OLEH
Arianto Fogus (1506101030049)
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
dukungan moral dan materi dalam penyusunan makalah ini. Sehingga, makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun sebagai tugas yang menjadi kesepakatan dalam kontrak
perkuliahan. Dengan demikian kami berharap agar makalah ini dapat menambah
pengetahuan baik bagi kelompok kami maupun bagi para pembaca dalam memahami
Perbedaan antara Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saya sebagai
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, untuk
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Arianto Fogus
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................1
1.3 Tujuan...................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ASURANSI SYARIAH.............................................................2
A. Pengertian Asuransi Menurut Syariah...................................................................2
B. Sejarah Asuransi Syariah.......................................................................................3
C. Landasan Hukum Asuransi Syariah.......................................................................6
D. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah...........................................................................8
E. Jenis, Mekanisme Pengelolaan Dana dan Manfaat Asuransi Syariah..................10
1. Jenis Asuransi Syariah....................................................................................10
2. Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Syariah............................................11
3. Manfaat Asuransi Syariah (Tafakul)...............................................................12
BAB III PEMBAHASAN ASURANSI KONVENSIONAL.............................................14
A. Pengertian Asuransi Konvensional......................................................................14
B. Sejarah Asuransi Konvensional...........................................................................15
1. Awal Sejarah Asuransi...................................................................................15
2. Sejarah Asuransi di Indonesia........................................................................16
C. Pengaturan Asuransi............................................................................................18
D. Tujuan dari Asuransi...........................................................................................19
E. Jenis-jenis Asuransi.............................................................................................21
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................24
KESIMPULAN...........................................................................................................24
SARAN.......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................25
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
a. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Hukum Bisnis”.
b. Mengetahui perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
1
BAB II PEMBAHASAN
ASURANSI SYARIAH
Definisi tabarru’ adalah sumbangan atau derma (dalam definisi Islam adalah
Hibah). Sumbangan atau derma (hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan
diikhlaskan oleh peserta asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan
untuk membayar klaim atau manfaat asuransi lainnya. Dengan adanya dana tabarru’
dari para peserta asuransi syariah ini maka semua dana untuk menanggung risiko
dihimpun oleh para peserta sendiri. Dengan demikian kontrak polis pada asuransi
syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang menanggung risiko, bukan
perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional. Oleh karena dana-dana
yang terhimpun dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus dikelola secara
baik dari segi administratif maupun investasinya, untuk itu peserta memberikan
kuasa kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai operator yang bertugas
mengelola dana-dana tersebut secara baik. Jadi jelas di sini bahwa posisi perusahaan
2
asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola atau operator saja dan bukan sebagai
pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator, fungsi perusahaan asuransi hanya
mengelola dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh menggunakan dana-dana
tersebut jika tidak ada kuasa dari peserta. Dengan demikian maka unsur
ketidakjelasan (Gharar) dan untung-untungan (Maysir) pun akan hilang karena : 1)
Posisi peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan
posisi perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja. 2) Peserta akan
memperoleh pembagian keuntungan dari dana tabarru’ yang terkumpul.
1
Yos Enirson, “Pengertian Asuransi Syariah”, http://asuransisyariah.asia/ product/4/94/
Pengertian-Asuransi-Syariah.
3
Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan asuransi syariah tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan asuransi konvensional yang telah ada sejak lama.
Sebelum terwujudnya asuransi syariah, terdapat berbagai macam perusahaan asuransi
konvensional yang rata-rata dikendalikan oleh nonmuslim. Jika ditinjau dari segi
hukum perikatan Islam, asuransi konvensional hukumnya haram hal ini dikarenkan
oprasional asuransi konvensional mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Di
Malaysia, pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan
pada tanggal 15 Juni 1972 dimana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan
keputusan bahwa praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah
haram. Selain itu Jawatan Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang berjudul
“Ke Arah Insurans Secara Islami di Malaysia” menyatakan bahwa asuransi masa kini
mengikuti cara pengelolaan barat dan sebagia oprasinya tidak sesuai dengan ajaran
Islam.
Pada dekade 70-an dibeberapa negara Islam bermunculan asuransi yang prinsip
oprasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang
diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakasai
beerdirinya perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan
Islamic Insurance Co. Ltd. di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini
kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss dan Tafakul
Islami di Luxemburg, Tafakul Islami Bahamas di Bahamas dan al-Tafakul al-Islami
di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia Syarikat Tafakul Sendirian Berhad berdiri
pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT Syarikat Tafakul Indonesia yang
kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT Asuransi Tafakul Keluarga pada
tahun 1994 dan PT Asurasi Tafakul Umum pada tahun 1995.
4
Gagasan dan pemikiran didirikanya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya
sudah muncul tiga tahun sebelum berdirinya Tafakul dan makin kuat setelah
diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Berdasarkan pemikiran
tersebut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993
melalui Yayasan Abdi Bangsanya bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan
perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakasai pendirian asuransi tafakul
dengan menyusun Tim Pembentukan Asuransi Tafakul Indonesia (TEPATI).
TEPATI itulah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir dari berdirinya
Asuransi Tafakul Indonesia dengan mendirikan PT Asuransi Tafakul Keluarga
(Asuransi Jiwa) dan PT Asuransi Tafakul Umum (Asuransi Kerugian). Pendirian dua
perusahaan asuransi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi Pasal 3 UU No. 2 Tahun
1992 tentang usaha perasuransian yang menyebutkan bahwa perusahaan asuransi
jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus didirikan secara terpisah. Langkah awal
yang dilakukan TEPATI dalam membentuk asuransi tafakul di Indonesia adalah
melakukan studi banding ke syariat Tafakul Malaysia Sendirian Berhad di Malaysia
pada tanggal 7 sampai 10 September 1993. Hasil studi banding tersebut kemudian
diseminarkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1993 yang merekomendasikan
untuk segera dibentuk Asuransi Tafakul Indonesia. Langkah selanjutnya, TEPATI
merumuskan dan menyusun konsep asuransi tafakul serta mempersiapkan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi. Akhirnya
pada tanggal 25 Agustus 1994 Asuransi Tafakul Indonesia berdiri secara resmi.
Pendirian ini dilakukan secara resmi di Puri Agung Room Hotel Syahid Jakarta. Izin
operasional asuransi ini diperoleh dari Departemen Keuangan melalu Surat
Keputusan Nomor: Kep-385/KMK.017/1994 tertanggal 4 Agustus 1994.
Saat ini perusahaan asuransi yang benar-benar secara penuh beroperasi sebagai
perusahaan asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Tafakul Keluarga, Asuransi
Tafakul Umum dan Asuransi Mubarakah. Selain itu ada beberapa perusahaan
asuransi konvensional uang membuka cabang syariah seperti MAA, Great Eastern,
Tripakarta, Beriingin Life, Bumi Putra, Dharmala dan Jasindo.
5
C. Landasan Hukum Asuransi Syariah
Hakikat asuransi secara Islami adalah saling bertaggung jawab, saling bekerja
sama atau bantu-membantu dan saling melindungi penderitaan satu sama lain. Oleh
karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariat, karena prinsip-prinsip dasar
syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang meringankan bencana mereka
sebagaimana firman Allah Taala dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 yang
artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi dan reasuransi syariah masih
mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuaransian
yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak
mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata
lain, UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi
asuransi syariah. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi
syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi
syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang tidak dapat dijadikan
pedoman untuk menjalanka asuransi syariah. Fatwa dari Dewan Syariah Nasional
MUI tidak mempunyai kekuatan hukum dan hukum nasional karena tidak termasuk
dalam jenis oeraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan dalam
Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman asuransi syariah.
6
pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip
syariah. . .” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam
Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prisnip syariah, Pasal 32 mengenai
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor
cabang dengan prinsip dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip syariah.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi.
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18
mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000
tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dengan Sitem Syariah. Berdasarkan peraturan ini, jenis
investasi bagi perusahaan asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah terdiri
dari:
a. Deposito dan sertifikat deposito syariah;
b. Sertifikat waidah Bank Indonesia;
c. Saham syariah yang tercatat dibursa efek;
d. Obligasi syariah yang tercatat dibursa efek;
e. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah;
f. Unit penyertaan reksadana syariah;
g. Penyertaan langsung syariah;
h. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi;
i. Pembiayaan kepemilikan tanah atau bangunan, kendaraan bermotor dan
barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan);
j. Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil);
k. Pinjaman polis.
7
Dari peraturan perundang-undangan yang ada tersebut dapat dilihat adanya
kemajuan perangkat pengaturan asuransi syariah, namun belum cukup untuk
megakomodasi kegiatan perasuransian syariah di Indonesia terutama jika
dibandingkan dengan perbankan syariah yang kerangka dan perangkat
pengaturannya lebih baik
Prinsip utama dalam asuransi syariah adala ta’awanu ‘ ala al birrwa al-taqwa
(tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa
aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah
keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung resiko.
Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi tafakul adalah akada tafakul
(saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini
digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan
uang pertanggungan.
8
Maksud hadits: ‘Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi
saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri’ (HR. Bukhari)”.
2. Saling bekerja sama atau saling membantu, yang berarti diantara peserta asuransi
tafakul yang satu dengan lainnya saling bekerja sama dan saling tolong-menolong
dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab yang diderita. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya: “Berkerjasamalah kamu
pada perkara-perkara kebajikan dan takwa, dan jangan bekerja sama dalam
perkara-perkara dosa dan permusuhan.”
Hadits juga membicarakan perkara seperti ini diantaranya yaitu :
“Maksud hadits: ‘Sesiapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan
memenuhi hajatnya’ (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Maksud hadits: ‘Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong
saudaranya’ (HR. Ahamd dan Abu Daud)”.
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta
asuransi tafakul akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang
mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy ayat 4 artinya: “(Allah) yang telah
menyediakan makanan untuk menghilangkan bahaya kelaparan
menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan”. Firman
Allah QS. Al-Baqarah ayat 126 yang artinya: “Ketika Nabi Ibrahim berdoa Ya
Tuhanku, jadikan negeri ini aman dan selamat”. Diantara sabda Rasulullah yang
mengandung maksud perlunya saling melindungi adalah:
“Maksud hadits: ‘Sesungguhnya seseorang yang beriman ialah sesiapa yang boleh
memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga manusia’
(HR. Ibnu Majah).
Maksud hadits: ‘Rasulullah bersabda: Demi diriku dalam keuasaan Allah, bahwa
siapapun tidak masuk surga kalau tidak memberi perlindungan jirannya yang
terhimpit’ (HR. Ahmad).
Maksud hadits: ‘Tidaklah sah iman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan
perut kenyang sedangkan jirannya menatap kelaparan’ (HR. Al-Bazar)”.
9
Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi tafakul
yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada
yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4
prinsip asuransi syariah yakni:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerjasama atau saling membantu;
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain;
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.2
10
3. Tafakul kecelakaan diri;
4. Tafakul pengangkutan laut;
5. Tafakul rekayasa/Engineering;
6. Dll.
11
ada). Sedangkan bagian keuntungan milik perusahaan (30%) akan digunakan
untuk membiayai oprasional perusahaan.
b. Tafakul Umum (Asuransi Kerugian), setiap premi yang diterima akan dimasukkan
kedalam rekening khusus yaitu rekening yang diniatkan derma/tabarru’ dan
diguakan untuk membayar klaim kepada peserta apabila terjadi musibah atas harta
benda atau peserta itu sendiri. Premi tafakul akan dikelompokkan kedalam
“kumpulan dana peserta” untuk kemudian diinvestasikan kedalam pembiayaan-
pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan investasi yang
diperoleh akan dimasukkan kedalam kumpulan dana peserta untuk kemudian
dikurangi “beban asuransi” (klaim, premi dan asuransi). Bila terdapat sisa akan
dibagikan menurut prinsip mudharabah. Bagian keuntungan milik peserta akan
dikembalikan kepada peserta yang tidak mengalami musibah sesuai dengan
penyertaannya. Sedangkan bagian keuntungan yang diterima perusahaan akan
digunakan untuk membiayai oprasional perusahaan.
12
b) Kelebihan dari rekening khusus/tabarru’ peserta apabila peserta dikurangi
biaya oprasional perusahaan dan pembayaran klaim masih ada kelebihan.
3) Peserta mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan selesai. Dalam hal
ini peserta yang bersangkutan tetap akan menerima seluruh angsuran premi
yang telah disetorkan kedalam rekening peserta, ditambah dengan bagian dari
hasil keuntungan investasi.
b. Tafakul Umum (Asuransi Jiwa), klaim tafakul akan dibayarkan kepada peserta
yang mengalami musibah yang menimbulkan kerugian harta bendanya sesuai
dengan perhitungan kerugian yang wajar. Dana pembayaran klaim tafakul diambil
dari kumpulan pembayaran premi peserta. Baik pada tafakul keluarga maupun
tafakul umum keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi dana rekening
peserta pada tafakul keluarga dan dana kumpulan premi setelah dikurangi biaya
oprasional perusahaan pada tafakul umum, dibagikan kepada perusahaan dan
peserta tafakul sesuai dengan prinsip mudharabah dengan porsi pembagian yang
telah disepakati sebelumnya.3
3
Gemala Dewi, “Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia”, ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 152-157.
13
BAB III PEMBAHASAN
ASURANSI KONVENSIONAL
A. Pengertian Asuransi Konvensional
“Verzekering” (bahasa Belanda) disebut pula dengan asuransi atau juga berarti
pertanggungan. Ada 2 pihak terlibat didalam asuransi, yaitu yang satu sanggup
menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian suatu
kerugian yang mungkin ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula
belum tentu akan terjadi atau semula dapat ditentukan saat akan terjadinya. Didalam
pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) disebut bahwa, “asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seoramg penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tetanggung, dengan menerima suatu premi untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntunganyang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu
peristiwa yang tak tertentu”.
Nyatanya bahwa dari pengertian pasal 246 KUHD itu dapat disimpulkan
adanya tiga unsur dalam asuransi, yaitu:
1. Pihak tetanggung atau dalam bahasa Belanda disebut dengan “Verzekering” yang
mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada pihak penanggung
(Verzekering), sekaligus atau dengan berangsur-angsur.
2. Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada
pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila maksud unsur ketiga
berhasil.
3. Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi.
Sekarang masalahnya masuk golongan persetujuan manakah asuransi itu ?
menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, asurunsi masuk golongan persetujuan
untung-untungan (kansovereenkomst). Apakah persetujuan untung-untungan itu ?
menurut pasal 1774 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), suatu
14
persetujuan undang-undangan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai
untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya,
baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu.
4
Djoko Prakoso, “Hukum Asuransi Indonesia”, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 2000), hlm. 1-3.
15
Sumber hukum asuransi adalah hukum positif, hukum alami dan contoh yang ada
sebelumnya sebagaimana kebudayaan. Asuransi membawa misi ekonomi sekaligus
sosial dengan adanya premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi dengan
jaminan adanya transfer of risk, yaitu pengalihan (transfer) resiko dari tertanggung
kepada penanggung. Asuransi sebagai mekanisme pemindahan resiko dimana
individu atau business memindahkan sebagian ketidakpastian sebagai imbalan
pembayaran premi. Definisi resiko disini adalah ketidakpastian terjadi atau tidaknya
suatu kerugian (the uncertainty of loss).
16
perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan
perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan-
perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.
17
hal ini memberikan hasil yang diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum
Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan kegiatan reasuransi jiwa. Pada saat PT.
Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan asuransi
kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh
persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing. Pada waktu
perjuangan mengembaiikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, pemerintah
melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan Inggris
dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi.5
C. Pengaturan Asuransi
Hukum asuransi pada umumnya diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD), buku I titel 9 dan 10 dan buku II titel 9 dan 10 dengan perincian
sebagai berikut:
1. Buku I titel 9 : Mengatur Asuransi kerugian pada umumnya.
2. Buku I titel 10 : Mengatur Asuransi terhadap bahaya kebakaran terhadap
bahaya yang mengancam hasil pertanian disawah dan
tentang Asuransi jiwa.
3. Buku I titel 10 : Ini dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
Bagian Pertama : Mengatur Asuransi terhadap bahaya kebakaran.
Bagian Kedua : Mengatur Asuransi terhadap bahaya-bahaya yang
mengancam hasil-hasil pertanian di sawah.
Bagian Ketiga : Mengatur Asuransi Jiwa.
4. Buku II titel 9 : Mengatur Asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan
bahaya-bahaya perbudakan.
5. Buku II titel 9 ini dibagi atas:
Bagian Pertama : Mengatur tentang bentuk dan isi Asuransi
Bagian Kedua : Mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang
diasuransikan.
Bagian ketiga : Mengatur tentang awal dan akhir bahaya.
Bagian Keempat : Mengatur tentang hak dan kewajiban-kewajiban
penanggung dan tertanggung.
asuransi.html.
18
Bagian Keenam : Mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak
makelar didalam Asuransi laut
6. Buku II titel 10 : Pengangkutan didarat dan di sungai-sungai serta perairan
pedalaman.
Kecuali pengaturan yang terdapat didalam Buku I titel 9 dan Buku II titel 9,
maka pengaturan yang terdapat didalam Buku I titel 10 dan Buku II titel 10 adalah
pengaturan yang sifatnya secara ringkas saja.
Masih juga terdapat jenis-jenis asuransi didalam praktek yang diatur didalam
KUHD, misalnya:
1. Asuransi terhadap pencurian dan pembongkaran;
2. Asuransi kecelakaan;
3. Asuransi terhadap kerugian perusahaan;
4. Asuransi atas pertanggungjawaban seseorang pada kerugian yang diderita oleh
pihak ketiga karena perbuatan melawan hukum sendiri atau orang bawahannya;
5. Asuransi kredit, asuransi ini sekarang banyak dikenal didalam praktek, yang
maksudnya menanggung kerugian yang timbul/diderita berhubung debitor tidak
dapat mengembalikan kredit yang diambilnya dari bank;
6. Asuransi atas kerugian yang diderita oleh suatu perusahaan;
7. Asuransi wajib kecelakaan penumpang yang diatur didalam UU. No. 33 Tahun
1964;
8. Asuransi atas kecelakaan lalu lintas jalan, yang diatur didalam UU. No. 34 Tahun
1964;
9. Dan lain-lain.
19
Disebabkan kebakaran, maka benda seseorang akan hancur, karena pencurian maka
seseorang akan kehilangan barang-barang perhiasan, karena angin topan maka
seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal-hal ini yaitu
kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang
pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itu besar, tidaklah dapat
diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian, dan pada pihak lain bahwa orang yang
ditimpanya itu biasanya menderita kerugian yang lebih besar dari faktor-faktor
kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat
mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuagan dari seseorang. Jika ini
dihubungkan dengan asuransi maka dapat dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu
tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk
itu diperjanjikan sebelumnya. Diantara orang yang khawatir akan menderita kerugian
dengan orang yang mau menanggung kerugian itu diadakanlah perjanjian asuransi.
Dari apa yang diuraikan diatas, menurut Prof. Ny. Emmy Pangaribuan
Simanjuntak, S.H. Asuransi itu mempunyai tujuan pertama-tama ialah: mengalihkan
segala resiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapakan
terjadi kepada orang lain yang mengambil resiko untuk mengganti kerugian. Pikiran
yang terselip didalam hal ini, ialah bahwa lebih ringan dan mudah apabila yang
menanggung resiko dari kekurangan nilai benda-benda itu beberapa orang daripada
satu orang saja, dan akan memberikan suatu kepastian mengenai kestabilan dari nilai
harta bendanya itu jika ia akan mengalihkan resiko itu pada satu perusahaan, dimana
dia sendiri saja tidak berani menanggungnya.
Sebaliknya seperti yang dikemukakan oleh Mr. Dr. A.F.A. Volman (Het Ned
Handelsrecht, 1953, halaman 352) bahwa orang-orang lain yang menerima resiko
itum yang disebut penanggung bukanlah semata-mata melakukan itu demi
perikamanusiaan saja dan bukanlah pula bahwa dengan tindakan itu kepentigan-
kepentingan mereka menjadi korban untuk membayar sejumlah uang yang besar
mengganti kerugian-kerugian yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa itu.
Para penanggung itu adalah lebih dapat menilai resiko itu dalam perusahaan
mereka, daripada seseorang tertanggung yang berdiri sendiri, oleh karena itu
biasanya didalam praktek para penanggung asuransi yang sedemikian banyaknya,
mempunyai dan mempelajari pengalaman-pengalaman mereka, tentang penggantian
20
kerugian yang bagaimanakah terhadap sesuatu resiko yang dapat memberikan suatu
kesempatan yang layak untuk adanya keuntungan. Misalnya seorang penanggung
menanggung suatu gedung terhadap suatu kebakaran, mula-mula ia harus
memperhatikan terlebih dahulu mengenai adanya jumlah kerugian rata-rata yang
tetap yang timbul tiap tahun dan kemudian dia meminta premi kepada tertanggung
dalam jumlah yang tetap maka berdasarkan itulah ia dapat membayar penggantian
kerugian itu. Dan selanjutnya ia harus menjaga supaya jangan sampai menganggung
rumah-rumah yang satu sama lain terlalu berdekatan oleh karena kemungkinan ia
harus menggantu kerugian dalam satu saat atas beberapa asuransi kebakaran pada
rumah-rumah itu jika api menjalar. Faktor “terlalu berdekatan” ini dapat
memperbesar resikonya sendiri.
Jadi, berdasarkan besar kecilnya resiko yang dihadapi penanggung dari
pengalaman perusahaannya dan berapa besar presentase tentang kemungkinan suatu
klaim tertentu akan terjadi, dan berdasarkan statistik ini pula penanggung dapat
menghitung berapakah besarnya penggantian kerugian itu dan jumlah inilah yang
dimintakannya sebagai premi dari tetanggung, akan tetapi didalam jumlah
keseluruhannya ia masih juga memasukkan segala ongkos-ongkos dan untuk dari
perusahaannya.
Perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengganti kerugian pada
tertanggung, jadi tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita
kerugian dan benar-benar menderita kerugian. Didalam asuransi itu setiap waktu
selalu dijaga supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud
menyingkirkan suatu kerugian saja dan mengharapkan suatu untung menikmati
asuransi itu dengan cara memakai spekulasi, yang penting ialah bahwa tertanggung
harus mempunyai kepentingan bahwa kerugian untuk mana ia mempertanggungkan
dirinya itu tidak akan menimpanya. Ajaran “kepentingan” ini sangat penting didalam
seleuruh Hukum Asuransi yang kita dapati didalam beberapa pasal tertentu yaitu:
Pasal-pasal 250, 252, 253, 274, 275, 277, 279, 284, KUHD.6
E. Jenis-jenis Asuransi
6
Djoko Prakoso, “Hukum Asuransi Indonesia”, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 2000), hlm. 5-9.
21
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) didalam pasal 247
menyebutkan tentang lima (5) macam asuransi, ialah:
1. Asuransi terhadap kebakaran;
2. Asuransi terhadap bahaya pertanian;
3. Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa);
4. Asuransi terhadap bahaya dilaut dan perbudakan;
5. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan didarat dan disungai-sungai.
Buku I KUHD mengatur tentang jenis asuransi yang pertama, nomor 2 dan 3
diatas, sedangkan jenis asuransi yang ke-4 dan 5 diatur didalam Buku II KUHD.
Selanjutnya untuk dapat melihat terjadinya dan cara mengadakan asuransi kita dapat
melihat didalam Pasal 225 KUHD yang berbunya sebagai berikut:
“Apabila penunjukan cek, pembuatan protes, atau pernyataan yang sepadan
dengan protes itu dalam tenggang waktu yang diharuskan tidak dapat dilangsungkan
karena suatu halangan yang tak dapat diatasi (ketentuan undang-undang dari suatu
negara atau keadaan lain yang memaksa), maka tenggang waktu itu harus
diperpanjang”.Pemegang cek harus segara memberitahukan adanya keadaan
memaksa itu kepada endosannya, dan mencatat pemberitahuan ini dengan dibubuhi
tanggalnya dan ditandatangani, didalam cek itu atau pada lembaran sambungannya
untuk selesainya beralakulah ketentuan-ketentuan Pasal 219.
Setelah berakhirnya keadaan memaksa itu, maka pemegang tersebut harus
segera menunjukkan ceknya untuk pembayaran dan sekiranya ada alasan untuk itu, ia
pun harus pula mengusahakan supaya penolakannya untuk membayar dinyatakan
dengan protes atau dengan pernyataan lain yang sepadan dengan protes. Apabila
keadaan memaksa itu berlangsung lebih dari 15 hari lamanya terhitung mulai dari si
pemegang memberitahukan kepada endosannya, maka ia pun sekirannya
pemeberitahuan dilakukan sebelum berakhirnya tenggang waktu untuk penunjukkan,
hak regres itu bole dilaksanakan dengan tak usah menunjukkannya atau membuat
protes atau pernyataan yang sepadan. Keadaan-keadaan yang bagi pemegang atau
bagi orang yang diperintahkan olehnya untuk menunjukkan cek itu, atau membuat
protes atau pernyataan yang sepadan, bersifat perseorangan semata-mata keadaan itu
pun tidak dianggap sebagai keadaan memaksa.
22
Dari bunyi Pasal 225 KUHD diatas, maka dapatlah ditentukan bahwa semua
asuransi harus dibentuk secara tertulis dengan suatu akta yang dinamakan polis.
Pasal ini menunjukkan seolah-olah suatu persetujuan asuransi ada syarat mutlak
suatu tulisan yang dinamakan polis tadi dalam arti, bahwa apabila tidak ada
persetujuan asuransi. KUH Perdata, dalam beberapa persetujuan tertentu, misalnya:
a. Pasal 147 : Perjanjian perkawinan harus diadakan dengan akta notaris.
b. Pasal 613 : Persetujuan untuk mengalihkan suatu piutang (cessie) harus
diadakan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan.
c. Pasal 1171 : Hipotek harus dibentuk dengan akta notaris
d. Pasal 1682 : Penghibahan (schenking) harus dilakukan dengan akta
notaris.
e. Pasal 1851 : Persetujuan perdamaian (dading) harus diadakan secara
tertulis.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dalam beberapa pasal juga
mengenal tulisan tertentu sebagai syarat mutlak bagi beberapa persetujua tertentu,
misalnya:
a. Pasal 38 : Perseroan Terbatas atau Naamloze Venootschap, harus
didirikan dengan akta notaris.
b. Pasal-pasal 100, 174, 178, 229 dan seterusnya : Untuk pembentukan wesel,
aksep, cek, kuitansi untuk pembawa, harus ada tulisan
berbentuk tertentu.7
7
Djoko Prakoso, “Hukum Asuransi Indonesia”, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 2000), hlm. 56-58.
23
BAB IV
SARAN
Makalah ini tentu masih mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan, karena
itu kepada para pembaca untuk berkenan menyumbangkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi bertambahnya wawasan kami di bidang ini. Akhirnya
24
kepada Allah jualah kami memohon tauhik dan hidayah. Semoga usaha kami ini
mendapat manfaat yang baik, serta mendapat ridho dari Allah SWT Amin ya rabbal
‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Prakoso, Djoko. 2000. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
25