Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KASUS TOPIK KHUSUS AKUNTANSI

PENYALAHGUNAAN TRANSAKSI BILYET GIRO DI PT BANK OF


INDIA INDONESIA, TBK

Di Susun Oleh :

Fajar Yusuf Hasyim (Tidak hadir presentasi) 1112082000048


Neneng Zakiyah 1113082000007
Septiani Mauliddina 1113082000031
Muhammad Ihsan 1113082000041

7 A AKUNTANSI

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt. yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda Rasulullah saw.

Tak lupa kami turut mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
memberi bantuan dalam mengerjakan makalah ini.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam ilmu mata kuliah Topik Khusus
Dalam Akuntansi khususnya. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menjadi salah satu
acuan bagi pembaca.

Tim penyusun menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penyusunannya. Namun demikian, kami telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, tim penyusun dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima masukan, saran, dan usul guna penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya tim penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.

Jakarta, November 2016

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

B. Perumusan Masalah ........................................................................................................ 5

C. Tujuan Analisis ............................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6

A. Akuntansi Perbankan ...................................................................................................... 6

B. Penggelapan Dana ........................................................................................................... 7

C. Penyalahgunaan Jabatan ................................................................................................. 9

D. Pencucian Uang ............................................................................................................ 11

E. Kliring Bilyet Giro ........................................................................................................ 15

F. KASUS BANK OF INDIA INDONESIA .................................................................... 22

G. PEMBAHASAN KASUS ............................................................................................. 24

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 28

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 28

B. Saran ............................................................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 30

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbankan memiliki peran cukup penting dalam mendorong pertumbuhan


perekonomian suatu Negara. Menurut Drs. Mohammad Hatta bank merupakan sendi
kemajuan masyarakat dan sekiranya tidak ada bank maka tidak akan ada kemajuan seperti
saat ini. Sekarang ini juga banyak perusahaan-perusahaan yang menggunakan jasa bank
untuk melangsungkan kegiatan usahannya.
Dalam menyelesaikan suatu kewajiban pembayaran diantara anggota masyarakat
ataupun instansi dapat menggunakan berbagai cara. Selain menggunakan suatu mata uang
yang berlaku dalam Negara tersebut sebagai alat pembayaran yang sah, dapat juga
menggunakan suatu warkat berdasarkan kesepakatan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan
penyelesaiaan kewajiban pembayaran tersebut.
Uang rupiah yang beredar di Negara Indonesia merupakan alat pembayaran yang sah
berdasarkan ketentuan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 (disebut juga UU Bank Indonesia
1999/2004). Cara penyelesaian kewajiban pembayaran lain yang dapat digunakan didasari
pada kesepakatan dari para pihak-pihak yang terkait, misalnya barter (tukar-menukar).
Dikenal pula istilah dalam perbankan Indonesia yaitu transaksi dengan menggunakan giro
dan bilyet giro. Cek dan giro bilyet dalam penggunaannya berkaitan dengan rekening pada
bank (rekening giro). Dengan demikian, giro, cek, dan bilyet giro merupakan bagian yang
saling terkait dalam kegiatan perbankan di Indonesia.
Alasan digunakannya cek atau bilyet giro sebagai alat pembayaran, karena relatif
aman dibandingkan dengan menggunakan uang tunai. Dalam prakteknya belum dapat
dilepaskan dari permasalahan risiko gagal bayar akibat adanya cek dan/atau bilyet giro yang
tidak disediakan dananya secara cukup oleh Penarik, yang dikenal dengan cek atau bilyet giro
kosong. Penggunaan cek atau bilyet giro kosong sering dilaporkan oleh penerima ke
Kepolisian dengan sangkaan penipuan, karena berhubungan dengan kecurangan. Ini juga
yang menyebabkan banyak bank mengalami kerugian hingga miliaran rupiah atas transaksi
bilyet giro tersebut. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan Bank Of India Indonesia

4
mengalami kerugian bahkan jumlah kerugian ini dapat melebar menjadi lebih besar mencapai
Rp 18 miliar dari sekitar 81 giro billyet yang dicairkan oleh tersangka.

B. Perumusan Masalah
1. Apa yang menyebabkan Bank Of India Indonesia mengalami kerugian dalam jumlah
besar?
2. Bagaimana aturan bilyet giro yang seharusnya dilakukan?
3. Apa saja sanksi perbankan atas tindak penyalahgunaan transaksi bilyet giro tersebut?

C. Tujuan Analisis
Tujuan penulis dalam kasus PT. Bank India Indonesia Tbk ini, untuk mengetahui
kesalahan apa saja yang dilakukan dalam dunia perbankan, dan dalam penggunaan alat
pembayaran bilyet giro di bank tersebut.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akuntansi Perbankan

Perbankan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan bank, mencakup


kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.1
Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat
banyak. Perbankan memiliki kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran
sistem pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem
keuangan, sehingga diperlukan perbankan yang sehat, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Akuntansi perbankan adalah proses akuntansi bank bertujuan untuk kepentingan


pencatatan, penganalisaan, dan penafsiran data keuangan guna memenuhi kebutuhan berbagai
pihak. Laporan keuangan bank harus sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang telah
diterima secara luas atau teknik pembukuan, posting, dan pencatatan semua transaksi yang
dilakukan dalam kegiatan operasional suatu Bank.

PEDOMAN AKUNTANSI PERBANKAN INDONESIA (PAPI)

Sehubungan dengan dilakukannya penyempurnaan oleh Ikatan Akuntan Indonesia


terhadap beberapa Standar Akuntansi Keuangan yang saat ini berlaku, maka PAPI yang
merupakan penjabaran lebih lanjut dari PSAK yang relevan untuk industri perbankan juga
perlu disesuaikan, termasuk penyesuaian terkait dengan penerbitan PSAK No. 50 (Revisi
2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan, dan PSAK No. 55 (Revisi
2006) tentang Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran, yang akan berlaku sejak 1
Januari 2010.

1
http://www.ojk.go.id/Booklet-Perbankan-Indonesia-2016.pdf

6
PAPI disusun dengan kerjasama antara Bank Indonesia, perbankan, dan Ikatan
Akuntan Indonesia. Dengan PAPI diharapkan dapat terjadi peningkatan transparansi kondisi
keuangan bank sehingga laporan keuangan bank menjadi semakin relevan, komprehensif,
andal, dan dapat diperbandingkan.

Pemberlakuan PAPI 2008 diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan
Indonesia. Sebagai petunjuk pelaksanaan dari PSAK maka untuk hal-hal yang tidak diatur
dalam PAPI tetap mengacu kepada PSAK yang berlaku.

B. Penggelapan Dana

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai proses,
cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak
sah.

Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama


dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu
belum berada di tangan pencuri dan masih harus diambilnya sedangkan pada penggelapan
waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.

Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau


penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya
tanpa adanya unsur melawan hukum.[1]

Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan yang menyimpang/menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan
awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan
dari hasil kejahatan

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP,
terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak
pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan
sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian
merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena
bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat)
tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah."[2]

7
Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan

Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) :

1. Barangsiapa;
2. Dengan sengaja;
3. Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen)
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig
goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort);
4. Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf
onder zich hebben).

1) Unsur Barangsiapa

Unsur (bestandeel) barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek tindak pidana,
yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada subjek hukum, baik
berupa orang pribadi (naturlijke persoon) maupun korporasi atau badan hukum (recht
persoon), yang apabila terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat
disebut sebagai pelaku atau dader.

2) Unsur Dengan sengaja

Bahwa, salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van
Strafrecht) ialah unsur dengan sengaja (opzettelijk), dimana unsur ini merupakan unsur
subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada subjek tindak
pidana, ataupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Hal ini dikarenakan unsur
opzettelijk atau unsur dengan sengaja merupakan unsur dalam tindak pidana
penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan.

3) Unsur Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich


toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig
goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort)

Bahwa, maksud unsur melawan hukum atau wederrechtelijk adalah apabila


perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader bertentangan dengan norma hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau
kelayakan) atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi hukum.

8
4) Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder
zich hebben)

Bahwa, untuk menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku (dader) yang diduga
telah melakukan tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering) harus menguasai
barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.

Menurut Adami Chazawi mengatakan :

Sesuatu benda berada dalam kekuasaan seseorang adalah apabila antara orang itu dengan
bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan
segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung dan nyata,
tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan lain. Benda milik orang lain berada dalam
kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan unsur dari delik
penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab perbuatan-perbuatan hukum seperti:
penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.

(Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, h. 12 & 15)

C. Penyalahgunaan Jabatan

Sebelum membahas konsep penyalahgunaan kewenangan, perlu diketahui pengertian


kewenangan itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:1272) yang dimaksud
kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Dalam
tindak pidana korupsi, kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku
koruptor adalah serangkaian kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau serangkaian
kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana
korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas atau pekerjaannya dapat
dilaksanakan dengan baik (R. Wiyono, 2009:47). Adapun yang dilekati kewenangan tersebut
yaitu kewenangan pegawai negeri seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (2) huruf a, b, c, d,
dan e.

Pengertian kewenangan tersebut lebih luas dari pengertian kewenangan menurut


konsep Hukum Administrasi Negara. Pandangan SF. Marbun (2004:47) bahwa:

Menurut hukum administrasi pengertian kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan


yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang
pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan

9
pemerintah, sedangkan pengertian wewenang (competence, bevoegheid), hanyalah
mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian, wewenang adalah
kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara juridis wewenang
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan hukum tertentu.

Pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat


diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:

Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan


kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau
golongan;

Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar
ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;

Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya


dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.

Terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, Bahwa setiap orang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun
dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.

Pada dasarnya, penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri sebagai berikut:

Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan.

Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi
negara selalu disertai dengan tujuan dan maksud atas diberikannya kewenangan tersebut,
sehingga penerapan kewenangan tersebut harus sesuai dengan tujuan dan maksud
diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan kewenangan oleh suatu badan
atau pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan tujuan dan maksud dari

10
pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi Negara tersebut telah melakukan
penyalahgunaan kewenangan.

Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas.

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara
demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal
tertuang dalam undang-undang.

Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.

Asas-Asas Umum penyelenggaraan negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28


Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme meliputi,

a. Asas kepastian hukum;


b. Asas tertib penyelenggaraan Negara;
c. Asas kepentingan umum;
d. Asas keterbukaan;
e. Asas proposionalitas;
f. Asas profesionalitas; dan
g. Asas akuntabilitas.

D. Pencucian Uang

Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk


menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak
pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak
seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.

Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui tiga langkah tahapan:

1. Penempatan lPlacement

yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan diubah ke dalam
bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem
keuangan dengan berbagai cara

11
2. Pelapisan/Layering

yakni melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan
memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk
dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut

3. Tahap Integrasi

merupakan tahapan di mana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal
usulnya ke dalam harta kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung,
diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan
untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan
tindak pidana

Beberapa modus pencucian uang yang banyak digunakan oleh pelaku pencucian uang adalah:

a) Smurfing, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah


transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.
b) Structuring, yaitu upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecahmecah
transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil.
c) U Turn, yaitu upaya untuk mengaburkan asal usul hasil kejahatan dengan
memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya.
d) Cuckoo Smurfing, yaitu upaya mengaburkan asal usul sumber dana dengan
mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatannya melalui rekening pihak ketiga
yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa dana
yang diterimanya tersebut merupakan proceed of crime.
e) Pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status kepemilikan
dari aset/ barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem
keuangan.
f) Pertukaran barang (barter), yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau
instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh system keuangan.
g) Underground Banking/Alternative Remittance Services, yaitu kegiatan
pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar
kepercayaan.

12
h) Penggunaan pihak ketiga, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan
identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari terdeteksinya identitas dari
pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.
i) Mingling, yaitu mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana dari hasil
kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal
dananya.
j) Penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan
identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan
pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang

Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 ayat 1 UU RI No. 8 Tahun 2010)

Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a) korupsi;
b) penyuapan;
c) narkotika;
d) psikotropika;
e) penyelundupan tenaga kerja;
f) penyelundupan migran;
g) di bidang perbankan;
h) di bidang pasar modal;
i) di bidang perasuransian;
j) kepabeanan;
k) cukai;
l) perdagangan orang;
m) perdagangan senjata gelap;
n) terorisme;
o) penculikan;
p) pencurian;
q) penggelapan;
r) penipuan;
s) pemalsuan uang;
t) perjudian;
u) prostitusi;

13
v) di bidang perpajakan;
w) di bidang kehutanan;
x) di bidang lingkungan hidup;
y) di bidang kelautan dan perikanan; atau
z) tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau
lebih,yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar
wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia dan tindak pidana tersebut
jugamerupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Hukum Pencucian Uang Di Indonesia

Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

Pertama

Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan
lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Kedua

Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut
dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak
Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Ketiga

Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak
pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau

14
menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama
dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari
hukuman penjarapaling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar
rupiah.

E. Kliring Bilyet Giro

Kliring merupakan sarana atau cara perhitungan hutang-piutang dalam bentuk surat-
surat berharga ( seperti : cek, wesel, bilyet, giro, bukti-bukti penerimaan transfer dari
berbagai kota yang dikeluarkan oleh bank, nota-nota kredit dan surat-surat lainnya yang
semuanya dinyatakan dalam mata uang rupiah dan menurut pimpinan lembaga kliring dapat
diperhitungkan melalui kliring ) atau surat dagang dari suatu bank peserta yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk. Kliring didefinisikan
juga sebagai pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar bank baik atas nama bank
maupun nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.

Yang dapat melakukan transaksi kliring adalah setiap bank yang telah memperoleh
izin usaha bank umum dan tidak dihentikan kepesertaannya dalam kliring oleh Bank
indonesia serta berkedudukan di kota dimana diadakan perhitungan kliring diwajiban ikut
serta dalam kliring setempat, yang diharuskan pula memenuhi beberapa persyaratan. Bagi
kantor pusat suatu bank, sekurang-kurangnya telah melakukan usaha dengan izin Menteri
Keuangan selama tiga (3) bulan. Berdasarkan penilaian Bank Indonesia, keadaan administrasi
pimpinan dan keuangan bank tersebut memungkinkan memenuhi kewajibannya dalam
kliring. Peserta kliring dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

Peserta langsung, adalah bank-bank yang sudah tercatat sebagai peserta kliring
dan dapat memperhitungkan warkat atau notanya secara langsung dengan Bank
Indonesia atau melalui PT Trans Warkat sebagai perantara dengan Bank
Indonesia, contoh Bank Retail, Bank Devisa
Peserta tidak langsung, adalah bank-bank yang belum terdaftar sebagai peserta
kliring akan tetapi mengikuti kegiatan kliring melaui bank yang telah terdaftar
sebagai peserta kliring, seperti BPR

15
Alat Pembayaran Kliring

Dalam transaksi kliring, dibutuhkan alat pembayaran untuk melakukan transaksi


tersebut, yaitu warkat dan dokumen kliring.
1. Warkat
Ialah alat pembayaran bukan tunai yang diperhitungkan atas beban atau untuk untung
rekening nasabah atau bank melalui kliring. Warkat yang dapat diperhtungkan dalam
kliring otomasi adalah :
Cek
Cek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
( KUHD ) termasuk cek dividen, cek perjalanan, cek cindera mata dan jenis
cek lainnya yang penggunaannya dalam kliring disetujui oleh Bank Indonesia
Bilyet Giro
Adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk
memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada
rekening pemegang yang disebutkan namanya termasuk Bilyet Giro Bank
Indonesia
Wesel Bank Untuk Transfer ( WBUT )
Adalah wesel sebagaimana diatur dalam KUHD yang diterbitkan oleh bank
khusus untuk sarana transfer
Surat Bukti Penerimaan Transfer ( SBPT )
Adalah surat bukti penerimaan transfer dari luar kota yang dapat ditagihkan
kepada bank peserta penerima dana transfer melalui kliring lokal.
Warkat Debet
Adalah warkat yang digunakan untuk menagih dana pada bank lain untuk
untung bank atau nasabah bank yang menyampaikan warkat tersebut. Warkat
debet yang dikliringkan hendaknya telah diperjanjikan dandikonfirmasikan
terlebih dahulu oleh bank yang menyampaikan warkat debet kepada bank yang
akan menerima warkat debet tersebut.
Warkat Kredit
Adalah warkat yang digunakan untuk menyampaikan dana pada bank lain
untuk untung bank atau nasabah bank yang menerima warkat tersebut.
2. Dokumen Kliring

16
Merupakan dokumen yang berfungsi sebagai alat bantu dalam proses perhitungan
kliring ditempat penyelenggara
3. Formulir Kliring
Formulir yang digunakan untuk proses perhitungan kliring lokal dengan manual
meliputi :
Neraca kliring penyerahan atau pengembalian
Gabungan formulir ini disediakan oleh penyelenggara dan digunakan oleh
penyelenggara untuk menyusun rekapitulasi neraca kliring penyerahn atau
pengembalian
Neraca kliring penyerahan atau pengembalian
Formulir ini disediakan oleh peserta dan digunakan oleh peserta untuk
menyusun neraca kliring penyerahan atau pengembalian atas dasar daftar
warkat kliring penyerahan atau pengembalian
Bilyet saldo kliring
Formulir ini disediakan oleh peserta dan digunakan digunakan oleh peserta
untuk menyusun bilyet saldo kliring berdasarkan neraca kliring penyerahan
dan neraca kliring pengembalian.

Saat ini di Indonesia terdapat 105 penyelenggara kliring lokal, baik yang dilaksanakan
oleh Bank Indonesia maupun pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Transaksi yang
dapat diproses melalui sistem kliring meliputi transfer debet dan transfer kredit yang disertai
dengan pertukaran fisik warkat, baik warkat debet (cek, bilyet giro, nota debet dan lain-lain)
maupun warkat kredit. Khusus untuk transfer kredit, nilai transaksi yang dapat diproses
melalui kliring dibatasi di bawah Rp100.000.000,00 sedangkan untuk nilai transaksi
Rp100.000.000,00 ke atas harus dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement (Sistem BIRTGS). Dalam melaksanakan kegiatan kliring tersebut, digunakan 4
(empat) jenis sistem yang berbeda yaitu :

a. Sistem Kliring Elektronik atau dikenal dengan SKEJ, digunakan di Jakarta;


Penyelenggaran kliring lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan dan pembuatan
bilyet saldo kliring didasarkan pada Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya
disebut DKE disertai dengan penyampaian warkat peserta kepada penyelenggara
untuk diteruskan kepada peserta penerima.
b. Sistem Kliring Otomasi, digunakan di Surabaya, Medan dan Bandung;

17
Sistem penyelenggaraan kliring lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan,
pembuatan bilyet saldo kliring dan pemilahan warkat dilakukan oleh penyelenggara
secara otomatis.
c. Sistem Semi Otomasi Kliring Lokal atau dikenal dengan SOKL, digunakan di 33
wilayah kliring yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan 37 wilayah kliring
lainnya yang diselenggarakan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sistem penyelenggaraan kliring lokal yang dalam pelaksanaan perhitungan dan
pembuatan bilyet saldo kliring dilakukan secara otomatis sedangkan pemilahan
warkat dilakukan secara manual oleh setiap peserta kliring.
d. Sistem Manual (di 31 penyelenggara Non-BI).
system penyelenggaraan kliring local yang pelaksanaan perhitungan, Pembuatan
Bilyet Saldo Kliring serta pemilahan warkat dilakukan secara manual oleh setiap
peserta.

Kini masyarakat dapat lebih mudah, cepat, dan terjangkau, dalam melakukan transfer
dana melalui sistem kliring nasional. Apabila sebelumnya Layanan Transfer Dana melalui
kliring dilakukan sebanyak 4 kali sehari, saat ini pelayanan ditambah menjadi 5 kali, yaitu
pada pukul 09.00, 11.00, 13.00, 15.00, dan 16.15 WIB, sementara Layanan Kliring Warkat
Debit ditingkatkan menjadi 4 kali (sebelumnya 1 kali). Dengan penambahan layanan tersebut,
dana nasabah akan terkirim dalam jangka waktu maksimal 4 jam. Hal tersebut dimungkinkan
dengan mulai berjalannya Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) Generasi II,
pada Jumat, 5 Juni 2015.

Waktu transfer yang lebih cepat merupakan tahap pertama pengembangan Layanan
Transfer Dana dan Kliring Warkat Debit dari dua tahap rencana pengembangan SKBI
Generasi II. Ke depan Bank Indonesia akan mengembangkan Layanan Multiple Transfer,
yaitu jasa layanan pemrosesan transaksi yang penerima maupun pengirimnya lebih dari satu
pihak (multiple) guna memfasilitasi berbagai pembayaran/penagihan rutin.

SKNBI Generasi II, yang layanannya dibuka dari pukul 06.30 hingga 16.00 WIB
(diperpanjang menjadi 9,5 jam sebelumnya 8 jam), merupakan penyempurnaan dari SKNBI
Generasi I, yang telah berjalan selama 10 tahun. Penyempurnaan dalam SKNBI Generasi II
juga mencakup perluasan akses kepesertaan terhadap Penyelenggara Transfer Dana Selain
Bank Umum, yaitu menambah juga Penyelenggara Transfer Dana (PTD) Non Bank khusus

18
untuk Layanan Transfer Dana (Kliring Kredit). Hal ini memungkinkan masyarakat
melakukan transfer dana ke seluruh wilayah Indonesia secara aman, murah, dan efisien.

Dalam rangka peningkatan perlindungan kepada nasabah, telah ditentukan kewajiban


waktu pemrosesan transfer dana bagi Bank Pengirim dan Bank Penerima. Bank Pengirim
harus meneruskan transfer dana paling lama 2 jam setelah menerima amanat dari nasabah,
sedangkan Bank Penerima harus membukukan ke rekening nasabah paling lama 2 jam setelah
setelmen di Bank Indonesia. Sementara biaya kliring maksimal telah ditentukan sebesar
Rp5.000,- (lima ribu Rupiah). Mengingat pelaksanaan kedua ketentuan ini memerlukan
penyesuaian sistem internal di masing-masing Peserta SKNBI Generasi II, maka
diberlakukan masa transisi dan akan efektif pada tanggal 1 Januari 2016.

Dibandingkan transfer melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS), terdapat beberapa perbedaan transfer melalui SKNBI, yaitu pertama, SKNBI
setelmennya dilakukan secara periodik (netting) sedangkan RTGS, setelmennya dilakukan
secara individual (gross). Kedua, dari segi batasan nominal, transaksi nasabah yang dapat
diproses melalui SKNBI maksimal sebesar Rp.500.000.000,00 per transaksi, sedangkan
transaksi melalui RTGS minimal sebesar Rp.100.000.000,00 per transaksi. Ketiga, biaya
yang dikenakan Bank Indonesia kepada Peserta untuk SKNBI lebih murah, yaitu sebesar Rp
750,00 per transaksi, sedangkan untuk BI-RTGS sebesar Rp 15.000,00.

Bilyet Giro merupakan surat perintah pemindahbukuan dari nasabah suatu bank
kepada bank yang bersangkutan untuk memindahkan sejumlah uang dari rekeningnya ke
rekening penerima yang namanya disebut. Di sinilah kita dapat melihat peran khusus Bank
yang sangat dibutuhkan, yaitu peranan administratif dari Bank mengenai pemindahbukuan
suatu jumlah tertantu dari rekening giro orang yang berhutang kepada rekening giro penagih
hutang, pada bank yang sama atau bank yang lain. Pembayaran dengan cara ini lazim dikenal
dengan pembayaran secara giral. Pembayaran atau transaksi perdagangan dipandang sudah
lunas atau selesai bilamana pemindahbukuan yang dimaksud di dalam Bilyet Giro sudah
selesai dilaksanakan oleh bank.

Adapun syarat-syarat formil Bilyet Giro adalah:

1. Nama Bilyet Giro dan nomor seri harus tercantum pada formulir Bilyet Giro,

19
2. Perintah yang jelas tanpa syarat untuk memindahbukukan sejumlah dana atas beban
saldo penarik, yang harus telah tersedia cukup pada saat berlakunya amanat yang
terkandung di dalam Bilyet Giro tersebut,
3. Nama dan tempat Bank yang diperintahkan melakukan pemindahbukuan tersebut,
4. Nama pihak yang harus menerima pemindahbukuan dana,
5. Tanda tangan penarik dan cap/stempel pada badan usaha jika penarik merupakan
perusahaan,
6. Jumlah dana yang dipindah bukukan baik dalam angka maupun bentuk huruf,
7. Tempat dan tanggal penarikan,
8. Tanggal mula efektif berlakunya amanat/perintah dalam Bilyet Giro tersebut, dan
9. Nama bank dimana orang atau pihak yang harus menerimadana pemindahbukuan
tersebut memelihara rekening, sepanjang nama bank penerima diketahui oleh penarik.

Secara fisik, Cek dan Bilyet Giro hampir tidak memiliki perbedaan, tetapi secara
fungsi Cek dan Bilyet Giro memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu :

Cek
Cek dapat diuangkan langsung secara tunai.
Pembayaran oleh bank dapat dilakukan atas unjuk (Dapat diendorsmentkan)
Dikenakan biaya materai
Cek berfungsi sebagai surat perintah dari nasabah kepada bank untuk
membayar dengan uang tunai kepada orang yang ditunjuk atau penbawa cek
tersebut.
Cek tidak dapat diuangkan pada bank yang bersangkutan sebelum di beri
tanggal penerbitanya.
Bilyet Giro
Bilyet Giro tidak dapat diuangkan langsung secara tunai
Pemindah bukuan yang dilakukan oleh bank hanya dapat dilakukan atas nama
(Tidak dapat diendosir)
Bebas biaya materai
Bilyet giro berfungsi sebagai surat perintah dari nasabah kepada bank untuk
memindahkan dananya kepada orang yang di tunjuk dan mempunyai rekening
yang jelas pada bank tertentu.

20
Bilyet giro dapat diserahkan bank sebelum tanggal efektif, jika tanggal efektif
tersebut lebih awal dari tanggal penerbitanya

Apabila seseorang menerima Bilyet Giro dan ternyata dananya tidak cukup atau
kosong, maka terhadap penarik ini dikenakan sanksi. Bila penarikan tesebut dilakukan 3 kali
berturut-turut dalam jangka waktu 6 bulan, maka penarik tersebut dapat dimasukkan ke
dalam daftar hitam dari Bank Indonesia, sehingga tidak akan diterima lagi sebagai nasabah
pada Bank di seluruh Indonesia.

Seperti halnya dengan cek, pada Bilyet Giro juga dikenal dengan Bilyet Giro kosong.
Yang dimaksud dengan Cek/Bilyet Giro kosong ialah Cek/Bilyet Giro yang tidak dapat
diuangkan karena uang yang disimpan di Bank yang dimaksudkan tidak mencukupi. Jika
saldo rekening yang bersangkutan tidak mencukupi, maka Bilyet Giro tersebut harus ditolak
sebagai Bilyet Giro kosong.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memproses 108 kasus kejahatan perbankan dalam
dua tahun terakhir. Tindak pidana perbankan yang mendominasi adalah yang terkait dengan
kredit, antara lain pembobolan data kartu kredit, dan salah pencatatan.

Berdasarkan statistik OJK, kejahatan perbankan yang terjadi sejak 2014 itu meliputi
kasus kredit (55 persen), rekayasa pencatatan (21 persen), penggelapan dana (15 persen),
transfer dana (5 persen), dan pengadaan aset (4 persen).

Nelson Tampubolon, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK merinci, sebanyak


59 kasus kejahatan perbankan telah dilimpahkan divisinya terkait pengawas perbankan ke
Departemen Penyidikan OJK pada 2014. Kemudian pada 2015, sebanyak 23 kasus diproses
dan tahun ini hingga kuartal III 2016 tercatat 26 kasus yang ditindak.

Konsekuensi penerbitan bilyet kosong:

a. Bagi penerbit mendapat sanksi administrasi berupa pencantuman nama nasabah dalam
Daftar Hitam Penarikan Bilyet Giro Kosong
b. Nasabah diwajibkan mengembalikan sisa blanko Bilyet Giro yang belum digunakan
c. Nama nasabah yang masuk daftar hitam akan terhapus sendiri setelah masa berlaku
daftar hitam berakhir dan akan diterima kembali sebagai nasabah bank
d. Si penerbit Bilyet Giro Kosong yang diindikasikan dan patut diduga dalam
penyelidikan terdapat unsur penipuan dapat dijatuhkan sanksi pidana sesuai KUHP.

21
F. KASUS BANK OF INDIA INDONESIA

Kronologi Kasus

Polisi Tahan Kepala Cabang Bank of India Indonesia Tbk Terkait Kejahatan Perbankan

infobreakingnews.com, Jakarta, Muhammad Yunan, mantan Kepala Cabang Bank Of India


Indonesia Tbk MD Plaza Jakarta akhirnya dijebloskan kedalam sel tahanan Polda Metro Jaya
setelah pihak Dit Reskrimsus memeriksa 19 orang saksi dan menetapkan Muh.Yunan sebagai
tersangka penggelapan dalam jabatan atau yang lazim disebut sebagai tindak pidana
kejahatan perbankan sekaligus tindak pidana pencucian uang (TPPU), sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 374 KHUP dan Pasal 49 Ayat 1 UU RI No.10Tahun 1998 Tentang
Perbankan dan Pasal 3,4,5 UU RI No.8 Tahun 2010 Tentang TPPU.

Bahkan Yunan dengan tiga lapis hukuman tersebut diatas dapat meringkuk didalam penjara
sedikitnya selama 19 tahun penjara secara kumulatif.

Kejahatan perbankan yang dilakukan Muh.Yunan terjadi secara terus menerus sejak
pertengan 2013 hingga Aparil 2015 hingga mengakibatkan PT. Bank India Indonesia Tbk
mengalami kerugian sebesar Rp.12.136.659.080, bahkan jumlah kerugian ini dapat melebar
menjadi lebih besar mencapai Rp 18 miliar dari sekitar 81 giro billyet yang dicairkan Yunan
terhadap saksi mahkota Kunal Gobindram Nathani, yang diduga kuat telah terjadi
permufakatan jahat antara Yunan dan Kunal.

"Modus yang dilakukan tersangka Muhammad Yunan, dengan melakukan sebanyak 37 kali
transaksi melalui system clering BI dengan mencairkan melalui seorang nasabah bernama
Kunal Gobindram Nathani, dimana sejumlah giro bilyet yang di acc serta dicairkan oleh
tersangka selaku Kepala Cabang, selalu dananya dalam posisi tidak mencukupi, sehingga
tersangka mengambil dana tersebut dari nasabah lainnya hingga total Rp 12 miliar lebih.
Padahal Yunan selaku Kep cabang sudah mengetahui bahwa sebelum Kunal adalah termasuk
Nasabah Bank Of India yang memiliki sejumlah catatan macet pembayaran" ungkap Kabid
Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi setiyono, kepada infobreakingnews.com, Jumat
(19/8).

Lebih lanjut Awi menyebutkan, pihak penyidik melakukan penjemputan sekaligus melakukan
penahanan terhadap tersangka M.Yunan pada pukul 03.00 WIB dinihari tadi melalui surat
penahanan No.185/VIII/Dit Reskrimsus/2016 tertanggal 19 Agustus 2016.

22
Kombes Awi menduga bahwa Kunal jauh lebih besar menikmati uang hasil jarahannya itu
ketimbang Yunan yang diduga menerima komisi hasil setiap kali Kunal berhasil mencairkan
sejumlah uang milik Bank Of India Indonesia,Tbk dengan modus kliring BI.

"Karena diketahui Saldo pada rekening Kunal tidak terdebet, sehingga Polisi akan
mengembangkan kejahatan perbankan ini nantinya memangil sejumlah saksi yang teraliri
dana pembayaran dari Kunal melalui sejumlah identitas pemilik rekening penerima tranfer
uang. Bahkan PPATK kini sedang mendalami modus pencucian uang pada kasus ini."
ungkap Awi.

Sampai dengan berita ini diturunkan pihak Dit Krimsus Polda Metro Jaya baru melakukan
penahanan terhadap satu tersangka (Muhammmad Yunan), dan pengembangan terhadap
calon tersangka lainnya, termasuk Kunal Gobindram Nathani, masih terus didalami aparat
terkait.

Pejabat Bank Of India Indonesia Tbk kembali ditahan polisi. Kini yang ditahan Polisi
bernama Heru Kurnianto (HK). Hal ini sebagai tindak lanjut dari Polda Metro Jaya yang
beberapa waktu lalu telah menahan Mukhammad Yunan.

Tersangka Heru ini diduga ikut terlibat sebagai otak pembobol dibalik sejumlah giro blilyet
yang dicairkan melalui nasabah atas nama Kunal Gobindram, yang sampai kini masih sebagai
saksi mahkota, dan tidak pernah memiliki uang saldo yang cukup pada rekeningnya.

"Tersangka HK ditangkap dan langsung dilakukan penahanan sejak pukul 16.00 Wib Rabu
(31/8) atas perbuatan nya yang ikut mencairkan sejumlah cek, padahal HK adalah merupakan
salah satu kabag di BOI kantor Samanhudi Jakarta. " kata Kabid Humas Polda Metro Jaya
Kombes Awi Setiyono, kepada Berita-ONE.COM dan infobreakingnews.com, di Jakarta,
Kamis 1 September 2016.

Sebelumnya Polisi telah menangkap dan menjebloskan kedalam sel tahanan Muhammad
Yunan, mantan Kepala Cabang Bank Of India Indonesia Tbk MD Place Jakarta yang ikut
menikmati uang jarahan yang mereka dapatkan dengan membobol Bank tempatnya bekerja
sehingga kerugian yang diderita Bank Of India sebesar Rp 18 Miliar lebih.

Pihak Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya sudah memeriksa 19 orang saksi dan menetapkan
Heru Kurnianto (HK) sebagai tersangka penggelapan dalam jabatan atau yang lazim disebut
sebagai tindak pidana kejahatan perbankan sekaligus tindak pidana pencucian uang (TPPU),

23
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 374 KHUP dan Pasal 49 Ayat 1 UU RI No.10Tahun
1998 Tentang Perbankan dan Pasal 3,4,5 UU RI No.8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.

G. PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus Bank Of India Indonesia kasus yang di langgar:

1. Penyalahgunaan jabatan dalam melakukan penggelapan (pasal 374 KHUP)


Yang merupakan bentuk-bentuk pelanggaran di bidang ekonomi berupa penggelapan
dana masyarakat, penyalahgunaan dana masyarakat. Dimana tindak pidana di bidang
perbankan ini merupakan white collar crime, dapat dikelompokan dalam :
a. Kejahatan yang dilakukan oleh kalangan profesi dalam melakukan pekerjaannya,
seperti advokat atau penasehat hukum, akuntan, dokter;
b. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya seperti korupsi dan
tindakan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran terhadap hak warga negara;
c. Kejahatan korporasi.
White collar crime terjadi bisa saja dari keyakinan si pelaku terhadap kebodohan, dan
kesembronoan si korban, kurang keahlian, kurang pengetahuan, keteledoran dari si
korban itu sendiridan bisa juga dari penyembunyian pelanggaran yang telah terjadi.
Dalam hal ini diperjelas dengan Pasal 49 Ayat 1 UU RI No.10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan Bab VIII KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF,
sebagai berikut:
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau
dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen
atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan
adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam
dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu
bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,
menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut,

24
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu
imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk
keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka
mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh
uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka
pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes,
cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka
memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana
yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
2. Tindak pidana pencucian uang Pasal 3,4,5 UU RI No.8 Tahun 2010 tentang
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG, dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena
tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta
25
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana
Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 5
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor
yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
3. BOII tidak menolak bilyet giro nasabah Kunal Gobindram
Seharusnya BOII menolak bilyet giro nasabah Kunal sebagaimana SE BI No.
17/12/DPSP/2015:
Bank Tertarik wajib menolak Cek dan/atau Bilyet Giro jika Cek dan/atau Bilyet Giro
memenuhi salah satu atau lebih alasan penolakan sebagai berikut:
Saldo Rekening Giro atau Rekening Khusus tidak cukup

4. Tidak membuat DHIB, pada kasus BOII nasabah melakukan penarikan melalui
kliring bilyet giro kosong sebanyak lebih dari 3 kali (account Kunal tidak pernah
terdebet selama 37 kali transaksi pencairan dana melalui dana tarikan Giro Kliring)

Seharusnya Bank of India Indonesia telah menetapkan nasabah Kunal Gobindram,


masuk ke Daftar Hitam Nasional dikarenakan sesuai pasal 15 ayat 1 Peraturan Bank
Indonesia nomor 8/ 29 /pbi/2006 tentang daftar hitam nasional penarik cek dan/atau bilyet
giro kosong:
Pasal 15
(1) Bank wajib menetapkan dan mencantumkan dalam DHIB (Daftar Hitam Individual
Bank) identitas Pemilik Rekening yang melakukan Penarikan Cek dan/atau Bilyet
Giro Kosong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) jika memenuhi kriteria
sebagai berikut:

26
a. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang berbeda
sebanyak 3 (tiga) lembar atau lebih dengan nilai nominal masing-masing di
bawah Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) pada Bank Tertarik yang sama
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan; atau
b. melakukan penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong 1 (satu) lembar
dengan nilai nominal Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih.
Sanksi yang seharusnya ditetapkan bagi penarik cek dan/atau bilyet giro kosong yang
memenuhi kriteria DHN ada di Bab VII Peraturan Bank Indonesia nomor 8/ 29 /pbi/2006
Pembekuan Hak Penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro, seperti Pembekuan Hak
Penggunaan Cek dan/atau Bilyet Giro, Penutupan Rekening Giro karena Penarikan Cek
dan/atau Bilyet Giro Kosong,
5. BOII tidak menyampaikan DHIB untuk diterbitkannya DHN Bab VI (Pasal 16)
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/ 29 /PBI/2006

Sanksi untuk pelanggaran ini tercantum di dalam Pasal 27-32 Bab XI Sanksi, salah
satu bunyi ayatnya (pasal 27 ayat 1) sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Bank yang atas dasar hasil pengawasan Bank Indonesia yang dilakukan secara
langsung ditemukan tidak menatausahakan Penolakan Cek dan/atau Bilyet Giro secara
lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) maka dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kesalahan
dan/atau ketidaklengkapan dan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) per hasil pengawasan.

Pemilik rekening akan dicantumkan identitasnya dalam DHN jika melakukan:


penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong yang berbeda sebanyak 3 (tiga)
lembar atau lebih dengan nilai nominal masing-masing di bawah Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) pada bank yang sama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan;
atau
penarikan Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong 1 (satu) lembar dengan nilai
nominal Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih.

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Telah terjadi kejahatan perbankan dalam bentuk penyalahgunaan bilyet giro di Bank
Of India Indonesia, dengan modus pencairan dana melalui kliring bilyet giro. Hal ini
diketahui setelah di periksanya 19 orang saksi oleh Polda Metro Jaya, yang telah membuat
kerugian bagi Bank Of India Indonesia sebesar 18 M, dimulai kegiatan pencairan dana ini
berlangsung dari tahun 2013-2015. Berdasarkan pemeriksaan tersebut ditetapkanlah
Muhammad Yunan sebagai tersangka yang merupakan Kepala Cabang BOII kantor
Samanhudi Jakarta. tersangka dijerat pidana pasal 374 KUHP dan Pasal 49 Ayat 1 UU RI
No.10 Tahun 1998 tentang penggelapan dana dan pasal 3,4,5 UU RI No.8 Tahun 2010
tentang pencucian uang. Selain itu, ditetapkan juga Heru Kurnianto sebagai tersangka lainnya
yang bekerja sama dengan Muhammad Yunan yang sama-sama memanfaatkan bilyet giro
dari seorang nasabah bernama Kunal Gobindram Nathani, dimana pada saat mencairkan
bilyet giro melalui kliring dana giro di rekening Kunal tidak pernah mencukupi sehingga
digunakanlah dana dari nasabah lain untuk memenuhi pencairan dana oleh Kunal yang
dilakukan oleh Heru K dan Yunan. Hingga saat ini polisi masih terus melakukan
penyelidikan atas kasus ini, karena Kunal Gobindram diduga terlibat dalam kasus ini, dan
proses hukum kasus BOII masih terus berjalan.

B. Saran

Bilyet Giro sebagai pembaruan atau kemudahan dalam alat pembayaran seharusnya
memberikan kepuasan dan rasa aman bagi siapa saja yang menggunakan Bilyet Giro tersebut
sebagai alat untuk pembayaran atau transaksi dagang sesuai dengan fungsinya. Perubahan
peraturan mengenai Bilyet Giro tersebut yang membuat Bilyet Giro sudah tidak lagi sesuai
dengan fungsinya atau sudah tidak lagi relevan digunakan sebagai alat pembayaran.

Peraturan mengenai penerbitan Bilyet Giro kosong harus di rubah kembali seperti
dahulu pertama kali di adakannya pembayaran dengan pemindahbukuan Bilyet Giro yaitu
hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi para penerbit Bilyet Giro kosong. Dengan
aturan seperti itu para pemilik rekening Bilyet Giro tidak akan main-main dalam mengisi

28
Bilyet Giro yang sudah dibayarkan. Hal ini dapat membuat Bilyet Giro kembali ke fungsinya
yaitu sebagai kemajuan alat pembayaran dengan mengedepankan keamanan dalam transaksi
pembayaran.

Bilyet Giro yang sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai alat pembayaran, apabila
para penegak hukum dan Bank selaku penerbit Bilyet Giro tidak merubah sistem dari Bilyet
Giro tersebut maka sebaiknya Bilyet Giro di Indonesia ini dihilangkan. Karena adanya Bilyet
Giro tersebut sekarang ini justru menambah kesan buruk perdagangan di indonesia dan sangat
merugikan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h.98.

Ismail, Akuntansi Bank : Teori dan Aplikasi dalam Rupiah, Jakarta: Kencana, 2010.

PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT.


Sinar Baru, Bandung, 1989, h.166.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Pedoman Umum Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan Edisi
Pertama, Jakarta, 2003.

www.bapepam.go.id/old/ragam/pedoman_pencucian_uang.pdf

www.bi.go.id

www.beritaone.com/2016/11/pembobol-bank-of-india-kunal-gobindram.html?m=1

www.bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/07/060000126/Per.1.Juli.2016.BI.Berlakuka
n.Ketentuan.Baru.Layanan.RTGS.dan.Kliring

www.negarahukum.com/hukum/1562.html

30

Anda mungkin juga menyukai