana
apabila perbuatan itu:
1. Melawan Hukum.
2. Merugikan Masyarakat.
B. Pembagian
Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis- jenis tertentu atau
mengklasifikasikan dapat sangat bermacam- macam sesuai dengan kehendak yang
mengklasifikasikan atau mengelompokkan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan,
demikian pula halnya dengan tindak pidana.
KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana/ delik ke dalam dua kelompok
besar yaitu dalam Buku Kedua dan Ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan
dan pelanggaran. Kemudian bab-babnya dikelompokkan menurut sasaran yang hendak
dilindungi oleh KUHP terhadap tindak pidana tersebut. Misalnya Bab I Buku Kedua
adalah Kejahata Terhadap Keamanan Negara, dengan demikian ini merupaka
kelompok tindak pidana yang sasarannya adalah keamana negara.
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri,
maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu:
A. Unsur objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan,
yaitu dalam keadaan- keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri
dari:
1. Sifat melanggar hukum.
2. Kualitas dari si pelaku.
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3. Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai pem bab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
B. Unsur subjektif.
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan
diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur ini terdiri dari:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam keja- hatan-kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu
pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.
Para ahli telah merumuskan beberapa teori mengenai pemidanaan, yang menjadi dasar hokum
dan tujuan dari pemidanaan (Strafrecht Theori), yaitu :
8
Ayu Efritadewi, S.H. M.H., Modul Hukum Pidana, UMRAH Press, Tanjungpinang. Hal.7-11
BUKU
Dr. Lukman Hakim, S.H., M.H., (2019), Asas-Asas Hukum Pidana, Deepublish,
Yogyakarta.
Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H., (2014), Hukum Pidana, Airlangga
Universitv Press (AUP), Surabaya.
Ayu Efritadewi, S.H. M.H., (2020), Modul Hukum Pidana, UMRAH Press,
Tanjungpinang.