Anda di halaman 1dari 8

Nama : Fransiskus Xaverius Anofa

Nim. : 19110135

Kelas : A1

UTS. : Hukum Pidana Khusus

Jawaban :

1 . A. Hukum Tindak Pidana Khusus

Hukum Pidana di Indonesia terbagi dua, yaitu Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana
Khusus.Secara definitif Hukum Pidana Umum dapat diartikam sebagai perundang-undangan pidana
dan berlaku umum, yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta semua
perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP.

Adapun Hukum Pidana Khusus, dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang
memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus di luar
KUHP, baik perundang-undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana
(ketentuan menyimpang dari KUHP).

Menurut Andi Hamzah, peraturan hukum yang tercantum di luar KUHP dapat disebut undang-
undang (pidana) tersendiri atau dapat juga disebut hukum pidana di luar kodifikasi atau
nonkodifikasi.

Law Online Library (Maret 2010) menuliskan, seiring dengan munculnya pengaturan hukum pidana
secara khusus, muncul istilah Hukum Pidana Khusus, yang sekarang diganti dengan istilah Hukum
TIndak Pidana Khusus.

Di Indonesia kini berkembang dengan subur undang-undang tersendiri di luar KUHP, seperti UU
Tindak Pidana Ekonomi, UU Tipikor, dan banyak perundang-undangan administrasi yang bersanksi
pidana, dengan ancaman pidananya sangat berat 10 tahun, 15 tahun, sampai seumur hidup bahkan
ada pidana mati (UU Psikotropika, UU Perbankan, dan UU Lingkungan Hidup).

1. Latar Belakang Pengaturan Tindak Pidana Khusus

Suatu hal yang nyata, perkembangan kriminalitasdalam masyarakat telah mendorong lahirnya UU
Tindak Pidana Khusus, yaitu UU Hukum Pidana yang ada di luar KUHP.

Kedudukan Undang-Undang Hukum Pidana Khusus dalam sistem hukum pidana adalah pelengkap
dari hukum pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP. Suatu kodifikasi hukum pidana betapun
sempurnanya pada suatu saat akan sulit memenuhi kebutuhan hukum dari masyarakat.

Mengapa dalam sistem hukum pidana Indonesia dapat timbul pengaturan hukum pidana (kebijakan
kriminalisasi) khusus atau peraturan tersendiri di luar KUHP ?jawabannya, karena KUHP sendiri
menyatakan tentang kemungkinan adanya Undang-Undang Pidana di luar KUHP itu,
sebagaimanadapat disimpulkan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 KUHP.

Pasal 103 mengatakan ketentuan umum KUHP, kecuali Bab IX (interpretasi istilah) berlaku juga
terhadap perbuatan yang menurut undang-undang dan peraturan lain diancam dengan pidana,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Maksudnya, Pasal 1-85 Buku I KUHP tentang Ketentuan
Umum/Asas-asas Umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan
undang-undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang atau peraturan itu
menyimpang.

Bertitik tolak dari hal itu, Andi Hamzah berpendapat di Indonesia dapat timbul undang-undang
tersendiri di luar KUHP karena ada dua faktor yaitu :

· Adanya ketentuan lain di luar KUHP : Pasal 103 KUHP yang memungkinkan pemberlakuan
ketentuan pidana dan sanksinya terhadap suatu perbuatan pidana yang menurut undang-undang
dan peraturan-peraturan lain di luar KUHP diancam dengan pidana kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang;

· Adanya pasal 1-85 KUHP (Buku I) tentang Ketentuan Umum yang memungkinkan penerapan
aturan-aturan pidana umum bagi perbuatan-perbuatan pidana yang ditentukan di luar KUHP, kecuali
perbuatan tersebut menyimpang.

Hanya saja, Andi Hamzah menggarisbawahi hal terpenting untuk diperhatikan, yaitu penyimpangan-
penyimpangan dalam undang-undang atau peraturan-peraturan khusus tersebut terhadap
ketentuan umum KUHP. Selebihnya, yang tidak menyimpang dengan sendirinya tetap berlaku
ketentuan umum KUHP, berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali (ketentuan khusus
menyingkirkan ketentuan umum). Jadi selama tidak ada ketentuan khusus berlakulah ketentuan
umum itu.

2 . Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk
diberlakukan bagi setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum
pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja,
misalnya, bagi anggota-anggota Angkatan Bersenjata, atau merupakan hukum pidana yang
mengatur tindak pidana tertentu saja, misalnya, tindak pidana fiskal.

Secara singkat, kita juga dapat melihat pembagian hukum pidana umum dengan hukum pidana
khusus dengan peraturan yang ada, yakni bahwa hukum pidana yang diatur di dalam KUHP
merupakan hukum pidana umum, karena ketentuan di dalamnya berlaku untuk semua orang.
Sedangkan hukum pidana khusus, bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur
ketentuan pidana di luar KUHP, misalnya UU Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian
Uang, dan lainnya.

3 . A .Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex
generalis). Contohnya, dalam pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih
secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis), dan ia dikesampingkan apabila ada
hukum yang mengatur secara khusus.

B . lex superiori derogate legi inferiori, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa aturan hukum
yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang tingkatannya
lebih tinggi. Hal ini berarti apabila terdapat pertentangan pengaturan terhadap suatu objek hal yang
sama, maka aturan yang lebih tinggilah yang akan mengalahkan aturan yang lebih rendah.

C . Lex posterior derogat legi priori adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum
yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior). Asas ini biasanya
digunakan baik dalam hukum nasional maupun internasional.
D . Kedudukan asas kekhususan sistematis (systematische specialiteit) saat ini hanya terdapat di
dalam Pasal 14 Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bunyinya sebagai
berikut: “Setiap orang yang melanggar ketentuan Undangundang yang secara tegas menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi
berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”. Asas tersebut merupakan pengembangan
dari asas lex specialis derogat legi generali yang terdapat pada Pasal 63 ayat (2) KUHP dimana
diberlakukan penerapan Undang-Undang yang 'lebih khusus dari yang khusus” dalam proses
penegakan hukum. Tidak adanya batasan yang jelas atas asas kekhususan sistematis telah
menimbulkan grey area yang mengakibatkan perdebatan narasi antara hukum pidana korupsi dan
hukum pidana administrasi karena adanya multi-interpretasi. Ketiadaan asas kekhususan sistematis
di dalam produk administrative penal law di bidang perbankan mengakibatkan praktik tindak pidana
di dalam perbankan diidentikan sebagai tindak pidana korupsi.

C . Asas Lex Favor Reo/Transitoir adalah sebuah asas yang menganut prinsip pengenaan sanksi
berdasarkan hukuman yang teringan bila terjadi perubahan perundang-undangan.

4 . A . Kerugian Keuangan Negara

Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti
Formil, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Komariah Emong Sapardjaja menguraikan
bahwa UU Tipikor menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formal.

Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti
langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan
keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 mengatur
bahwa:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian negara’ menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formal.

Adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.

B . Gratifikasi disebut juga suap yang tertunda atau suap terselubung. Gratifikasi sering dianggap
sebagai akar korupsi.

Dikhawatirkan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi lama
kelamaan terjerumus melakukan korupsi bentuk lain seperti suap, pemerasan dan lainnya.

Gratifikasi dilarang karena mendorong pegawai negeri atau penyelenggara negara bersikap tidak
obyektif, tidak adil dan tidak profesional. Akibatnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara
tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Undang-undang menggunakan istilah "gratifikasi yang dianggap pemberian suap" untuk
menunjukkan bahwa penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya.

Gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Maka
gratifikasi bersifat netral sehingga tidak semua gratifikasi dilarang atau salah.

Berikut ini perbedaan antara gratifikasi yang dilarang dan yang boleh diterima:

Gratifikasi yang dilarang

Gratifikasi yang dilarang adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

Gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan.

Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki
konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar.

Gratifikasi yang boleh diterima

Gratifikasi yang boleh diterima memiliki karakteristik sebagai berikut:

Berlaku umum yaitu kondisi pemberian yang diberlakukan sama dalam hal jenis, bentuk, persyaratan
atau nilai untuk semua peserta dan memenuhi prinsip kewajaran atau kepatutan.

Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-udnangan yang berlaku.

Dipandang sebagai wujud ekspresi, keramah-tamahan, penghormatan dalam hubungan sosial antar
sesama dalam batasan nilai yang wajar.

Merupakan bentuk pemberian yang berada dalam ranah adat istiadat kebiasaan dan norma yang
hidup di masyarakat dalam batasan nilai yang wajar.

5 . 3 jenis kejahatan didunia maya berujung kekerasan

1 . Penculikan, orang yang berniat jahat akan bercana mencari korban lewat media sosial dan
berkenalan dan mengajak bertemu korban, setelah itu korban akan disekap, keluarga korban akan
dimintai tebusan berupa uang berjumblah besar, keluar korban akan diancam jika tidak di penuhi
permintaan pelaku maka pelaku akan melakukan tindak kekerasan terhadap korban.

2 . Pemerkosaan, seperti penjelasan pertama diatas pelaku melalukan kontak dengan korban
dimedia sosail dan mengajak bertemu korban di tempat di kos – kosan atau tempat sempi yg
menurut pelaku aman dan pelaku melakukan pemerkosaan atau kekerasan terhadap korban

3. Peleceha, seperti dua penjelasan diatas pelaku juga berkenalan lewat media sosial dan mengajak
korban untuk bertemu, setelah itu pelaku akan berniat melancarkan niat jahat seperti pencabulan
atau pelecehan terhadap korban yang pertama dikenalnya di media sosail.

3 jenis kejahatan dunia maya yang tidak berpotensi terjadinya kekerasan

1. Pencurian Data

Aktivitas cyber crime yang satu ini biasanya dilakukan untuk memenuhi kepentingan komersil karena
ada pihak lain yang menginginkan data rahasia pihak lain. Tindakan ini tentu bersifat ilegal masuk ke
dalam aktifitas kriminal karena bisa menimbulkan kerugian materil yang berujung pada
kebangkrutan suatu lembaga atau perusahaan.

2. Cyber Terorism

Cyber terorism merupakan tindakan cyber crime yang sedang banyak diperangi oleh negara-negara
besar di dunia, termasuk Indonesia. Pasalnya, aktivitas cyber terorism kerap kali mengancam
keselamatan warga negara atau bahkan stake holder yang mengatu jalannya pemerintahan.

3. Hacking

Jenis cyber crime berikutnya adalah Hacking. Tindakan berbahaya yang kerap kali dilakukan oleh
para programer profesional ini biasanya secara khusus mengincar kelemahan atau celah dari sistem
keamanan untuk mendapatkan keuntungan berupa materi atau kepuasan pribadi.

Jika menilik dari kegiatan yang dilakukan, hacking sebenarnya tidak selalu memiliki konotasi buruk
karena ada pula hacker positif yang menggunakan kemampuannya untuk kegiatan bermanfaat dan
tidak merugikan.

Misalnya, seorang hacker yang diberi tugas untuk melacak keberadaan seorang buronan atau hacker
yang bekerjasama dengan pihak bewenang untuk memberantas aktivitas ilegal di ranah digital.

6.A . Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan Narkotika yang ada dalam lampiran UU 35 tahun 2009
tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika disahkan pada tanggal 12 Oktober 2009 di
Jakarta oleh Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono. UU 35 tahun 2009 tentang Narkotika
diundangkan Menkumham Andi Mattalatta pada tanggal 12 Oktober 2009 di Jakarta. Agar setiap
orang mengetahuinya, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143. Penjelasan Atas UU 35 tahun 2009
tentang Narkotika ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika ini membentuk sebuah badan nasional,
yaitu BNN, Badan Narkotika Nasional, sebagaimana Undang-Undang lainnya dalam rezim saat itu.UU
35 tahun 2009 tentang Narkotika memiliki tujuan untuk:menjamin ketersediaan Narkotika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi;mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan
Narkotika;memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; danmenjamin
pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Mencabut

Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa setelah UU
35/2009 tentang Narkotika berlaku maka:
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698); dan

Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671)
yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini,dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Latar Belakang

Pertimbangan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah: bahwa untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu
dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;

bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan
pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang
sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan
atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;

bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau


menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama serta
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena
sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat,
bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;

bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan
modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi
yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;

B . Narkotika golongan I hanya dibolehkan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi,
reagensia diagnostik atau laboratorium. Narkotika jenis ini mempunyai potensi sangat tinggi
menimbulkan ketergantungan. Contohnya adalah opiat seperti morfin, heroin (putaw), petidin,
candu. Ganja (kanabis), marijuana, hashis. Kokain meliputi serbuk kokain, pasta kokain daun koka.
Narkotika golongan 1 seperti ganja, opium, dan tanaman koka sangat berbahaya jika dikonsumsi
karena beresiko tinggi menimbulkan efek kecanduan.

7 . Asas kepastian hukum, yg merupakan asas yg ada didlm negara hukum. Asas ini mengutamakan
landasan peraturan perundang – uandangan keputusan serta keadilan dalam Kebijakan suatu
penyelenggara negara.

Asas keterbukaan, merupakan suatu asas yg membuka diri terhadap hak – hak masyarakat dalam
memperoleh informasih yg benar dan tidak diskriminatif.

Asas akuntabilitas, berfungsi untuk menentukan pelaksanaan dan hasil akhir dari suatu kegiatan
penyelenggara yang dapat dipertanggung jawabkan dikalangan masyarakat.

Asas kepentingan umum, merupakan suatu asas yg mendahulukan kepentingan umum atau
kesejahteraan umum melalui cara – cara yg aspiratif, akomodatif, dan serta selektif.

Peoporsionilitas, merupakan asas dlm menjalakan tugas yang mengutamakan keseimbangan antara
hak dan kewajiban penyelenggara negara.

8 . Menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang yang masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang
adalah sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja;
penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian;
kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan;
pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di
bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak pidana
lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum ndonesia.

9 . Dilansir dari Jurnal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditulis Joni Emirzon, Guru Besar
Hukum Bisnis Unsri, setidaknya ada 3 proses pencucian uang yakni penempatan (placement),
transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration).

Penempatan yakni upaya menempatkan dana yang dihasilkan suatu kegiatan tindak pidana ke
sistem keuangan seperti penempatan dana pada bank, membiayai suatu usaha yang seolah-seolah
sah seperti pemberian kredit atau pembiayaan (mengubah kas menjadi kredit).

Contoh lain dari penempatan pencucian uang adalah membeli barang-barang berharga yang bernilai
tinggi untuk kepentingan pribadi.

Berikutnya yakni transfer atau layering memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak
pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul dana.
Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu
sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain
untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana.

Contoh praktik ini antara lain transfer dana satu bank ke bank lain antar wilayah atau negara, dan
memindahkan uang lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell
company (perusahaan cangkang).

Ketiga yakni integration atau menggunakan harta kekayaan, yakni upaya menggunakan harta
kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai
bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang
sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan
diperoleh dan besar biaya yang harus dikeluarkan.

Karena tujuan utama adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil
akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.

10 . Kriminal umum itu setiap tindak pidana bisa dikriminalisasikan. Kalau ini khusus, karena ada
aspek suasana teror. Sudah transnational crime. Khusus terorisme punya kekhususan, diambil pasal
6 dan pasal 7," ujar Enny di Gedung DPR saat jeda rapat pembahasan RUU Terorisme.

Perbedaan bentuk kriminal tersebut diusulkan dengan dimasukkannya tiga frasa dalam definisi,
yakni frasa motif ideologi, motif politik, dan motif mengganggu keamanan negara. Oleh karena itu
pemerintah pun mengeluarkan dua alternatif untuk merumuskan definisi dari RUU Terorisme
tersebut.

Dua alternatif definisi tersebut, merupakan bentuk kesepakatan yang bulat di pemerintah. Pihaknya
juga memperhatikan dengan seksama usulan-usulan yang masuk terkait dengan definisi tersebut.
Sebab, katanya, definisi merupakan definisi ilmiah yang sifatnya parsial sehingga harus dibuat tegas,
jelas, dan tidak boleh ada tafsir apapun.

Definisi yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri diambil berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor
15 Tahun 2003. Adapun frasa yang diajukan, katanya, pihaknya meletakkannya dalam konsiderans
dan penjelasan umum.

Anda mungkin juga menyukai