Anda di halaman 1dari 11

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM PIDANA

Nama Niken Kenanga Aviola


NIM 12030120420030
Kelas Magister Akuntansi Reguler
Dosen Pengampu Prof. Dr. Pujiyono., S.H., M.Hum

SOAL WAJIB (6, 9, 14 dan 16)


6. Meskipun Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas mengatur ketentuan Azas Legalitas, apakah
mungkin peraturan hukum pidana berlaku surut? Jika bisa, adakah syarat-syarat yang harus
dipenuhi? Jelaskan dan berikan contohnya.
Jawaban :
Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut asas legalitas sebagimana yang
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan dilakukan”. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut
adalah larangan memberlakukan suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal
dengan istilah asas retroaktif. Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu
peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Nederlands Indie (AB) S.1947-23, kemudian muncul dalam Konstitusi, yaitu UUDS 1950
Pasal 14 ayat (2). Larangan asas retroaktif juga ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas legalitas namun dalam
beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak.
Artinya dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal
tertentu saja.
Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif jika:
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika
perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal
HAM).
Asas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
a. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan
destruksinya setara dengannya;
b. Peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
d. Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana,
aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran
HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara
dengannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur mengenai asas retroaktif ini diatur dalam
Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan
dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 46 Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme yang menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya
menjadi UU No. 16 Tahun 2003.

9. Sebut dan jelaskan pembagian (jenis-jenis) tindak pidana menurut kualifikasi yuridis dan
ilmu pengetahuan atau ilmiah?
Jawaban :
a. Implikasi Yuridis Materiil
Menurut Barda Nawawi Arief, penetapan kualifikasi yuridis tindak pidana sebagai
kejahatan dan pelanggaran ini diperlukan untuk “menjembatani” berlakunya aturan umum
KUHP terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang pidana khusus di luar
KUHP. Dengan demikian identik dengan penetapan kualifikasi yuridis terhadap suatu
perbuatan sebagai “Tindak Pidana Ekonomi” dalam Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955
atau sebagai “Tindak Pidana Korupsi” dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.
1. Asas Nasional Aktif
Asas nasional aktif sering disebut dengan asas personalitas. Asas ini antara lain
menyatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Dengan demikian, peraturan hukum
pidana Indonesia itu seolah-olah mengikuti orangnya, yaitu warga negara Indonesia
2. Percobaan Tindak Pidana
Menurut Moeljatno, percobaan tindak pidana merupakan delik selesai dan berdiri sendiri.
Percobaan tindak pidana merupakan dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan
(tatbe- stand-ausdehnungsgrund). Dengan kata lain, percobaan tindak pidana merupakan
delicta sui generis atau delik yang berdiri sendiri atau delik selesai namun bentuknya
istimewa.
3. Pembantuan Tindak Pidana
Dalam pembantuan (medepli- chtige) terdapat dua pihak yang terdiri dari dua orang atau
lebih, yaitu pelaku/ pembuat dan pembantu. Pembantuan diatur dalam Pasal 56 dan Pasal
57 KUHP. Pasal 56 KUHP menyebutkan bahwa dipidana sebagai pembantu
(medeplichtige) sesuatu kejahatan:
a. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
b. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
4. Perbarengan Tindak Pidana
Perbarengan tindak pidana dapat dimaknai sebagai seseorang melakukan satu perbuatan
yang melanggar beberapa peraturan hukum pidana, atau melakukan beberapa perbuatan
yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dan salah satu
dari perbuatan pidana tersebut belum dijatuhi putusan hakim
5. Daluwarsa Penuntutan
Latar belakang pemikiran dia- turnya daluwarsa penuntutan tidak bisa dilepaskan dari
kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat
bukti lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian. Daya ingat manusia baik
sebagai terdakwa ataupun sebagai saksi seringkali tidak mampu untuk menggambarkan
kembali atas kejadian masa lalu.
b. Implikasi Yuridis Formal

Implikasi yuridis formal dari penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan
pelanggaran dalam dalam undang-undang pidana khusus, baik yang bersifat intra aturan
pidana maupun ekstra aturan pidana, mengandung arti bahwa undang-undang pidana
khusus di luar KUHP, terikat pada aturan umum yang terdapat dalam Undang- Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Menurut Barda Nawawi Arief, penetapan kualifikasi yuridis
tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran ini memiliki implikasi yuridis formal
dengan masalah penangkapan dan penahanan.
1. Penangkapan
Penangkapan didefinisikan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penun- tutan dan atau peradilan
2. Penahanan
Penahanan diartikan sebagai penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Menurut Pasal 21 ayat
(4) sub a KUHAP menyebutkan bahwa “Penahanan dapat dikenakan terhadap tersangka
atau terdakwa yang melakukan tindak pidana (termasuk percobaan dan pembantuan) yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan delik-delik tertentu yang
disebut dalam Pasal 21 ayat (4) sub b KUHAP, meskipun tidak diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun”.
Jenis-jenis tindak pidana menurut pembagian secara ilmiah atau teoritik yaitu
Dari sudut perbuatan:
a. Delik Commissionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang
undang-undang.
Contohnya: melanggar peraturan lalu lintas
b. Delik Omissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, tidak berbuat atau
melakukan sesuatu yang diharuskan/diperintahkan
Contoh: si A menjadi saksi untuk kasus kecelakaan lalu lintas tetapi si A tidak
menghadiri panggilan sebagai saksi tersebut, maka si A telah melanggar dari delik
omissionis.
Dari Sikap Batin:
a. Delik Dolus: suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja
Contoh: pembunuhan yang dilakukan oleh si A yang mengakibatkan hilangnya nyawa
si B
c. Delik Culpa : perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya
mengakibatkan matinya seseorang
Contoh: Si A yang mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, mengakibatkan
meninggalnya si B karena kelalian dari si A tersebut karena mabuk Ketika mengemudi
d. Delik Tunggal: delik yang cukup dilakukan satu kali untuk dapat dipenuhi terjadinya
suatu delik.
Contoh: penadahan yang dilakukan orang orang kepada supir truk
e. Delik Berganda: delik yang terpenuhi apabila dilakukan dengan beberapa perbuatan
atau kebiasaan
Contoh: penadahan yang dilakukan secara terus menerus kepada supir mobil container
di Pelabuhan.
14. Dalam kasus “Metro Mini” di Sunter Jakarta, Si Sopir yang mengendarai kendaraan
dengan ugal-ugalan sehingga mengakibatkan beberapa penumpang meninggal dunia
dipidana karena melakukan tindak pidana pembunuhan?
Jawaban :
Apabila kealpaan atau kelalaian pengemudi itu mengakibatkan orang lain atau korban
meninggal dunia ancaman pidananya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, sedangkan dalam pasal 310 ayat 4 undang-undang nomor
22 tahun 2009 menjelaskan bahwa dalam hal kecelakaan yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau
denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Meningkatnya jumlah
korban dalam suatu kecelakaan merupakan suatu hal yang tidak diinginkan oleh berbagai
pihak, mengingat betapa sangat berharganya nyawa seseorang yang sulit diukur dengan
sejumlah uang santunan saja. Orang yang mengakibatkan kecelakaan tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan harapan pelaku dapat jera dan lebih
berhatihati. Selain itu berdasarkan Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ, perbuatan pengemudi
yang membahayakan nyawa orang lain atau barang saja sudah dapat dipidana tanpa harus
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Kemudian, jika perbuatan mengemudi secara ugal-
ugalan yang membahayakan nyawa orang lain mengakibatkan kecelakaan lalu lintas
bahkan timbul korban meninggal dunia, maka pengemudi diancam pidana penjara
maksimum 12 tahun atau denda maksimum Rp24 juta.

16. Sebut dan jelaskan dalam keadaan yang bagaimana Pasal 51 ayat (2) KUHP dapat
digunakan sebagai alasan penghapus pidana bagi pelakunya
Jawaban :
Dalam hukum pidana terdapat keadaan-keadaan yang membuat hakim tidak dapat
mengadili seorang pelaku pidana, hingga hakim pun tidak dapat menjatuhkan hukuman
terhadap pelaku tersebut atau yang disebut juga sebagai dasar-dasar yang meniadakan
hukuman. (Pasal 51 Ayat (2) KUHP) tentang menjalankan perintah jabatan tanpa
wewenang dikategorikan sebagai alasan pemaaf yaitu alasan yang meniadakan unsur
kesalahan dalam diri pelaku.
Pasal 51 ayat (2) KUHPidana, menurut Tim Penerjemah BPHN, berbunyi sebagai
berikut, “perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali
jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” Berdasarkan
rumusan pasal ini, pada dasarnya, hanya perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang, jadi suatu perintah jabatan yang sah, yang dapat melepaskan orang yang
diperintah dari pidana. Dengan demikian, suatu perintah jabatan yang tanpa wewenang,
atau suatu perintah jabatan yang tidak sah, pada dasarnya tidak dapat melepaskan orang
yang diperintah dari pidana. Ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang; dan,
b. Pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang
diperintah. Perintah jabatan tanpa wewenang yang memenuhi syarat sebagaimana
yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHPidana, merupakan suatu alasan
penghapus kesalahan atau alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Hal ini karena
perbuatan yang diperintah tetap bersifat melawan hukum, hanya orang yang
diperintah itu tidak dapat dipidana karena padanya tidak ada kesalahan.

SOAL PILIHAN (1, 2, 4, 7, 12)


1. 1. Apakah yang dimaksud dengan ilmu hukum, hukum pidana dan pidana itu?
Jawaban :
Ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menelaah hukum. Ilmu
hukum mencakup dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Ilmu
hukum objeknya hukum itu sendiri. Menurut J.B. Daliyo Ilmu hukum adalah ilmu
pengetahuan yang objeknya hukum. Dengan demikian maka ilmu hukum akan
mempelajari semua seluk beluk mengenai hukum, misalnya mengenai asal mula, wujud,
asas-asas, sistem, macam pembagian, sumber-sumber, perkembangan, fungsi dan
kedudukan hukum di dalam masyarakat. Ilmu hukum sebagai ilmu yang mempunyai objek
hukum menelaah hukum sebagai suatu gejala atau fenomena kehidupan manusia
dimanapun didunia ini dari masa kapanpun.
Hukum Pidana berasal dari Belanda yaitu Straafrecht, straaf dalam arti Bahasa
Indonesia adalah Sanksi, Pidana, Hukuman.recht dalam arti Bahasa Indonesia adalah
Hukum. Menurut pakar Hukum dari Eropa yaitu Pompe, menyatakan bahwa Hukum
Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan Hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang
dapat dihukum dan aturan pidananya. Menurut Moeljatno mengatakan bahwa, Hukum
Pidana adalah bagian dari keseluruhanhukum yang berlaku disuatu Negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atausanksi yang berupapidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana
lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan
dari recht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan
hukum pidana. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.
Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar
feit). Pidana dapat berbentuk punishment atau treatment.

2. 2. Apakah yang dimaksud dengan Bagian Umum dan Bagian Khusus dalam hukum pidana?
Jawaban :
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua
warga Negara sebagai subjek hukum tanpa membeda-bedakan kualitas pribadi subjek
hukum tertentu. Materiil hukum pidana umum ini bersumber pada KUHP dan formil hukum
pidana umum bersumber pada KUHAP. Selain hukum pidana umum ini, ada juga yang
disebut sebagai hukum pidana khusus.
Hukum pidana khusus dapat didasarkan atas dasar subjek hukumnya maupun atas
dasar pengaturannya. Dilihat dari subjek hukumnya, hukum pidana khusus adalah hukum
pidana yang dibentuk oleh negara hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu
saja, misalnya. hukum pidana militer. Hukum pidana militer merupakan hukum pidana
khusus yang tertua di dunia yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang menjadi anggota
militer aktif. Hukum pidana militer ini dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM). Pelanggaran terhadap KUHPM juga tidak diadili di lingkungan
peradilan umum melainkan diadili di lingkungan peradilan militer. Dilihat dari
pengaturannya, hukum pidana khusus adalah ketentuan-ketentuan hukum pidana yang
secara materiial menyimpang dari KUHP atau secara formil menyimpang dari KUHAP.
Atas dasar pengaturan tersebut, hukum pidana khusus dibagi menjadi dua bagian yaitu
hukum pidana khusus dalam undang-undang pidana dan hukum pidana khusus bukan dalam
undang-undang pidana. Hukum pidana khusus dalam undang-undang pidana contohnya
adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain sebagainya.

3. 4. Mengapa ketentuan Hukum Pidana Khusus (Hukum Pidana di Luar KUHP) dapat
menyimpangi ketentuan Buku I KUHP. Jelaskan dan berikan contohnya.
Jawaban :
KUHP berisikan asas-asas hukum pidana yang mengatur batasan-batasan dari
penerapan pasal-pasal dari tindak pidana tersebut. Asas yang dimaksud bukan merupakan
hukum acara pidana yang mengatur tata cara penegak hukum menjalankan peradilan pidana
yang diatur dalam peraturan sendiri. Asas-asas hukum pidana ini terdapat dalam buku I
KUHP yang mengikat penerapan pasal-pasal tindak pidana yang tercantum dalam Buku II
dan Buku III KUHP dan yang diatur diluar KUHP sepanjang tidak ditentukan lain (Pasal
103 KUHP). Hukum penyimpangan diartikan sebagai paradigma yang mengorientasikan
hukum pidana sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, yang dalam kepustakaan ilmu
pengetahuan dikenal sebagai “hukum eksepsional”.
Penyimpangan yang dimaksud disini adalah terkait dengan norma dalam buku I KUHP
tentang asas-asas penerapan pasal-pasal tindak pidana. Dalam kata lain, disebut
menyimpangi hukum pidana materil yang merupakan salah satu ciri dari hukum pidana
khusus. Hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana material dan formal
yang berada diluar hukum kodifikasi, dengan memuat norma, sanksi, dan asas hukum yang
disusun khusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang
mengandung, peraturan dari anasir-anasir kejahatan yang konvensional. Dari pandangan
tersebut maka jelas suatu penyimpangan tertentu terhadap materi formal dan materil dalam
hukum pidana khusus membuatnya berada diluar KUHP.
Contoh: hukum pidana militer, hukum pidana fiskal, hukum pidana ekonomi dan
hukum pidana politik, UU tentang pemberantasan tidak pidana korupsi, UU tentang
narotika, UU tentang psikotropika, UU tindak pidana korupsi.

7. Apakah perbedaan antara aliran monistis dengan dualistis dalam hukum pidana
Jawaban :
Dari perbedaan pendapat mengenai penafsiran istilah strafbaarfeit oleh para ahli hukum
pidana, maka menurut Sianturi (1986: 209) dikenal adanya 2 (dua) pandangan mengenai
unsur-unsur delik.
a. Pandangan Monistis/ monism. Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang
melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari
perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam
pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang
dilarang (Actus Reus / Criminal Act) dan pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan
(Mens Rea /Criminal responbility). Pandangan ini merumuskan unsur-unsur delik
sebagai berikut:
• Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan
Negatif (tidak beruat)
• diancam dengan pidana
• melawan hukum
• dilakukan dengan kesalahan
• oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Dengan penjelasan seperti tersebut diatas, maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat
adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana.

b. Pandangan Dualistis/ Dualisme. Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan


pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan Monistis dalam
pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik unsur perbuatan maupun
unsur orangnya. Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup
perbuatannya saja. Sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi unsur tindak
pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila
telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau
pertanggungjawab pidana.Pandangan ini disebut juga aliran modern dan
berpendapat bahwa syarat-syarat pemidanaan terdiri atas perbuatan atau pembuat
yang masing-masing memiliki unsur sebagai berikut:
• Adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusana dalam undang-undang
(hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP)
• bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan
ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif)

12. Sebut dan jelaskan corak atau tingkatan kesengajaan. Jawaban disertai dengan contoh
Jawaban :
Kesengajaan (Dolus)
Menurut Memorie van Toelichting, kata “dengan sengaja” (opzettlijk) yang banyak
dijumpai dalam pasal-pasal KUHP diartikan sama dengan willens en wetens yaitu sesuatu
yang dikehendaki dan diketahui. Ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
Kesengajaan sebagai maksud yaitu bentuk kesengajaan yang menghendaki pelaku
untuk mewujudkan suatu perbuatan, menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan
suatu kewajiban hukum, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu.
Sehingga pada saat seseorang melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat
yang dikehendakinya, menyadari bahwa akibat tersebut pasti atau mungkin dapat
timbul karena tindakan yang telah dilakukan, orang dapat mengatakan bahwa orang
tersebut mempunyai kesengajaan sebagai maksud. Contoh kasus: seseorang ingin
membunuh temannya, kemudian ia menembaknya menggunakan pistol di bagian
kepala.
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet als zekerheldsbewustzijn)
Kesengajaan sebagai kepastian yaitu bentuk kesengajaan yang berupa kesadaran
seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal manusia pada umumnya pasti
terjadi dikarenakan dilakukannya suatu perbuatan tertentu dan terjadinya akibat
tersebut tidak dapat dihindarkan. Akibat yang timbul merupakan akibat lain dari
tindakan yang dilakukannya bukan merupakan akibat yang dikehendaki. Contoh
kasus: Saat melakukan perampokan pelaku menggorok kasir supermarket dengan
menggunakan kapak tajam, akibatnya kasir tersebut mati. Meskipun kematian ini
tidak diinginkan, namun siapapun pasti tahu menggorok orang dengan kapak tajam
dapat menyebabkan seseorang mati.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis)
Kesengajaan sebagai kemungkinan yaitu suatu kesadaran untuk melakukan
perbuatan yang telah diketahuinya bahwa akibat lain yang mungkin akan timbul dari
perbuatan itu yang tidak ia inginkan dari perbuatannya, namun si pembuat tidak
membatalkan niat untuk melakukannya. Dalam dolus ini dikenal teori “apa boleh
buat” bahwa sesungguhnya akibat dari keadaan yang diketahui kemungkinan akan
terjadi, tidak disetujui tetapi meskipun demikian, untuk mencapai apa yang dimaksud
resiko akan timbulnya akibat atau disamping maksud itupun diterima. Contoh
kasus: Seorang Terdakwa mengatakan bahwa ia tidak bermaksud untuk membunuh
korban. Tapi semestinya ia menyadari apabila sebilah pedang ditebaskan pada bagian
badan manusia akan menyebabkan pendarahan yang hebat, dan kemungkinan besar
si korban akan kehabisan darah, yang akan mengakibatkan kematian

Anda mungkin juga menyukai