Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TINDAK PIDANA KHUSUS

EKSISTENSI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KHUSUS DALAM RANCANGAN


KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

O L E H

Nama : Denny Ebenhaizer Laiskodat

Nim : 51120028

Kelas :A

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Tuhan Yang Maha Esa,berkat limpahan rahmat-Nya penyusun mampu
menyelesaikan tugas makalah ini..

Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada mahasiswa fakultas
Hukum tentang eksistensi undang-undang tindak pidana khusus dalam rancangan kitab undang-
undang hukum pidana.Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu
kepada dosen pembimbing kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di
masa yang akan datang.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................................i

Daftar Isi .........................................................................................................................................ii

BAB 1: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................2
1.3 Tujuan ...........................................................................................................................3

BAB II : LANDASAN TEORI ......................................................................................................4

BAB III : ANALISIS .....................................................................................................................6

BAB IV : KESIMPULAN & SARAN ..........................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................8

ii
BAB I

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

KUHP merupakan bentuk aturan hukum pidana yang dihimpun dalam satu
dokumen atau buku sebagai suatu kesatuan atau yang dinamakan sebagai kodifikasi.
Didalamnya terdapat berbagai jenis tindak pidana, seperti pencurian, pembunuhan,
pemerkosaan, penipuan, penganiayaan, pemalsuan dan lain sebagainya. Dengan kata lain,
KUHP merupakan himpunan dari berbagai tindak pidana yang disusun secara sistematis
dalam satu dokumen. Dengan memahami KUHP sebagai suatu kodifikasi atau himpunan
tindak pidana, maka dari sini dapat disimpulkan tujuan adanya kodifikasi tersebut adalah
untuk mempermudah penegak hukum maupun masyarakat luas menemukan macam-
macam tindak pidana karena sudah terhimpun dalam satu buku.

Selain himpunan peraturan, KUHP juga berisikan asas-asas hukum pidana yang mengatur
batasan-batasan dari penerapan pasal-pasal dari tindak pidana tersebut. Asas yang
dimaksud bukan merupakan hukum acara pidana yang mengatur tata cara penegak
hukum menjalankan peradilan pidana yang diatur dalam peraturan sendiri. Asas-asas
hukum pidana ini terdapat dalam buku I KUHP yang mengikat penerapan pasal-pasal
tindak pidana yang tercantum dalam Buku II dan Buku III KUHP dan yang diatur diluar
KUHP sepanjang tidak ditentukan lain (Pasal 103 KUHP).

1.2 RUNUSAN MASALAH

Semenjak Indonesia merdeka, hukum pidana positif ternyata tidak hanya yang
tersedia dalam KUHP atau hukum pidana yang terkodifikasi. Setidaknya ada 3 jenis
hukum pidana tertulis diluar KUHP, yakni : (1) undang-undang yang
merubah/menambah KUHP, (2) undang-undang pidana khusus; dan (3) aturan hukum
pidana dalam undang-undang yang bukan mengatur hukum pidana. Undang-undang
pidana khusus yang murni mengatur tindak pidana diluar KUHP (generic crime)
misalnya seperti tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversif, tindak pidana terorisme,
tindak pidana Hak Asasi Manusia, tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang, dan lain sebagainya. Sementara, aturan hukum pidana dalam
undang-undang bukan hukum pidana sering juga disebut sebagai tindak pidana
administrasi (administratif penal law), seperti tindak pidana dibidang perbankan, tindak
pidana pajak, tindak pidana dibidang konstruksi dan sebagainya.

1
Perkembangan hukum pidana diluar KUHP tersebut menjadi salah satu persoalan yang
mengemuka dalam revisi KUHP. Beberapa pengaturan hukum pidana diluar KUHP
dianggap jauh menyimpangi KUHP dan memunculkan ‘dualisme hukum pidana’
nasional.[ii] Dalam naskah akademik RKUHP disebutkan beberapa masalah undang-
undang pidana dilauar KUHP, yakni: banyak perundang-undangan khusus tidak
menyebutkan/ menentukan kualifikasi tindak pidana sebagai ”kejahatan” atau
”pelanggaran”;

Mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, tetapi tidak disertai dengan


aturan pemidanaan/penerapannya.Subjek tindak pidana ada yang diperluas pada
korporasi, tetapi ada yang tidak disertai dengan ketentuan ”pertanggungjawaban pidana
korporasi.Pemufakatan jahat dipidana sama dengan tindak pidananya, namun tidak ada
ketentuan yang memberikan pengertian/batasan/syarat-syarat kapan dikatakan ada
”pemufakatan jahat” seperti halnya dalam KUHP (Pasal 88).
Dalam naskah RKHUP terdapat beberapa undang-undang diluar KUHP dan undang-
undang tindak pidana khusus masuk menjadi bagian Buku II KUHP. Kekeliruan
perumusan undang-undang pidana diluar KUHP dan undang-undang pidana khusus
tersebut kemudian menjadi landasan perumus untuk melakukan sinkronisasi, dengan
memasukkannya kedalam RKUHP dengan segala konsekuensi yuridis dari sistem
kodifikasi.Pada dasarnya, sangat tidak mungkin memasukkan semua aturan pidana diluar
KUHP karena jumlahnnya yang begitu banyak. Namun, hampir seluruh undang-undang
tindak pidana khusus masuk menjadi bahagian dalam KUHP. Perumus melupakan bahwa
eksistensi undang-undang pidana diluar KUHP juga disebabkan oleh kekhususan yang
dimiliki masing-masing peraturan yang menyimpangi ketentuan asas-asas hukum pidana
dalam KUHP.Pertanyaannya kemudian, apakah mengkodifikasi undang-undang pidana
khusus yang sudah berkembang diluar KUHP harus menjadi pilihan utama atas
permasalahan tersebut? Mengingat kesalahan yang muncul cenderung terjadi pada
wilayah praktik perumusan, bukan pada konsep penyimpangan itu sendiri yang memang
berdasarkan ilmu pengetahuan hukum merupakan suatu keniscayaan.

1.3 TUJUAN

Memasukkan beberapa tindak pidana diluar KUHP dalam RKUHP, baik yang
bersifat administratif penal law atau tindak pidana khusus tanpa alasan dan paramater
yang jelas akan menimbulkan kerumitan tersendiri dalam pembahasan RKHUP.
Kalaupun mau dimasukkan, harus dipilih mana tindak pidana yang keberadaannya diluar
KUHP tidak ada sifat kekhususan dan pengaturan yang terperinci mengenai aspek-aspek
administatif atau petunjuk dari pasal-pasal tindak pidananya. Hal ini sesuai dengan

2
semangat kodifikasi untuk menyederhanakan pasal-pasal tindak pidana yang bertebaran
diluar kodifikasi tanpa urgensi apapun.

Sistem kodifikasipun sebenarnya bukan hanya untuk tindak pidana dalam KUHP semata.
Melainkan berlaku juga untuk tindak pidana diluar KUHP, sepanjang tidak ditentukan
lain. Artinya, walaupun berada diluar KUHP, sebenarnya beberapa undang-undang
pidana diluar KUHP (khususnya tindak pidana administratif) adalah bagian dari
kodifikasi KUHP. Jikapun banyak diantara undang-undang tersebut yang menyalahi
(bukan menyimpangi) kodifikasi dalam pengaturannya, maka dapat dilakukan revisi
terhadap undang-undang yang bersangkutan.

Lebih baik menertibkan aturan pidana yang diluar KUHP agar kembali merujuk kepada
aturan kodifikasi hukum pidana nasional. Termasuk terhadap aturan yang memiliki
sejumlah kekhususan atau penyimpangan agar mengikuti kriteria penyimpangan hukum
yang dibolehkan. Hal ini penting agar pembentuk undang-undang juga tidak
sembarangan dalam menentukan hukum pidana khusus.

Mengingat kompleksnya permasalahan dalam RKUHP, lebih baik pemerintah dan DPR
fokus pada pembenahan tujuan-tujuan pemidanaan yang dinilai semakin jauh dari cita-
cita reformasi. Dalam menunjang masyarakat yang demokratis, seharusnya RKHUP lebih
mengedepankan semangat pemberdayaan, humanis dan anti-diskriminatif. Namun,
faktanya perkembangan pengaturan sanksi pidana di Indonesia pasca reformasi lebih
ditujukan sebagai strategi kontrol sosial, yakni untuk memastikan masyarakat Indonesia
patuh terhadap aturan yang telah diundangkan dan bukan untuk menyelesaikan masalah
kriminalitas.[xiii] Beberapa ancaman sanksi pidana dalam RKUHP untuk tindak pidana
yang sama malah lebih berat ketimbang dalam KUHP. Hal ini menandakan RKHUP yang
saat ini diharapkan sebagai produk hukum nasional ternyata lebih represif dan eksesif
ketimbang hukum pidana kolonial

3
BAB II

LANDASAN TEORI

Semenjak Indonesia merdeka, hukum pidana positif ternyata tidak hanya yang
tersedia dalam KUHP atau hukum pidana yang terkodifikasi. Setidaknya ada 3 jenis
hukum pidana tertulis diluar KUHP, yakni : (1) undang-undang yang
merubah/menambah KUHP, (2) undang-undang pidana khusus; dan (3) aturan hukum
pidana dalam undang-undang yang bukan mengatur hukum pidana. Undang-undang
pidana khusus yang murni mengatur tindak pidana diluar KUHP (generic crime)
misalnya seperti tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversif, tindak pidana terorisme,
tindak pidana Hak Asasi Manusia, tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang, dan lain sebagainya. Sementara, aturan hukum pidana dalam
undang-undang bukan hukum pidana sering juga disebut sebagai tindak pidana
administrasi (administratif penal law), seperti tindak pidana dibidang perbankan, tindak
pidana pajak, tindak pidana dibidang konstruksi dan sebagainya.
Perkembangan hukum pidana diluar KUHP tersebut menjadi salah satu persoalan
yang mengemuka dalam revisi KUHP. Beberapa pengaturan hukum pidana diluar KUHP
dianggap jauh menyimpangi KUHP dan memunculkan ‘dualisme hukum pidana’
nasional.[ii] Dalam naskah akademik RKUHP disebutkan beberapa masalah undang-
undang pidana dilauar KUHP, yakni:banyak perundang-undangan khusus tidak
menyebutkan/ menentukan kualifikasi tindak pidana sebagai ”kejahatan” atau
”pelanggaran”;
Mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, tetapi tidak disertai dengan
aturan pemidanaan/penerapannya.
Subjek tindak pidana ada yang diperluas pada korporasi, tetapi ada yang tidak disertai
dengan ketentuan ”pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pemufakatan jahat dipidana sama dengan tindak pidananya, namun tidak ada ketentuan
yang memberikan pengertian/batasan/syarat-syarat kapan dikatakan ada ”pemufakatan
jahat” seperti halnya dalam KUHP (Pasal 88).
Dalam naskah RKHUP terdapat beberapa undang-undang diluar KUHP dan
undang-undang tindak pidana khusus masuk menjadi bagian Buku II KUHP. Kekeliruan
perumusan undang-undang pidana diluar KUHP dan undang-undang pidana khusus
tersebut kemudian menjadi landasan perumus untuk melakukan sinkronisasi, dengan
memasukkannya kedalam RKUHP dengan segala konsekuensi yuridis dari sistem
kodifikasi.Pada dasarnya, sangat tidak mungkin memasukkan semua aturan pidana diluar
KUHP karena jumlahnnya yang begitu banyak. Namun, hampir seluruh undang-undang
tindak pidana khusus masuk menjadi bahagian dalam KUHP. Perumus melupakan bahwa
eksistensi undang-undang pidana diluar KUHP juga disebabkan oleh kekhususan yang

4
dimiliki masing-masing peraturan yang menyimpangi ketentuan asas-asas hukum pidana
dalam KUHP. Pertanyaannya kemudian, apakah mengkodifikasi undang-undang pidana
khusus yang sudah berkembang diluar KUHP harus menjadi pilihan utama atas
permasalahan tersebut? Mengingat kesalahan yang muncul cenderung terjadi pada
wilayah praktik perumusan, bukan pada konsep penyimpangan itu sendiri yang memang
berdasarkan ilmu pengetahuan hukum merupakan suatu keniscayaan.

5
BAB III

ANALISIS

Beberapa pengaturan hukum pidana diluar KUHP dianggap jauh menyimpangi


KUHP dan memunculkan ‘dualisme hukum pidana’ nasional.[ii] Dalam naskah akademik
RKUHP disebutkan beberapa masalah undang-undang pidana dilauar KUHP, yakni:
banyak perundang-undangan khusus tidak menyebutkan/ menentukan kualifikasi tindak
pidana sebagai ”kejahatan” atau ”pelanggaran”;
Mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, tetapi tidak disertai dengan aturan
pemidanaan/penerapannya.
Subjek tindak pidana ada yang diperluas pada korporasi, tetapi ada yang tidak
disertai dengan ketentuan ”pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pemufakatan jahat dipidana sama dengan tindak pidananya, namun tidak ada ketentuan
yang memberikan pengertian/batasan/syarat-syarat kapan dikatakan ada ”pemufakatan
jahat” seperti halnya dalam KUHP (Pasal 88).

Dalam naskah RKHUP terdapat beberapa undang-undang diluar KUHP dan


undang-undang tindak pidana khusus masuk menjadi bagian Buku II KUHP. Kekeliruan
perumusan undang-undang pidana diluar KUHP dan undang-undang pidana khusus
tersebut kemudian menjadi landasan perumus untuk melakukan sinkronisasi, dengan
memasukkannya kedalam RKUHP dengan segala konsekuensi yuridis dari sistem
kodifikasi.Pada dasarnya, sangat tidak mungkin memasukkan semua aturan pidana diluar
KUHP karena jumlahnnya yang begitu banyak. Namun, hampir seluruh undang-undang
tindak pidana khusus masuk menjadi bahagian dalam KUHP. Perumus melupakan bahwa
eksistensi undang-undang pidana diluar KUHP juga disebabkan oleh kekhususan yang
dimiliki masing-masing peraturan yang menyimpangi ketentuan asas-asas hukum pidana
dalam KUHP.

6
BAB IV

KESIMPULAN

Dalam konteks akademik, memang sebaiknya hukum pidana memiliki kesatuan


asas yang dapat dipraktikkan kepada seluruh aturan hukum pidana. Namun ternyata
dalam perkembangan, harus ada aturan khusus yang kemudian menyimpangi atau
menegecualikan asas-asas hukum pidana umum karena kebutuhannya yang
mengharuskannya demikian. Namun penyimpangan tersebut tetap harus didasari oleh
landasan atau pertimbangan yang cukup, tidak semata-mata hanya berdasarkan kehendak
pembentuk undang-undang saja.

SARAN

Lebih baik menertibkan aturan pidana yang diluar KUHP agar kembali merujuk
kepada aturan kodifikasi hukum pidana nasional. Termasuk terhadap aturan yang
memiliki sejumlah kekhususan atau penyimpangan agar mengikuti kriteria penyimpangan
hukum yang dibolehkan. Hal ini penting agar pembentuk undang-undang juga tidak
sembarangan dalam menentukan hukum pidana khusus.

7
DAFTAR PUSTAKA

[i] Naskah Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana (KUHP), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, 2015, hlm. 13

[ii] ibid., hlm. 8

[iii] Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum Pidana
(Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 6-7

[iv] Ibid., hlm. 68

[v][v] Ibid., hlm. 11

[vi] Ibid., hlm. 18.

[vii] Soetandyo Wignjosoebroto, 2014, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika
Sosial-politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: HuMa; VVI-
Leiden; KITLV-Jakarta; Epistema Institute, 2014), hlm. 23

[viii] Bambang Poernomo, Op. Cit., hlm. 35

[ix] Ibid., hlm. 37.

[x] Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia (Jakarta: IND-HILL-CO, 1993), hlm. 107

[xi] Ibid., hlm. 109-113

[xii] Naskah…., Op. Cit., hlm. 171

[xiii] Anugerah Rizki Akbari, Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi Dan Urgensi Reklasifikasi
Tindak Pidana Di Indonesia, http://reformasikuhp.org/potret-kriminalisasi-pasca-reformasi-
dan-urgensi-reklasifikasi-tindak-pidana-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai