Anda di halaman 1dari 22

HUKUM

“Di susun untuk memenuhi materi mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu :

Salisa Amini,M.E

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK IV

KELAS : HES V B

Annisa Febrianti Aryet (0204202037)

Fahrul raji khassa (0204202035)

JURUSAN HUKUM EKONOMI

SYARIAH FAKULTAS SYARI’AH DAN

HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Subhana huwa ta’ala, Tuhan semesta Alam. Yang telah
melimpahkan Rahmat dan Hidayah – Nya kepada kita semua terkhusus kepada pemakalah di
dalam menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya

Shalawat berangkaikan salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menarik kita dari alam jahiliyah menuju Alam yang terang
benderang dan penuh dengan Ilmu Pengetahuan

Dalam penyusunan makalah ini yang berjudul “Hukum Perseroan Syariah” tidak terlepas
bantuan dari banyak pihak baik berupa sarana maupun kontribusi pemikiran yang sangat luar
biasa. Oleh karena itu sudah sepatutnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
pihak yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini.

Pada Akhirnya Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh karena itu kritik serta saran yang membangun sangat penyusun harapkan.semoga
makalah ini dapat bermanfaat kepadakita semua terkhusus bagi penyusun

Medan, 22 September 2022

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan.............................................................................................................1

A. Latar belakang............................................................................................................1
B. Rumusan masalah......................................................................................................1
C. Tujuan pembelajaran..................................................................................................1

BAB II Pembahasan.............................................................................................................2

A. Definisi syirkah..........................................................................................................2
B. Dasar hukum syirkah.................................................................................................3
C. Pembagian perkongsian.............................................................................................4
D. Syarat – syarat syirkah ‘Uqud....................................................................................10
E. Hukum syirkah ‘Uqud................................................................................................13
F. Hal – Hal Yang Membatalkan Syirkah......................................................................17

BAB III Penutup..................................................................................................................18

A. Kesimpulan................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................19

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu bentuk instrumen ekonomi yang berkembang pesat saat ini
adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT). PT
merupakan instrumen kerjasama modal yang melibatkan banya pihak sebagai
penanam modal. Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PT
didefinisikan sebagai badan hukum yangmerupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usahadengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yangditetapkan dalam
undang-undang serta pelaksanaannya. Jika ditelusuri latar sejarahnya,bentuk
perseroan ini mucul dan berkembang di dunia barat dimulai sejak abad ke-15. Oleh
karenanya, dalam fikih Islam klasik, perseroan ini tidak ditemukan dalam
pembahasan paraahli hukum Islam.

Selama ini, kebanyakan fatwa dan pandangan hukum yang muncul,


khususnya di Indonesia,hanya berkutat pada masalah saham dan pasar modal, yang
notabene merupakan “buah” dariadanya PT, tanpa menyinggung tentang keabsahan
bentuk PT itu sendiri menurut Islam.Padahal, bank-bank Islam yang selama ini
dijadikan sebagai andalan pengembangan ekonomiIslam secara kelembagaan
berbasis pada bentuk PT. Oleh karena itu menjadi aneh ketikaproduk-produk bank
Islam sering dibahas akan tetapi bentuk lembaga bank itu sendiri luput dari
perhatian.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Hukum Perseroan Syariah ?
2. Konsep perseroan dalam hukum syariah?
3. Bentuk bentuk perseroan?
4. Berakhirnya perseroan?

C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Sebagai salah satu syarat tugas dari mata kuliah hukum ekonomi syariah.

2. Sebagai media informasi bagi yang membutuhkan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Syirkah

Secara etimologi, syirkah ataau perkongsian berarti :

ِ َ‫يث اَل يَمتَزَا ِن عَن ب‬


‫عض ِه َما‬ ِ َ‫اَ ِال ختِاَل طُ اي خَلطُ اَ َح ِد ال َمال‬
ُ ‫ين بِا اَل ِخ ِر بِ َح‬

“ percampuran, yakni bercampurnya salah satu dar dua harta dengan harta lainnya, tanpa
dapat dibedakan antara keduanya”

Menurut terminologi, ulama fiqh beragam pendapat dalam mendefinisikan syirkah,


antara lain :

a) Menurut Malikiyah :1

َ ِ‫ف لَهُ َما َمعًا اَنفُ ُسهُ َما اَي اَن يَاْ َذنَ ُكلُّ َوا ِح ٍد ِمن ا َّش ِر َكي ِن ل‬
‫صا ِحبِ ِه‬ َ َّ‫في الت‬
ِ ُّ‫صر‬ ِ ‫ِه َي اِ َذن‬
‫ف لِ ُك ٍّل ِمنهُ ِما‬ َ َّ‫ق ا لت‬
ِ ُّ‫صر‬ ِّ ‫ص َّر فَ قِي َما ِل لَهُ َما َم َع اِبقَا ِء َح‬ ّ َ‫فِي اَن يَت‬
Artinya :
“ Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan ( tasharruf ) harta yang dimilki dua
orang secara bersama – sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan
kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing -
masing memiliki hak untuk bertasharruf.
b) Menurut Hanabilah :

‫في ا‬ َ َ‫ق اَو ت‬


ِ ‫صرُّ فٍااِل جتِ َما ُع‬ ٍ ‫فِي اِستِ َحا‬
Artinya :
“ Perimpunan adalah hak ( kewenangan ) atau pengolahan harta ( tasharruf ) .
c) Menurut Syafi’iyah :

‫ُوع‬ ِ ‫في ّشي ٍء اِل ثن‬


ِ ‫َين فَاَكثَ َر َعلَى ِجهَ ِة ال ُّشي‬ ِ ‫ق‬ِّ ‫الح‬ ُ ‫ثُب‬
َ ‫ُوت‬
Artinya :
“ Ketetapan hak pada sesuatu yang dimilki dua orang atau lebih dengan cara yang
masyhur ( diketahui ) “

1
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 792
2
d) Menurut Hanafiyah :

‫لرِّبح‬
ِ ‫ال َو ا‬ ِ ‫ِعبَا َرةٌ عَن عَق ٍد بَينَ ال ُمتَ َشا ِر َكي ِن فِي َر‬
ِ ‫اس ا ل َم‬
Artinya : Ungkapan tentang adanya tranaksi ( akad ) antara dua orang yang bersekutu
pada pokok harta dan keuntungan.

Apabila diperhatikan secara seksama, definisi yang terakhir dapat dipandang


paling jelas, karena mengungkapkan hakikat perkongsian, yaitu transaksi ( akad ) .
Adapun pengertian lainnya tampaknya hanya menggambarkan tujuan, pengaruh, dan
hasil perkongsian.2

B. Dasar Hukum Syirkah

Landasan syirkah ( perseroan ) terdapat dalam Al – Qur’an, Al – Hadits , dan


Ijma’, sebagai berikut :
a) Al – Qur’an

ِ ُ‫فَهُم ُشر َكا ُء فِى ا لثُّل‬


‫ث‬
“Mereka bersekutu dalam yang sepertiga” ( QS. An – Nisa : 12 )

‫عض اِاَّل ا لَّ ِذينَ ا َمنُو ا َو َع ِملُوا‬


ٍ َ‫ضهُم َعلَى ب‬
ُ ‫بغي بَع‬ ِ َ‫َكثِيراً ِمنَ ا ل ُخلَطَا ِء لَي‬
‫ َواِ ّن‬...‫ت َو قَلِي ٌل َما هُم‬ِ ‫لصَّالِ َحا‬
“ Sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang bersrikat itu sebagian
mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang yang
beriman dan beramal shaleh dan amat sedikitlah mereka ini.” ( QS . Shad : 24 )
b) As – Sunnah
ُ ِ‫ اَنَا ثَال‬: ‫اِ َّن هللاَ َع َّز َو َج َّل يَقُو ُل‬: ‫ فَا َل‬.‫م‬. ‫يرةَ َرفَ َعهُ اِلَى النَّبِ ِّي‬
‫ثا‬ َ ‫عَن اَبِي هُ َر‬
ِ ‫ل َّش ِري َك‬
‫ين َما لَم يَ ُخن اَ َح ُدهُ َما‬
ُ ‫صا ِحبَهُ فَا ِ َذا خَ انَهُ خ ََر‬
‫جت ِمن بَينِ ِه َما ( رواه ابو داود و ا لحاكم و صححه‬ َ
) ‫اسناده‬
“ Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SWT berfirman “ Aku adalah
yang ketiga pad dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari keduanya
2
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hal. 185
3
tidak mengkhianati temannya, Aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila
salah seorang mengkhianatinya” ( HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan
sanadnya ).
Maksudnya, Allah SWT akan menjaga dn menolong dua orang yang bersekutu
dan menurunkan berkah pada pandngan mereka. Jika salah seorang yang bersekutu
itu mengkhianati temannya , Allah SWT akan menghilangkan pertolongan dan
keberkahan tersebut.
Legalitas perkongsian pun diperkuat, ketika Nabi diutus , masyarakat sedang
melakukan perkingsian. Beliau besabda :

ِ ‫هللاِ َعلَى ا ل َّش ِري َك‬


َ ‫ين َما لَم يَتَ َخ‬
‫اونَا يَ ُد‬
“Kekuasaan Allah selalu berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya
tidak berkhianat” ( HR. Bukhari dan Muslim ).
c) Al – Ijma’
Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda
pendapat tentang jenisnya.

C. Pembagian Perkongsian
Syirkah itu ada dua macam, syirkah amlak dan syirkah ‘uqud:

1. Perkongsian ‘Amlak , adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa
adanya akad. Perkongsian ini terbagi menjadi dua, yaitu :
 Syirkah Jabariyah, yaitu perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau
lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya , seperti A dan B
menerima warisan sebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki
bersama oleh A dan B secara otomatis ( paksa ), dan keduanya tidak bisa
menolak.
 Syirkah Ikhtiyariah, yaitu perkongsian yang muncul karena adanya kontrak
dari dua orang yang bersekutu. Contoh A dan B membeli sebidang tanah.
Dalam hal ini pembeli yaitu A dan B bersama – sama memiliki tanah tersebut
secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak lain.
2. Perkongsian ‘Uqud, adalah bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau
lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.
1) Ulama Hanafiyah membagi syirkah ‘uqud menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Syirkah amwal

4
a) Mufawadhah
b) ‘inan
b. Syirkah a’mal
a) Mufawadhah
b) Inan
c. Syirkah Wujuh
a) Mufawadhah
b) Inan
2) Menurut Hanabilah, perkongsian dibagi menjadi lima:
a) Perkongsian ‘Inan
b) Perkongsian Mufawadhah
c) Perkongsian ‘Abdan
d) Perkongsian Wujuh
e) Perkongsian Mudharabah.
3) Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah terbagi menjadi 4 bagian , yaitu :
a) Syirkah ‘Inan
b) Syirkah Mufawadhah
c) Syirkah Abdan
d) Syirkah Wujuh3
Ulama fiqh sepakat bahwa perkongsian ‘inan diperbolehkan , sedangkan
bentuk – bentuk lainnya masih diperselisihkan.
Ulama Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan Imamiyah membatalkan semua syirkah
kecuali syirkah ‘inan dan mudharabah.
Ulama Hanabilah membolehkan semua syirkah kecuali syirkah mufawadhah.
Ulama Malikiyah membolehkan semua syirkah kecuali syirkah wujuh dan
mufawadhah yang disebutkan ulama Hanafiyah.
Pada bagian ini akan dijelaskan jenis – jenis syirkah menurut Syafi’iyah, yang
meliputi :
1) Syirkah ‘Inan
Definisi syirkah ‘inan sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah
sebagai berikut :

‫َان فِي َما ٍل لَهُ َما َعلَى اَن يَتَّ ِج َرا فِي ِه َو ا لرِّب ُح بَينَهُ َما‬
ِ ‫َو ِه َي اَن يَشت َِركَ ا ثن‬
3
Ibn Rusyd, Bidayah Al – Mujtahid wa Nihayah Al – Muqtashid, juz II , hlm. 248
5
Syirkah ‘inan adalah suatu perssekuutan atau kerja sama antara dua pihak dengan
harta ( modal ) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi di antara mereka.4
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah ‘inan adalah persekutuan
dalam modal dan keuntungan, termasuk kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah
‘inan seorang persero tidak hanya dibenarkan bersekutu dalam keuntungan saja,
sedangkan dalam kerugian ia dibebaskan.
Dalam hal modal yang diinvestasikan sama, maka keuntungan yang dibagikan boleh
sama antarampara peserta dan boleh pula berbeda. Hal tersebut tergantung pada
ksepakatan yang dibuat oleh para peserta pada waktu terbentuknya akad. Adapun
dalam hal kerugian maka perhitungannya disesuaikan pada modal yang
diinvestasikan. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :

ِ َ‫در ااَل ل‬
‫ين‬ َ ‫ضي َعةُ ع‬
ِ َ‫َلى ق‬ ِ ‫ َو ال‬, َ‫الرِّب ُح َعلَى َما َش َرط‬
“ Keuntungan diatur sesuai dengan syarat yang mereka sepakati, sedangkan kerugian
tergantung pada besarnya modal yang diinvesatsikannya.”5
Contoh : A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan
bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd);
sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal
syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing
modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.

2) Syirkah Mufawadhah
Muwafadhah dalam arti bahasa adalah al – musawah , yang artinya “
persamaan “. Syirkah yang kedua ini dinamakan syirkah muwafadahah karena di
dalamnya terdapat unsur persamaan dalam modal, keuntungan, melakukan tasharruf,
dan lain – lainnya.

4
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, Dar Al – Fikr, Beirut, cet III , 1981, hlm . 295
5
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 797
6
Menurut satu pendapat, mufawadhah diambil dai kata at – tafwidh
( penyerahan ), karena masing – masing peserta menyerahkan hak untuk melakukan
tsharruf kepada teman serikat yang lainnnya6 .
Dalam arti istilah, syirkah mufawadhah didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili
sebgai berikut :

ِ ‫صطاَل‬
‫ ان يتعاقد اثنان فا كثر على ان يشتركا في عمل بشرط ان يكون‬: ‫ح‬ ِ ِ‫َو ِه َي فِى ال‬
‫متساويين في رأس مالهما و تصرفهما و دينهما اي ( ملتهما ) ويكون كل واحد منهما‬
‫كفيال عن االخر فيما يجب عليه من شراء و بيع‬.
Syirkah mufawadhah menurut istilah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih untuk bersekutu ( bersama – sama ) dalam mengerjakan sesuatu
perbuatan dengan syarat keduanya sama dalam modal, tasarruf, dan agamanya, dan
masing – masing peserta modal menjadi penanggung jawab atas yang lainnya di
dalam hal – hal yang wajib dikerjakan , baik berupa penjualan maupun pembelian.7
Dari defiinisi tersebut juga dapat diketahui bahwa dalam syirkah mufawadhah
terdapat syarat – syarat yang harus diketahui , yaitu :
1) Persamaan dalam modal. Apabila salah satu peserta modalnya lebih besar
daripada peserta yang lainnya. Misalnya A modal yang ditanamnya Rp.
10.000.000,00 sedangkan B hanya Rp. 5.000.000,00 , maka syirkah hukunya tidak
sah.
2) Persamaan dalam hak tasarruf. Maka tidak sah syirkah mufawadhah antara anak
yang masih di bawah umur dan orang dewasa. Karena hak tasarruf keduanya tidak
sama.
3) Persamaan dalam agama. Dengan, tidak sah syirkah mufawadhah antara orang
Muslim dan orang kafir.
4) Tiap – tiap peserta harus menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainnya
dalam hak dan kewajiban sekaligus sebagai wakil. Dengan demikian, tindakan
hukuk peserta yang satu tidak boleh lebih besar daripada tindakan peserta hukum
yang lainnya.8
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, syirkan mufawadhah ini hukumnya
dibolehkan. Hal ini karena syirkah mufawadhah banyak dilakukan oleh orang selama

6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296
7
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 798
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296
7
beberapa waktu, tetapi tidak seorangpun yang menolaknya. Sedangkan Imam Syafi’i
tidak membolehkannya. Beliau mengatakan :

‫عرفُهُ فِي ال ُّدنيَا‬ ِ َ‫اطلَةً فَاَل ب‬


ِ َ‫اط َل ا‬ ِ َ‫ض ِة ب‬ َ َ‫اِ َذا لَم تَ ُكن ِشر َكةُ ال ُمف‬
َ ‫او‬

“ Apabila syirkah mufawadhah tidak dianggap batal, maka tidak ada lagi sesuatu yang batal
yang saya ketahui di dunia ini”9

Syafi’i berpendapat bahwa syirkah mufawadhah adalah suatu akad yang tidak ada dasrnyya
dalam syara’. Untuk mewujudkan persamaan dalam berbagai hal merupakan hal yang sulit,
karena di dalamnya da unsur gharar ( tipuan ) dan ketidakjelasan. Sedangkan hadits yang
digunakan sebagai dasar oleh Hanafiah, merupak hadits yang tidak sha10hih dan tidak dapat
diterima.

3) Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh didefinisikan oleh Sayyid Sabiq adalah " pembelian yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih tanpa menggunakan modal, dengan berpegang
pada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan
ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan.
Dari defiinisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah wujuh adalah suatu
syirkah atau kerja sama antara dua orang atu lebih nutuk membeli suatu barang tanpa
menggunakan modal. Mereka berpegang pada penampilan mereka dan kepercayaan
para pedagang tehadap mereka. Dengan demikin, transaksi yang dilakukan adalah
dengan cara berutang dengan perjanjian tanpa pekerjaan dan tanpa harta ( modal ).
Menurut Hanafiyah,, Hanabilah, Zaidiyah, syirkah wujuh hukumnya boleh,
karena bentuknya berupa satu jenis pekerjaan. Kepemilikan terhadap barang yang
dibeli boleh berbeda antara satu peserta dengan peserta lainnnya. Sedangkan
keuntungan dibagi natara para peserta, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing –
masing dalam kepemilikan atas barang yang dibeli. Akan tetapi, Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa syirkah wujuh hukumnya batal.
Alasan mereka adalah bahwa syirkah selalu berkaitan dengan harta dan pekerjaan,
sedangkan dalam syirkah wujuh, keduanya ( harta dan pekerjaan ) tidak ada. Yang

9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296

10

8
ada hanya penampilan para anggota serikat, yang diandalkan untuk mendapatkan
kepercayaan dari para pedagang. 11
4) Syirkah Abdan
Syirkah abdan didefinisikan oleh Sayyid Sabiq adalah kesepakatan antara dua
orang atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya
dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah abdan ( syirkah a’mal )
adalah suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu
pekerjaan bersama – sama, dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan
kesepakatan yang disepakati bersama. Contohnya, tukang batu dengan beberapa
temannya berserikat ( bekerja sama ) dalam mengerjakan pembangunan sebuah
gedung sekolah. Kerja sama tersebut bisa dalam satu jenis pekerjaan yang sama,
seperti tukang dengan tukang batu, dan bisa juga dalam jenis pekerjaan yang berbeda.
Misalnya kerja sama antara tukang batu dengan tukang kayu dalam mengerjakan
pembangunan sebuah gedung kantor.
Menurut Malikiyah, Hanafiah, Hnabilah, dan Zaidiyah, syirkah ‘abdan
hukumnya boleh, karena tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan. Dalil
dibolehkannya syirkah ‘abdan adalah hadits Ibnu Mas’ud :

‫ فَ َجا َء َسع ٌد‬,‫در‬ ِ ُ‫كت انَا َو َع َّما ُر َو َسع ٌد ِفي َما ن‬


ٍ َ‫صيبُ يَو َم ب‬ ُ ‫ اِشت ََر‬: ‫ال‬
َ َ‫بن َمسعُود ق‬
ُ ‫عَب ِدهللا‬
‫ين َولَم اَ ِجيءْ اَنَا َو ُع َّما ُر بِشي ٍء‬
ِ ‫بِا َ ِسي َر‬
Dari Abdillah Ibnu Mas’ud ia berkata : “Saya , Ammar, dan Sa’ad bersekutu
dalam hasil yang diperoleh pada Perang Badar. Maka Sa’ad datang dengan membawa
dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar tidak memperoleh apa – apa ( HR.
An – Nasa’i ).
Hadis ini menggambarkan tentang kerja sama antara para sahabat dalam hasil
harta rampasan perang. Kerja sama tersebut dilakukan dengan menggunakan tenaga,
tidak menggunakan ( modal ). Ini menunjukkan bahwa syirkan abdan itu dibolahkan.
Hanya saja Malikiyah mengajukan beberapa syarat untuk keabsahan syirkah abdan
ini, yaitu :
a) Pekerjaan atau profesi antara para peserta harus sama. Apabila para profesinya
berbeda maka hukumnya tidak boleh, kecuali garapan pekerjaannya saling
mengikat. Misalnya, tukang kayu dan tukang batu mengerjakan sebuah rumah.

11
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 802
9
Dalam contoh ini hukum syirkah nya dibolehkan karena pekerjaan yang satu
bergantung pada pekerjaan yang lainnya.
b) Tempat pekerjaannya juga harus satu lokasi. Apabila lokasi keduanya berbeda,
maka syirkahnya tidak sah.
c) Pembagian upah harus sesuai dengan kadar pekerjaan yang disyaratkan bagi setiap
anggota serikat.12
Menurut Syafi’iah, Imamiyah, dan Zufar dari Hanafiah, syirkah abdan
hukumnya batal, karena menurut mereka syirkah itu hanya khusu dalam modal saja,
bukan dalam pekerjaan.

D. Syarat – Syarat Syirkah ‘Uqud

Ulama Hanafiah menetapkan syarat – syarat untuk syirkah ‘uqud. Sebagian


dari syarat –syarat tersebut ada yag berlaku umum untuk semua jenis syirkah ‘uqud,
dan sebagian lagi berlaku khusus untuk masing – masing jenis syirkah. Syarat – syarat
itu adalah sebagai berikut :
1. Syarat – syarat umum syirkah ‘uqud
Untuk keabsahan syirkah ‘uqud harus dipenuhi syarat – syarat sebagai berikut:
a) Tasarruf yang menjadi objek akad syirkah harus bisa diwakilkan
Dalam syirkah ‘uqud keuntungan yang iperoleh merupakan milik bersama
yang harus dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kepemilikan bersama dalam
keuntungan tersebut menghendaki agar setiap anggota serikat menjadi wakil dari
anggota serikat lainnya dalam pengelolaan harta ( modal ) , di samping bertindak atas
namanya sendiri. Atas dasar itu maka setiap anggota serikat memberikan kewenangan
kepada anggota serikat lainnya untuk melakukan tasarruf, baik dalam hal penjualan,
pembelian maupun penerimaan kontarak kerja. Dengan demikian, masing – masing
peserta menjadi wakil bagi peserta lainnya.
b) Pembagian keuntungan harus jelas
Bagian keuntungan untuk masing - masing anggota serikat nisabnya harus
ditentukan dengan jelas, misalnya 20 %, 10 %, 30 %, atau 40 %. Apabila pembagian
keuntungan tidak jelas, maka syirkah menjadi fasid, karena keuntungan merupakan
salah satu ma’qud ‘alaih.
c) Keuntungan harus merupakan bagian yang dimilki bersama secara keseluruhan,
tidak ditentukan untuk A 100, B 200 misalnya. Apabila keuntungan telah
12
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 803 - 804
10
ditentukan, maka akad syirkah menjadi fasid. Hal itu karena syirkah
mengharuskan adanya penyertaan dalam keuntungan, sedangkan penentuan
kepada orang tertentu akan menghilangkan hakikat perkongsian.
2. Syarat khusus untuk syirkah Amwal
Untuk keabsahan syirkah amwal, baik syirkh ‘inan maupun syirkah
mufawadhah, harus dipenuhi beberapa syarat yang khusus, sebagai berikut :
a) Modal syirkah harus berupa barang yang ada
Menurut Jumhur fuqaha modal syirkah harus berupa barang yang ada, baik
pada waktu akad maupun pada waktu jual beli. Dengan demikian, modal tidak boleh
berupa utang, atau harta yang tidak ada di tempat akad. Hal ini karena tujuan syirkah
adalah memperoleh keuntungan yang didapatkan melaui tasharruf, sedangkan tasarruf
tidak bisa dengan utang atau barang yang tidak ada di tempat akad.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, modal dari para peserta tidak
harus dicampur menjadi satu, karena menurut mereka dalam syirkah yang penting
akdnya, bukan hartanya. Akan tetapi, menurut Zufar, Syafi’iyah, Zhahiriah, Zaidiyah,
dan Imamiyah, modal dari para peserta harus dicampur menjadi satu, sehingga tidak
bisa dibedakan antara modal yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan
arti syirkah adalah ikhthilath ( campur ), dan percampuran tidak akan terwujud
apabial harta masih dibedakan antara yang satu dengan yang lain. 13
b) Modal syirkah harus berharga secara mutlak
Ulama madzhab empat sepakat bahwa modal syirkah harus berupa sesuatu
yang bernilai secara mutlak, seperti utang. Oleh karena itu, tidak sah modal syirkah
dengan modal barang – barang, baik berupa benda tetap maupun benda bergerak. Hal
ini karena syirkah dengan modal barang, bukan uang menyebabkan ketidakjelasan
dalam pembagian keuntungan, dan hal itu memicu terjadinya perselisihandan
pertentangan di antara para peserta. Menurut Imam Malik, odal syirkahtidak mesti
beruoa uang, melainkan juga boleh dengan barang yang diperkirakan nilainya, baik
jenisnya sama atu berbeda. Alasannya adalah bahwa syirkah adalah dilakukan dengan
modal yang jelas, sehingga mirip dengan uang.14
3. Syarat untuk Syirkah Mufawadhah
Ulama Hanafiah mengemukakan syarat – syarat untuk syirkah mufawadhah
sebagai berikut :

13
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 806 - 807
14
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 808
11
a) Masing - masing anggota serikat memilki kecakapan untuk melakukan wakalah
dan kafalah, yaitu harus merdeka, baligh, berakal, dan cerdas.
b) Persamaan dalam modal, baik ukyran maupun harganya, sejak awal sampai akhir.
c) Segala sesuatu yang layak menjadi modal dari salah seorang anggota serikat harus
dimasukkan ke dalam syirkah
d) Pembagian keuntungan harus sama. Apabila pembagian keuntungan tidak sama,
maka syirkahnya bukan mufawadhah
e) Persamaan dalam kegiatan perdagangan. Ulama Hanafiyah dan Muhammad
mensyaratkan syirkah mufawadhah antara sesama Muslim, dan tidak boleh
dengan orang kafir.
f) Dalam melakukan transaksi ( akad ) harus menggunakan kata mufawadhah.15
Syarat – syarat yang disebutkan tadi harus dipenuhi untuk syirkah
mufawadhah. Apabila salah satu syarat tidak ada, maka syirkah akan berubah menjadi
syirkah ‘inan, karena syarat – syarat tersebut tidak diperlukan dalam syirkah ‘inan.
Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan tidak disyaratkan kecakapan dalam wakalah,
persamaan dalam mdal dan keuntungan, dan persamaan dalam kegiatan perdagangan,
sebagaimana yang disyaratkan dalam syirkah mufwadhah.
4. Syarat – syarat Syirkah A’mal ( Abdan )
Apabila bentuk syirkah a’mal ini mufawadhah maka berlakulah syarat – syarat
syirkah mufawadhah, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Apabila bentuk
syirkah ‘inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah tersebut, kecuali
kecakapan dalam wakilah. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah mengatakan “ setiap
akad yang di dalamnya dibolehkan kafalah dibolehkan pula syirkah, dan apa yang
tidak boleh wakalah, maka tidak boleh pula syirkah.16
Apabila pekerjaan memerlukan alat, sedangkan alat itu dipakai oleh salah
seorang anggota serikat maka hal itu tidak mempengaruhi syirkah, dengan ketentuan
alat itu tidak disewakan untuk orang lain. Apabila alat itu disewakan unuk menggarap
pekerjaan lain maka upahnya untuk orang yang memilki alat, dan syirkah menjadi
fasid.
5. Syarat – syarat Syirkah wujuh

15
Ahamad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah,hlm. 355
16
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 814

12
Apabila bentuk syirkah ini mufawadhah maka berlakulah syarat – syarat
syirkah mufawadhah ( persamaan dalam berbagai hal ). Akan tetapi, apabila
bentuknya syirkah ‘inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah, seperti
persamaan dalam tasarruf, pembagian keuntungan, dan sebagainya.

E. Hukum Syirkah ‘Uqud

Hukum syurkah ‘uqud ada dua macam :


a) Shahih
b) Fasid
Syirkah shahih adalah syirkah yang syarat – syarat sahnya terpenuhi.
Sedangkan syirkah fasid adalah syirkah yang syarat – syaratnya tidak terpenuhi atau
rusak. Secara garis besar, menurut Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, apabila
syirkah fasid maka keuntungan dibagi di antara para peserta, sesuai dengan modal
masing – masing. Di bawah ini akan di jelaskan hukum – hukum syirkah yang shahih,
sesuai dengan jenis syirkahnya yang meliputi syirkah ‘inan, mufawadhah, wujuh, dan
abdan.
1. Hukum Syirkah ‘Inan
a) Syarat pekerjaan
Dalam syirkah ‘inan para anggota serikat dibolehkan membuat persyaratan –
persyaratan di antara mereka berkaitan dengan kegiatan usaha. Misalnya A dan B
berserikat dan keduanya melakukan jual beli yang hasilnya dibagi berdua dengan
syarat – syarat sesuai kesepakatan. Atau salah satu anggota serikat melakukan jual
beli, sedangkan yang lainnya tidak.
b) Pembagian keuntungan
Pembagian keuntungan disesuaikan dengan besanya modal yang
diinvestasikan, baik sama besarnya atau berbeda. Apabila modal yang diinvestasikan
sama maka keuntungan juga dibagi dengan kadar yang sama. Akan tetapi, apabila
modalnya berbeda maka keuntngannya juga berbeda. Contohnya, A dan B berkongsi
dengan masing – masing menanamkan modal Rp. 10.000.000,00. Apabila usahanya
mendapatkan keuntungan Rp. 4.000.000,00, maka A dan B masing – masing
mendapat bagian 50 % dari keuntungan, yaitu Rp. 2.000.000,00. Akan tetapi, apabila
A menanamkan modal Rp. 20.000.0000,00 sedangkan B Rp.10.000.000,00 dan

13
keuntunagan yang diperoleh Rp.4.500.000,00, maka pembagian keuntungan
diperhitungkan dengan modal yang diinvestasikan, yaitu A : 2/3 x Rp. 4.500.000,00 =
Rp. 3.000.000,00, sedangkan B : 1/3 x Rp.4.500.000,00 = Rp. 1.500.000,00.
Dalam keadaan modal yang diinvestasikan sama, menurut Ulama Hanfiyah
kecuali Zufar, boleh ditetapkan pembagian keuntungan bagi salah satu anggota serikat
berbeda ( lebih besar ) , namun dengan syarat harus disertai dengan imbalan pekerjaan
yang lebih besar daripada angoota serikat lainnya. Hal tersebut dikarenakan menurut
mereka pemberian keuntungan didasatkan atas mal ( modal ), oekerjaan ( amal ), dan
tanggung jawab ( dhaman ). Dalam hal ini keuntungan disebabkan oleh tambahan
pekerjaan. Hnabilah dan Zaidiyah sama pendapatnya dengan Hanafiyah, yaitu
dibolehkan pembagian keuntungan yang lebih besar kepada anggota serikat. Adapun
dalam hal kerugian, ulama sepakat dibagi sesuai dengan besar kecilnya modal.17
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, Imamiah, dan Zufar dari
Hanafiyah, unntuk sahnya syirkah ‘inan disyaratkan keuntungan dan kerugian
diperhitungkan nisbahnya dengan modal yang ditanamnya, karena keuntungan
merupakan tambahan atas harta ( modal ) dan kerugian merupakan pengurangan atas
harta ( modal ). Dengan demikian, kerugian mnyerupai keuntungan.
c) Rusaknya Harta Syirkah
Menurut Hnafiyah dan Syafi’iyah, apabila harta ( modal ) syirkha seluruhnya
atau salah satunya rusak atau hilang sebelum digunakan untuk membeli atau sebelum
dicampur, maka syirkah menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan ma’qud ‘alaih
( objek ) akad syirkah adalah harta ( modal ). Apabila ma’qud ‘aai rusak maka akad
menjadi batal. Apabila kerusakan terjadi setelah dibelanjakan maka akad syirkah tidak
batal, dan apa yang dibelanjakan menjadi tanggungan para peserta syirkah, karena
mereka melakukan pembelian dalam konteks syirkah.
Menurut Hanabilah, syirkah terjadi karena semata – mata telah dilakukannya
akad, dan secara otomatis semua modal peserta menyatu menjadi modal syirkah.
Apabila odal yang dimiliki oleh salah seorang peserta rusak atau hilang sebelum
dicampur atau dibelanjakan, maka kerusakan atau kehilangan tersebut diangap
sebagai kerusakan sebagian modal syirkah dan tidak membatalkan akad syirkah.
d) Melakukan Tasarruf dengan Harta Syirkah
Setiap anggota serikat dalam syirkah ‘inan berhak melakukan jual beli dengan
harta syirkah karena dengan telah dilakukannya akad syirkah, setiap anggota
17
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 816
14
mengizinkan kepada anggota lainnya untuk menjual harta syirkah. Di samping itu,
syirkah mengandung unsur wakalah, sehingga setiap anggota serikat bisa mewakili
anggota serikat lainnya dalam melakukan jual beli.
Di samping itu, setiap anggota serikat boleh menjual harta syirkh dengan tunai
atau utnag, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang.Akan
tetapi, ulama Syafi’iyah tidak membolehkan jual beli utang dengan modal syirkah.
Sedangkan di kalangan ulama Hanabilah dengan pendpat yang rajih membolehkan
jual beli utang dengan harta syirkah.18
Di antara bentuk – bentuk tasarruf yang boleh dilakukan menggunakan harta
syirkah, yaitu :
 Membelanjakan dan menitipkan hrta syirkah
 Memberikan modal kepada seseorang dengan cara mudharabah
 Memberkan kuasa kepada orang lain untuk melakukan jual beli
 Menggadaikan dan menerima gadai
 Melakukan hiwalah ( pemindahan utang )
 Menggunakan untuk ongkos perjalanan19
2. Hukum Syirkah Mufawadhah
Semua ketentuan – ketentuan yang brelaku dan boleh dilaksanakan oleh para
anggota serikat dalam syirkah ‘inan, juga boleh berlaku dalam syirkah mufawadhah.
Demikian pula hal – hal yang menjadi syarat sahsyirkh ‘inan juga menjadi syarat sah
syirkah mufawadhah, dan segala hal yang menyebabkan rusak atau batalnya syirkah
‘inan, juga mneyebabkan rusaknya syirkah mufawdhah. Hal ini karena syirkah
mufawadhah itu adalah syirkah ‘inan dengan diberi tambahan.
Adapun ketentuan – ketentuan khusus yang berlaku untuk syirkah
mufawadhah dalah sebagai berikut:
a) Pengakuan utang, dibolehkan atas dirinya atau rekannya
b) Penetapan kesamaan utang
c) Harus ada peminjaman harta
d) Maing – masing memiliki hak menuntut segala aturan yang berkaitan
dengan pembelian atau penjualan

18
Muwafiquddin bin Qudamah, Al – Mughni, juz 5 , Dar al – Kutub Al – ‘Ilmiyah, Beirut, hlm 129
19
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 819-820

15
e) Segala perbuatan yang tidak berhubungan dengan perkongsian tidak boleh
diambil dari perkongsian, seperti membayar denda, mahar, dan lain – lain.
3. Hukum Syirkah Wujuh
Dua orang yang bersekutu dalam syirkah wujuh, baik mufawadhah maupun
‘inan, dia berada pada posisi syirkah amwal, baik dalam hal perkara yang wajib
dikerjakan oleh keduanya atau yang boleh dikerjakan oleh salah satunya. Aoabila
syirkah dimutlakkan, ia menjadi syirkah ‘inan, sebab syirkah mutlak mengaruskan
‘inan.
Jika syirkah wujuh berbentuk mufawadhah berarti berbagai hal yangg
berkaitan dengan jual beli, harus sama. Sebab mufawadhah melarang ketidaksamaan.
Ulama Hanabilah meskipun membolehkan syirkah wujuh, mereka
mensyaratkan harus berbentuk syirkah ‘inan. Jika melarang syirkah yang berbrntuk
mufawadhah, tidak ada ketetapan syara’ sebab mengandung unsur penipuan, seperti
pada jual beli gharar.
4. Hukum Syirkah A’mal
a) Berbentuk mufawadhah
Apabila syirkah a’mal berbentuk mufawadhah, setiap orang yang bersekutu
diwajibkan menanggung segala sesuatu yang berhubungan dengan perkongsian.
Contoh syirkah mufawadhah, dua orang menerima suatu pekerjaan dengan cara
bersekutu, maka keduanya harus menanggung pekerjaan tersebut secara seimbang.
Begitu pula dalam keuntungan dan kerugian. Selain itu, hendaklah seorang di antara
mereka dapat menjadi penjamin rekannya.
b) Berbentuk ‘inan
Ketetapan pada syirkah ‘inan sebenarnya sama dengan syirkah mufawadhah di
atas apabila dihubungkan denagn keharusan menanggung pekerjaan secara baik. Satu
pihak boleh saja menyuruh rekannya kapan saja, sebagimana rekannya juga dapat
meminta upah kapan saja. Segi kebaikan dari syirkah ini adalah dapat menunutu
pekerjaan dari salah seorang yang bersekutu, untuk selanjutnya menjadi tanggung
jawab bersama.
c) Pembagian laba
Pembagian laba pada syirkah ini bergantung ada tanggungan bukan pada
pekerjaan, apabila salah seorang pekerja, sedang lainnnya tidak sakit atu pergi, maka
upah tetap iberikan sesuai dengan persyaratan yang mereka tetapkan.
d) Penanggungan Kerugian
16
Menanggung kerugian pada syirkah juga bergantung jaminan yang mereka
berikan.

F. Hal – Hal Yang Membatalkan Syirkah

Hal – hal yang membatalkan syirkah ada yang sifatnya umum dan berlaku
untuk semua syirka, dan ada yang khusus untuk syirkah tertentu, di antaranya :
1. Sebab – sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a) Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad
syirkah merupakan akad jaiz dan ghairu lazim, sehingga memungkinkan untuk
difasakh.
b) Meninggalnya salah seorang anggota serikat.
Apabila salah seorang anggota serikat meninggal dunia, maka syirkah menjadi
batal atau fasakh karena batalnya hak milik, dan hilangnya kecakapan untuk
melakukan tasarruf karena meninggal, baik anggota serikat lainnya mengetahu
atau tidak.
c) Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah ke darul harb. Hal ini
disamakan dengan kematian.
d) Gilanya peserta yang terus menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari
wakalah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakalah.
1. Sebab – sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a) Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat
sebelum digunakan untuk membeli barang dalam syirkah amwal. Alasannya,
karena yang menjadi barang transaksi adalah harta, maka kalau rusak akan
menjadi batal sebagaimana yang terjadi pada transaksi jual beli.
b) Tidak ada kesamaan modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawadhah pada awal transaksi,
perkongsian batal. Sebab hal itu merupakan syarat syirkah mufawadhah.20

BAB III

Kesimpulan

20
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hal. 201
17
Pertimbangannya karena dilihat dari sisi unsur pembentuknya mulai dari para pihak
yang berakad, kesepakatan yang dilakukan (sigat ijab kabul) dan bentuk pengelolaannya
dapat diterima sebagai mekanisme akad yang sah. Model kerjasaama modal dalam PT
merupakan model dan inovasi baru dalam rumpun akad shirkah, namun masih dalam koridor
transaksi kerjasama yang diperbolehkan. Hanya saja dari sisi bidang usaha yang dijalankan
masih perlu untuk disesuaikan dengan ketentuan shariat. Di antaranya tidak boleh terdapat
riba, spekulasi, garar, dan hal-hal lain yang larang shariat. Jika ketentuanketentuan tersebut
dijalankan, maka Perseroan Terbatas dapat dinyatakan sebagai sebuah entitas yang legal
dalam menurut hukum Islam

Syirkah atau syarikah adalah bentuk percampuran (perseroan) dalam Islam yang pola
operasionalnya melekat prinsip kemitraan usaha dan bagi hasil. Prinsip syirkah berbeda
dengan model perseroan dalam sistim ekonomi kapitalisme. Perbedaaan-perbedaan yang ada
tidak hanya terletak pada tidak adanya praktik bunga, melainkan juga berbeda dalam hal
transaksi pembentukannya, operasionalnya maupun pembentukan keuntungan dan
tanggungjawab kerugian. Syirkah sangat penting peranannya dalam pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Kemandekan ekonomi sering terjadi karena pemilik modal tidak mampu
mengelola modalnya sendiri atau sebaliknya mempunyai kemampuan mengelola modal tetapi
tidak memiliki modal tersebut. Semua hal tersebut dapat terpecahkan dalam syirkah yang
dibenarkan dalam syariah Islam. Implementasi musyarakah dalam Lembaga Keuangan
Syariah dapat dijumpai pada pembiayaan- pembiayaan proyek, modal ventura, pembiayaan
musyarakah mutanaqisah, serta obligasi syariah/ sukuk. Pembiayaan Proyek. Musyarakah
biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Modal
Ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam
kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman
modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau
menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

Daftar Pustaka

A. Masadi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.
An-Nabahan, Faruq. 2000. Sistim Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistim
Kapitalis dan Sosialis, terjemahan. Yogyakarta: UII Press.

18
An-Nabhani, Taqiyyudin. 1996. Membangun Sistim Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
terjemahan. Surabaya: Risalah Gusti.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 1994. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, cetakan keempat
belas. Jakarta: Tazkia Cendekia.
Asmuni. Tt. Aplikasi Produk Musyarakah Ditinjau dari Aspek Fiqh dan Tantangannya.
tulisan bebas yang tidak diterbitkan.
Chapra, Muhammad Umer. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi
Kontemporer, terjemahan. Surabaya: Risalah Gusti.
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Pembiayaan Musyarakah.
Haroen, Nasrun.2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Himpunan Undang-undang & peraturan pemerintah tentang Ekonomi Syariah dilengkapi
44 Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI tentang Produk Perbankan Syariah. 2009.
Yogyakarta : Pustaka Zaedny.
Luqman. 2006. Sistem Pembiayaan Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap
Pertumbuhan Usaha, Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana
Majid, Abdul. 1986. Pokok-pokok Fiqih Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam
Islam. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi
K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
PKES. 2008. Perbankan Syariah.
Jakarta: PKES Publishing.
Qardawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, terjemahan. Jakarta: GIB.
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam.
Bandung: Sinar Baru

19

Anda mungkin juga menyukai