Anda di halaman 1dari 4

Nama : I Putu Eka Wisnawa

NIM : 042296083
Prodi : Ilmu Hukum
MK : Hukum Pidana

1. Hukum pidana dapat diartikan sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara yang mengadakan dasardasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, dilarang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa
yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan
itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan (Moeljatno, 2008: 1). Berdasarkan pengertian tersebut maka secara umum
hukum pidana dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materiil sepanjang menyangkut ketentuan tentang perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang
melakukan, sedangkan hukum pidana formil berkaitan dengan dalam hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara
bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.  Salah satu contoh sebuah peristiwa
yang menggambarkan pengertian dari hukum pidana material dan hukum pidana formil
dimana mantan Anggota DPR Miryam S menjadi saksi sidang kasus korupsi e-KTP di PN
Tipikor. Dalam KUHP, Saksi memberikan keterangan palsu ini diatur dalam Bab IX Pasal
242 ayat (1) yang menyebutkan “barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang
menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat
hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di
atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang
khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”, lalu
ayat (2) “jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam pidana dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun”.

Dalam praktik, Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi ini sering menjadi perdebatan
mengenai penerapan hukumnya dilihat dari pidana formil (penerapan hukum acaranya)
dikarenakan Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi ini ditempatkan dalam BAB III UU
Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi sehingga diinterpertasikan sebagian pihak sama seperti Pasal 242 KUHP yakni
dalam penerapan hukumnya harus mengacu kepada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yaitu Pasal 174 ayat (3) KUHAP yang pokoknya dalam proses hukum terhadap saksi
memberikan keterangan palsu terlebih dahulu adanya berita acara pemeriksaan sidang
yang dibuat panitera yang memuat keterangan saksi dan alasan persangkaan bahwa
keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim
ketua sidang serta panitera yang diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan.
Sehingga interpretasi yang menyamakan Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi dengan
Pasal 242 KUHP yang menggunakan instrumen hukum pidana formil (KUHAP) tentu
Jaksa sebagai organ negara (penegak hukum) maka dianggap tidak memiliki kewenangan
dalam melakukan penyidikan Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi tersebut. Sedangkan
perdebatan penerapan pidana materiil mengenai saksi palsu sebagaimana Pasal 22 jo Pasal
35 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini karena sebagian pihak beranggapan
"untuk membuktikan saksi memberikan keterangan palsu atau tidak benar haruslah
dimaknai sebagai keterangan saksi atau ahli suatu persidangan dalam menghadirkan
terdakwa, sebab ketentuan Pasal 35 ayat (1) tersebut secara limitatif menyebut terdakwa,
sehingga tidak mungkin dalam persidangan lain yang tidak ada terdakwanya seperti
perkara perdata atau permohonan praperadilan".

2. Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh sebab itu fungsi hukum
secara umum untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam
masyarakat. Adapun fungsi hukum secara khusus adalah untuk melindungi kepentingan
hukum terhadap perbuatan yang merugikan dengan sanksi berupa pidana. Fungsi hukum
acara pidana dibagi menjadi dua, yaitu fungsi represif dan fungsi preventif terhadap
hukum pidana. Fungsi represif dari hukum acara pidana adalah melaksanakan dan
menegakkan hukum pidana. Artinya, jika ada perbuatan yang tergolong sebagai perbuatan
pidana harus diproses agar ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum pidana itu
dapat diterapkan. Selain itu, hukum acara pidana juga dapat berfungsi untuk mencegah
dan mengurangi tingkat kejahatan, fungsi ini dapat terlihat ketika hukum acara pidana
telah dioperasikan dalam berbagai kegiatan penyelenggaraan peradilan melalui bekerjanya
sistem peradilan pidana. Fungsi ini merupakan fungsi preventif terhadap hukum pidana.
Artinya, orang akan berhitung untuk melakukan atau mengulangi lagi perbuatannya
sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, karena jika melanggar hukum pidana,
berarti ia akan diproses dan dijatuhi pidana berdasarkan hukum acara pidana melalui
bekerjanya sistem peradilan pidana. Contoh fungsi hukum acara pidana yang bersifat
represif:
 Penindakan dengan teguran, diberikan ketika pelanggar lalu lintas yang melakukan
jenis pelanggaran yang dapat dilihat secara kasat mata.
 Penindakan dengan tilang, merupakan upaya terakhir apabila dengan teguran saja, si
pelanggar tersebut masih mengulanginya kembali.
Contoh fungsi hukum acara pidana yang bersifat preventif:
 Pihak suporter sepak bola biasanya 1 (satu) hari sebelum pertandingan mengadakan
rapat laskar yang bertujuan untuk menghimbau agar tertib berlalu lintas di jalan.
Pengurus juga memperingati agar tidak mudah terpancing emosinya ketika bertemu
dengan suporter dari tim lain di jalan.
 Pihak kepolisian biasanya melakukan pengawalan terhadap suporter yang konvoi-
konvoi, tujuannya agar rombongan konvoi tersebut tidak membuat kemacetan lalu
lintas, serta menempatkan anggota-anggota yang lain di titik-titik ramai yang dilalui
suporter sepak bola menuju stadion.

3. Asas legalitas sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana atau


konstitusi masing-masing negara, merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap
dipertahankan demi kepastian hukum. Makna asas legalitas harus dimaknai secara
bijaksana dalam kerangka penegakan hukum dan keadilan. Seperti dipahami, bahwa
makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah suatu perbuatan dapat dipidana hanya
jika diatur dalam perundang-undangan pidana, kekuatan ketentuan pidana tidak boleh
diberlakukan surut. Dari beberapa perbedaan makna dari asas legalitas, dapat disimpulkan
bahwa pada prinsipnya makna asas legalitas:
 Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana sebelum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
 Kedua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-
jelasnya.
 Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Makna sebagaimana tersebut diatas merupakan asas legalitas formil, seperti dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini menekankan, bahwa dasar untuk menentukan
dapat tidaknya suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana
harus terlebih dahulu diatur dalam undang-undang. Pasal 1 Kitab Undang undang hukum
pidana menjelaskan kepada kita bahwa suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk
ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan
hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan. Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada
daripada perbuatan itu, dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku
ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut
(asas non retroaktif), baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas legalitas telah mengalami
pergeseran, yaitu tidak saja didasarkan pada asas legalitas formil akan tetapi juga
didasarkan pada asas legalitas materiel dengan memberi tempat kepada hukum yang hidup
atau hukum tidak tertulis. Contoh kasus penangkapan artis Rafi Ahmad yang diduga
malakukan tindak pidana penyalah gunaan narkotika. Dimana pada saat penanganan
kasusnya ahirnya Rafi Ahmad dibebaskan, dikarenakan barang bukti kepemilikan
Narkotika Rafi Ahmad merupakan jenis zat Narkotika yang belum diatur dalam undang-
undang.

REFERENSI:
Hiariej, Edy. 2021. Hukum Pidana. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Romadhon, Andi. 2020. “Upaya Represif dan Preventif dalam Penegakan Hukum
terhadap Pelanggaran Lalu lintas oleh Kendaraan Pengangkut Suporter PSIM”.
Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology (IJCLC) Vol. 1, No. 3,
November 2020, 127-135.
Riadi, Roy. 2021. Perspektif dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.
https://kumparan.com/royriady/penerapan-hukum-pidana-formil-dan-pidana-materiil-
saksi-keterangan-palsu-1w8vFEYDvZ1, diakses pada 29 Oktober 2022.
Nugraha, Jevi. 2020. Mengenal tujuan Hukum Pidana Beserta Fungsinya Perlu Dipahami.
https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-tujuan-hukum-pidana-beserta-fungsinya-
perlu-dipahami-kln.html, diakses pada 29 Oktober 2022.
Rahayu, Sri. 2014. IMPLIKASI ASAS LEGALITAS TERHADAP PENEGAKAN
HUKUM DAN KEADILAN. Jurnal Inovatif, Volume VII Nomor III September 2014.

Anda mungkin juga menyukai