Anda di halaman 1dari 3

URGENSI KODIFIKASI RKUHP

1. Mengapa kodifikasi RKUHP di Negara Indonesia Penting


Kodifikasi hukum nasional yang pertama adalah Code Civil Perancis atau Code
Napoleon. Dinamakan Code Napoleon karena Napoleon-lah yang memerintahkan dan
mengundangkan Undang-Undang Perancis sebagai Undang-Undang Nasional pada
permulaan abad XVIII, setelah berakhirnya revolusi politik dan sosial di Perancis.

Kemudian, contoh kodifikasi hukum di Indonesia di antaranya adalah hukum


pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hukum perdata dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, hukum dagang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
Unifikasi dan Kodifikasi Hukum (hal. 118), menyebutkan bahwa unifikasi hukum
adalah penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan pemberlakuan
hukum secara nasional.

Penyatuan hukum secara nasional untuk hukum yang bersifat sensitif yaitu
hukum-hukum yang mengarah kepada pelaksanaan hukum kebiasaan sangat sulit untuk
diunifikasi karena masing-masing daerah memiliki adat istiadat yang berbeda. Misalnya,
UU Pornografiyang banyak mendapat penolakan dari masyarakat di daerah yang
menganggap jika dilaksanakan akan mempengaruhi esensi pelaksanaan kegiatan adat di
daerah mereka.

Contoh unifikasi hukum lainnya yang kami temukan adalah UU Perkawinan, di


mana di setiap wilayah Indonesia memiliki adat tersendiri dalam hal perkawinan. Oleh
karena itu, dibentuklah UU Perkawinan sebagai penyatuan dan penyeragaman hukum
untuk diberlakukan di negara Indonesia sebagai hukum nasional.

Jika disimpulkan, unifikasi hukum adalah penyatuan hukum yang berlaku secara
nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional. Kemudian, kodifikasi
hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu kumpulan undang-undang dalam materi
yang sama.
Karena hukum adat bagian dari kebudayaan masyarakat, sehingga akan berubah
tergantung cara berpikir, berpengetahuan, dan cara berhukum masyarakat hukum adatnya.
Sehingga kodifikasi hukum adat bertentangan dengan kenyataan bahwa hukum adat
bukan hukum yang sekali dibuat kemudian tetap seperti KUHP
Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil
Law. Hal ini dapat dilihat dari sejarah dan politik hukum, sumber hukum maupun sistem
penegakan hukumnya. Sistem ini digunakan di negara-negara Eropa, seperti Belanda,
Prancis, Italia, Jerman. Negara-negara bekas koloni seperti Indonesia, sebagian Asia, dan
Amerika Latin, meneruskan sistem hukum ini.
Pada sistem hukum Eropa Kontinental memiliki karakteristik sebagai berikut:
Berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Yustinianus. Corpus Juris Civilis (kumpulan berbagai kaidah hukum
yang ada sebelum masa Yustinianus) dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan
kodifikasi hukum di negara-negara Eropa. Prinsip utamanya bahwa hukum itu
memperoleh kekuatan mengikat. Karena berupa peraturan yang berbentuk undang-
undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Tujuan hukum adalah kepastian
hukum Adagium yang terkenal "tidak ada hukum selain undang-undang". Hakim tidak
bebas dalam menciptakan hukum baru. Karena hakim hanya menerapkan dan
menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya. Putusan
hakim tidak mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak yang berpekara saja.
Sumber hukum utamanya adalah undang-undang yang dibentuk oleh badan legislatif.
Pada mulanya hukum hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum publik (hukum tata
negara, hukum administrasi negara, hukum pidana) dan hukum privat (hukum perdata dan
hukum dagang).
Pada perkembangan perumusannya, muncul ide dari para perumus untuk
memasukkan pengaturan tindak pidana khusus ke dalam RKUHP. Dalam Bab Tindak
Pidana Khusus Buku Kedua RKUHP dimasukkan beberapa tindak pidana khusus yang
sebelumnya diatur dalam undang-undang di luar KUHP, yaitu antara lain tindak pidana
korupsi, tindak pidana berat hak asasi manusia (HAM), tindak pidana lingkungan hidup,
serta tindak pidana narkotika dan psikotropika. Ketentuan Peralihan adalah salah satu
ketentuan dalam perundangundangan yang rumusannya dapat didefinisikan “ketika
diperlukan
atau jika diperlukan” (Transition Provision)

Integrasi tindak pidana khusus ke dalam RKUHP mengakibatkan hilangnya


ketentuan pidana bersifat khusus (lex specialis) yang telah ada dalam undang-undang
masing-masing tindak pidana khusus tersebut. Contohnya, RKUHP mengatur tentang
pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif, yang tidak ada dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), UU
Pengadilan HAM (UU No. 26/2000), UU Narkotika (UU No. 35/2009), dan UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009).

Dalam konteks tindak pidana berat HAM, UU Pengadilan HAM mengatur


kekhususan dalam pemidanaannya, yaitu antara lain batas pidana penjara maksimum
selama 25 tahun, tidak adanya daluarsa tindak pidana, serta dapat diberlakukannya asas
retroaktif terhadap tindak pidana berat HAM yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM
diundangkan, sedangkan RKUHP tidak mengatur tentang kekhususan tersebut dalam
rumusannya. Kemudian, dalam konteks tindak pidana lingkungan hidup, RKUHP
mengatur bahwa rumusan tindak pidana lingkungan hidup memiliki unsur melawan
hukum, serta tidak memiliki ancaman pidana minimum khusus, dua hal yang tidak
dikenal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Begitupun dengan
pengaturan RKUHP terhadap tindak pidana narkotika yang tidak mengenal sistem
rehabilitasi terhadap pengguna sebagaimana telah diatur dalam UU Narkotika.

Dalam konteks tindak pidana korupsi, RKUHP mengatur hal-hal yang


bertentangan dengan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu antara
lain:
 tidak adanya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti;
 percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi
yang ancaman pidananya dikurangi 1/3 dari maksimum pidana;
 ancaman pidana denda menurun drastis;
 definisi korporasi dalam RKUHP lebih sempit dari UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; dan
 ketidakjelasan konsep Ketentuan Peralihan.
Meskipun dalam RKUHP dimasukkan beberapa ketentuan tindak pidana korupsi
yang bersumber dari United Nations Convention against Corruption (UNCAC), hal
tersebut sebenarnya merupakan upaya yang kontraproduktif karena kaidah pemidanaan
RKUHP yang bertentangan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi cenderung
menghilangkan sifat keluarbiasaan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, tindak
pidana korupsi dari UNCAC seharusnya dimasukkan ke dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, bukan RKUHP, agar memiliki kaidah pemidanaan yang sama
dengan tindak pidana korupsi yang telah ada dalam undang-undang tersebut. Selain hal
hukum pidana materiil sebagaimana diuraikan di atas, RKUHP juga dapat memberikan
efek negatif terhadap penegakan hukum antikorupsi, karena berpotensi menghilangkan
kewenangan KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan dalam menangani tindak pidana korupsi.

Anda mungkin juga menyukai