Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH QAWA’ID FIQHIYAH

” Macam – macam qawaid fiqhiyah yang Mukhtalaf ”


Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Tugas makalah kelompok Qawa’id Fiqhiyah

Dosen Pembimbing :

Dr. Sahmiar Pulungan, M.Ag

Disusun Oleh :

Raja Indra Muda (0204202064)


Fahrul Raji Khassa (0204202035)

PRODI HUKUM EKONOMI SYA’RIAH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYA’RIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji bagi Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Sehingga
penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Qira’atul Qutub. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita baginda Rosulullah SAW yang telah menujukan
kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh warna–warni cahaya ilmu yaitu adinul
islam.

Dengan terselesaianya makalah ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih yang
sebanyak –banyaknya kepada pihak yang bersangkutan, atas bantuannya baik doa maupun
tenaganya dalam penyusunan makalah ini.

Kami sadar bahwasanya makalah ini masih banyak sekali kesalahan maupun kekurangan.
Oleh karena itu, kami harap keikhlasan kepada para pembaca maupun pihak lain dalam
memberikan kritik dan sarannya untuk penyusunan makalah yang lebih baik dan berkualitas .

Medan, 20 Mei 2022

penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................2

A. KAIDAH – KAIDAH MUKHTALAF..................................................................................4

 Kaidah ke 1 – 2 ................................................................................................................4

 Kaidah ke 3 – 5 ................................................................................................................5

 Kaidah ke 6 – 8 ................................................................................................................6

 Kaidah ke 9 – 11...............................................................................................................7

 Kaidah ke 12 – 15 ............................................................................................................8

 Kaidah ke 16 – 18 ............................................................................................................9

 Kaidah ke 19 – 20 ............................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Belakangan ini seringkali kita saksikan sekelompok kaum beragama, atas nama agama
telah men-sesatkan, bahkan memandang kufur kelompok lain yang seagama. Fenomena al-idhlal
(penyesatan) dan al-takfir (pengkafiran) ini akan terus menggelinding di tengah-tengah
masyarakat.

Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan "la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru
al-muttafaq 'alaih"/pandangan lain yang masih diperselisihkan ulama tidak boleh serta merta
diingkari, berbeda dengan pandangan yang telah disepakati ulama maka kita boleh mengingkari
pandangan sebaliknya. Sementara itu hampir seluruh ulama sepakat bahwa ajaran yang
mukhtalaf fihi jauh lebih banyak dari ajaran yang muttafaq 'alaih. Ini artinya wilayah takfir dan
idhlal dalam ajaran Islam sangatlah sempit, tidak mudah untuk mengkafirkan dan memandang
sesat pihak lain.

Problem kita adalah tidak adanya kesepakatan di kalangan ulama tentang ajaran yang
masuk dalam katagori mujma' 'alayhi dan mana yang mukhtalaf fihi. Akibatnya tidak ada
standard baku atas dasar apa seseorang dapat dipandang kafir dan sesat. Perbedaan di luar
masalah tersebut berlaku kaidah, "pendapat kita benar

tapi mungkin saja salah dan pandangan orang lain salah tapi juga mungkin benar" dan
kaidah ikhtilafu ummati rahmatun. Inilah toleransi keberagamaan yang pernah dicontohkan
dengan cantik oleh ulama salaf al-shalih. Dalam menyikapi satu kasus permasalahan dalam
menerapkan kaidah mukhtalaf ini sesuai dengan pendapat yang dianggap lebih unggul dari kedua
sisi kaidah yang ada.

Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk membahas tentang kaidah-kaidah fiqh yang
mukhtalaf , untuk memudahkan dalam rangka mengetahui khilaf-khilaf ulama ini adalah dengan
mempelajari kaidah mukhtalaf ini. Karena kaidah ini sebenarnya adalah paket khusus
pembahasan sebagian khilaf mereka.

1
BAB II

PEMBAHASAN

Kaidah al mukhtalaf adalah kaidah yang berbentuk pertanyaan pada satu tema tertentu
dengan dua jawaban atau lebih. Satu permasalahan yang seharusnya mempunyai jawaban yang
pasti, ternyata di sana di temukan jawaban yang beragam. Disinilah letak keunikan kaidah
muktalaf. Disebut mukhtalaf karena kaidah ini adalah kaidah yang subtansinya dikhilafkan
dalam madzhab Syafi’i.

Ketika mengaplikasikan kaidah-kaidah al-mukhtalaf kedalam sebuah permasalahan,


dengan tanpa menjelaskan predikat hukum mana yang lebih kuat dari dua sisi kaidah yang
berbeda. Sebagian lagi, ada yang lebih kreatif dengan melakukan proses tarjih. Kekreatifan ini
diteruskan pada saat menyikapi permasalahan lain dengan menerapkan kaidah dalam satu
permasalahan yang sama dengan tinjauan sisi kaidah yang lain.

Seperti halnya ketika menanggapi pertanyaan pancingan yang terdapat dalam kaidah
mukhtalaf pertama; apakah fardhu kifayah akan menjadi fardhu ‘ain ketika telah dilaksanakan?
Ini adalah satu contoh penerapan kaidah yang berbentuk pertanyaan dengan tampilan dua
jawaban yang berbeda. Sementara permasalahan yang dicoba untuk diangkat dalam kaidah
adalah sama; yaitu seputar apakah fardlu kifayah akan menjadi fardlu ‘ayn ketika tengah
dilaksanakan.

Respon jawaban yang berbeda walaupun berasal dari pertanyaan yang sama ini, muncul
karena tinjauan masing-masing berbeda satu sama lain. Dengan bentuk ini salah satu manfaat
yang dapat kita petik adalah kita dapat mengetahui kapan fardlu kifayah menjadi fardlu ‘ayn dan
dalam kasus apa saja sebuah konstruk fardlu kifayah tidak berubah setatusnya menjadi bagian
dari ibadah fardlu ‘ayn.

Dan dalam catatan pengembaraan eksperimen (istiqra’) hanya terdapat dua puluh kaidah
mukhtalaf yang dapat kita lacak dalam kitab-kitab syafi’iyyah.

Sekadar untuk diketahui, dan untuk memudahkan kita dalam mendalami kaidah fiqh
maupun fiqh secara langsung, dalam literature kitab-kitab fiqh klasik akan dijumpai satu
permasalahan tetapi terdapat berbagai varian jawaban. Seperti yang terdapat dijumpai dalam
kitab mahalli. Di sana, kita dapat menemukan satu latar masalah dengan varian jawaban yang
beragam. Bahkan kita dapat menjumpai sampai empat jawaban yang sama sekali berbeda antara
satu dengan yang lain. Salah satu tawaran alternative untuk memudahkan dalam rangka
mengetahui khilaf-khilaf ulama’ ini adalah dengan mempelajari kaidah mukhtalaf ini. Karena
kaidah ini sebenarnya adalah paket khusus pembahasan sebagian khilaf mereka.

2
Untuk mengetahui esensi kaidah-kaidah mukhtalaf ini dengan mudah, kita perlu
mengetahui beragam istilah yang dikenal dengan qawl, wajh, qawlani, wajhani, dan sebagainya.
Beberapa kosa kata ini merupakan petunjuk praktis untuk mengetahui dimana pendapat tersebut
diungkapkan, siapa yang menyampaikan sekaligus derajat kekuatannya sebagai pijakan hukum.

Yang perlu kita ketahui pertama kali, pengertian qawl berlainan dengan istilah wajh. Walaupun
keduanya sama-sama berarti pendapat, namun dalam literature fiqh terdapat perbedaan prinsip di
antara keduanya. Qawl adalah apa yang pernah ditulis atau difatwakan Imam al-Syafi’I, yang
pada akhirnya akan terbagi menjadi dua, yaitu qawl qadim dan qawl jadid.

Yang perlu diingat lagi adalah, bahwa qawl dan wajh juga akan terpilah kedalam pelbagai
bentuk istilah. Dengan mengenal nama-nama yang berbeda ini, secara otomatis akan member
pengertian yang berbeda pula.

Beberapa istilah yang sering digunakan di dalam kaidah-kaidah mukhtalaf adalah:

 Al-Ashah: adalah pendapat yang paling valid diantara kualifikasi pendapat-pendapat lain
dan pembandingnya dikenal dengan istilah al-shahih.

 Al-Azhhar: pendapat yang kevalidannya di atas al-shahih dal al-zhahir. Dalam pendapat
jenis ini, kejelasan ashl dan ‘illatnya atau salah satu dari keduanya kuat.

 Al-Shahih Adalah pendapat yang ashl dan ‘illat atau salah satu dari keduanya benar.

 Al-zhahir digunakan untuk menamakan pendapat yang ashl, illat atau salah satu dari
keduanya jelas.

 Al-Mu’tamad adalah pendapat dalam permasalahan hukum tertentu yang di jadikan


pegangan bagi ‘ulama yang mendukungnya, walaupun pendapat ini sangat mungkin
dinilai sebagai pendapat yang lemah bagi ulama’ yang lain.

3
A. Kaidah-Kaidah Mukhtalaf

Kaidah-kaidah yang mukhtalaf , artinya kaidah-kaidah yang masih diperselisihkan, dan


tarjihnya juga tidak sama. Terkadang juga ada cabang yang diperselisihkan tapi hanya sebagian,
atau karena masing-masing mempunyai dalil yang tidak dapat dikesampingkan. Dan kaidah-
kaidah yang seperti ini jumlahnya ada dua pulah, yaitu :

 Kaidah ke 1

Shalat jum’at shalat zhuhur apakah yang diringkas ataukah shalat yang yang berdiri sendiri?
Terdapat dua pendapat.

Dalam ranah kajian fiqh, Imam syafi’i melontarkan dua statemen yang berbeda mengenai
status shalat jum’at. Menurut statemen awal (qawl qadim), shalat jum’at merupakan shalat
dzuhur yang di ringkas rakaatnya menjadi dua. Sedangkan menurut statemen yang kedua(qawl
jadid), shalat jum’at merupakan shalat yang berdiri sendiri.

 Kaidah ke 2

Shalat dibelakang imam yang berhadas dan tidak diketahui keadaannya, apakah termasuk
shalat berjama’ah atau sendirian? Terdapat dua pendapat. Shalat yang dilakukan di belakang
imam yang hadas dan tidak diketahui keadaannya tetap shah. Berangkat dari asumsi ini
kemudian muncul dari dua wajh:

Pertama bahwa shalat yang dilakukan makmum tetap bernilai jamaah

Kedua shalat makmum dianggap sendirian karena shalat imamnya tidak shah.

Pendapat bahwa shalat mereka shalat jamaah, adalah pendapat yang lebih shaheh.

Kalau makmum mendapatkan imam sedang ruku’, kemudian mengikutinya (masbuq),


kemudian mengetahui tetang hadasnya imam sebelum salam dan memisahkan diri, maka yang
lebih shah adalah shalatnya dianggap shalat sendiri, dan rakaat pertama yang bersama dengan
imam (mengikuti ruku’nya imam ) dianggap tidak sah.

4
 Kaidah ke 3

Seseorang yang melakukan sesuatu yang bias merusak fardlu pada permulaan atau tengah-
tengah pelaksanaannya, tetapi tidak melakukan sesuatu yang merusak shalat sunnah, maka shalat
fardlunya batal? Kemudian apakah shalatnya bernilai shalat sunnah atau menjadi batal sama
sekali?terjadi dua pendapat.

Kaidah ini membahas tentang pelaksanaan ibadah fardlu yang pada awal ataupun di tengah-
tengah pelaksanaannya terjadi hal-hal yang merusak shalat yang menjadikannya tidak dapat
dinilai sebagai fardlu lagi.secara otomatis dengan melakukan hal semacam ini akan merusak
kefardluan tersebut, dalam hal ini, bahwa ada perbedaan dalam mengunggulkan dua pendapat
yang ada. Di antaranya furu’nya ialah : Apabila orang melakukan shalat fardlu kemudian karena
untuk dapat mengikuti shalat jamaah, maka ia salam setelah dua rakaat, maka shalatnya sah dan
menjadi shalat sunnah.

Apabila dalam melakukan shalat fardlu tadi dia sudah tahu bahwa aka nada shalat jamaah,
atau kalau dia membatalkannya itu, kemudian dia menukar fardlu dengan fardlu yang lain, atau
untuk berpindah kepada shalat sunnah dengan tanpa sebab dan sebagainya.

 Kaidah ke 4

Apakah pelaksanaan nadzar dijalankan seperti sesuatu yang wajib atau ja’iz? Ada dua
pendapat.

Di antara furu’ yang berkenan dengan kaidah ini, ialah ;

Nadzar shalat harus dilaksanakan seperti melaksanakan shalat wajib, sehingga harus
berdiri kalau mampu, demikian juga harus berniat waktu masih malam kalau berpuasa dan harus
cukup umur dan tidak cacatkalau qurban.

Nadzar puasa hari tertentu dapat dilaksanakan dengan cara tidak seperti dalam melakukan
puasa ramadlan yang berhubungan dengan niat yan wajibnya membayar kafarat kalau
mengadakan hubungan deksuil diwaktu siang, sedangkan shalat dua rakaat dilaksanakan dengan
cara melaksanakan shalat empat rakaat satu malam, baik dengan dua tasyahud atau satu tasyahud.

 Kaidah ke 5

Yang menjadi pertimbangan utama dalam akad, lafadznya ataukah maknanya? Terjadi khilaf.

Ada beberapa perbedaan pendapat. Qawl awwal menamai yang menjadi pertimbangan utama
dalam akad adalah lafadnya.

5
Termasuk dari furu’ kaidah ini ialah:

Sedangkan qawl tsani menamai yang menjadi pertimbangan utama dalam akad adalah maknanya.

Contoh : Apabila zaid memberi uang kepada Umar dengan syarat agar umar memberi sarung
pada Zaid. Ini menurut qawl awwal akadnya menjadi akad hibbah sedangkan menurut qawl tsani
aqadnya menjadi aqad bay’.

 Kaidah ke 6

Barang pinjaman yang digadaikan, apakah yang lebih dominan padanya hukum
dlaman(jaminan) atau hukum ‘ariyah (pinjaman)? Terdapat dua pandangan.

Dua transaksi pada satu obyek dapat mempengaruhi penentuan status manakah yang lebih
dominan baginya. Apakah ia akan dilihat sebagai barang pinjaman yang harus diganti rugi, jika
terdi kerusakan, ataukah sebagai barang gadaian. Kalau barang tersebut dianggap sebagai barang
pinjaman maka boleh/dapat diminta kembali, terapi kalau sebagai barang jaminan , tidak dapat
diminta kembali, inilah yang lebih sah.

Apabila barang rusak ditangan pemberi gadai, maka yang menggadaikan yang harus
menanggung, karena sebagai barang pinjaman.

 Kaidah ke 7

Apakah setatus hiwalah adalah bay’ atau istifa’ (memenuhi hak orang lain)? Terjadi
perbedaan pendapat.

Dalam menentukan esensi hiwalah ada banyak perbedaan; dalam satu tempo ia lebih cenderung
bersetatus bay’, dan pada sisi yang lain ditentukan dengan istifa’. Apabila ada orang yang
membeli barang dengan harga tertentu, kemudian penjual memindahkan pembayaran barang
tersebut kepada orang lain kemudian terjadi pembeli mengembalikan barang karena ada cacatnya,
maka kalau dianggap sebagai istifa’ tidak boleh dikembalikan, tetapi kalau sebagai jual beli
boleh barang dikembalikan.

 Kaidah ke 8

Apakah pembahasan hutang (ibra’) adalh pengguguran hutang ataukah pemberian milik
terhadap hutang? Terdapat dua qawl. Pembebasan hutang yang tidak diketahui jumlahnya oleh
orang yang membebaskan, maka disini yang lebih sah adalah pemberian untuk dimiliki, tidak sah
pengguguran.

6
Sedangkan kalau pemberi pembebasan tahu jumlah hutang, maka yang lebih sah adalah isqot
(pengguguran).

 Kaidah ke 9

Apakah iqalah termasuk pembatalan jual beli atau jual beli kembali? Terdapat dua qawl.
Membeli budak kafir dari penjual kafir, kemudian budak menjadi muslim dan penjual
menghendaki iqolah.

Kalau iqolah itu merupakan jual beli , tidak sah iqolah. Tetapi kalau iqolah itu dianggap
sebagai pembatalan jual beli, maka sah seperti kalau mengembalikan barang pembelian karena
ada cacat.

Kalau iqolah itu dianggap sebagai fasakh, maka tidak perlu ijab Kabul, sedangkan kalau
dianggap sebagai bay’ maka harus ada ijab Kabul.

 Kaidah ke 10

Maskawin yang telah dinyatakan dalam akad sebelum diterima oleh istri, apakah dijamin
oleh suami berdasarkan akad atau dijamin sebagai barang yang diambil dari tangan istri?
Terdapat dua pandangan.

Menurut qawl ashah tidak boleh menjual mahar sebelum diserahkan kepada istri, berdasar
bahwa hal itu adalah dlaman al aqd. Sedangkan menurut pendapat yang kedua dinyatakan shah,
karena berdasar pada dlaman al yad.

 Kaidah ke 11

Apakah talak raj’I dapat memutus ikatan pernikahan atau tidak? Terdapat dua pendapat.

Seandainya suami mempergauli bekas istri masih dalam iddah, kemudian baru merujuknya,
maka wajib membayar mahar menurut pendapat yang mengatakan bahwa talak raj’I adalah
memutuskan pernikahan.

Kalau suami meninggal, istri tidak boleh memandikannya menurut pendapat yang lebih sah, tepi
menurut pendapat kedua, bolem memandikan seperti masih sebagai istri.

7
 Kaidah ke 12

Apakah dzihar ebih menyerupai talak atau sumpah?

Apabila seorang suami mendzihar kepada empat istrinya sekaligus dengan satu
pernyataan; “kalian semua bagiku seperti punggung ibuku”. Dengan ucapannya ini, menurut
qawl jadid ia wajib membayar empat kafarah, Karena lebih diserupakan dengan thalak.

Dzihar yang dibatasi dengan waktu, menurut qawl ashah tetap sah sebagaimana sumpah.
Tetapi kalau disamakan dengan thalak, tidak sah.

 Kaidah ke 13

Apakah fardlu kifayah berubah menjadi fardlu ‘ayn ketika telah dikerjakan atau tidak?
Terdapat khilaf.

Pendapat yang lebih sah, shalat jenazah apabila seseorang sudah mulai mengerjakannya,
maka haram baginya untuk meninggalkannya. Menurut Imam Ghozali, yang lebih soheh selain
shalat jenazah dan jihad maka fardlu kifayah tetap fardlu, walaupun sudah dimulai
mengerjakannya.

 Kaidah ke 14

Sesuatu yang hilang kemudian kembali, apakah hukumnya seperti yang tidak hilang ataukah
seperti yang tidak kembali (barang baru).

Wanita yang telah ditalak sebelum dipergauli, hilang pemilikannya atas shodaq. Kalau
suaminya kembali, maka kembali pula hak pemilikannya terhadap shodaq seperti apa adanya
shodaq semula.

Harta yang pada akhir tahun harus dizakati kemudian hilang di tengah tahun, dan kemudian
kembali, maka tetap pada akhir tahun harus di zakati, seperti tidak pernah hilang.

 Kaidah ke 15

Hal yang dijadikan tolok ukur peristiwa, apakah waktu yang sedang berlangsung ataukah
waktu yang akan dating? Terjadi khilaf.

Apabila seseorang bersumpah benar-benar akan memakan sepotong roti besok paginya,
tetapi sebelum dating waktunya dia telah menghancurkan roti tersebut.

8
Adakah dia dihukumi melanggar sumpahnya pada waktu itu, ataukah menunggu setelah
datang waktu paginya?

Dua pendapat ini yang lebih sah adalah pendapat yang kedua.

 Kaidah ke 16

Ketika sifat khusus dari suatu hal dihukumi batal, apakah karakter umumnya masih berlaku?
Terdapat khilaf.

Ketika seseorang melakukan ihram haji pada waktu selain bulan haji, maka menurut qawl
ashah hajinya batal dan menurut pokok keumumannya sebagai ihram masih tetap ada, sedangkan
jika ia melakukan umrah, amka umrahnya sah. Ketetapan itu karena memandang ihram secara
umum.

 Kaidah ke 17

Apakah janin digolongkan sebagai sesuatu yang diketahui, atau tidak? Terjadi khilaf.

Menjual binatang yang bunting tidak dengan anak yang dikandungnya. Menurut pendapat
yang ebih kuat tidak sah, karena yang dikandung adalah sesuatu yang tidak diketahui, sebab
sesuatu yang tidak diketahui kemudian dikecualikan daripadanya dengan sesuatu yang tidak
diketahui, maka menjadilah yang diketahui menjadi tidak diketahui.

 Kaidah ke 18

Apakah sesuatu yang jarang terjadi dihukumi sesuai dengan jenisnya, atau memiliki hukum
sendiri? Terjadi khilaf di dalamnya.

Menyentuh alat kelamin laki-laki yang sudah tetpotong, apakah masih membatalkan wudlu
atau tidak?. Menurut qawl ashah masih dapat membatalkan, sebab walaupun telah terputus
namun nama dzakar tidak terlepas dari potongan itu. Dengan demikian potongan itu masih
termasuk jenis dzakar. Sehingga hukumnya mengikuti jenis dzakar yang belum terpotong.
Sementara pembanding qawl ashah menyatakan tidak membatalkan, karena dengan terputusnya
dzakar, maka ia sudah dapat dikatakan sebagai dzakar yang tersendiri, bukan termasuk jenis
dzakar umum.

9
 Kaidah ke 19

Apakah orang yang mampu meraih keyakinan diperkanankan berijtihad dan mengambil
prasangka yang kuat (zhan)? Terjadi khilaf. Orang mempunyai dua bejana air, yang satu najis
dan yang satu lagi suci. Dia dapat dengan yaqin untuk memperoleh air yang suci karena dia
ditengah laut misalnya. Dalam hal ini dia masih diizinkan untuk berijtihad, meneliti berdasarkan
dhon mana dari dua bejana tadi yang suci.

Demikian juga orang m,empunyai dua baju, yang satu suci, yang satu najis.

Dia boleh meneliti mana yang suci untuk dipergunakan, walaupun dia dapat berganti
dengan pakaiannya yang lain yang jelas suci.

 Kaidah ke 20

Apakah penghalang baru keberadaannya dianggap sebagai suatu yang menyertai? Terjadi
khilaf.

Penghalang adalah sesuatu yang dengan kemunculannya dalam pandangan syara’ dapat
menghalangi wujudnya hukum tertentu yang disebut mani’ li al hukmi atau dapat menjadikan
hukum sebab akibat dianggap tidak berlaku yang dikenal dengan mani’ li al sabab.

Contoh: Menambah air sehingga menjadi banyak terhadap air yang musta’mal; sembuhnya orang
yang istihadloh ditengah-tengah menjalankan shalat; murtadnya orang yang sedang ihram; niat
ma’shiat dalam bepergian taat, maka: Hukumnya air menjadi suci dan dapat mensucikan;
shalatnya batal; demikian juga ihramnya, dan tidak ada rukhshoh bagi musafir yang demikian.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih, Jakarta: Kalam Mulia, 2008

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid fiqhiyyah dalam perspektif fiqh, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2004.

Bisyri Mushthafa, Tarjamah Nadzam Al-Faraidul Bahiyyah fi Al-Qawaid Al Fiqhiyyah,


Rembang: Menara Kudus.

Maimun Zubair, Formulasi Nalar fiqh Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Kediri; Purna Siswa III
Aliyah 2005

muhaimin

11

Anda mungkin juga menyukai