Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Hukum Perseroan Syari’ah

Makalah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Pemenuhan Tugas Terstruktur Pada Mata

Kuliah Hukum Perbankan Syari’ah

Dosen Pengampu: Bung Hijaj Sulthonuddin, M.H

Tim Penyusun:

Ecep Imam Maulid 21110018

Fathi Abdul Bari 21110026

M. Almi Fadhilah 21110023

Siti Nuraeni Salisah 21110028

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

STAI AL-MUSADDADIYAH GARUT

1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah maha pengatur sekalian alam, Ialah sang maha kuasa yang
menciptakan segalanya, dan Ialah tuhan yang maha pemurah yang senantiasa memberikan
nikmat kepada hambanya secara melimpah.. Atas berkat dan rahmatnya alhamdulillah kita
semua bisa menikmati kenikmatan yang tak terhingga berupa iman dan islam. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni nabiyyuna
Muhammad SAW.
Alhamdulillahirabbil’alamin, penyusunan makalah berjudul “Hukum Perseroan
Syari’ah” ini telah selesai di susun. Kami berharap penyusunan makalah ini bisa menjadi
jembatan pemahaman dan menjadi rujukan untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi
para pembaca.
Kami selaku tim penyaji menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat banyak kecacatan, baik dari segi tekstual maupun kontekstual. Oleh karena itu, kami
selaku tim penyaji mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekeliruan kami tersebut, kiranya
para pembaca sekalian sudi untuk memberikan kritik dan saran yang membangun untuk bahan
intropeksi kami kedepannya.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada para pembaca atas perhatiannya.

Garut, 10 November 2022

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................. 1
BAB II ....................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 2
A. Definisi Syirkah .............................................................................................................. 2
B. Dasar Hukum Syirkah ..................................................................................................... 3
C. Pembagian Perseroan ...................................................................................................... 4
D. Syarat – Syarat Syirkah ‘Uqud ..................................................................................... 10
E. Hukum Syirkah ‘Uqud .................................................................................................. 12
F. Hal – Hal Yang Membatalkan Syirkah ......................................................................... 16
BAB III .................................................................................................................................... 18
PENUTUP ............................................................................................................................... 18
A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan
syirkah atau perseroan dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan
tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk membuat sebuah makalah yang berjudul
tentang “syirkah” guna untuk memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca
makalah ini. Pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem
syirkah atau perseroan dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu
sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan
dalam empat akad utama, yaitu al-musyârakah, al-mudhârabah, al-muzâra’ah dan al-
musâqah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyârakah saja.
Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyârakah dan
al-mudhârabah, sedangkan al- muzâra’ah dan al-musâqah di pergunakan khusus untuk
pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dari syirkah?
2. Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3. Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?
4. Bagaimanakah macam-macam dari syirkah?
5. Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah?

C. Tujuan
1. Memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.
2. Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3. Memberikan informasi tentang rukun dan syarat dari syirkah.
4. Memberikan informasi tentang macam-macam dari syirkah.
5. Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Syirkah

Secara etimologi, syirkah ataau perseroan berarti :

‫عض ِه َما‬
ِ ‫عن َب‬
َ ‫ان‬ ِ َ‫ا َ ِال خت ََِلطُ اي خَلطُ ا َ َح ِد ال َمال‬
ُ ‫ين ِبا َال خِ ِر ِب َح‬
ِ َ‫يث َال َيمت َز‬

“ percampuran, yakni bercampurnya salah satu dar dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat
dibedakan antara keduanya”

Menurut terminologi, ulama fiqh beragam pendapat dalam mendefinisikan syirkah,


antara lain :

a) Menurut Malikiyah :1
‫ف قِي َما ِل‬ ّ َ ‫صاحِ ِب ِه فِي اَن َيت‬
َ ‫ص َّر‬ َ ‫َين ِل‬ َّ ‫س ُه َما اَي اَن َيا ْ ذَنَ كُ ُّل َواحِ ٍد مِ ن ا‬
ِ ‫ش ِرك‬ ُ ُ‫ص ُّر فِ لَ ُه َما َم ًعا اَنف‬
َ َّ ‫ِي اِذَن في ِ الت‬
َ ‫ه‬
ِ ّ ‫لَ ُه َما َم َع اِبقَاءِ َح‬
َ َّ ‫ق ا لت‬
‫ص ُّرفِ ِلكُ ٍّل ِمن ُهمِ ا‬
Artinya :
“ Perseroan adalah izin untuk mendayagunakan ( tasharruf ) harta yang dimilki dua
orang secara bersama – sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan
kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing -
masing memiliki hak untuk bertasharruf.
b) Menurut Hanabilah :
َ َ ‫ق اَو ت‬
‫ص ُّرف ٍِاالجتِ َماعُفي ِ ا‬ ٍ ‫فِي اِستِ َحا‬
Artinya :
“ Perimpunan adalah hak ( kewenangan ) atau pengolahan harta ( tasharruf ) .
c) Menurut Syafi’iyah :
ُّ ‫علَى ِج َه ِة ال‬
ِ‫شيُوع‬ َ ‫َين فَاَكث َ َر‬ ِ ّ ‫ثُبُوتُ ال َح‬
ّ ِ ‫ق في‬
ِ ‫شيءٍ ِالثن‬
Artinya :
“ Ketetapan hak pada sesuatu yang dimilki dua orang atau lebih dengan cara yang
masyhur ( diketahui ) “
d) Menurut Hanafiyah :

1
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 792

2
‫بح‬
ِ ‫لر‬
ّ ِ ‫اس ا ل َما ِل َو ا‬ ِ ‫عق ٍد َبينَ ال ُمتَشَا ِرك‬
ِ ‫َين فِي َر‬ َ ٌ ‫ارة‬
َ ‫عن‬ َ ‫ِع َب‬
Artinya : Ungkapan tentang adanya tranaksi ( akad ) antara dua orang yang bersekutu
pada pokok harta dan keuntungan.

Apabila diperhatikan secara seksama, definisi yang terakhir dapat dipandang


paling jelas, karena mengungkapkan hakikat perseroan, yaitu transaksi ( akad ) .
Adapun pengertian lainnya tampaknya hanya menggambarkan tujuan, pengaruh, dan
hasil perseroan.2

B. Dasar Hukum Syirkah

Landasan syirkah ( perseroan ) terdapat dalam Al – Qur’an, Al – Hadits , dan


Ijma’, sebagai berikut :
a) Al – Qur’an
ِ ُ‫فَ ُهم شُركَا ُء فِى ا لثُّل‬
‫ث‬
“Mereka bersekutu dalam yang sepertiga” ( QS. An – Nisa : 12 )

...‫ت َو قَلِي ٌل َما هُم‬


ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫عض ا َِّال ا لَّذِينَ ا َمنُو ا َو‬
َّ ‫عمِ لُوا ل‬ ٍ َ‫علَى ب‬ َ َ‫َواِ ّن َكثِيرا ً مِ نَ ا ل ُخل‬
ُ ‫طاءِ لَيَبغِي بَع‬
َ ‫ض ُهم‬
“ Sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang bersrikat itu sebagian mereka
berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang yang beriman dan
beramal shaleh dan amat sedikitlah mereka ini.” ( QS . Shad : 24 )
b) As – Sunnah
‫َين َما لَم يَ ُخن ا َ َحدُهُ َما‬
ِ ‫ش ِريك‬ ُ ‫ اَنَا ثَال‬: ‫ع َّز َو َج َّل يَقُو ُل‬
َّ ‫ِث ا ل‬ ّ ‫يرة َ َرفَ َعهُ اِلَى النَّ ِب‬
َ َ‫اِ َّن هللا‬: ‫ فَا َل‬.‫م‬. ِ ‫ي‬ َ ‫عن ا َ ِبي ه َُر‬
َ
) ‫صا حِ َبهُ فَ ِاذَا خَانَهُ خ ََرجتُ ِمن َبينِ ِه َما ( رواه ابو داود و ا لحاكم و صححه اسناده‬
َ
“ Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SWT berfirman “ Aku adalah
yang ketiga pad dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari keduanya tidak
mengkhianati temannya, Aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah
seorang mengkhianatinya” ( HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan
sanadnya ).
Maksudnya, Allah SWT akan menjaga dn menolong dua orang yang bersekutu
dan menurunkan berkah pada pandngan mereka. Jika salah seorang yang bersekutu itu
mengkhianati temannya , Allah SWT akan menghilangkan pertolongan dan keberkahan
tersebut.

2
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hal. 185

3
Legalitas perseroan pun diperkuat, ketika Nabi diutus , masyarakat sedang
melakukan perkingsian. Beliau besabda :
َ ‫َين َما لَم يَتَخ‬
‫َاونَا‬ َّ ‫علَى ا ل‬
ِ ‫ش ِريك‬ َ ِ‫يَدُ هللا‬
“Kekuasaan Allah selalu berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya
tidak berkhianat” ( HR. Bukhari dan Muslim ).
c) Al – Ijma’
Umat Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda
pendapat tentang jenisnya.

C. Pembagian Perseroan
Syirkah itu ada dua macam, syirkah amlak dan syirkah ‘uqud:

1. Perseroan ‘Amlak , adalah dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya
akad. Perseroan ini terbagi menjadi dua, yaitu :
➢ Syirkah Jabariyah, yaitu perseroan yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih
yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya , seperti A dan B menerima
warisan sebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki bersama oleh
A dan B secara otomatis ( paksa ), dan keduanya tidak bisa menolak.
➢ Syirkah Ikhtiyariah, yaitu perseroan yang muncul karena adanya kontrak dari
dua orang yang bersekutu. Contoh A dan B membeli sebidang tanah. Dalam hal
ini pembeli yaitu A dan B bersama – sama memiliki tanah tersebut secara
sukarela tanpa ada paksaan dari pihak lain.
2. Perseroan ‘Uqud, adalah bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih
untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.
1) Ulama Hanafiyah membagi syirkah ‘uqud menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Syirkah amwal
a) Mufawadhah
b) ‘inan
b. Syirkah a’mal
a) Mufawadhah
b) Inan
c. Syirkah Wujuh
a) Mufawadhah
b) Inan
2) Menurut Hanabilah, perseroan dibagi menjadi lima:

4
a) Perseroan ‘Inan
b) Perseroan Mufawadhah
c) Perseroan ‘Abdan
d) Perseroan Wujuh
e) Perseroan Mudharabah.
3) Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, syirkah terbagi menjadi 4 bagian , yaitu :
a) Syirkah ‘Inan
b) Syirkah Mufawadhah
c) Syirkah Abdan
d) Syirkah Wujuh3
Ulama fiqh sepakat bahwa perseroan ‘inan diperbolehkan , sedangkan bentuk –
bentuk lainnya masih diperselisihkan.
Ulama Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan Imamiyah membatalkan semua syirkah
kecuali syirkah ‘inan dan mudharabah.
Ulama Hanabilah membolehkan semua syirkah kecuali syirkah mufawadhah.
Ulama Malikiyah membolehkan semua syirkah kecuali syirkah wujuh dan mufawadhah
yang disebutkan ulama Hanafiyah.
Pada bagian ini akan dijelaskan jenis – jenis syirkah menurut Syafi’iyah, yang
meliputi :
1) Syirkah ‘Inan
Definisi syirkah ‘inan sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah
sebagai berikut :
ّ ِ ‫علَى اَن يَت َّ ِج َرا فِي ِه َو ا‬
‫لرب ُح بَينَ ُه َما‬ َ ‫َان فِي َما ٍل لَ ُه َما‬
ِ ‫ِي اَن يَشت َِركَ ا ثن‬
َ ‫َو ه‬
Syirkah ‘inan adalah suatu perssekuutan atau kerja sama antara dua pihak dengan harta
( modal ) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi di antara mereka.4
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah ‘inan adalah persekutuan
dalam modal dan keuntungan, termasuk kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah
‘inan seorang persero tidak hanya dibenarkan bersekutu dalam keuntungan saja,
sedangkan dalam kerugian ia dibebaskan.
Dalam hal modal yang diinvestasikan sama, maka keuntungan yang dibagikan boleh
sama antarampara peserta dan boleh pula berbeda. Hal tersebut tergantung pada

3
Ibn Rusyd, Bidayah Al – Mujtahid wa Nihayah Al – Muqtashid, juz II , hlm. 248
4
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, Dar Al – Fikr, Beirut, cet III , 1981, hlm . 295

5
ksepakatan yang dibuat oleh para peserta pada waktu terbentuknya akad. Adapun dalam
hal kerugian maka perhitungannya disesuaikan pada modal yang diinvestasikan. Hal ini
sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
ِ َ‫در َاالل‬
‫ين‬ ِ َ‫لى ق‬
َ ‫ع‬َ ُ‫الضيعَة‬ َ ‫علَى َما ش ََر‬
ِ ‫ َو‬, ‫ط‬ َ ‫الرب ُح‬
ِّ
“ Keuntungan diatur sesuai dengan syarat yang mereka sepakati, sedangkan kerugian
tergantung pada besarnya modal yang diinvesatsikannya.”5
Contoh : A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan
bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd);
sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal
syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya
50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.

2) Syirkah Mufawadhah
Muwafadhah dalam arti bahasa adalah al – musawah , yang artinya “ persamaan
“. Syirkah yang kedua ini dinamakan syirkah muwafadahah karena di dalamnya
terdapat unsur persamaan dalam modal, keuntungan, melakukan tasharruf, dan lain –
lainnya.
Menurut satu pendapat, mufawadhah diambil dai kata at – tafwidh ( penyerahan
), karena masing – masing peserta menyerahkan hak untuk melakukan tsharruf kepada
teman serikat yang lainnnya6 .
Dalam arti istilah, syirkah mufawadhah didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili
sebgai berikut :

ِ ‫ِي فِى الِصطِ ََل‬


‫ ان يتعاقد اثنان فا كثر على ان يشتركا في عمل بشرط ان يكون متساويين في رأس مالهما و‬: ‫ح‬ َ ‫َوه‬
.‫تصرفهما و دينهما اي ( ملتهما ) ويكون كل واحد منهما كفيَل عن االخر فيما يجب عليه من شراء و بيع‬
Syirkah mufawadhah menurut istilah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih untuk bersekutu ( bersama – sama ) dalam mengerjakan sesuatu perbuatan

5
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 797
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296

6
dengan syarat keduanya sama dalam modal, tasarruf, dan agamanya, dan masing –
masing peserta modal menjadi penanggung jawab atas yang lainnya di dalam hal – hal
yang wajib dikerjakan , baik berupa penjualan maupun pembelian.7
Dari defiinisi tersebut juga dapat diketahui bahwa dalam syirkah mufawadhah
terdapat syarat – syarat yang harus diketahui , yaitu :
1) Persamaan dalam modal. Apabila salah satu peserta modalnya lebih besar daripada
peserta yang lainnya. Misalnya A modal yang ditanamnya Rp. 10.000.000,00
sedangkan B hanya Rp. 5.000.000,00 , maka syirkah hukunya tidak sah.
2) Persamaan dalam hak tasarruf. Maka tidak sah syirkah mufawadhah antara anak
yang masih di bawah umur dan orang dewasa. Karena hak tasarruf keduanya tidak
sama.
3) Persamaan dalam agama. Dengan, tidak sah syirkah mufawadhah antara orang
Muslim dan orang kafir.
4) Tiap – tiap peserta harus menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainnya
dalam hak dan kewajiban sekaligus sebagai wakil. Dengan demikian, tindakan
hukuk peserta yang satu tidak boleh lebih besar daripada tindakan peserta hukum
yang lainnya.8
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, syirkan mufawadhah ini hukumnya
dibolehkan. Hal ini karena syirkah mufawadhah banyak dilakukan oleh orang selama
beberapa waktu, tetapi tidak seorangpun yang menolaknya. Sedangkan Imam Syafi’i
tidak membolehkannya. Beliau mengatakan :

ِ َ ‫ض ِة بَاطِ لَةً فَ ََل بَاطِ َل ا‬


‫عرفُهُ فِي الدُّنيَا‬ َ ‫اِذَا لَم تَكُن شِر َكةُ ال ُمف‬
َ ‫َاو‬

“ Apabila syirkah mufawadhah tidak dianggap batal, maka tidak ada lagi sesuatu yang batal
yang saya ketahui di dunia ini”9

Syafi’i berpendapat bahwa syirkah mufawadhah adalah suatu akad yang tidak ada dasrnyya
dalam syara’. Untuk mewujudkan persamaan dalam berbagai hal merupakan hal yang sulit,
karena di dalamnya da unsur gharar ( tipuan ) dan ketidakjelasan. Sedangkan hadits yang

7
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 798
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz III, hlm. 296

7
digunakan sebagai dasar oleh Hanafiah, merupak hadits yang tidak sha 10hih dan tidak dapat
diterima.

3) Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh didefinisikan oleh Sayyid Sabiq adalah " pembelian yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih tanpa menggunakan modal, dengan berpegang pada
penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan
ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan.
Dari defiinisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah wujuh adalah suatu
syirkah atau kerja sama antara dua orang atu lebih nutuk membeli suatu barang tanpa
menggunakan modal. Mereka berpegang pada penampilan mereka dan kepercayaan
para pedagang tehadap mereka. Dengan demikin, transaksi yang dilakukan adalah
dengan cara berutang dengan perjanjian tanpa pekerjaan dan tanpa harta ( modal ).
Menurut Hanafiyah,, Hanabilah, Zaidiyah, syirkah wujuh hukumnya boleh,
karena bentuknya berupa satu jenis pekerjaan. Kepemilikan terhadap barang yang
dibeli boleh berbeda antara satu peserta dengan peserta lainnnya. Sedangkan
keuntungan dibagi natara para peserta, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing –
masing dalam kepemilikan atas barang yang dibeli. Akan tetapi, Malikiyah, Syafi’iyah,
dan Zhahiriyah berpendapat bahwa syirkah wujuh hukumnya batal. Alasan mereka
adalah bahwa syirkah selalu berkaitan dengan harta dan pekerjaan, sedangkan dalam
syirkah wujuh, keduanya ( harta dan pekerjaan ) tidak ada. Yang ada hanya penampilan
para anggota serikat, yang diandalkan untuk mendapatkan kepercayaan dari para
pedagang. 11
4) Syirkah Abdan
Syirkah abdan didefinisikan oleh Sayyid Sabiq adalah kesepakatan antara dua
orang atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya
dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa syirkah abdan ( syirkah a’mal )
adalah suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu
pekerjaan bersama – sama, dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan
kesepakatan yang disepakati bersama. Contohnya, tukang batu dengan beberapa
temannya berserikat ( bekerja sama ) dalam mengerjakan pembangunan sebuah gedung

11
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 802

8
sekolah. Kerja sama tersebut bisa dalam satu jenis pekerjaan yang sama, seperti tukang
dengan tukang batu, dan bisa juga dalam jenis pekerjaan yang berbeda. Misalnya kerja
sama antara tukang batu dengan tukang kayu dalam mengerjakan pembangunan sebuah
gedung kantor.
Menurut Malikiyah, Hanafiah, Hnabilah, dan Zaidiyah, syirkah ‘abdan
hukumnya boleh, karena tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan. Dalil
dibolehkannya syirkah ‘abdan adalah hadits Ibnu Mas’ud :
ُ ‫ين َولَم ا َ ِجي ْء اَنَا َوعُ َّم‬
‫ار‬ َ ‫سعدٌ بِاَس‬
ِ ‫ِير‬ َ ‫ فَ َجا َء‬,‫در‬
ٍ َ‫وم ب‬ ِ ُ‫سعدٌ فِي َما ن‬
َ َ‫صيبُ ي‬ َ ‫ اِشت ََركتُ انَا َو‬: ‫عبدِهللا ب ُن َمسعُود قَا َل‬
َ ‫ع َّما ُر َو‬ َ
ٍ‫بِشيء‬
Dari Abdillah Ibnu Mas’ud ia berkata : “Saya , Ammar, dan Sa’ad bersekutu
dalam hasil yang diperoleh pada Perang Badar. Maka Sa’ad datang dengan membawa
dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar tidak memperoleh apa – apa ( HR. An
– Nasa’i ).
Hadis ini menggambarkan tentang kerja sama antara para sahabat dalam hasil
harta rampasan perang. Kerja sama tersebut dilakukan dengan menggunakan tenaga,
tidak menggunakan ( modal ). Ini menunjukkan bahwa syirkan abdan itu dibolahkan.
Hanya saja Malikiyah mengajukan beberapa syarat untuk keabsahan syirkah abdan ini,
yaitu :
a) Pekerjaan atau profesi antara para peserta harus sama. Apabila para profesinya
berbeda maka hukumnya tidak boleh, kecuali garapan pekerjaannya saling
mengikat. Misalnya, tukang kayu dan tukang batu mengerjakan sebuah rumah.
Dalam contoh ini hukum syirkah nya dibolehkan karena pekerjaan yang satu
bergantung pada pekerjaan yang lainnya.
b) Tempat pekerjaannya juga harus satu lokasi. Apabila lokasi keduanya berbeda,
maka syirkahnya tidak sah.
c) Pembagian upah harus sesuai dengan kadar pekerjaan yang disyaratkan bagi setiap
anggota serikat.12
Menurut Syafi’iah, Imamiyah, dan Zufar dari Hanafiah, syirkah abdan
hukumnya batal, karena menurut mereka syirkah itu hanya khusu dalam modal saja,
bukan dalam pekerjaan.

12
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 803 - 804

9
D. Syarat – Syarat Syirkah ‘Uqud

Ulama Hanafiah menetapkan syarat – syarat untuk syirkah ‘uqud. Sebagian dari
syarat –syarat tersebut ada yag berlaku umum untuk semua jenis syirkah ‘uqud, dan
sebagian lagi berlaku khusus untuk masing – masing jenis syirkah. Syarat – syarat itu
adalah sebagai berikut :
1. Syarat – syarat umum syirkah ‘uqud
Untuk keabsahan syirkah ‘uqud harus dipenuhi syarat – syarat sebagai berikut:
a) Tasarruf yang menjadi objek akad syirkah harus bisa diwakilkan
Dalam syirkah ‘uqud keuntungan yang iperoleh merupakan milik bersama yang
harus dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kepemilikan bersama dalam keuntungan
tersebut menghendaki agar setiap anggota serikat menjadi wakil dari anggota serikat
lainnya dalam pengelolaan harta ( modal ) , di samping bertindak atas namanya sendiri.
Atas dasar itu maka setiap anggota serikat memberikan kewenangan kepada anggota
serikat lainnya untuk melakukan tasarruf, baik dalam hal penjualan, pembelian maupun
penerimaan kontarak kerja. Dengan demikian, masing – masing peserta menjadi wakil
bagi peserta lainnya.
b) Pembagian keuntungan harus jelas
Bagian keuntungan untuk masing - masing anggota serikat nisabnya harus
ditentukan dengan jelas, misalnya 20 %, 10 %, 30 %, atau 40 %. Apabila pembagian
keuntungan tidak jelas, maka syirkah menjadi fasid, karena keuntungan merupakan
salah satu ma’qud ‘alaih.
c) Keuntungan harus merupakan bagian yang dimilki bersama secara keseluruhan,
tidak ditentukan untuk A 100, B 200 misalnya. Apabila keuntungan telah
ditentukan, maka akad syirkah menjadi fasid. Hal itu karena syirkah mengharuskan
adanya penyertaan dalam keuntungan, sedangkan penentuan kepada orang tertentu
akan menghilangkan hakikat perseroan.
2. Syarat khusus untuk syirkah Amwal
Untuk keabsahan syirkah amwal, baik syirkh ‘inan maupun syirkah
mufawadhah, harus dipenuhi beberapa syarat yang khusus, sebagai berikut :
a) Modal syirkah harus berupa barang yang ada
Menurut Jumhur fuqaha modal syirkah harus berupa barang yang ada, baik pada
waktu akad maupun pada waktu jual beli. Dengan demikian, modal tidak boleh berupa
utang, atau harta yang tidak ada di tempat akad. Hal ini karena tujuan syirkah adalah

10
memperoleh keuntungan yang didapatkan melaui tasharruf, sedangkan tasarruf tidak
bisa dengan utang atau barang yang tidak ada di tempat akad.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, modal dari para peserta tidak
harus dicampur menjadi satu, karena menurut mereka dalam syirkah yang penting
akdnya, bukan hartanya. Akan tetapi, menurut Zufar, Syafi’iyah, Zhahiriah, Zaidiyah,
dan Imamiyah, modal dari para peserta harus dicampur menjadi satu, sehingga tidak
bisa dibedakan antara modal yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan
arti syirkah adalah ikhthilath ( campur ), dan percampuran tidak akan terwujud apabial
harta masih dibedakan antara yang satu dengan yang lain. 13
b) Modal syirkah harus berharga secara mutlak
Ulama madzhab empat sepakat bahwa modal syirkah harus berupa sesuatu yang
bernilai secara mutlak, seperti utang. Oleh karena itu, tidak sah modal syirkah dengan
modal barang – barang, baik berupa benda tetap maupun benda bergerak. Hal ini karena
syirkah dengan modal barang, bukan uang menyebabkan ketidakjelasan dalam
pembagian keuntungan, dan hal itu memicu terjadinya perselisihandan pertentangan di
antara para peserta. Menurut Imam Malik, odal syirkahtidak mesti beruoa uang,
melainkan juga boleh dengan barang yang diperkirakan nilainya, baik jenisnya sama
atu berbeda. Alasannya adalah bahwa syirkah adalah dilakukan dengan modal yang
jelas, sehingga mirip dengan uang.14
3. Syarat untuk Syirkah Mufawadhah
Ulama Hanafiah mengemukakan syarat – syarat untuk syirkah mufawadhah
sebagai berikut :
a) Masing - masing anggota serikat memilki kecakapan untuk melakukan wakalah
dan kafalah, yaitu harus merdeka, baligh, berakal, dan cerdas.
b) Persamaan dalam modal, baik ukyran maupun harganya, sejak awal sampai akhir.
c) Segala sesuatu yang layak menjadi modal dari salah seorang anggota serikat harus
dimasukkan ke dalam syirkah
d) Pembagian keuntungan harus sama. Apabila pembagian keuntungan tidak sama,
maka syirkahnya bukan mufawadhah

13
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 806 - 807
14
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 808

11
e) Persamaan dalam kegiatan perdagangan. Ulama Hanafiyah dan Muhammad
mensyaratkan syirkah mufawadhah antara sesama Muslim, dan tidak boleh dengan
orang kafir.
f) Dalam melakukan transaksi ( akad ) harus menggunakan kata mufawadhah.15
Syarat – syarat yang disebutkan tadi harus dipenuhi untuk syirkah mufawadhah.
Apabila salah satu syarat tidak ada, maka syirkah akan berubah menjadi syirkah ‘inan,
karena syarat – syarat tersebut tidak diperlukan dalam syirkah ‘inan. Dengan demikian,
dalam syirkah ‘inan tidak disyaratkan kecakapan dalam wakalah, persamaan dalam
mdal dan keuntungan, dan persamaan dalam kegiatan perdagangan, sebagaimana yang
disyaratkan dalam syirkah mufwadhah.
4. Syarat – syarat Syirkah A’mal ( Abdan )
Apabila bentuk syirkah a’mal ini mufawadhah maka berlakulah syarat – syarat
syirkah mufawadhah, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Apabila bentuk
syirkah ‘inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah tersebut, kecuali
kecakapan dalam wakilah. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah mengatakan “ setiap
akad yang di dalamnya dibolehkan kafalah dibolehkan pula syirkah, dan apa yang tidak
boleh wakalah, maka tidak boleh pula syirkah.16
Apabila pekerjaan memerlukan alat, sedangkan alat itu dipakai oleh salah
seorang anggota serikat maka hal itu tidak mempengaruhi syirkah, dengan ketentuan
alat itu tidak disewakan untuk orang lain. Apabila alat itu disewakan unuk menggarap
pekerjaan lain maka upahnya untuk orang yang memilki alat, dan syirkah menjadi fasid.
5. Syarat – syarat Syirkah wujuh
Apabila bentuk syirkah ini mufawadhah maka berlakulah syarat – syarat syirkah
mufawadhah ( persamaan dalam berbagai hal ). Akan tetapi, apabila bentuknya syirkah
‘inan maka tidak ada persyaratan syirkah mufawadhah, seperti persamaan dalam
tasarruf, pembagian keuntungan, dan sebagainya.

E. Hukum Syirkah ‘Uqud

Hukum syurkah ‘uqud ada dua macam :


a) Shahih

15
Ahamad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah,hlm. 355
16
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 814

12
b) Fasid
Syirkah shahih adalah syirkah yang syarat – syarat sahnya terpenuhi. Sedangkan
syirkah fasid adalah syirkah yang syarat – syaratnya tidak terpenuhi atau rusak. Secara
garis besar, menurut Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, apabila syirkah fasid maka
keuntungan dibagi di antara para peserta, sesuai dengan modal masing – masing. Di
bawah ini akan di jelaskan hukum – hukum syirkah yang shahih, sesuai dengan jenis
syirkahnya yang meliputi syirkah ‘inan, mufawadhah, wujuh, dan abdan.
1. Hukum Syirkah ‘Inan
a) Syarat pekerjaan
Dalam syirkah ‘inan para anggota serikat dibolehkan membuat persyaratan –
persyaratan di antara mereka berkaitan dengan kegiatan usaha. Misalnya A dan B
berserikat dan keduanya melakukan jual beli yang hasilnya dibagi berdua dengan syarat
– syarat sesuai kesepakatan. Atau salah satu anggota serikat melakukan jual beli,
sedangkan yang lainnya tidak.
b) Pembagian keuntungan
Pembagian keuntungan disesuaikan dengan besanya modal yang
diinvestasikan, baik sama besarnya atau berbeda. Apabila modal yang diinvestasikan
sama maka keuntungan juga dibagi dengan kadar yang sama. Akan tetapi, apabila
modalnya berbeda maka keuntngannya juga berbeda. Contohnya, A dan B berkongsi
dengan masing – masing menanamkan modal Rp. 10.000.000,00. Apabila usahanya
mendapatkan keuntungan Rp. 4.000.000,00, maka A dan B masing – masing mendapat
bagian 50 % dari keuntungan, yaitu Rp. 2.000.000,00. Akan tetapi, apabila A
menanamkan modal Rp. 20.000.0000,00 sedangkan B Rp.10.000.000,00 dan
keuntunagan yang diperoleh Rp.4.500.000,00, maka pembagian keuntungan
diperhitungkan dengan modal yang diinvestasikan, yaitu A : 2/3 x Rp. 4.500.000,00 =
Rp. 3.000.000,00, sedangkan B : 1/3 x Rp.4.500.000,00 = Rp. 1.500.000,00.
Dalam keadaan modal yang diinvestasikan sama, menurut Ulama Hanfiyah
kecuali Zufar, boleh ditetapkan pembagian keuntungan bagi salah satu anggota serikat
berbeda ( lebih besar ) , namun dengan syarat harus disertai dengan imbalan pekerjaan
yang lebih besar daripada angoota serikat lainnya. Hal tersebut dikarenakan menurut
mereka pemberian keuntungan didasatkan atas mal ( modal ), oekerjaan ( amal ), dan
tanggung jawab ( dhaman ). Dalam hal ini keuntungan disebabkan oleh tambahan
pekerjaan. Hnabilah dan Zaidiyah sama pendapatnya dengan Hanafiyah, yaitu

13
dibolehkan pembagian keuntungan yang lebih besar kepada anggota serikat. Adapun
dalam hal kerugian, ulama sepakat dibagi sesuai dengan besar kecilnya modal. 17
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, Imamiah, dan Zufar dari
Hanafiyah, unntuk sahnya syirkah ‘inan disyaratkan keuntungan dan kerugian
diperhitungkan nisbahnya dengan modal yang ditanamnya, karena keuntungan
merupakan tambahan atas harta ( modal ) dan kerugian merupakan pengurangan atas
harta ( modal ). Dengan demikian, kerugian mnyerupai keuntungan.
c) Rusaknya Harta Syirkah
Menurut Hnafiyah dan Syafi’iyah, apabila harta ( modal ) syirkha seluruhnya
atau salah satunya rusak atau hilang sebelum digunakan untuk membeli atau sebelum
dicampur, maka syirkah menjadi batal. Hal tersebut dikarenakan ma’qud ‘alaih ( objek
) akad syirkah adalah harta ( modal ). Apabila ma’qud ‘aai rusak maka akad menjadi
batal. Apabila kerusakan terjadi setelah dibelanjakan maka akad syirkah tidak batal,
dan apa yang dibelanjakan menjadi tanggungan para peserta syirkah, karena mereka
melakukan pembelian dalam konteks syirkah.
Menurut Hanabilah, syirkah terjadi karena semata – mata telah dilakukannya
akad, dan secara otomatis semua modal peserta menyatu menjadi modal syirkah.
Apabila odal yang dimiliki oleh salah seorang peserta rusak atau hilang sebelum
dicampur atau dibelanjakan, maka kerusakan atau kehilangan tersebut diangap sebagai
kerusakan sebagian modal syirkah dan tidak membatalkan akad syirkah.
d) Melakukan Tasarruf dengan Harta Syirkah
Setiap anggota serikat dalam syirkah ‘inan berhak melakukan jual beli dengan
harta syirkah karena dengan telah dilakukannya akad syirkah, setiap anggota
mengizinkan kepada anggota lainnya untuk menjual harta syirkah. Di samping itu,
syirkah mengandung unsur wakalah, sehingga setiap anggota serikat bisa mewakili
anggota serikat lainnya dalam melakukan jual beli.
Di samping itu, setiap anggota serikat boleh menjual harta syirkh dengan tunai
atau utnag, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang.Akan
tetapi, ulama Syafi’iyah tidak membolehkan jual beli utang dengan modal syirkah.
Sedangkan di kalangan ulama Hanabilah dengan pendpat yang rajih membolehkan jual
beli utang dengan harta syirkah.18

17
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 816
18
Muwafiquddin bin Qudamah, Al – Mughni, juz 5 , Dar al – Kutub Al – ‘Ilmiyah, Beirut, hlm 129

14
Di antara bentuk – bentuk tasarruf yang boleh dilakukan menggunakan harta
syirkah, yaitu :
• Membelanjakan dan menitipkan hrta syirkah
• Memberikan modal kepada seseorang dengan cara mudharabah
• Memberkan kuasa kepada orang lain untuk melakukan jual beli
• Menggadaikan dan menerima gadai
• Melakukan hiwalah ( pemindahan utang )
• Menggunakan untuk ongkos perjalanan19
2. Hukum Syirkah Mufawadhah
Semua ketentuan – ketentuan yang brelaku dan boleh dilaksanakan oleh para
anggota serikat dalam syirkah ‘inan, juga boleh berlaku dalam syirkah mufawadhah.
Demikian pula hal – hal yang menjadi syarat sahsyirkh ‘inan juga menjadi syarat sah
syirkah mufawadhah, dan segala hal yang menyebabkan rusak atau batalnya syirkah
‘inan, juga mneyebabkan rusaknya syirkah mufawdhah. Hal ini karena syirkah
mufawadhah itu adalah syirkah ‘inan dengan diberi tambahan.
Adapun ketentuan – ketentuan khusus yang berlaku untuk syirkah mufawadhah
dalah sebagai berikut:
a) Pengakuan utang, dibolehkan atas dirinya atau rekannya
b) Penetapan kesamaan utang
c) Harus ada peminjaman harta
d) Maing – masing memiliki hak menuntut segala aturan yang berkaitan
dengan pembelian atau penjualan
e) Segala perbuatan yang tidak berhubungan dengan perseroan tidak boleh
diambil dari perseroan, seperti membayar denda, mahar, dan lain – lain.
3. Hukum Syirkah Wujuh
Dua orang yang bersekutu dalam syirkah wujuh, baik mufawadhah maupun
‘inan, dia berada pada posisi syirkah amwal, baik dalam hal perkara yang wajib
dikerjakan oleh keduanya atau yang boleh dikerjakan oleh salah satunya. Aoabila
syirkah dimutlakkan, ia menjadi syirkah ‘inan, sebab syirkah mutlak mengaruskan
‘inan.

19
Wahbah Zuhaili, Al – Fiqh Al – Islam Wa Adillatuhu,juz 4, hlm. 819-820

15
Jika syirkah wujuh berbentuk mufawadhah berarti berbagai hal yangg berkaitan
dengan jual beli, harus sama. Sebab mufawadhah melarang ketidaksamaan.
Ulama Hanabilah meskipun membolehkan syirkah wujuh, mereka
mensyaratkan harus berbentuk syirkah ‘inan. Jika melarang syirkah yang berbrntuk
mufawadhah, tidak ada ketetapan syara’ sebab mengandung unsur penipuan, seperti
pada jual beli gharar.
4. Hukum Syirkah A’mal
a) Berbentuk mufawadhah
Apabila syirkah a’mal berbentuk mufawadhah, setiap orang yang bersekutu
diwajibkan menanggung segala sesuatu yang berhubungan dengan perseroan. Contoh
syirkah mufawadhah, dua orang menerima suatu pekerjaan dengan cara bersekutu,
maka keduanya harus menanggung pekerjaan tersebut secara seimbang. Begitu pula
dalam keuntungan dan kerugian. Selain itu, hendaklah seorang di antara mereka dapat
menjadi penjamin rekannya.
b) Berbentuk ‘inan
Ketetapan pada syirkah ‘inan sebenarnya sama dengan syirkah mufawadhah di
atas apabila dihubungkan denagn keharusan menanggung pekerjaan secara baik. Satu
pihak boleh saja menyuruh rekannya kapan saja, sebagimana rekannya juga dapat
meminta upah kapan saja. Segi kebaikan dari syirkah ini adalah dapat menunutu
pekerjaan dari salah seorang yang bersekutu, untuk selanjutnya menjadi tanggung
jawab bersama.
c) Pembagian laba
Pembagian laba pada syirkah ini bergantung ada tanggungan bukan pada
pekerjaan, apabila salah seorang pekerja, sedang lainnnya tidak sakit atu pergi, maka
upah tetap iberikan sesuai dengan persyaratan yang mereka tetapkan.
d) Penanggungan Kerugian
Menanggung kerugian pada syirkah juga bergantung jaminan yang mereka
berikan.

F. Hal – Hal Yang Membatalkan Syirkah

Hal – hal yang membatalkan syirkah ada yang sifatnya umum dan berlaku untuk
semua syirka, dan ada yang khusus untuk syirkah tertentu, di antaranya :
1. Sebab – sebab yang membatalkan syirkah secara umum

16
a) Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut
dikarenakan akad syirkah merupakan akad jaiz dan ghairu lazim,
sehingga memungkinkan untuk difasakh.
b) Meninggalnya salah seorang anggota serikat.
Apabila salah seorang anggota serikat meninggal dunia, maka
syirkah menjadi batal atau fasakh karena batalnya hak milik, dan
hilangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf karena meninggal,
baik anggota serikat lainnya mengetahu atau tidak.
c) Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah ke darul
harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d) Gilanya peserta yang terus menerus, karena gila menghilangkan
status wakil dari wakalah, sedangkan syirkah mengandung unsur
wakalah.
1. Sebab – sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a) Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota
serikat sebelum digunakan untuk membeli barang dalam syirkah
amwal. Alasannya, karena yang menjadi barang transaksi adalah
harta, maka kalau rusak akan menjadi batal sebagaimana yang
terjadi pada transaksi jual beli.
b) Tidak ada kesamaan modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah mufawadhah pada
awal transaksi, perseroan batal. Sebab hal itu merupakan syarat
syirkah mufawadhah.20

20
Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, hal. 201

17
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal
yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa
ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung
bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan. Mengenai landasan hukum tentang
syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan penerimaan
(ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai syaratnya ada tiga yaitu, pertama,
ucapan: berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah
dicatat dan disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus kompeten dalam
memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak (dana dan kerja):
modal yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang bernilai sama. Para ulama
menyepakati hal ini.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk dan syirkah
‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan ada pula yang secara
khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ân al-Karîm.
Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1. Yogyakarta:
Bpfe-Yogyakarta, 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan Shidiq, Sapiudin. Fiqh Muamalat. Edisi 1.
Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010.
Al-baghâ, Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî adillah Matan al-Ghôyah wa al-taqrîb. Cet. 1.
Malang: Ma’had Sunan Ampel al-Ali Uin Maulana Malik Ibrahim, 2013.
Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1. Bogor: Ghalia Indonesia,
2012.
Sadique, Muhammad Abdurrahman. Essentials of Mushârakah and Mudhârabah. Edisi 1.
Internasional islamic University Malaysia: IIUM Press, 2009.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

19

Anda mungkin juga menyukai