Anda di halaman 1dari 29

Makalah

PERBEDAAN ANTARA ASURANSI SYARIAH


DENGAN ASURANSI KONVENSIONAL

Diajukan untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum Bisnis

OLEH
Arianto Fogus (1506101030049)

Dosen Pembimbing : Erna Hayati, S.H, M.Hum

UNIVERSITAS SYIAH KUALA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah S.W.T yang telah memberikan karunia-Nya


sehingga saya dapat menyusun makalah yang berjudul “Perbedaan antara
Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional”.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
dukungan moral dan materi dalam penyusunan makalah ini. Sehingga, makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun sebagai tugas yang menjadi kesepakatan dalam kontrak
perkuliahan. Dengan demikian kami berharap agar makalah ini dapat menambah
pengetahuan baik bagi kelompok kami maupun bagi para pembaca dalam memahami
Perbedaan antara Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional.

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu saya sebagai
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, untuk
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Banda Aceh, 13 Mei 2017

Arianto Fogus

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................1
1.3 Tujuan...................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ASURANSI SYARIAH.............................................................2
A. Pengertian Asuransi Menurut Syariah...................................................................2
B. Sejarah Asuransi Syariah.......................................................................................3
C. Landasan Hukum Asuransi Syariah.......................................................................6
D. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah...........................................................................8
E. Jenis, Mekanisme Pengelolaan Dana dan Manfaat Asuransi Syariah..................10
1. Jenis Asuransi Syariah....................................................................................10
2. Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Syariah............................................11
3. Manfaat Asuransi Syariah (Tafakul)...............................................................12
BAB III PEMBAHASAN ASURANSI KONVENSIONAL.............................................14
A. Pengertian Asuransi Konvensional......................................................................14
B. Sejarah Asuransi Konvensional...........................................................................15
1. Awal Sejarah Asuransi...................................................................................15
2. Sejarah Asuransi di Indonesia........................................................................16
C. Pengaturan Asuransi............................................................................................18
D. Tujuan dari Asuransi...........................................................................................19
E. Jenis-jenis Asuransi.............................................................................................21
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................24
KESIMPULAN...........................................................................................................24
SARAN.......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................25

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asuransi timbul karena kebutuhan manusia, adanya peristiwa yang tidak bisa
diprediksi datangnya membuat seseorang khawatir atas keadaannya, baik dari segi
jiwa maupun harta kekayaannya. Oleh karena itu setiap manusia selalu menghadapi
resiko yang merupakan sifat hakiki manusia yang menunjukkan ketidakberdayaan
dibandingkan dihadapan sang pencipta.

Hadirnya asuransi merupakan jalan terang terbukanya harapan ini, sebenarnya


konsep asuransi islam sudah diterapkan pada zaman Rasulullah yang disebut dengan
Aqilah. Jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku lain,
pewaris korban akan dibayar sejumlah uang darah (diyat) sebagai kompensasi oleh
saudara terdekat dari pembunuh, saudara terdekat pembunuh tersebut disebut Aqilah.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa perbedaan antara asuransi menurut syariah dengan asuransi
konvensional ?

1.3 Tujuan
a. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Hukum Bisnis”.
b. Mengetahui perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.

1
BAB II PEMBAHASAN
ASURANSI SYARIAH

A. Pengertian Asuransi Menurut Syariah

Pengertian Asuransi Syariah berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan


Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah usaha saling melindungi dan tolong
menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’
yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui Akad
yang sesuai dengan syariah. Asuransi Syariah adalah sebuah sistem di mana para
peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar
untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami oleh sebagian peserta.
Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada
asuransi syariah adalah sharing of risk atau saling menanggung risiko. Apabila
terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan
demikian, tidak terjadi transfer risiko transfer of risk atau memindahkan risiko dari
peserta keperusahaan seperti pada asuransi konvensional. Peranan perusahaan
asuransi pada asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah dalam
mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta. Jadi pada asuransi
syariah, perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola operasional saja, bukan
sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional.

Definisi tabarru’ adalah sumbangan atau derma (dalam definisi Islam adalah
Hibah). Sumbangan atau derma (hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan
diikhlaskan oleh peserta asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan
untuk membayar klaim atau manfaat asuransi lainnya. Dengan adanya dana tabarru’
dari para peserta asuransi syariah ini maka semua dana untuk menanggung risiko
dihimpun oleh para peserta sendiri. Dengan demikian kontrak polis pada asuransi
syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang menanggung risiko, bukan
perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional. Oleh karena dana-dana
yang terhimpun dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus dikelola secara
baik dari segi administratif maupun investasinya, untuk itu peserta memberikan
kuasa kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai operator yang bertugas
mengelola dana-dana tersebut secara baik. Jadi jelas di sini bahwa posisi perusahaan

2
asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola atau operator saja dan bukan sebagai
pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator, fungsi perusahaan asuransi hanya
mengelola dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh menggunakan dana-dana
tersebut jika tidak ada kuasa dari peserta. Dengan demikian maka unsur
ketidakjelasan (Gharar) dan untung-untungan (Maysir) pun akan hilang karena : 1)
Posisi peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan
posisi perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja. 2) Peserta akan
memperoleh pembagian keuntungan dari dana tabarru’ yang terkumpul.

Hal ini tentunya sangat berbeda dengan asuransi konvensional (non-syariah) di


mana pemegang polis tidak mengetahui secara pasti berapa besar jumlah premi yang
berhasil dikumpulkan oleh perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil
daripada pembayaran klaim yang dilakukan, karena disini perusahaan, sebagai
penanggung, bebas menggunakan dan menginvestasikan dananya kemana saja.1

B. Sejarah Asuransi Syariah

Lembaga asuransi sebagaimana dikenal sekarang sesungguhnya tidak dikenal


pada masa awal Islam, akibatnya banyak literatur Islam menyimpulkan bahwa
asuransi tidak dapat dipandang sebagai praktik yang halal. Walaupun secara jelas
mengenai lembaga asuransi ini tidak dikenal pada masa Islam, akan tetapi terdapat
beberapa aktivitas dari kehidupan pada masa Rasulullah yang mengarah pada
prinsip-prinsip asuransi. Misalnya konsep tanggung jawab bersama yang disebut
dengan sistem Aqilah. Sistem tersebut telah berkembang pada masyarakat Arab
sebelum lahirnya Rasulullah SAW kemudian pada zaman Rasulullah SAW atau pada
masa awal Islam sistem tersebut dipraktikan diantara kaum Muhajirin dan Anshar.
Sistem Aqilah adalah sistem menghimpun anggota untuk menyumbang dalam suatu
tabungan bersama yang dikenal sebagai “kunz”. Tabungan ini bertujuan untuk
memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak sengaja
dan untuk membebaskan hamba sahaya.

1
Yos Enirson, “Pengertian Asuransi Syariah”, http://asuransisyariah.asia/ product/4/94/
Pengertian-Asuransi-Syariah.

3
Tidak dapat disangkal bahwa keberadaan asuransi syariah tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan asuransi konvensional yang telah ada sejak lama.
Sebelum terwujudnya asuransi syariah, terdapat berbagai macam perusahaan asuransi
konvensional yang rata-rata dikendalikan oleh nonmuslim. Jika ditinjau dari segi
hukum perikatan Islam, asuransi konvensional hukumnya haram hal ini dikarenkan
oprasional asuransi konvensional mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Di
Malaysia, pernyataan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram diumumkan
pada tanggal 15 Juni 1972 dimana Jawatan Kuasa Fatwa Malaysia mengeluarkan
keputusan bahwa praktik asuransi jiwa di Malaysia hukumnya menurut Islam adalah
haram. Selain itu Jawatan Kuasa Kecil Malaysia dalam kertas kerjanya yang berjudul
“Ke Arah Insurans Secara Islami di Malaysia” menyatakan bahwa asuransi masa kini
mengikuti cara pengelolaan barat dan sebagia oprasinya tidak sesuai dengan ajaran
Islam.

Atas landasan bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka


kemudian dipikirkan dan dirumuskan bentuk asuransi yang bisa terhindar dari ketiga
unsur yang diharamkan Islam. Berdasarkan hasil analisa terhadap hukum atau syariat
Islam ternyata didalam ajaran Islam termuat substansi perasuransian. Asuransi yang
termuat dalam substansi hukum Islam tersbut ternyata dapat menghindarkan prinsip
oprasional asuransi dari unsur gharar, maisir dan riba.

Pada dekade 70-an dibeberapa negara Islam bermunculan asuransi yang prinsip
oprasionalnya mengacu kepada nilai-nilai Islam dan terhindar dari ketiga unsur yang
diharamkan Islam. Pada tahun 1979 Faisal Islamic Bank of Sudan memprakasai
beerdirinya perusahaan asuransi syariah Islamic Insurance Co. Ltd. di Sudan dan
Islamic Insurance Co. Ltd. di Arab Saudi. Keberhasilan asuransi syariah ini
kemudian diikuti oleh berdirinya Dar al-Mal al-Islami di Geneva, Swiss dan Tafakul
Islami di Luxemburg, Tafakul Islami Bahamas di Bahamas dan al-Tafakul al-Islami
di Bahrain pada tahun 1983. Di Malaysia Syarikat Tafakul Sendirian Berhad berdiri
pada tahun 1994 seiring dengan diresmikannya PT Syarikat Tafakul Indonesia yang
kemudian mendirikan 2 anak perusahaan yaitu PT Asuransi Tafakul Keluarga pada
tahun 1994 dan PT Asurasi Tafakul Umum pada tahun 1995.

4
Gagasan dan pemikiran didirikanya asuransi berlandaskan syariah sebenarnya
sudah muncul tiga tahun sebelum berdirinya Tafakul dan makin kuat setelah
diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Berdasarkan pemikiran
tersebut Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 27 Juli 1993
melalui Yayasan Abdi Bangsanya bersama Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan
perusahaan Asuransi Tugu Mandiri sepakat memprakasai pendirian asuransi tafakul
dengan menyusun Tim Pembentukan Asuransi Tafakul Indonesia (TEPATI).

TEPATI itulah yang kemudian menjadi perumus dan perealisir dari berdirinya
Asuransi Tafakul Indonesia dengan mendirikan PT Asuransi Tafakul Keluarga
(Asuransi Jiwa) dan PT Asuransi Tafakul Umum (Asuransi Kerugian). Pendirian dua
perusahaan asuransi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi Pasal 3 UU No. 2 Tahun
1992 tentang usaha perasuransian yang menyebutkan bahwa perusahaan asuransi
jiwa dan perusahaan asuransi kerugian harus didirikan secara terpisah. Langkah awal
yang dilakukan TEPATI dalam membentuk asuransi tafakul di Indonesia adalah
melakukan studi banding ke syariat Tafakul Malaysia Sendirian Berhad di Malaysia
pada tanggal 7 sampai 10 September 1993. Hasil studi banding tersebut kemudian
diseminarkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1993 yang merekomendasikan
untuk segera dibentuk Asuransi Tafakul Indonesia. Langkah selanjutnya, TEPATI
merumuskan dan menyusun konsep asuransi tafakul serta mempersiapkan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi. Akhirnya
pada tanggal 25 Agustus 1994 Asuransi Tafakul Indonesia berdiri secara resmi.
Pendirian ini dilakukan secara resmi di Puri Agung Room Hotel Syahid Jakarta. Izin
operasional asuransi ini diperoleh dari Departemen Keuangan melalu Surat
Keputusan Nomor: Kep-385/KMK.017/1994 tertanggal 4 Agustus 1994.

Saat ini perusahaan asuransi yang benar-benar secara penuh beroperasi sebagai
perusahaan asuransi syariah ada tiga, yaitu Asuransi Tafakul Keluarga, Asuransi
Tafakul Umum dan Asuransi Mubarakah. Selain itu ada beberapa perusahaan
asuransi konvensional uang membuka cabang syariah seperti MAA, Great Eastern,
Tripakarta, Beriingin Life, Bumi Putra, Dharmala dan Jasindo.

5
C. Landasan Hukum Asuransi Syariah

Hakikat asuransi secara Islami adalah saling bertaggung jawab, saling bekerja
sama atau bantu-membantu dan saling melindungi penderitaan satu sama lain. Oleh
karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariat, karena prinsip-prinsip dasar
syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang meringankan bencana mereka
sebagaimana firman Allah Taala dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 yang
artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi dan reasuransi syariah masih
mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuaransian
yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syariah di Indonesia karena tidak
mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Dengan kata
lain, UU No. 2 Tahun 1992 tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi
asuransi syariah. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi
syariah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi
syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang tidak dapat dijadikan
pedoman untuk menjalanka asuransi syariah. Fatwa dari Dewan Syariah Nasional
MUI tidak mempunyai kekuatan hukum dan hukum nasional karena tidak termasuk
dalam jenis oeraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan dalam
Fatwa DSN MUI tersebut memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pedoman asuransi syariah.

Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh


pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu:

1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003


tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi
syariah sebagai mana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap

6
pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip
syariah. . .” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam
Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prisnip syariah, Pasal 32 mengenai
pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor
cabang dengan prinsip dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip syariah.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi.
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18
mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000
tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dengan Sitem Syariah. Berdasarkan peraturan ini, jenis
investasi bagi perusahaan asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah terdiri
dari:
a. Deposito dan sertifikat deposito syariah;
b. Sertifikat waidah Bank Indonesia;
c. Saham syariah yang tercatat dibursa efek;
d. Obligasi syariah yang tercatat dibursa efek;
e. Surat berharga syariah yang diterbitkan atau dijamin oleh pemerintah;
f. Unit penyertaan reksadana syariah;
g. Penyertaan langsung syariah;
h. Bangunan atau tanah dengan bangunan untuk investasi;
i. Pembiayaan kepemilikan tanah atau bangunan, kendaraan bermotor dan
barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan);
j. Pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil);
k. Pinjaman polis.

7
Dari peraturan perundang-undangan yang ada tersebut dapat dilihat adanya
kemajuan perangkat pengaturan asuransi syariah, namun belum cukup untuk
megakomodasi kegiatan perasuransian syariah di Indonesia terutama jika
dibandingkan dengan perbankan syariah yang kerangka dan perangkat
pengaturannya lebih baik

D. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah

Prinsip utama dalam asuransi syariah adala ta’awanu ‘ ala al birrwa al-taqwa
(tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa
aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah
keluarga besar yang satu dengan lainnya saling menjamin dan menanggung resiko.
Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi tafakul adalah akada tafakul
(saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini
digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan
uang pertanggungan.

Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau


asuransi tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:
1. Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi tafakul memiliki
rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang
mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas, karena memikul tanggung
jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah. Hal ini dapat diperhatikan dari hadits-
hadits berikut:
“Maksud Hadits: ‘Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang
beriman antara satu dengan lain seperti satu tubuh (jasad) apabila satu dari
anggotannya tidak sehat, maka akan berpengaruh kepada seluruh tubuh’ (HR.
Bukhari dan Muslim).
Maksud Hadits: ‘Seorang mukmin dengan mukmin yang lain (dalam suatu
masyarakat) seperti sebuah bangunan dimana tiap-tiap bagian dalam bangunan itu
mengukuhkan bagian-bagian yang lain’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud hadits: ‘Setiap kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu
bertanggung jawab terhadap orang-orang yag dibawah tanggung jawabmu’ (HR.
Bukhari dan Muslim).

8
Maksud hadits: ‘Seseorang tidak dianggap beriman sehingga ia mengasihi
saudaranya sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri’ (HR. Bukhari)”.
2. Saling bekerja sama atau saling membantu, yang berarti diantara peserta asuransi
tafakul yang satu dengan lainnya saling bekerja sama dan saling tolong-menolong
dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab yang diderita. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang artinya: “Berkerjasamalah kamu
pada perkara-perkara kebajikan dan takwa, dan jangan bekerja sama dalam
perkara-perkara dosa dan permusuhan.”
Hadits juga membicarakan perkara seperti ini diantaranya yaitu :
“Maksud hadits: ‘Sesiapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan
memenuhi hajatnya’ (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Maksud hadits: ‘Allah senantiasa menolong hamba selagi hamba itu menolong
saudaranya’ (HR. Ahamd dan Abu Daud)”.
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta
asuransi tafakul akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang
mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Quraisy ayat 4 artinya: “(Allah) yang telah
menyediakan makanan untuk menghilangkan bahaya kelaparan
menyelamatkan/mengamankan mereka dari mara bahaya ketakutan”. Firman
Allah QS. Al-Baqarah ayat 126 yang artinya: “Ketika Nabi Ibrahim berdoa Ya
Tuhanku, jadikan negeri ini aman dan selamat”. Diantara sabda Rasulullah yang
mengandung maksud perlunya saling melindungi adalah:
“Maksud hadits: ‘Sesungguhnya seseorang yang beriman ialah sesiapa yang boleh
memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga manusia’
(HR. Ibnu Majah).
Maksud hadits: ‘Rasulullah bersabda: Demi diriku dalam keuasaan Allah, bahwa
siapapun tidak masuk surga kalau tidak memberi perlindungan jirannya yang
terhimpit’ (HR. Ahmad).
Maksud hadits: ‘Tidaklah sah iman seseorang itu kalau ia tidur nyenyak dengan
perut kenyang sedangkan jirannya menatap kelaparan’ (HR. Al-Bazar)”.

9
Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi tafakul
yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang telah ada
yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba. Sehingga terdapat 4
prinsip asuransi syariah yakni:
1. Saling bertanggung jawab;
2. Saling bekerjasama atau saling membantu;
3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain;
4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.2

E. Jenis, Mekanisme Pengelolaan Dana dan Manfaat Asuransi Syariah


1. Jenis Asuransi Syariah

Sebagaiamana diatur dalam UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha


Perasuransian, maka asuransi syariah atau tafakul terdiri dari dua jenis, yaitu :

a. Tafakul Keluarga (Asuransi Jiwa), adalah bentuk asuransi syariah yang


memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan
atas diri peserta asuransi tafakul. Produk tafakul keluarga meliputi:
1. Tafakul berencana;
2. Tafakul pembiayaan;
3. Tafakul pendidikan;
4. Tafakul dana haji;
5. Tafakul berjangka;
6. Tafakul kecelakaan siswa;
7. Tafakul kecelakaan diri;
8. Tafakul khairat keluarga.
b. Tafakul Umum (Asuransi Kerugian), adalah bentuk asuransi syariah yang
memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan
atas harta benda milik peserta tafakul, seperti rumah bangunan dan sebagainya.
Produl tafakul umum meliputi:
1. Tafakul kendaraan bermotor;
2. Tafakul kebakaran;
Gemala Dewi, “Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
2

Indonesia”, ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 137-149.

10
3. Tafakul kecelakaan diri;
4. Tafakul pengangkutan laut;
5. Tafakul rekayasa/Engineering;
6. Dll.

2. Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Syariah


a. Tafakul Keluarga (Asuransi Jiwa), pengelolaan dana Asuransi Syariah pada
Tafakul Keluarga terdapat dua macam sistem yang dipakai, yaitu sistem
pengelolaan dana dengan unsur tabungan dan sistem pengelolaan dana tanpa
unsur tabungan. Untuk aktivitas asuransi syariah Tafakul keluarga yang tanpa
unsur tabungan, mekanisme oprasional pengelolaan dananya sama saja dengan
mekanisme oprasional Tafakul Umum, sebagaimana akan diterangkan kemudian.
Sedangkan mekanisme oprasional pengelolaan dana pada asuransi Tafakul
Keluarga dengan unsur tabungan adalah seperti gambaran dibawah ini.

Setiap premi tafakul yang telah diterima akan dimasukkan kedalam:

1) Rekening tabungan, yaitu rekening tabungan peserta


2) Rekening khusus/tabaruu’, yaitu rekening yang diniatkan derma dan digunaka
untuk membayar klaim (manfaat tafakul) kepada ahli waris. Apabila diantara
peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah lainnya.

Premi tafakul akan disatukan kedalam “kumpulan dana peserta” yang


selanjutnya diinvestasikan dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang
dibenarkan secara syariah. Keuntungan yang diperoleh dari investasi itu akan
dibagikan sesuai dengan perjanjian mudharabah yang disepakati bersama
misalnya 70% dari keuntungan untuk peserta dan 30% untuk perusahaan tafakul.

Atas bagian keuntungan milik peserta (70%) akan ditambahkan kedalam


rekening tabungan dan rekening khusus secara proporsional. Rekening tabungan
akan dibayarkan apabila pertanggungan berakhir atau mengundurkan diri dalam
masa pertanggungan. Sedangkan rekening khusus akan dibayarka apabila peserta
meninggal dunia dalam masa pertanggungan atau pertanggungan berakhir (jika

11
ada). Sedangkan bagian keuntungan milik perusahaan (30%) akan digunakan
untuk membiayai oprasional perusahaan.

b. Tafakul Umum (Asuransi Kerugian), setiap premi yang diterima akan dimasukkan
kedalam rekening khusus yaitu rekening yang diniatkan derma/tabarru’ dan
diguakan untuk membayar klaim kepada peserta apabila terjadi musibah atas harta
benda atau peserta itu sendiri. Premi tafakul akan dikelompokkan kedalam
“kumpulan dana peserta” untuk kemudian diinvestasikan kedalam pembiayaan-
pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan investasi yang
diperoleh akan dimasukkan kedalam kumpulan dana peserta untuk kemudian
dikurangi “beban asuransi” (klaim, premi dan asuransi). Bila terdapat sisa akan
dibagikan menurut prinsip mudharabah. Bagian keuntungan milik peserta akan
dikembalikan kepada peserta yang tidak mengalami musibah sesuai dengan
penyertaannya. Sedangkan bagian keuntungan yang diterima perusahaan akan
digunakan untuk membiayai oprasional perusahaan.

3. Manfaat Asuransi Syariah (Tafakul)


a. Tafakul Keluarga (Asuransi Jiwa), pada tafakul keluarga ada tiga manfaat yang
diterima oleh peserta, yaitu klaim tafakul akan dibayarkan kepada peserta tafakul
apabila:
1) Peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo),
dalam hal ini maka ahli warisnya akan menerima:
a) Pembayaran klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan
dalam rekening peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil
investasi.
b) Sisa saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitung dari tanggal
meninggalnya sampai dengan saat selesai masa pertanggungannya. Dana
untuk maskud ini diambil dari rekening khusus/tabarru’ para peserta yang
memang disediakan untuk itu.
2) Peserta masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan. Dalam hal
ini peserta yang bersangkutan akan menerima:
a) Seluruh angsuran premi yang telah disetorkan kedalam rekening peserta,
ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.

12
b) Kelebihan dari rekening khusus/tabarru’ peserta apabila peserta dikurangi
biaya oprasional perusahaan dan pembayaran klaim masih ada kelebihan.
3) Peserta mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan selesai. Dalam hal
ini peserta yang bersangkutan tetap akan menerima seluruh angsuran premi
yang telah disetorkan kedalam rekening peserta, ditambah dengan bagian dari
hasil keuntungan investasi.
b. Tafakul Umum (Asuransi Jiwa), klaim tafakul akan dibayarkan kepada peserta
yang mengalami musibah yang menimbulkan kerugian harta bendanya sesuai
dengan perhitungan kerugian yang wajar. Dana pembayaran klaim tafakul diambil
dari kumpulan pembayaran premi peserta. Baik pada tafakul keluarga maupun
tafakul umum keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi dana rekening
peserta pada tafakul keluarga dan dana kumpulan premi setelah dikurangi biaya
oprasional perusahaan pada tafakul umum, dibagikan kepada perusahaan dan
peserta tafakul sesuai dengan prinsip mudharabah dengan porsi pembagian yang
telah disepakati sebelumnya.3

3
Gemala Dewi, “Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia”, ( Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 152-157.

13
BAB III PEMBAHASAN

ASURANSI KONVENSIONAL
A. Pengertian Asuransi Konvensional
“Verzekering” (bahasa Belanda) disebut pula dengan asuransi atau juga berarti
pertanggungan. Ada 2 pihak terlibat didalam asuransi, yaitu yang satu sanggup
menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian suatu
kerugian yang mungkin ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula
belum tentu akan terjadi atau semula dapat ditentukan saat akan terjadinya. Didalam
pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) disebut bahwa, “asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seoramg penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tetanggung, dengan menerima suatu premi untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntunganyang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu
peristiwa yang tak tertentu”.
Nyatanya bahwa dari pengertian pasal 246 KUHD itu dapat disimpulkan
adanya tiga unsur dalam asuransi, yaitu:
1. Pihak tetanggung atau dalam bahasa Belanda disebut dengan “Verzekering” yang
mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada pihak penanggung
(Verzekering), sekaligus atau dengan berangsur-angsur.
2. Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada
pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila maksud unsur ketiga
berhasil.
3. Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi.
Sekarang masalahnya masuk golongan persetujuan manakah asuransi itu ?
menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H, asurunsi masuk golongan persetujuan
untung-untungan (kansovereenkomst). Apakah persetujuan untung-untungan itu ?
menurut pasal 1774 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), suatu

14
persetujuan undang-undangan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai
untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya,
baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu
kejadian yang belum tentu.

Jadi tegasnya pasal 1774 KUH Perdata itu menyebutkan tentang:


1. Arti kata persetujuan untung-untungan.
2. Tiga contoh persetujuan tersebut, yaitu:
Ke-1: Asuransi,
Ke-2: Bunga untuk selama hidup seseorang (liffrente), juga dinamakan bunga cagak
hidup,
Ke-3: Perjudian dan pertaruhan.
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. penyebutan tiga contoh diatas
adalah tepat. Tetapi mengenai penyebutan arti kata, kurang tepat, karena disitu
dikatakan, bahwa hasil pelaksanaan persetujuan berupa untung atau rugi, tergantung
pada peristiwa yang belum tentu terjadi.
Sebetulnya yang tergantung secara langsung ini, ialah pelaksanaan kewajiban
pihak penjamin. Dan pelaksanaan ini berarti rugi bagi si penjamin, sedangkan kalau
kewajiban pihak penjamin tidak perlu dilaksanakan, berarti untung bagi si penjamin.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa persetujuan untung-untungan ini,
sebetulnya mengakibatkan suatu perjanjian bersyarat dari pihak penjamin, yang pada
umumnya juga sudah diatur oleh B.W. dalam bagian lain (Pasal 12, 53 sampai
dengan 1267). Oleh Pasal 1774 B.W. disebutkan pula, asuransi akan diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan, yaitu dalam buku I, titel 9 dan titel 10,
dan buku II, titel 9 dan titel 10.4

B. Sejarah Asuransi Konvensional


1. Awal Sejarah Asuransi
Asuransi berasal mula dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal
dengan perjanjian Hammurabi. Kemudian pada tahun 1668 M di Coffee House
London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.

4
Djoko Prakoso, “Hukum Asuransi Indonesia”, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 2000), hlm. 1-3.

15
Sumber hukum asuransi adalah hukum positif, hukum alami dan contoh yang ada
sebelumnya sebagaimana kebudayaan. Asuransi membawa misi ekonomi sekaligus
sosial dengan adanya premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi dengan
jaminan adanya transfer of risk, yaitu pengalihan (transfer) resiko dari tertanggung
kepada penanggung. Asuransi sebagai mekanisme pemindahan resiko dimana
individu atau business memindahkan sebagian ketidakpastian sebagai imbalan
pembayaran premi. Definisi resiko disini adalah ketidakpastian terjadi atau tidaknya
suatu kerugian (the uncertainty of loss).

2. Sejarah Asuransi di Indonesia


Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara
kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini
sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan
perdagangan di negeri jajahannya. Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka
adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha perasuransian di
Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai
tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Pada
waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun,
hampir tidak mencatat sejarah perkembangan.

Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman


penjajahan itu adalah : Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda
dan Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan
Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.

Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan


asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan
bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan
peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat
pribumi. Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu
masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan
pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena
jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa
Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya

16
perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan
perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan-
perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris.

Setelah Perang Dunia usai, perusahaan-perusahaan Belanda dan Inggris


kembali beroperasi di negara yang sudah merdeka ini. Sampai tahun 1964 pasar
industri asuransi di Indonesia masih dikuasai oleh Perusahaan Asing, terutama
Belanda dan Inggris. Pada awal mulanya beroperasi di Indonesia mereka mendirikan
sebuah badan yang disebut “Bataviasche Verzekerings Unie” (BVU) pada tahun
1946, yang melakukan kegiatan asuransi secara kolektif. Dengan demikian dari
setiap penutupan, masing-masing anggota BVU memperoleh share tertentu. Cara ini
dilakukan mengingat keadaan pada waktu itu belum teratur dan tenaga asuransi
masih kurang sekali. Pada tahun 1950 berdiri sebuah perusahaan asuransi kerugian
yang pertama, yakni NV. Maskapai Asuransi Indonesia yang kemudian pada awal
2004 sudah menjadi PT MAI PARK. Pada saat itu, sebagai perintis perusahaan
asuransi kerugian nasional yang pertama, maka perusahaan ini harus bersaing dengan
perusahaan asuransi asing yang unggul baik dalam faktor permodalan maupun
pengetahuan teknis.

Dengan berdirinya perusahaan asuransi kerugian nasional tersebut, keberanian


pengusaha nasional dipacu untuk mendirikan perusahaan-perusahaan asuransi
kerugian. Keberanian ini didukung pula oleh Peraturan Pemerintah bahwa semua
barang impor hams diasuransikan di Indonesia. Pengaturan ini dimaksudkan untuk
menanggulangi pemakaian devisa untuk membayar premi asuransi di luar negeri.
Pada tahun 1953 berdiri pula perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam
bidang reasuransi Belanda dan Inggris di Indonesia, pemakaian devisa untuk
membayar premi reasuransi ke luar negeri juga masih tetap besar. Untuk
menanggulangi hal ini, didirikanlah pada tahun 1954 sebuah perusahaan reasuransi
profesional, yakni “PT. REASURANSI .UMUM INDONESIA” yang mendapat
dukungan dari bank-bank pemerintah.

Lembaga yang tersebut terakhir ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang


mengikat untuk perusahaan-perusahaan asuransi asing untuk menggunakanjasa
perusahaan reasuransi nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam

17
hal ini memberikan hasil yang diharapkan. Kegiatan PT. Reasuransi Umum
Indonesia pada tahun 1963 diperluas dengan kegiatan reasuransi jiwa. Pada saat PT.
Reasuransi Umum Indonesia didirikan, banyak perusahaan-perusahaan asuransi
kerugian nasional bermunculan, tetapi perkembangannya masih terhambat oleh
persaingan yang berat dari perusahaan-perusahaan asuransi swasta asing. Pada waktu
perjuangan mengembaiikan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, pemerintah
melakukan nasionalisasi perusahaan milik Belanda. Perusahaan-perusahaan Inggris
dinasionalisasi dalam peristiwa konfrontasi.5

C. Pengaturan Asuransi
Hukum asuransi pada umumnya diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD), buku I titel 9 dan 10 dan buku II titel 9 dan 10 dengan perincian
sebagai berikut:
1. Buku I titel 9 : Mengatur Asuransi kerugian pada umumnya.
2. Buku I titel 10 : Mengatur Asuransi terhadap bahaya kebakaran terhadap
bahaya yang mengancam hasil pertanian disawah dan
tentang Asuransi jiwa.
3. Buku I titel 10 : Ini dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
 Bagian Pertama : Mengatur Asuransi terhadap bahaya kebakaran.
 Bagian Kedua : Mengatur Asuransi terhadap bahaya-bahaya yang
mengancam hasil-hasil pertanian di sawah.
 Bagian Ketiga : Mengatur Asuransi Jiwa.
4. Buku II titel 9 : Mengatur Asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan
bahaya-bahaya perbudakan.
5. Buku II titel 9 ini dibagi atas:
 Bagian Pertama : Mengatur tentang bentuk dan isi Asuransi
 Bagian Kedua : Mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang
diasuransikan.
 Bagian ketiga : Mengatur tentang awal dan akhir bahaya.
 Bagian Keempat : Mengatur tentang hak dan kewajiban-kewajiban
penanggung dan tertanggung.

Lutfia Wulandari, ’Sejarah Asuransi’, http://lutfiawulandari.blogspot.co.id /2013/01/sejarah-


5

asuransi.html.

18
 Bagian Keenam : Mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak
makelar didalam Asuransi laut
6. Buku II titel 10 : Pengangkutan didarat dan di sungai-sungai serta perairan
pedalaman.

Kecuali pengaturan yang terdapat didalam Buku I titel 9 dan Buku II titel 9,
maka pengaturan yang terdapat didalam Buku I titel 10 dan Buku II titel 10 adalah
pengaturan yang sifatnya secara ringkas saja.

Masih juga terdapat jenis-jenis asuransi didalam praktek yang diatur didalam
KUHD, misalnya:
1. Asuransi terhadap pencurian dan pembongkaran;
2. Asuransi kecelakaan;
3. Asuransi terhadap kerugian perusahaan;
4. Asuransi atas pertanggungjawaban seseorang pada kerugian yang diderita oleh
pihak ketiga karena perbuatan melawan hukum sendiri atau orang bawahannya;
5. Asuransi kredit, asuransi ini sekarang banyak dikenal didalam praktek, yang
maksudnya menanggung kerugian yang timbul/diderita berhubung debitor tidak
dapat mengembalikan kredit yang diambilnya dari bank;
6. Asuransi atas kerugian yang diderita oleh suatu perusahaan;
7. Asuransi wajib kecelakaan penumpang yang diatur didalam UU. No. 33 Tahun
1964;
8. Asuransi atas kecelakaan lalu lintas jalan, yang diatur didalam UU. No. 34 Tahun
1964;
9. Dan lain-lain.

D. Tujuan dari Asuransi


Setiap orang yang memiliki suatu benda tentu menghadapi suatu resiko bahwa
nilai dari miliknya itu akan berkurang, baik karena hilangnya benda itu maupun
karena kerusakan atau karena musnah terbakar atau karena sebab lainnya. Banyak
diantara sebabb-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan
sudah diharapkan akan terjadinya. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang mengurangi
nilai benda itu mempunyai sifat yang tidak dapat diharapkan lebih dahulu.

19
Disebabkan kebakaran, maka benda seseorang akan hancur, karena pencurian maka
seseorang akan kehilangan barang-barang perhiasan, karena angin topan maka
seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal-hal ini yaitu
kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang
pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itu besar, tidaklah dapat
diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian, dan pada pihak lain bahwa orang yang
ditimpanya itu biasanya menderita kerugian yang lebih besar dari faktor-faktor
kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat
mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuagan dari seseorang. Jika ini
dihubungkan dengan asuransi maka dapat dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu
tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk
itu diperjanjikan sebelumnya. Diantara orang yang khawatir akan menderita kerugian
dengan orang yang mau menanggung kerugian itu diadakanlah perjanjian asuransi.
Dari apa yang diuraikan diatas, menurut Prof. Ny. Emmy Pangaribuan
Simanjuntak, S.H. Asuransi itu mempunyai tujuan pertama-tama ialah: mengalihkan
segala resiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapakan
terjadi kepada orang lain yang mengambil resiko untuk mengganti kerugian. Pikiran
yang terselip didalam hal ini, ialah bahwa lebih ringan dan mudah apabila yang
menanggung resiko dari kekurangan nilai benda-benda itu beberapa orang daripada
satu orang saja, dan akan memberikan suatu kepastian mengenai kestabilan dari nilai
harta bendanya itu jika ia akan mengalihkan resiko itu pada satu perusahaan, dimana
dia sendiri saja tidak berani menanggungnya.
Sebaliknya seperti yang dikemukakan oleh Mr. Dr. A.F.A. Volman (Het Ned
Handelsrecht, 1953, halaman 352) bahwa orang-orang lain yang menerima resiko
itum yang disebut penanggung bukanlah semata-mata melakukan itu demi
perikamanusiaan saja dan bukanlah pula bahwa dengan tindakan itu kepentigan-
kepentingan mereka menjadi korban untuk membayar sejumlah uang yang besar
mengganti kerugian-kerugian yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa itu.
Para penanggung itu adalah lebih dapat menilai resiko itu dalam perusahaan
mereka, daripada seseorang tertanggung yang berdiri sendiri, oleh karena itu
biasanya didalam praktek para penanggung asuransi yang sedemikian banyaknya,
mempunyai dan mempelajari pengalaman-pengalaman mereka, tentang penggantian

20
kerugian yang bagaimanakah terhadap sesuatu resiko yang dapat memberikan suatu
kesempatan yang layak untuk adanya keuntungan. Misalnya seorang penanggung
menanggung suatu gedung terhadap suatu kebakaran, mula-mula ia harus
memperhatikan terlebih dahulu mengenai adanya jumlah kerugian rata-rata yang
tetap yang timbul tiap tahun dan kemudian dia meminta premi kepada tertanggung
dalam jumlah yang tetap maka berdasarkan itulah ia dapat membayar penggantian
kerugian itu. Dan selanjutnya ia harus menjaga supaya jangan sampai menganggung
rumah-rumah yang satu sama lain terlalu berdekatan oleh karena kemungkinan ia
harus menggantu kerugian dalam satu saat atas beberapa asuransi kebakaran pada
rumah-rumah itu jika api menjalar. Faktor “terlalu berdekatan” ini dapat
memperbesar resikonya sendiri.
Jadi, berdasarkan besar kecilnya resiko yang dihadapi penanggung dari
pengalaman perusahaannya dan berapa besar presentase tentang kemungkinan suatu
klaim tertentu akan terjadi, dan berdasarkan statistik ini pula penanggung dapat
menghitung berapakah besarnya penggantian kerugian itu dan jumlah inilah yang
dimintakannya sebagai premi dari tetanggung, akan tetapi didalam jumlah
keseluruhannya ia masih juga memasukkan segala ongkos-ongkos dan untuk dari
perusahaannya.
Perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengganti kerugian pada
tertanggung, jadi tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita
kerugian dan benar-benar menderita kerugian. Didalam asuransi itu setiap waktu
selalu dijaga supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud
menyingkirkan suatu kerugian saja dan mengharapkan suatu untung menikmati
asuransi itu dengan cara memakai spekulasi, yang penting ialah bahwa tertanggung
harus mempunyai kepentingan bahwa kerugian untuk mana ia mempertanggungkan
dirinya itu tidak akan menimpanya. Ajaran “kepentingan” ini sangat penting didalam
seleuruh Hukum Asuransi yang kita dapati didalam beberapa pasal tertentu yaitu:
Pasal-pasal 250, 252, 253, 274, 275, 277, 279, 284, KUHD.6

E. Jenis-jenis Asuransi

6
Djoko Prakoso, “Hukum Asuransi Indonesia”, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 2000), hlm. 5-9.

21
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) didalam pasal 247
menyebutkan tentang lima (5) macam asuransi, ialah:
1. Asuransi terhadap kebakaran;
2. Asuransi terhadap bahaya pertanian;
3. Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa);
4. Asuransi terhadap bahaya dilaut dan perbudakan;
5. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan didarat dan disungai-sungai.
Buku I KUHD mengatur tentang jenis asuransi yang pertama, nomor 2 dan 3
diatas, sedangkan jenis asuransi yang ke-4 dan 5 diatur didalam Buku II KUHD.
Selanjutnya untuk dapat melihat terjadinya dan cara mengadakan asuransi kita dapat
melihat didalam Pasal 225 KUHD yang berbunya sebagai berikut:
“Apabila penunjukan cek, pembuatan protes, atau pernyataan yang sepadan
dengan protes itu dalam tenggang waktu yang diharuskan tidak dapat dilangsungkan
karena suatu halangan yang tak dapat diatasi (ketentuan undang-undang dari suatu
negara atau keadaan lain yang memaksa), maka tenggang waktu itu harus
diperpanjang”.Pemegang cek harus segara memberitahukan adanya keadaan
memaksa itu kepada endosannya, dan mencatat pemberitahuan ini dengan dibubuhi
tanggalnya dan ditandatangani, didalam cek itu atau pada lembaran sambungannya
untuk selesainya beralakulah ketentuan-ketentuan Pasal 219.
Setelah berakhirnya keadaan memaksa itu, maka pemegang tersebut harus
segera menunjukkan ceknya untuk pembayaran dan sekiranya ada alasan untuk itu, ia
pun harus pula mengusahakan supaya penolakannya untuk membayar dinyatakan
dengan protes atau dengan pernyataan lain yang sepadan dengan protes. Apabila
keadaan memaksa itu berlangsung lebih dari 15 hari lamanya terhitung mulai dari si
pemegang memberitahukan kepada endosannya, maka ia pun sekirannya
pemeberitahuan dilakukan sebelum berakhirnya tenggang waktu untuk penunjukkan,
hak regres itu bole dilaksanakan dengan tak usah menunjukkannya atau membuat
protes atau pernyataan yang sepadan. Keadaan-keadaan yang bagi pemegang atau
bagi orang yang diperintahkan olehnya untuk menunjukkan cek itu, atau membuat
protes atau pernyataan yang sepadan, bersifat perseorangan semata-mata keadaan itu
pun tidak dianggap sebagai keadaan memaksa.

22
Dari bunyi Pasal 225 KUHD diatas, maka dapatlah ditentukan bahwa semua
asuransi harus dibentuk secara tertulis dengan suatu akta yang dinamakan polis.
Pasal ini menunjukkan seolah-olah suatu persetujuan asuransi ada syarat mutlak
suatu tulisan yang dinamakan polis tadi dalam arti, bahwa apabila tidak ada
persetujuan asuransi. KUH Perdata, dalam beberapa persetujuan tertentu, misalnya:
a. Pasal 147 : Perjanjian perkawinan harus diadakan dengan akta notaris.
b. Pasal 613 : Persetujuan untuk mengalihkan suatu piutang (cessie) harus
diadakan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan.
c. Pasal 1171 : Hipotek harus dibentuk dengan akta notaris
d. Pasal 1682 : Penghibahan (schenking) harus dilakukan dengan akta
notaris.
e. Pasal 1851 : Persetujuan perdamaian (dading) harus diadakan secara
tertulis.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dalam beberapa pasal juga
mengenal tulisan tertentu sebagai syarat mutlak bagi beberapa persetujua tertentu,
misalnya:
a. Pasal 38 : Perseroan Terbatas atau Naamloze Venootschap, harus
didirikan dengan akta notaris.
b. Pasal-pasal 100, 174, 178, 229 dan seterusnya : Untuk pembentukan wesel,
aksep, cek, kuitansi untuk pembawa, harus ada tulisan
berbentuk tertentu.7

7
Djoko Prakoso, “Hukum Asuransi Indonesia”, (Jakarta: PT. Rineka Citra, 2000), hlm. 56-58.

23
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN
Tabel Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional :
Keterangan Asuransi Syariah Asuransi Konvensional
Adanya Dewan Pengawas Syariah.
Pengawasan Dewan
Fungsinya mengawasi produk yang Tidak ada.
Syariah
dipasarkan dan investasi dana.

Akad Tolong-menolobg (Tafakul). Jual beli.

Investasi dana berdasarkan syariah


Investasi dana berdasarkan
Investasi Dana dengan sistem bagi hasil
bunga.
(Mudharabah).

Dana yang terkumpul dari nasabah Dana yang terkumpul dari


(premi) merupakan milik peserta. nasabah (premi) menjadi milik
Kepemilikan Dana
Perusahaan hanya sebagai pemegang perusahaan sehingga perusahaan
amanah untuk megelola. bebas menentukan investasinya.

Dari rekening tabarru’ (dana kebajikan)


Pembayaran Klaim seluruh peserta untuk keperluan tolong- Dari rekening dana perusahaan.
menolong beli terjadi musibah.

Dibagi antara perusahaan dengan


Seluruhnya menjadi milik
Keuntungan (profit) peserta sesuai dengan prinsip bagi hasil
perusahaan.
(mudharabah).

SARAN

Makalah ini tentu masih mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan, karena
itu kepada para pembaca untuk berkenan menyumbangkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi bertambahnya wawasan kami di bidang ini. Akhirnya

24
kepada Allah jualah kami memohon tauhik dan hidayah. Semoga usaha kami ini
mendapat manfaat yang baik, serta mendapat ridho dari Allah SWT Amin ya rabbal
‘alamin.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala. 2006. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian


Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Prakoso, Djoko. 2000. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Enirson, Yos. 2013. Pengertian Asuransi Syariah. http://asuransisyariah.asia/


product/ 4/94/ Pengertian-Asuransi-Syariah.

Wulandari, Lutfia. 2013. Sejarah Asuransi. http://lutfiawulandari.blogspot.co.id


/2013/01/sejarah-asuransi.html

25

Anda mungkin juga menyukai