M
Course Materials about Criminal Law
Skip to content
Beranda
105-106 UAS DELIK-DELIK KHUSUS DILUAR KUHP
207-210 UTS KRIMINOLOGI
302 UAS POLITIK HUKUM PIDANA
307 UTS POLITIK HUKUM PIDANA
A414-415-B416 LATIHAN S0AL UAS HUKUM INTERNASIONAL
A423-433 LATIHAN S0AL UAS POLITIK HUKUM PIDANA
ANTROPOLOGI (SOAL LATIHAN)
B425 LATIHAN S0AL UAS FORENSIK & VIKTIMOLOGI
BUKU I RUU KUHP 2015
Buku II RUU KUHP 2015
D303 LATIHAN SOAL UAS KRIMINOLOGI
D304 LATIHAN S0AL UTS DELIK-DELIK KHUSUS DILUAR KUHP
D306-307 LATIHAN SOAL UTS HAM
D310 LATIHAN S0AL UTS HAM
FINAL TEST TRAINING OF ANTROPOLOGY
HUKUM PIDANA KHUSUS
Komunikasi Saya
LATIHAN SOAL HUKUM INTERNASIONAL
LATIHAN SOAL KRIMINOLOGI
Penjelasan RUU KUHAP
RUU KUHAP 2015
Seminar Perlindungan Saksi dan Korban
SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK
SOAL LATIHAN DELIK-DELIK KHUSUS DILUAR KUHP
SOAL LATIHAN HUKUM PEMBUKTIAN
SOAL LATIHAN SOSIOLOGI
SOAL LATIHAN TINDAK PIDANA TERTENTU DALAM KUHP
SOAL LATIHAN TIPIKOR
SOAL LATIHAN UAS TIPIKOR
SOSIOLOGI HUKUM
TINDAK PIDANA ANAK
TINDAK PIDANA KORPORASI
TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME
UAS FORENSIK & VIKTIMOLOGI
UAS KRIMINOLOGI
UAS POLITIK HUKUM PIDANA
UAS SOSIOLOGI
Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum
Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan, apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Oleh
karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana[1] yang berada di luar
Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari
segi Hukum Pidana Materiil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada
penyimpangan tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang
tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu
hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum
Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum
Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana
merupakan indikator apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau
bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana
atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat Pompe yang mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi
tersendiri”.
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang
berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai
penyalahgunaan kewenangan. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan
ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah
tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari
UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun 1964 tentang Lalu
Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak
lagi merupakan tindak pidana khusus.
Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak
pidana khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat
penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya
Jaksanya harus Jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim
ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi.
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU
No. 7 Drt. 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 1/Perpu/2002 dan UU No. 2/Perpu/2002.
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP
sepanjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak
mengatur seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin
lengkap).
Perundang-undangan Pidana:
1. UU Pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana
terhadap aturan yang berada di luar Hukum Pidana Umum.
Apabila diperhatikan suau undang-undang dari segi hukum pidana ada 5 substansi:
1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana seperti (UU No. 1 Tahun 1974, UU
No. 7/1989 yang diubah dengan UU No. 32/2004, UU No. 4/2004, UU No. 23/1999
yang diubah dengan UU No. 3/2004)
2. UU yang memuat ketentuan pidana, maksudnya mengancam dengan sanksi pidana
bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan
pidana seperti (UU No. 2/2004, UU No. 8/1999, UU No. 7/1996, UU No. 18/1997
yang diubah dengan UU No. 34/2000, UU No. 23/2004, UU No. 26/2000).
3. UU Pidana, maksudnya UU yang merumuskan tindak pidana dan langsung
mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengaur bab tersendiri yang memuat
ketentuan pidana (seperti UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan UU No. 20/2001, UU No. 1/Perpu/2000, UU No. 15/2002 yang diubah
dengan UU No. 25/2003).
4. UU Hukum Pidana adalah UU yang mengatur ketentuan hukum pidana. UU ini terdiri
dari UU pidana mateiil dan formal (UU acara pidana). Kedua UU hukum pidana ini
dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No. 8/1981 tentang KUHAP,
KUHP Militer).
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan Hukum Administrasi (HPE, Hk.
Pidana Fiskal, UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 khusus
masalah penyalahgunaan kewenangan).
Dasar hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal
103 ini mengandung pengertian:
1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP
sepanjang UU itu tidak menentukan lain.
2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak
mengatur seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin
lengkap).
Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap
Hukum Pidana Umum, baik dibidang hukum pidana materiil maupun dibidang hukum pidana
formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk
golongan/orang-orang tertentu.
Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dapat berupa
menentukan sendiri yang sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketentuan khusus.
BAB II
UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk definisi
mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 pada
intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau
berdasarkan Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e, dan Ps. 1 sub 3e. Jadi setiap terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum
Pidana Ekonomi diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Tujuan dibentuknya UU Drt. No 7 Tahun 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam
peraturan perundang-undangan tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai
tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi.
Disebut dengan hukum pidana ekonomi, oleh karena UU Drt. No. 7 Tahun 1955 mengatur
secara tersendiri perumusan Hukum Pidana Formal disamping adanya ketentuan Hukum
Pidana Formal dalam Hukum Pidana Umum (Hukum Acara Pidana). Selain itu juga terdapat
penyimpangan terhadap ketentuan Hukum Pidana Materiil (KUHP).
Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No.
7 Tahun 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e,
dan sub 3e.[6] Tindak pidana Pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33
UU Drt. No. 7 Tahun 1955. Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah pelaksanaan
suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu
menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 ini lebih bersifat hokum
administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU Drt. No. 7 Tahun 1955 disebut dengan
tindak pidana ekonomi, oleh karena berupa kejahatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian Negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e UU Drt. No.
7 Tahun 1955, tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok:
1. Pertama, tindak pidana yang berasal dari luar UU Drt. No. 7 Tahun 1955, yaitu
undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps. 1 sub 1e dan Pasal
1 sub 3e.
2. Kedua, tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps. 26, Ps. 32 dan Ps. 33
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e.
Tindak pidana Ps. 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pengawal
pengusut (selanjutnya disebut penyidik).[7] Pasal 26 merumuskan dengan “sengaja tidak
memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini”.
Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Pasal 26 harus diketahui dulu bahwa yang
disidik itu bukan tindak pidana ekonomi bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik
dikenakan ketentuan Ps. 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana
ekonomi, maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps. 26. Tuntutan
sebagaimana yang dimaksud Ps. 26 adalah:
Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk
mendapatkan keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps. 18 ayat
(1)).
Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu untuk diketahui
Penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik-baiknya (Ps. 19 ayat
(1)).
Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang, jika hal itu dipandang perlu oleh
penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps. 22 ayat (1)).
“Barang siapa dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps. 7 ayat (1) a, b, atau c, dengan suatu tindakan
tata tertib seperti tercantum dalam Ps. 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps.
10 atau dengan suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari hukuman tambahan,
tindakan tata tertib, peraturan, tindakan tata tertib sementara seperti tersebut diatas.”
Menurut pembuat UU, yang dimuat dalam Penjelasan Ps. 32 ini agar agar dengan mudah
dapat dipaksakan kepada yang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagainya,
sebab pengusaha yang membandel, banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari
dibebankannya pelbagai pidana tambahan.
Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuan Pasal 32 diatas.
Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian-bagian kekayaan untuk dihindarkan dari
beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tata-tertib, atau tindakan tata tertib
sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU Drt. No. 7 Tahun 1955.
Rumusan secara lengkap sbb: “Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan
peraturan orang lain, emnarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau
pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara, yang
dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.”
Ps. 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi jika seseorang yang dengan sengaja baik
sendiri maupun perantaraan orang lain:
Menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu
pidana atau;
Tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara yang dijatuhkan kepadanya
berdasarkan UU Drt. No. 7 Tahun 1955, karena sering orang menghindari dari
hukuman kekayaan itu.
Tagihan-tagihan;
Pelaksanaan suatu tindakan tata tertib;
Pelaksanaan suatu tindakan tat tertib sementara, yang kesemuanya 1), 2), 3) harus
berdasarkan UU Drt. No. 7 Tahun 1955.
Menurut penulis, apa yang diamksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps.
33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam Ps. 399 KUHP.
Ps. 399 KUHP merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu
korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan Hakim untuk menyelesaikan
urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak
penagih. Kegiatan yang dilakukannya:
Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasarkan undang-undang lain, sekedar undang-
undang itu menyebut pelanggaran sebagai tindak pidana ekonomi. Tindak pidana yang
dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1955 ada tiga undang-undang yang menyatakan
pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi:
UU No. 8 Prp. Tahun 1962 LN No. 42 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-
Barang dalam Pengawasan.
UU No. 9 Prp. Tahun 1962 LN No. 43 Tahun 1962 tentang Pengendalian Harga.
UU No. 11 Tahun 1965 LN. No. 54 Tahun 1965 tentang Pergudangan.
Sanksi terhadap pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan
tindakan tata tertib. Sistem ini dikenal dengan istilah double track system. Sanksi pidana
berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pidana ini sesuai dengan ketentuan
Ps. 10 KUHP. Sedangkan tindakan tata tertib sebagaimana diatur dalam Ps. 8 UU Drt. No. 7
Tahun 1955.
Sanksi pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps. 6 ayat (1), yaitu sanksi pidana
penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e dan Ps 1
sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternative, maksudnya dijatuhkan dua
sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda) atau salah satu diantara dua sanksi
pidana pokok itu.
Untuk itu dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak
pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu:
UU No. 21/Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman dendz yang semulanya satu juta
berdasarkan UU No. 8/Drt/1958 dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta
rupiah. Jika tindak pidana itu dapat menimbulkan kekacauan dibidang perekonomian dalam
masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang
ditetapkan pada ayat (1). Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif.
Pompe menunjuk patokan Pasal 91 WvS Ned (Pasal 103 KUHP) yaitu jika ketentuan undang-
undang (diluar KUHP) banyak menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana (Bab I –
Bab VIII Buku I). Wvs Ned (Bab I – Ban VIII Buku I KUHP) maka itu merupakan hukum
pidana khusus. Patokan seperti ini sejajar dengan adagium lex specialis derogate legi
generali (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum). Hukum pidana ekonomi
mempunyai watak tersendiri yang ternyata pada aturan Strafbaarheid nya yang semuanya
menyimpang dari hukum pidana biasa. Contoh yang ditempuh oleh Pompe ialah dapatnya
dipidana dari badan hukum, perampasan barang-barang bukti (maksudnya termasuk barang-
barang kepunyaan pihak ketiga) dan barang tidak berwujud). Penyelesaian diluar acara
(schikking) dan disamping itu penyimpangan dari ketentuan acara pidana yang penting.[9]
Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 terdapat
perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus
maupun pada tindak pidana umum.
1. Tingkat pertama, Peradilan tindak pidana ekonomi diatur dalam Ps. 35, Ps. 36, Ps. 37,
Ps. 38, Ps. 39;
2. Tingkat banding, diatur dalam Ps. 41, Ps. 42, Ps. 43, Ps. 44, Ps. 45, dan Ps. 46;
3. Tingkat kasasi, diatur dalam Ps. 47, Ps. 48.
Pada tingkat pertama, Ps. 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri
ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang
jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara
tindak pidana ekonomi.
Ps. 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonomi
adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya
hakim, panitera dan jaksa adalah tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum.
Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili
perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di Pengadilan
Negeri. Ps. 35 ayat (1) memberikan arti Pengadilan Ekonomi ada di Pengadilan Negeri.
Pengadilan Ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana
ekonomi. Fisiknya tidak Nampak akan tetapi fungsinya ada.
Menurut Ps. 36, seorang Hakim atau Jaksa pada Pengadilan Ekonomi itu dapat dipekerjakan
lebih dari satu Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini, dikehendaki pada tahun
1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekonomi, ketika itu Hakim di
Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[10] Oleh karena pada Ps. 36 itu
tidak disebut Panitera berarti Panitera tidak dapat dipekerjakan lebih dari satu Pengadilan
Ekonomi.
Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesaian tindak pidan ekonomi maka
dalam Ps. 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat keduudkan
Pengadilan Ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hokum Pengadilan Negeri
apabila pada Pengadilan Negeri dalam lingkungan Pengadilan Tinggi itu tidak terdapat
Hakim atau Jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana
ekonomi.
Pada tingkat banding disebutkan pada Ps. 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Tinggi
untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan Pengadilan Tinggi Ekonomi yang diberi
tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini
mempunyai jiwa yang sama dengan Ps. 35 ayat (1).
Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangat
gecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak
mempunyai gambaran yang sebenarnya, sehingga menyebabkan timbul perbedaan pendapat
antara Jaksa dan Hakim. Untuk emngatasi masalah yang berhubungan dengan penyidikan,
penuntutan dan peradilan terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan
pegawai penghubung. Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait)
berdasarkan persetujuan Menteri Kehakiman.
Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada Penyidik, Jaksa dan Hakim baik diluar
maupun didala pengadilan. Menteri yang bersagkutan maksudnya adalah menteri yang ada
hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu, apakah yang diperlukan
bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenal lalu-lintas
devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan
adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai
penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang
dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya member
bantuan saja, bantuan ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana
ekonomi. Badan pegawia penghubung ini bukanlah sebagia saksi ahli sebagaimana dalam Ps.
120 jo. Ps. 180 KUHAP.
Tindakan tata tertib sementara diatur dalam Ps. 27 dan Ps. 28 UU Drt. No. 7 Tahun 1955.
Instansi yang berwenang megambil tindakan tata tertib sementara ini adalah Jaksa
sebagaimana diatur dalam Ps. 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps. 28 ayat
(1) UU Drt. No. 7 Tahun 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengambil
tindakan tata tertib sementara.
Ketentuan Ps. 27 ayat (1) dan Ps. 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No. 26/Prp/1960. Secara
akademik, untuk dapat mengambil tindakan tata tertib sementara harus sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps. 27 ayat (1) dan Ps. 28 ayat (1). Ketentuan Ps. 27 ayat
(1) sama dengan Ps. 28 ayat (1).
Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu, terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu: 1)
syarat, 2) waktu, 3) tujuan, 4) tindakan yang harus dilakukan pengambilan tindakan tata tertib
sementara.
Jaksa dapat mengenakan tindakan tata tertib sementara yang tentu tidak dikenal didalam delik
umum. Tindakan tata tertib sementara itu berupa:[11]
Tindakan tata tertib sementara berdasarkan ketentuan Ps. 27 ayat (3) dapat diubah atau
dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh
Hakim. Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan
Ps. 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara. Setelah Hakim mengambil
tindakan tatatertib sementara, Hakim dapat emngeluarkan perintah-perintah sebagaimana
diatur dalam Pasal. 10 ayat (1). Tindakan tatatertib sementara yang diambil oleh Hakim,
dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diuabh atau dicabut:
Mengingat tindakan tata tertib sementara kemungkinan dapat menimbulkan kerugian yang
besar, maka berdasarkan Ps. 31 mengatur ketentuan mengganti kerugian jika tindak pidana
ekonomi itu berarti dengan:
Uang pengganti kerugian itu dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak
mengambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi
itu dalam tingkat penghabisan.
BAB III
Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan
pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya,yaitu dengan cara
memasukkan ke dalam tubuh.
1. Mempengaruhi kesadaran;
2. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia;
3. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
o Penenang;
o Perangsang (bukan rangsangan sex);
o Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara
khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat). [12]
Yang dimaksud narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal
dari tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
2. Jenis-Jenis Narkotika
Pasal 6:
1. Narkotika Golongan I;
2. Narkotika Golongan II; dan
3. Narkotika Golongan III.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, bahwa Psikotropika
yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) digolongkan menjadi:
1. Psikotropika golongan I;
2. Psikotropika golongan II;
3. Psikotropika golongan III;
4. Psikotropika golongan IV.
1. Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Narkotika
1. Pokok-Pokok Pengertian Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Narkotika dapar diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-
ketentuan hokum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan
ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang
tersebut. [13]
Menurut Ketentuan Hukum Pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat
dibedakan:
1. Pelaku utama;
2. Pelaku peserta;
3. Pelaku pembantu. [14]
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:
Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun
ada juga karena motivasi untuk kepuasan.
Sanksi hukum berupa pidana, diancamkan kepada pembuat tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran (punishment) adalah merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis
hukum yang lain. Sanksi pidana umumnya adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang
mentaati norma-norma yang berlaku, dimana tiap-tiap norma mempunyai sanksi sendiri-
sendiri dan pada tujuan akhir yang diharapkan adalah upaya pembinaan (treatment).
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 10 diatur mengenai jenis-jenis pidana
atau hukuman.
1. Pidana Pokok:
o Pidana mati
o Pidana penjara
o Kurungan
o Denda
2. Pidana Tambahan
o Pencabutan hak-hak tertentu
o Perampasan barang-barang tertentu
o Pengumuman putusan hakim
Ketentuan Pidana mengenai tindak pidana narkotika, diatur dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut:
Pasal 74
(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna
penyelesaian secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor
Narkotika pada tingkat banding,tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati,
serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 130
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,
Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal
122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa:
Pasal 131
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117,
Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal
126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Pasal 132
(1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana
penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal
tersebut.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi,
pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
(3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun.
Sedangkan ketentuan pidana mengenai tindak pidana psikotropika diatur dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sebagai berikut:
Pasal 59
1. menggunakan psikotropika golongan 1 selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau
2. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan 1
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
3. mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
4. mengimpor psikotropika golongan 1 selain untuk kepentingan llmu Pengetahuan; atau
5. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan 1
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000 000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 69
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62,
Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak
pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang
berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha.
BAB IV
Istilah korupsi berasal dari kata Latin corruptio artinya penyuapan, dan corrumpere diartikan
merusak. Gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka,
sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan
lainnya.[15] Pengertian korupsi menurut pendapat para ahli: (1) Andi Hamzah: “Korupsi
berasal dari kata corruption atau corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan,
ketidakjujuran, dan tidak bermoral”;[16] (2) Robert Klitgaard: “Korupsi ada apabila
seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat
dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan”.[17] Berdasarkan pengertian-
pengertian tersebut diatas dapat diketahui bahwa pengertian korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang demi kepentingannya sendiri.
Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada Sembilan tipe korupsi yaitu:
Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal diatas
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja yang
dinyatakan sebagai korupsi, kita harus merujuk pada undang-undang pemberantasan
korupsi.[18]
Pengertian korupsi diatur juga dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yaitu:
1. Pasal 2 ayat (1): “Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana …”
2. Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana ….”.
3. Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik sebagai
tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung
menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP.
4. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Pasal 1 butir 3, dimuat
pengertian korupsi sebagai berikut: “korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak pidana korupsi”.
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan
Bab I, II, III dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah:
1. Korporasi: kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai Negeri:
o Menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, bahwa pegawai negeri adalah orang yang memenuhi syarat
perundang-undangan diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas
jabatan negeri atau tugas lainnya serta digaji menurut undang-undang yang
berlaku.
o Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 92, pegawai
negeri adalah:
Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum,
begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan
pembentuk undang-undang badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang
dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota
dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan timur asing
yang menjalankan kekuasaan sah.
Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang menjalankan peradilan
administrasi, ketua/anggota peradilan agama.
Anggota angkatan perang.
Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara
atau daerah.
Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas
dari negara atau masyarakat.
Setiap orang yang dimaksud disini adalah orang per orang atau individu-individu. Menurut
Moelyatno, pengertian diatas mengandung arti bahwa “orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik, tetapi meskipun
dia melakukan delik tidak selalu dipidana.[19]
Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat menerapkan sistem pembuktian
terbalik. Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal oleh masyarakat
sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi
pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, apabila dilakukan pendekatan
gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai “Omkering van het Bewijslast” atau “Reversal
Burden of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban
Pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila
diterjemahkan sebagai “pembuktian terbalik”. Disini ada suatu beban pembuktian yang
diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut Umum, namun
mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan
tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban
dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian”
yang bagi masyarakat awam hukum (lay-man) cukup dikenal dengan istilah “Sistem
Pembuktian Terbalik”.
Selain yang disebutkan diatas, pembuktian terbalik juga diberlakukan terhadap tuntutan
perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 dan Pasal 15-21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sedangkan Fungsi Sistem Pembuktian Terbalik atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Dari pendekatan
doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti “Terbatas” atau “Khusus” dari
implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian (di Indonesia nantinya) adalah:
Dari penjelasan tersebut diatas, ada 2 (dua) hal pokok yang harus menjadi atensi semua pihak
berkaitan dengan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang rencananya akan diterapkan
dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
diterapkan secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 (dua) perbuatan saja, yaitu penyuapan
dan perampasan harta benda terdakwa.
Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar
kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum
Pidana (Formil), baik sistem kontinental maupun anglo-saxon, mengenal pembuktian dengan
tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum, hanya saja dalam “certain
cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial,
yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof”
(“Omkering van Bewijslast”), itupun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-
batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan
penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/Terdakwa.[22]
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menerapkan asas pembuktian terbalik yang bersifat
terbatas atau berimbang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 yang mengatur terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan
wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan. Apabila terdakwa mampu membuktikan tidak melakukan
tindak pidana korupsi, hal ini dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan terdakwa
dan apabila terdakwa gagal membuktikan harta benda yang tidak seimbang dengan
penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, hal ini dapat memperkuat alat bukti
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Disebut pembuktian terbalik yang
terbatas karena jaksa masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, baik
terdakwa berhasil maupun gagal membuktikan tindak pidana korupsi maupun dalam hal
pemilikan harta benda.[23]
Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan menentukan,
karena dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa dinyatakan
telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau tidak.
Pembuktian terbalik yang terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan
dari asas yang dianut dalam KUHAP, terutama terkait dengan kedudukan terdakwa. Dalam
Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: “Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi”.
Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan kewajiban
Jaksa Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa mempergunakan
haknya dan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal tersebut merupakan
hal yang menguntungkan posisinya demikian juga sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi maka hal tersebut akan memperlemah
posisinya. Disisi yang lain terdakwa wajib untuk memberikan keterangan tentang harta
bendanya, isteri, suami, dan anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga berhubungan dengan perkara yang didakwakan, hal itu termuat dalam Pasal 37 ayat
(3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: “Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya, harta benda isteri atau suami, anak-anaknya serta harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan”.
Di dalam Program Legislasi Nasional untuk tahun 2008 yang telah disetujui Pemerintah dan
DPR RI, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) termasuk salah satu
prioritas program RUU yang akan dibahas mulai tahun 2008, di samping RUU Pengadilan
TIPIKOR; RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU Perubahan UU Nomor 30
tahun 2002 tentang KPK. Keempat paket RUU tsb di atas akan merupakan “bench-mark”
yang amat menentukan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia untuk masa yang
akan datang.
RUU PA merupakan RUU terbaru dari keempat paket ruu tsb sebagai konsekuensi politik
dari ratifikasi terhadap Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB,2003) dengan Undang-
undang Nomor 7 tahun 2006. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah, relevankah saat
ini diajukan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset (RUU PA), dan
bagaimanakah kiranya yang merupakan landasan pemikiran diperlukannya suatu pengaturan
secara khusus dan tersendiri, di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah
berlaku seperti ketentuan perampasan dan penyitaan dalam KUHAP dan ketentuan di luar
KUHP atau KUHAP seperti Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan UU Pencucian
Uang.
Masalah relevansi RUU PA saat ini terkait langah pemerintah dalam pemberantasan korupsi
terutama upaya pengembalian kerugian Negara termasuk yang telah dilarikan ke Negara lain,
tampak bahwa RUU tersebut sangat penting dan mendesak. Mengapa?
pertama, pengalaman pahit dalam hal pengembalian kerugian Negara selama 30 (tigapuluh)
tahun lebih tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kas Negara.Bahkan sebaliknya,
laporan BPK tahun 2006 tentang setoran Kejaksaan Agung sebesar 6 (enam) trilyun rupiah,
sampai saat ini raib entah kemana. Begitu juga pemasukan biaya perkara kepada Negara
sampai saat ini masih dipermasalahkan sehingga menimbulkan silang sengketa antara MA
dan BPK.
Kedua, Keadaan APBN yang masih sangat terbatas untuk membiayai kegiatan operasional
penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menimbulkan hambatan sehingga gerak
langkah penegakan hukum tidak maksimal. Bahkan jika diungkap secara terbuka mungkin
akan besar pasak daripada tiang. Ketiga, Gerakan pemberantasan korupsi internasional yang
dipelopori Bank Dunia dan UNODC, “STAR Initiative” dengan mengacu kepada Konvensi
PBB Anti Korupsi (KAK PBB) juga telah mengisyaratkan agar masalah pengembalian asset
hasil kejahatan terutama untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya
mengatasi kemiskinan global, merupakan prioritas utama yang tidak boleh diabaikan.
Keempat, perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara
maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian asset
hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Ketentuan
perundang-undangan KUHAP dan UU Pemasyarakatan yang mengatur tentang Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) tidak khusus ditujukan untuk mengatur pemulihan
asset/pengembalian asset hasil kejahatan kecuali untuk penyimpanan benda-benda sitaan
Negara akibat putusan pengadilan melalui proses penuntutan pidana.
Sedangkan RUU PA justru akan mengatur juga asset-aset hasil kejahatan baik yang dirampas
sementara atau yang disita setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, atau asset yang berhasil dikembalikan melalui gugatan keperdataan
yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Selain itu RUU PA tsb diharapkan dapat mengatur
pengelolaan asset hasil kejahatan seefisien dan sefektif mungkin baik untuk kepentingan
pelaksanaan operasional penegakan hukum maupun untuk mengisi kas Negara. Bahkan
merujuk kepada KAK PBB yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 tahun 2006,
kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik dan dirugikan karena tindak pidana korupsi,
dapat mengajukan tuntutan ganti rugi/klaim atas sebagian dari asset yang telah disita dan
ditampung dalam lembaga pengelola asset berdasarkan RUU PA. Untuk tujuan ini memang
diperlukan lembaga khusus dan tersendiri untuk mengkelola asset hasil kejahatan termasuk
korupsi, bersifat independent, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab serta
professional. Ketentuan tentang Rupbasan yang berada dalam lingkup UU Pemasyarakatan
masih jauh dari memadai untuk tujuan sebagaimana disampaikan di atas; apalagi kepercayaan
akan kredibilitas pemasyarakatan dalam mengkelola tugas pokoknya masih jauh dari harapan
masyarakat luas.
Kelima, RUU Perampasan Aset sangat relevan dengan maksud dan tujuan pengembalian
asset hasil kejahatan tsb di atas. Bahkan RUU PA tsb harus diperluas lingkup dan objek
pengaturannya, termasuk asset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan tidak saja melalui
tuntutan pidana (penuntutan) melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui gugatan
perdata yang dilakukan oleh pemerintah atas asset seorang tersangka/terdakwa yang
ditempatkan di Negara lain.
Keenam, pengalaman pengembalian asset hasil korupsi dalam kasus Marcos (Filipina) , Sani
Abacha (Nigeria) , dan Fujimori (Peru) telah terbukti bahwa, proses pengembalian asset
tersebut tidak semudah apa yang telah dituliskan di dalam KAK PBB tsb. Bahkan dalam
beberapa hal proses pengembalian asset tersebut tidak serta berjalan mulus karena masih ada
beberapa persyaratan khusus (conditional recovery) yang diminta oleh Negara Yang Diminta
(Requested State) dan harus dipenuhi oleh Negara peminta (Requesting State), antara lain,
Negara peminta harus dapat membuktikan bahwa asset-aset yang disimpan di Negara yang
diminta adalah benar asset hasil kejahatan dan dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mana
asetnya dituntut untuk dikembalikan ke Negara peminta; Negara Peminta harus membuktikan
bahwa proses peradilan terhadap tersangka/terdakwa untuk mana asetnya hendak ditrariik
kembali ke Negara asalnya telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum internasional
mengenai “fair trial” dan “due process of law”. Masih banyak persyaratan-persyaratan
lainnya yang dituntut oleh Negara yang Diminta, antara lain, dalam kasus Filipina, harta
kekayaan mantan presiden Marcos, tidak langsung dikembalikan ke Filipina melainkan harus
ditempatkan di suatu “escrow account” Bank di Swiss. Pencairan dan pengembalian harta
dimaksud hanya atas perintah Pengadilan Filipina yang benar fair dan independent. Untuk
kasus Nigeria, pengembalian harta kekayaan Sani Abacha harus disertai jaminan bahwa,
penggunaan harta kekayaan dimaksud untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat
Nigeria; bahkan sebagian digunakan untuk membayar hutang-hutang luar negeri Negara yang
bersangkutan.
Proses pengembalian asset dengan berbagai persyaratan-persyaratan tersebut di atas
merupakan suatu kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam praktik hukum internasional
khususnya dalam pemberantasan korupsi, dan sekaligus merupakan preseden di masa yad
bagi setiap Negara yang memiliki kebijakan hukum dengan tujuan pengembalian asset hasil
kejahatan /korupsi; kebijakan hukum dimaksud tidak dapat kita ingkari kenyataan di mana
kejahatan telah bersifat transnasional dan asset hasil kejahatan selalu saja lebih cepat berhasil
ditempatkan di Negara lain jika dibandingkan dengan keberhasilan suatu Negara/aparat
penegak hukum mengembalikan asset dimaksud dengan cepat dan mudah ke Negara-nya.
Berkaca kepada pengalaman pengembalian asset korupsi dari negara-negara tersebut, dan
hukum kebiasaan internasional yang telah berlaku di dalamnya, jelas bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan kejahatan termasuk korupsi dan
pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini belum cukup memadai jika ditujukan
menyelamatkan asset-aset hasil kejahatan tersebut dari Negara lain untuk kepentingan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan mengatasi kemiskinan.[24]
BAB V
Pajak dalam istilah asing disebut: tax (Inggris); import contribution, taxe, droit (Perancis);
Steuer, Abgabe, Gebuhr (Jerman); impuesto contribution, tributo, gravamen, tasa (Spannyol)
dan belasting (Belanda). Dalam literature Amerika selain istilah tax dikenal pula istilah tarif.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa
berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa
kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak adalah bantuan baik langsung maupun
tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasan publik dari penduduk atau dari barang utk
menutup belanja pemerintah. Pajak juga berarti bantuan uang secara insidental atau secara
periodik yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk memperoleh
pendapatan tanpa adanya kontraprestasi, di mana terjadi suatu taabestand dan sasaran pajak
telah menimbulkan utang pajak karena UU.
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang “pajak” yang dikemukakan oleh
para ahli diantaranya adalah :
1. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
2. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas
Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal (kontra prestasi/tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian
dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai
public investment.
Tindak pidana dibidang perpajakan adalah sebagaimana disebut dalam Pasal 38 dan Pasal 39
UU KUP. Pasal 38 UU KUP merupakan ketentuan pidana yang dilakukan karena kealpaan
Wajib Pajak karena tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Kealpaan yang dimaksud berarti tidak
sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya.
Selain karena kealpaan, tindak pidana perpajakan juga dapat terjadi karena kesengajaan. Hal
ini diatur dalam Pasal 39 UU KUP. Secara ringkas tindak pidana yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara itu meliputi:[25]
Pemeriksaan pajak boleh dikatakan merupakan langkah awal Direktorat Jenderal Pajak dalam
melakukan penegakan hukum dibidang perpajakan. Menurut International Tax Glossary,
pemeriksaan pajak atau tax audit disefinisikan: “Tax audit is an investigation carried out by
tax authorities, of taxpayers’ books and accounts and/or the general accuracy of returns and
declarations either as a routine operation, or where evasion is suspected”.
“Pemeriksaan pajak adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak yang
berwenang terhadap buku-buku dan dokumen rekening bank Wajib Pajak, baik dalam rangka
pemeriksaan ruti maupun pemeriksaan khusus adanya dugaan penggelapan pajak.”
Dalam pelaksanaan pemeriksaan diatur pula kewajiban dan hak-hak Wajib Pajak. Hak-hak
Wajib Pajak dalam pemeriksaan adalah sebagai berikut:
Sedangkan kewajiban Wajib Pajak dalam hal dilaksanakan pemeriksaan adalah sebagai
berikut:[29]
1. Dalam hal Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi panggilan untuk dating
menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
2. Memenuhi permintaan peminjaman buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan.
3. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu.
4. Memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis maupun lisan.
5. Menandatangani surat persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui.
6. Menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut
tidak atau tidak seluruhnya disetujui.
7. Menandatangani surat pernyataan penolakan pemeriksaan, apabila menolak
membantu kelancaran pemeriksaan.
8. Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk melakukan penyegelan tempat atau
ruangan tertentu.
Produk hukum yang dihasilkan dari dilakukannya pemeriksaan pajak adalah diterbitkannya
ketetapan pajak yang dapat berupa surat ketetapan pajak (SKP) atau surat tagihan pajak
(STP), kecuali apabila pemeriksaan tersebut dilanjutkan dengan tindakan penyidikan pajak.
Pasal 1 angka 14 UU KUP. Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang
meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau Surat
Ketetapan Pajak Nihil (SKPN).
Pasal 1 angka 19 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan
pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Berdasarkan ketentuan Pasal
18 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, dan SKPKBT
merupakan dasar untuk melakukan penagihan pajak.[30]
1. Penyidikan Pajak
Apabila Wajib Pajak atau seseorang terdapat indikasi atau petunjuk bahwa ia patut diduga
melakukan atau membantu perbuatan tindak pidana dibidang perpajakan, maka akan
dilaksanakan penyidikan pajak, yang merupakan tindka lanjut dari hasil pemeriksaan bukti
permulaan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU KUP, Pejabat Penyidik Pajak mempunyai
wewenang untuk:
Penyidikan pajak dilaksanakan apabila terdapat dugaan dan indikasi Wajip Pajak atau setiap
orang lainnya melakukan perbuatan yang melanggar larangan atau tidak melaksanakan
kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan, yang dapat menimbulkan
kerugian pendapatan negara dan diancam dengan hukuman pidana. Yang menjadi subyek
hukum tindak pidana pajak adalah orang, badan atau siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan atas pelanggaran hukum pidana pajak dan terhadapnya dapat dijatuhi
hukuman pidana.
Meliputi orang pribadi sebagai individu, dalam Wajib Pajak Orang Pribadi baik berkaitan
dengan kewajiban Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Petambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam hal
Wajib Pajak Badan adalah seseorang sebagai pengurus, direksi, komisaris atau pemegang
saham mayoritas.
2. Pejabat Pajak
Pejabat pajak yang melanggar kewajiban untuk merahasiakan semua data dan informasi yang
diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak kepada pihak lain yang tidak
berhak, dapat dikenai hukuman pidana kurungan maksimum satu tahun dan denda setinggi-
tingginya Rp 4.000.000,- (emapat juta rupiah)
3. Pihak Ketiga
4. Pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa atau
disidik, wajib memberikan data, keterangan dan bukti yang diminta secara tertulis
oleh Direktur Jenderal Pajak, pelanggaran atas kewajiban tersebut dapat diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
5. Penyertaan tindak pidana pajak, dalam Pasal 43 ayat (1) UUKUP diatur ketentuan
tentang Penyertaan Tindak Pidana Pajak yang bunyinya: “Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 dan 39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari
Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana dibidang perpajakan.”
Ketentuan tersebut diadopsi dari ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, untuk melengkapi
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 38 dan 39 UUKUP, sebagai antisipasi terhadap
tindak pidana pajak yang dilakukan oleh beberapa orang baik secara sendiri-sendiri atau
secara bersama-sama.
1. Penagihan Pajak
Berdasarkan Pasal 20 UUKUP, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat
Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Suat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan, ditagih dengan Surat Paksa.
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa itu sendiri secara khusus diatur dalam UU No.
19Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000. Langkah-Langkah dalam melakukan
tindakan penagihan pajak adalah:[31]
1. Surat Teguran
Surat Teguran diterbitkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran
STP/SKPKB/SKPKBT/SK Pembetulan/SK Keberatan/Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
2. Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi
setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran atau terhadap
Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus.
Karena Surat Paksa berkedudukan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan eksekutorial, pengumuman di media massa
bertujuan untuk memberitahukan kepada publik adanya hak mendahulu negara atas asset
penanggung pajak untuk pelunasan utang pajak serta untuk melindungi public dari kerugian
yang lebih besar karena melakukan transaksi atau perikatan dengan penanggung pajak setelah
terbitnya Surat Paksa.
SPMP diterbitkan apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung Pajak setelah lewat waktu 2 kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa
diberitahukan.
5. Pengumuman Lelang
Pengumuman lelang dilaksanakan apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak
tanggal pelaksanaan penyitaan Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak yang masih harus dibayar.
6. Lelang
Apabila utang pajak dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh
Penanggung Pajak setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman
lelang, maka Pejabat segera melaksanakan lelang.
7. Pencegahan
Sesuai UU PPSP, terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang
pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang paja dapat dilakukan pencegahan.
8. Penyanderaan
Penanggung Pajak yang disandera lepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:[32]
1. Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
2. Apbila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Penyanderaan telah dipenuhi;
3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
4. Berdasarkan pertimbangan tertentubdari Menteri Keuangan atau Gubernur.
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan maupun
untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan, fiskus melaksanakan
tugas pengawasan dan pembinaan, diantaranya dengan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan yang
dilakukan terhadap kegiatan Wajib Pajakdalam kurun waktu tertentu, misalnya 1 tahun,
dilakukan terhadap berkas, dokumen yang terkait dengan transaksi kegiatan yang terrangkum
dalam pembukuan dan laporan keuangan. Dalam pelaksanaannya pemeriksaan antara lain
menghasilkan koreksi fiscal terhadap pos-pos sebagai berikut:[33]
1. Peredaran usaha
Peredaran usaha yang dilaporkan menurut SPT Tahunan PPh Badan lebih besar atau
lebih kecil dibandingkan dengan SPT PPN.
Harga jual produk kepada perusahaan afiliasi lebih tinggi atau lebih rendah
dibandingkan dengan jual kepada pihak ketiga.
Pembelian yang berasal dari grup atau perusahaan afiliasi lebih tinggi atau lebih
rendah dari harga umum pembelian dari pihak ketiga.
Jumlah pembelian menurut PPh Badan berbeda dengan jumlah pembelian menurut
PPN.
Penyusutan aktiva yang digunakan untuk produksi tidak sesuai dengan ketentuan UU
Pajak Penghasilan mengenai tariff, pengelompokan aktiva, aktiva yang masih
disusutkan terus oleh Wajib Pajak walaupun umur ekonomis/masa manfaatnya telah
habis.
Biaya Penyusutan Aktiva atas kendaraan untuk keperluan pribadi komisaris atau
direksi.
Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai ketentuan
Pasal 9 UU Pajak Penghasilan misalnya: sumbangan yang dikeluarkan oleh
perusahaan, biaya entertainment yang tidak dilampiri daftar nominative di SPT, dan
biaya yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
Wajib Pajak tidak konsisten menerapkan kurs yang digunakan.
Biaya royalty, jasa teknik dan jasa manajemen kepada perusahaan afiliasi lebih besar
dari jumlah yang wajar dibayarkan kepada pihak ketiga.
Pembayaran bunga kepada pemegang saham lebih besar dari suku bunga yang berlaku
di pasaran umum.
Adanya pembayaran biaya-biaya kepada pemegang saham yang tidak wajar, sebagai
dividen terselubung.
Wajib Pajak membebankan seluruh bunga pinjaman dari bank, tetapi ditemukan bukti
bahwa Wajib Pajak menerima penghasilan bunga atas deposito atau tabungan lainnya.
Pembayaran upah, bonus tidak atau kurang dipotong PPh (Pasal 21) oleh Wajib Pajak
selaku pemberi kerja.
Pembayaran sewa tidak atau kurang dipotong PPh (Pasal 23), PPh Pasal 26, PPh Pasal
4 ayat (2).
Pembayaran bunga kepada pemegang saham tidak atau kurang dipotong PPh Pasal
23/26.
Pembayaran jasa teknik, jasa manajemen, konsultan dan jasa lainnya yang tidak
dipotong oleh Wajib Pajak selaku pengguna jasa.
1. PPN
Jumlah peredaran usaha dan pembelian BKP/JKP yang dilaporkan SPT PPN tidak
sama dengan PPh Badan.
Konfirmasi paja masukan dijawab tidak ada.
Pengkreditan pajak masukan dilakukan beberapa kali masa pajak.
Penetapan dasar pengenaan pajak yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang
seharusnya, terutama penyerahan kepada perusahaan afiliasi.
Faktur pajak fiktif.
Dalam proses pemeriksaan terdapat tahap pembahasan akhir (closing conference) untuk
membahas dan menyamakan persepsi mengenai pos-pos yang diperiksa dan dtemukan
koreksi fiscal. Adakalanya masih terdapat perbedaan pengakuan antara Wajib Pajak dan
fiskus, namun secara procedural tidak menunda keluarnya ketetapan pajak. Bila demikian
halnya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atau pos-pos yang tidak sependapat ke
Kantor Pelayanan Pajak tempatnya terdaftar. Beberapa masalah yang sering dijumpai dalam
pengajuan surat keberatan, antara lain:[34]
1. Wajib Pajak mengajukan keberatan sekaligus untuk beberapa SKPKB dan untuk
beberapa tahun pajak.
2. Wajib Pajak mengajukan keberatan sekaligus untuk SKPKB dan STP.
3. Wajib Pajak tidak menyebutkan dalam surat keberatannya mengenai jumlah pajak
terutang, atau pajak yang dipotong, dipungut atau jumlah rugi menurut
perhitungannya.
4. Tanda penerimaan Surat Keberatan dari Kantor Pelayanan Pajak atau dari kantor Pos
tercatat telah melampaui waktu tiga bulan sejak tanggal SKPKB, dan tidak ada alasan
yang sah dari Wajib Pajak.
5. Wajib Pajak tidka melengkapi pengajuan keberatannya dengan alasan dan bukti
pendukung yang memadai.
6. Wajib Pajak melengkapi dokumen pendukung keberatan sangat berdekatan dengan
saat jatuh tempo penerbitan keputusan keberatan.
Terhitung sejak 1 Januari 2001, hak Wajib Pajak untuk mengajukan gugatan terhadap
Direktur Jenderal Pajak dipertegas dan diperluas, tidak terbatas pada pelaksanaan penagihan
aktif dengan Surat Paksa, tetapi juga terhadap keputusan Direktur Jenderal Pajak lainnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 KUP, yaitu:[35]
Semua gugatan Wajib Pajak tersebut diatas hanya dapat diajukan kepada Badan Peradilan
Pajak, yang saat ini berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 dilaksanakan oleh Pengadilan Pajak
(PP).
Dalam proses pelaksanaan pemeriksaan yang menghasilkan adanya koreksi fiscal terhadap
beberapa pos, maka terhadap koreksi fiscal tersebut harus diberitahukan secara tertulis dalam
Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak. Selanjutnya dengan
imbangannya Wajib Pajak menyampaikan tanggapan tanggapan hasil pemeriksaan tersebut
secara tertulis dalam waktu 7 hari dari diterimanya SPHP. Apabila Wajib Pajak tidak setuju
atas sebagian atau seluruh hasil koreksi fiscal, Wajib Pajak harus menandatangani dan
menyampaikan Surat Tanggapan kepada Kepala Unit Pelaksana Pemeriksa Pajak (UP3)
dengan disertai penjelasan data pendukung yang akurat dan lengkap. Tanggapan atas SPHP
tersebut dibahas oleh Tim Pemeriksa dan Wajib Pajak dalam forum Pembahasan Akhir Hasil
Pemeriksaan (closing conference). Untuk meminimalkan perbedaan yang masih ada dan
cukup material, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala UP3 agar
perbedaan tersebut dilanjutkan pembahasannya oleh Tim Pembahas.[36]
Wajib Pajak yang tidak menyetujui ketetapan pajak yang dihasilkan dari pemeriksaan
(SKPKB dan atau SKP lainnya yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak, KPP) dapat
mengajukan surat keberatan kepada Kepala KPP. Pelaksanaan proses keberatan tersebut
selanjutnya sesuai dengan arstasinya dapat dilakukan oleh KPP atau Kantor Wilayah
(Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak.
Agar keputusan keberatan dapat dipertimbangkan secara obyektif dan seadil-adilnya, Wajib
Pajak harus memenuhi syarat formal dan material keberatan, dengan menguraikan alasan
yang benar dan didukung dokumen pembuktian yang lengkap. Dilain pihak KPP dan Kanwil
DJP harus mengumpulkan data dan keterangan yang lengkap dari UP3 yang bersangkutan
untuk membuat dan melengkapi uraian pemndangan keberatan terhadap masalah dan alasan
yang diajukan oleh Wajib Pajak.
KPP atau Kanwil DJP harus memberi waktu yang cukup bagi Wajib Pajak untuk melengkapi
dan menyampaikan dokumen pendukung yang memperkuat keberatannya, sebaliknya Wajib
Pajak harus memperhitungkan dan memahami bahwa kegiatan penagihan pajak secara aktif,
termasuk penerbitan Surat Paksa, tidaklah menjadi tertunda oleh karena pengajuan keberatan.
Keputusan keberatan yang baik dan ideal bukanlah keputusan yang memenangkan Wajib
Pajak atau memuaskan Direktorat Jenderal Pajak, tetapi keputusan yang adil dan obyektif
berdasar alat bukti yang sah sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.[37]
Sampai saat ini pengajuan gugatan pajak ke Pengadilan Pajak (PP) masih sangat sedikit, dan
terbatas terhadap pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan dan Lelang, sedangkan gugatan terhadap STP Pasal 16 KUP, STP
Pasal 36 KUP, maupun gugatan terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak lainnya belum
dilakukan oleh Wajib Pajak. Atas surat gugatan Wajib Pajak, Direktorat Jenderal Pajak dapat
menyampaikan surat tanggapan yang berisi jawaban terhadap gugatan tersebut. Berbeda
dengan materi surat keberatan maupun banding, pokok sengketa gugatan pajak lebih
menitikberatkan pada aspek formal yuridis, prosedur pelaksanaan penagihan pajak,
kewenangan penerbitan surat keputusan dibidang perpajakan, ada tidaknya hak Wajib Pajak
yang dilanggar, dan apakah pelanggaran tersebut atau tidak dipenuhinya hak Wajib Pajak
tersebut menyebabkan tidak sah dan batalnya pelaksanaan penagihan pajak atau pelaksanaan
keputusan Direktur Jenderal Pajak yang bersangkutan.
Agar Wajib Pajak memperoleh hasil optimal alam gugatannya, harus diuraikan secara detail
dan cermat kronologis dan prosedur apa yang tidak dipenuhi oleh aparat Direktorat Jenderal
Pajak dalam pelaksanaan penagihan pajak atau dalam penerbitan keputusan yang menjadi
obyek gugatan. Dilain pihak Direktorat Jenderal Pajak harus dapat membuktikan dan
meyakinkan hakim Pengadilan Pajak bahwa tidak ada prosedur yang dilanggar dan tidak ada
aturan hukum yang membatalkan pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan Direktur
Jenderal Pajakyang bersangkutan.
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
sehingga mengikat kedua belah pihak baik Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak
secara bersama-sama sesuai posisinya untuk mematuhi dan melaksanakannya.[38]
Atas surat banding yang diajukan Wajib Pajak ke Pengadilan Pajak, Direktorat Jenderal Pajak
dapat menyampaikan surat uraian banding. Kedua belah pihak dapat melengkapi surat
banding atau surat uraian banding tersebut disetai dokumen dan bukti pendukung, termasuk
menghadirkan saksi dan saksi ahli di persidangan guna memperkuat alasan banding atau surat
uraian banding.
Dari proses penyelesaian banding pajak, putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:[39]
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap, dan
langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang
berwenang, kecuali undang-undang mengatur lain, misalnya kelebihan pembayaran pajak.
Atas putusan Pengadilan Pajak mengani banding pajak tersebut, kedua pihak yang
bersengketa (Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak) dapat melakukan upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Apabila Wajib
Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak mempunyai bukti yang sangat meyakinkan bahwa hakim
Pengadilan Pajak yang memutus perkaranya melakukan pelanggaran hukum yang melanggar
sumpah atau janji jabatan dan mengakibatkan kerugian baginya, maka atas hal tersebut dapat
melaporkan pelanggaran tersebut kepada Menteri Keuangan dan Majelis Kehormatan
Pengadilan Pajak.
1. Pengadilan Pajak
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Wajib Pajak yang belum puas atas keputusan
keberatannya yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permohonan
banding hanya kepada badan peradilan pajak, demikian pula Wajib Pajak/Penanggung Pajak
dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak yang telah dilakukan
dengan Surat Paksa, Penyitaan atau Lelang dan keputusan Peninjauan Kembali atau
pembetulan Surat Tagihan Pajak, hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
Dengan diundangkan dan berlakunya UU No. 14 Tahun 2002 pada tanggal 12 April
2002, maka sebagai badan peradilan pajak tersebut adalah Pengadilan Pajak yang
menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sebagai lembaga sebelumnya.
BAB VI
Tindak pidana pemalsuan dokumen pabean merupakan tindak pidana yang merugikan negara.
Tindakan penyidikan sampai pada putusan penerapan sanksi pidana merupakan rangkaian
hasil kegiatan pengawasan pabean. Menurut Colin Vassarotti, tujuan pengawasan pabean
adalah memastikan semua pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan dan orang-
orang yang melintas perbatasan Negara berjalan dalam kerangka hukum, peraturan dan
prosedur pabean yang ditetapkan. Untuk menjaga dan memastikan agar semua barang, kapal
dan orang yang keluar/masuk dari dan ke suatu Negara mematuhi semua ketentuan
kepabeanan. Setiap administrasi pabean harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan
pengawasan pabean harus meliputi seluruh pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh
petugas pabean dalam perundang-undangannya yaitu memeriksa kapal, barang, penumpang,
dokumen, pembukuan, melakukan penyitaan, penangkapan, penyegelan, dan lain-lain.[41]
Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh World Customs
Organization (WCO) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu model untuk
mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul World Customs
Organization (WCO) tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu
mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup
kegiatan: penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca impor. Disamping tiga
kegiatan itu menurut hemat penulis patroli juga merupakan pengawasan Bea dan Cukai untuk
mencegah penyelundupan. Tindak pidana kepabenan adalah tindak pidana berupa
pelanggaran terhadap aturan hukum di bidang kepabeanan. Salah satu bentuk tindak pidana
kepabeanan yang paling terkenal adalah tindak pidana penyelundupan. Sumber hukum tindak
pidana kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Undang-undang ini mulai berlaku 1 April 1996, dimuat di dalam Lembaran Negara Nomor
75 Tahun 1995.[42]
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, maka aturan hukum
kepabeanan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi, yakni : (1) Indische tariff Wet
Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; (2) Rechten
Ordonantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; (3)
Tarief Ordonantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan
ditambah. Sedangkan pembentukan Undang-undang Kepabeanan ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan yakni : (a) bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah
menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang
perekonomian, termasuk bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan perdagangan
internasional; (b) bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan seperti
tersebut diatas dapat berjalan sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional
sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan agar lebih dapat
diciptakan kepastian hukum dan kemudahan administrasi berkaitan dengan aspek kepabeanan
bagi bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan perdagangan internasional yang
terus berkembang serta dalam rangka antisipasi atas globalisasi ekonomi, diperlukan langkah-
langkah pembaharuan; (c) bahwa peraturan perundang-undangan Kepabeanan selama ini
berlaku sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian dalam hubungan dengan
perdagangan internasional; dan (d) bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang
perlu untuk membentuk Undang-undang tentang kepabeanan yang dapat memenuhi
perkembangan keadaan dan kebutuhan pelayanan Kepabeanan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945.[43]
Perlunya penegasan atas kewenangan penyidik PNS Bea dan Cukai atas tindakan penyidikan
perkara tindak pidana kepabeanan dan cukai untuk memperjelas siapa yang berwenang dalam
melakukan penyidikan perkara tersebut. Kewenangan penyidikan tersebut diatur dalam pasal
112 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No
17 tahun 2006 tentang Kepabeanan dan pasal 63 UU No. 11 tahun 1995 yang telah di rubah
dan ditambah dengan UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai jo. PP No. 55 tahun 1996 tentang
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
Dalam melangkah pada tugas dan fungsinya sebagai penyidik termasuk penyidik kepabeanan
dan cukai harusnya berpola pikir bahwa apa yang akan dikerjakan atau yang telah dikerjakan
sudah dapat menggambarkan terpenuhinya peristiwa pidana dengan terang dan jelas disertai
alat bukti yang cukup sehingga dapat dengan mudah dilakukan penuntutan karena alat bukti
yang cukup tersebut telah bersesuaian dan berfokus dan mengarah pada peristiwa pidana
yang dapat dibuktikan benar dan telah terjadi. Hal ini berarti bahwa apa yang dilakukan
penyidik dalam mengngungkap suatu peristiwa pidana dan terangnya sebuah perkara
dilakukan dengan mengumpulkan serangkaian alat bukti sebagaimana di kehendaki pasal 183
dan 184 KUHAP.
Berkas perkara atau yang lazim dikenal sebagai hasil penyidikan, dapat dilimpahkan ke
pengadilan, apabila telah memenuhi kelengkapan formil dan materiil dari suatu berkas
perkara atau hasil penyidikan. Perlu juga disampaikan disini bahwa selain kelengkapan formil
dan materiil tersebut terdapat ketentuan yang diatur pada pasal 76 ayat 1 KUHP, bahwa suatu
perbuatan tidak dapat di tuntut dua kali (nebis in idem) dan pasal 78 ayat 1 KUHP karena
telah dipenuhinya masa kadaluwarsa, atau pasal 83 KUHP jika tersangka atau terdakwa telah
meninggal dunia.
Patut juga di perhatikan adanya ketentuan yang diatur pada 56 jo pasal 114 KUHAP bahwa
tersangka mempunyai hak untuk didampingi penasehat hukum dan bahkan pasal 116
KUHAP tersangka memiliki hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya.
Selain itu disebutkan pula pada pasal 117 KUHAP bahwa keterangan tersangka dan atau
saksi diberikan tanpa adanya paksaan dari siapapun dan dalam bentuk apapun, disamping
pasal-pasal yang lain terkait dengan penyidikan misalnya: syarat sahnya suatu penggeledahan
(pasal 33 ayat 3,4,5 KUHAP). syarat sahnya suatu penyitaan sebagaimana diatur pada pasal
45 KuHAP, syarat sahnya suatu penerimaan surat sebagaimana diatur pada pasal 47 KUHAP
dan pasal 48 KUHAP syarat sahnya suatu pembukaan dan pemeriksaan surat, disamping juga
syarat sahnya suatu sumpah atau janji pasal 113 KUHAP, disamping juga yang tidak kalah
penting yaitu pemenuhan ketentuan pasal 113 KIHAP tentang syarat sahnya suatu permintaan
keterangan di tempat kediaman tersangka atau saksi.
Penyidikan dianggap telah selesai umumnya di pahami dari hitungan waktu 14 hari penuintut
umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau dapat juga sebelum waktu di maksud
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal tersebut kepada penyidik. Penuntut Umum yang
telah menerima hasil penyidikan dalam rentang waktu 7 hari dan dalam waktu 7 hari
beikutnya menyatakan kurang lengkap, penuntut umum berkewajiban segera
mengemnbalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi
penyidik. Selanjutnya penyidik berkewajiban melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk yang telah di berikan dan segera mengembalikan berkas perkara yang telah
dilengkapi kepada penuntut umum dalam waktu 14 hari.
Patut mendapat perhatian bahwa sanksi pidana yang diatur di dalam Undang-Undang RI No.
10 tahun 1995 yang telah diperbarui dan ditambah dengan UU No. 17 tahun 2006 tentang
Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 yang telah dirubah dengan Undang-
Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang cukai telah mengatur khusus delik Kepabeanan dan
Cukai yang dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-undang tersebut, dengan demikian selaras
dengan surat Jaksa Agung tersebut diatas yang menyebutkan bahwa kepada para Kajari agar
memperhatikan secara cermat materi pokok perkara Tindak Pidana Ekonomi untuk tidak di
Yonctokan atau dihubung-hubungkan dengan pasal 480 atau pasal-pasal lain.[44]
Selaras dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 139 KUHAP Penuntut Umum
menentukan apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi syarat untuk dapat atau tidaknya
di limpahkan ke Pengadilan setelah tangung jawab terhadap tersangka dan barang bukti
beralih dari penyidik tindak pidana kepabeanan dan cukai ke Penuntut Umum. Dalam hal
telah terpenuhinya syarat syarat dimaksud maka sebagaimana dimnaksud pada pasal 140 ayat
(1) KUHAP, Surat Dakwaan dan pelimpahan ke Pengadilan segera dilakukan oleh Penuntut
Umum dan turunan surat pelimpahan beserta Surat Dakwaan tersebut disampaikan kepada
terdakwa/Penasihat Hukum dan Penyidik hal ini diatur pada pasal 143 ayat 4 KUHAP.
Sistem peradilan tindak pidana kepabeanan dan cukai didalam pelaksanaannya, tidak tertutup
kemungkinan terjadi persidangan in absentia atau persidangan tanpa kehadiran terdakwa.
Persidangan ini sebenarnya mengacu pada prinsip bahwa Pengadilan tidak boleh menolak
menyidangkan suatu perkara. Hal ini diperkuat dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 48
tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
BAB VII
Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang
(money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak
langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga
kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak,
wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan;
penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut
merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25
Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian
uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau
perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).
Dengan cara demikiaan, membuat suatu kejelasan pembenaran untuk pengawasan atau
kepemilikan uang yang dicuci, Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF)
merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau atau
menyamarkan asal-asal hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan untuk
penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntnungan-keuntungan
itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata secara ilegal,
penyelundupan, dan kegiatan kejahatan terorganisasi, contohnya perdagangan obat dan
prostitusi, dapat menghasilkan jumlah uang yang banyak. Adapun metode proses pencucian
itu meliputi tiga tahap, yaitu :
1. Placement harta kekayaan ke dalam sistem keuangan melalui bank atau lembaga
keuangan lainnya. Negara-negara harus ada persyaratan pelaporan terhadap transaksi
tunai yang besar.
2. Layering yaitu memisahkan dana (kekayaan) dari asalnya dan dilakukan untuk
menyamarkan apa yang sebenarnya dan membuat tidak jelas dalam melakukan
penelusurannya.
3. Integration yang membutuhkan penempatan kekayaan yang diperoleh dari hasil
kejahatan ke dalam ekonomi yang sah tanpa menimbulkan kecurigaan asal mula
perolehannya.
Pada mulanya, memang kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan
narkotika atau psikotropika, tetapi dalam perkembangannya diperluas hingga meliputi uang
haram dari hasil kejahatan terorganisasi yang lain.[47]
Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003,
dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan
pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil
tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian
apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan
membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut,
pembuktian disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal
(predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Apabila digambarkan maka unsur-unsur pokok pencucian uang adalah sebagai berikut :
Pelaku
BAB VIII
Dalam hukum kita, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap
peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Untuk
jelasnya ikutilah uraian dibawah ini sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 (2)
merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan)
tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak
belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun
pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan
atau perkawinannya putus karena perceraian, si anak dianggap sudah dewasa;
walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.[48]
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1948 L.N.R.I. Tahun 1951
Nomor 12 tentang Undang-Undang Kerja memberikan pengertian: “Anak adalah
orang laki-laki atau perempuan yang berumur 14 tahun kebawah” (Pasal 1 ayat (1)).
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 L.N.R.I.
Tahun 1979 Nomor 12 tentang Kesejahteraan Anak memberikan pengertian: “Anak
adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
3. Anak menurut KUHP. Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa
apabila belum bermur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut
dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan
kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu
hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan
tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP ini sudah
dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997.
KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 (lima
belas) tahun sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297
dan lain-lainnya. Pasal-pasal itu tidak mengkualifikasinya sebagai tindak pidana, apabila
dilakukan dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana
karena dilakukan dengan/terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.[49]
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
3. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
5. Pemantau dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum;
6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga; dan
7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.
Muladi dan Barda Nawawi Arief[53] menulis: “korban kejahatan diartikan sebagai seorang
yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya
secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran)
kejahatan.”
Gosita[54] menulis bahwa, “korban kejahatan adalah mereka yang menderita fisik, mental,
sosial sebagai akibat tindakan jahat mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau
pihak yang menderita.
Selanjutnya Sahetapy[55] menulis bahwa, korban kejahatan dalam arti luas, bukan hanya
korban dalam pengertian hukum pidana dan kriminologi, melainkan juga meliputi korban
dalam pengertian hukum perdata, hukum administrasi, hukum lingkungan, dan korban dalam
bidang politik, sosial dan ekonomi. Atas dasar itulah maka ruang lingkup viktimologi tidak
terbatas pada ruang lingkup hukum pidana, melainkan menyangkut setiap bidang hukum dan
seluruh aspek yang bertalian dengan kehidupan manusia.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hakim memutus perkara pidana anak sebagai korban
dan juga sebagai pelaku tindak pidana, hendaknya mempertimbangkan berbagai aspek, antara
lain aspek mental, aspek kejiwaan, masa depan dan kesejahteraan anak. Hal ini jauh lebih
penting dari penjatuhan pidana secara fisik mengingat kondisi yang ada dalam diri anak.
Penerapan tindakan sesuai bagi mereka karena ini lebih menekankan pada pelayanan
substansi, pembinaan mental, fisik dan pendidikan anak.[56]
Made Sadhi Astuti[57] sependapat dengan Sahetapy bahwa, masalah korban dalam arti luas
adalah menyangkut setiap bidang hukum dan semua aspek yang bertalian dengan kehidupan
manusia, namun pengertian korban kejahatan diperluas dalam hubungannya dengan kajian
anak yang melakukan kenakalan atau tindak pidana sebagai korban. Artinya, anak yang
melakukan kenakalan atau tindak pidana sesungguhnya ia merupakan korban, antara lain:
korban lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan korban modernisasi.
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dilakukan melalui[58]:
Sedapat mungkin mengembangkan prinsip dalam model restrorative justice guna memproses
perkara pidana yang dilakukan oleh anak yakni dengan membangun pemahaman dalam
komunitas setempat bahwa keterlibatan anak akibat kegagalan atau kesalahan orang dewasa
dalam mendidik dan mengawal anak sampai usia dewasa.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat
tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
Dari uraian diatas terlihat bahwa juvenile delinquency itu tidak dapat dijatuhi pidana.
Kemudian ada dua hal yang sifatnya menentukan yang perlu diperhatikan oleh hakim, yaitu:
1. Pada waktu anak melakukan tindak pidana, anak haruslah telah mencapai umur diatas
12 sampai 18 tahun.
2. Pada saat jaksa melakukan penuntutan terhadap anak, anak harus masih belum dewasa
(belum mencapai usia 18 tahun) atau belum kawin.
Menurut Ny. Hs. Soetarman[60] Peradilan Anak adalah sebagian dari Peradilan Umum,
namun harus terpisah dalam arti penetapan secara tersendiri tentang: (1) pemeriksaan
pendahuluan; (2) pemeriksaan oleh pengadilan; (3) cara pengambilan keputusan; (4) cara
menjalankan keputusan; (5) cara melaksanakan kelanjutannya (follow up).
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Jika anak yang melanggar hukum ditangkap polisi, maka sementara itu perlakuan khusus
terhadapnya dilaksanakan, yakni:
BAB IX
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tindak pidana khusus yang meliputi Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotika dan
Psikotropika, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Perpajakan, Tindak Pidana Kepabeanan
dan Cukai, Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering), dan Tindak Pidana Anak
merupakan tindak pidana yang memiliki penyimpangan dari hukum pidana umum baik
penyimpangan terhadap aturan hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil.
1. Saran
Berbagai jenis tindak pidana khusus tersebut memerlukan upaya penegakan hukum (law
enforcement) oleh aparat penegak hukum dan masyarakat melalui tindakan preventif dan
tindakan represif.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media,
Jakarta, 2009.
D., Soedjono, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung,
1976.
Dellyana, Shanty, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Eliyanti Putri, Miranti,Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Pabean dan Penerapan Sanksi
Pidana (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali), Skripsi Pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.
Gunadi, Bunga Rampai Pemeriksaan, Penyidikan & Penagihan Pajak, MUC Publishing,
Jakarta, 2004
Hamzah, Andi, Hukum Pidana Ekonomi, Erlangga, Jakarta,1983.
Makarao, Moh. Taufik, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta, 2003.
Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cetakan II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Sadhi Astuti, Made, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, Cetakan I,
IKIP Malang, Malang, 1997.
Shadily, Hassan. dkk., Ensiklopedi Indonesia 4, Edisi Khusus, Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta, tt.
Sutedjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2006,
Zamrony, dkk., Buku Panduan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Hukum Masayarakat
Pengguna Pengadilan, Cetakan II, Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi, Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009.
Internet
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Drt. No. 5 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
[1] Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak
pidana, dan berlakunya ketentuan hukum pidana. Khusus untuk hukum tindak pidana khusus
diharuskan adanya indikator penyimpangan terhadap hukum pidana materiil dan juga formil.
[2] Ketentuan dalam UU No. 31/1999 jo. UU No. 30/2002 Komisis Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, dapat
mengambil alih perkara tindak pidana korupsi baik pada tingkat penyidikan dan atau
penuntutan (Ps. 8 UU No. 30/2002).
[3] Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, dan PPNS.
[4] Andi Hamzah, Hukum Pidana Ekonomi, Erlangga, Jakarta, 1983, hlm. 25-42
[5] Lihat UU Drt. No 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi, dan UU No. 15 Prp. Tahun 1962.
[6] Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke-1, demikian juga sub 2e dibaca sub ke-2e, dst. Tindak
pidana yang terdapat dalam Pasal 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah.
Perubahan terakhir setelah Stb. No. 240 tahun 1882 Rechtenordonantie dicabut oleh UU No.
10 Tahun 1995 dan UU No. 11 Tahun 1995. Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan
tentang bea masuk dan keluar sehingga disebut dengan UU Bea. Bacalah secara teliti
ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e, dan sub 3e. Lalu cari tindak pidana apakah itu yang telah
dicabut dan apa peraturan perundang-undangannya.
[7] Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya sama dengan penyidik
dalam KUHAP.
[9] Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm.
2
[10] Negara RI merdeka baru sepuluh tahun, Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat
sekolah pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk Hakim dan Jaksa pada
sekolah Hakim dan Jaksa (SHD) stelah tahun 60-an.
[13] Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm.
41
[15] Shadily, Hassan. dkk., Ensiklopedi Indonesia 4, Edisi Khusus, Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta, hlm. 876
[18] Zamrony, dkk., Buku Panduan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Hukum Masayarakat
Pengguna Pengadilan, Cetakan II, Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi, Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009, hlm. 5-7
[19] Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hlm 155
[20] Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002, hlm. 11
[21] Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media,
Jakarta, 2009, hlm. 287-289.
[25] Gunadi, Bunga Rampai Pemeriksaan, Penyidikan & Penagihan Pajak, MUC Publishing,
Jakarta, 2004, hlm. 85-86
[42] Miranti Eliyanti Putri, Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Pabean dan Penerapan
Sanksi Pidana (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali), Skripsi Pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009, hlm. 5
[45] Ibid.
[46] Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan; Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi,
Hukum, dan HAM, Refika Aditama, Bandung, 2009.
[48] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Cetakan II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hlm. 2.
[49] Ibid.,.hlm. 4
[50] Teer Haar, dalam Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana, Cetakan I, IKIP Malang, Malang, 1997, hlm. 6-9
[59] Wagiati Sutedjo, Hukum Pidana Anak, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung,
2006, hlm. 30-33
[60] Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta,
1988, hlm. 71-72