Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Akad – akad dalam Fiqih Muamalah

Disusun Oleh :

FIRA YUNIAR

INSTITUT AGAMA ISLAM AS’ADIYAH


(IAIA) SENGKANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Akad – akad dalam Fiqih Muamalah” tepat
waktu.

Makalah “Akad-akad dalam Fiqih Muamalah” disusun guna memenuhi tugas yang
dierikan bapak/ibu dosen. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca tentang “Akad”.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu selaku


dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 14 Mei 2022

Penulis

[Date] ii
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................... ii


Daftar Isi .............................................................................................................................................................. iii
BAB I ....................................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah ..................................................................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................................................... 3
A. Pengertian Akad ................................................................................................................................... 3
B. Jenis-Jenis Akad .................................................................................................................................... 4
C. Hal-Hal yang membatalkan Akad .................................................................................................. 9
BAB III.................................................................................................................................................................. 11
PENUTUP ............................................................................................................................................................ 11
A. Kesimpulan ........................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................................... 12

[Date] iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan memerlukan
bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia
sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk
memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu
manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan
yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses
untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim
disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini
merupakan sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah karena itu merupakan
kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-
hari.

Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan


bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan
yang ada. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk membahas mengenai berbagai
hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita
sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian akad?
2. Apa saja macam-macam akad?
3. Apa saja yang menyebabkan batalnya akad?

[Date] 1
C. Tujuan Masalah
1. Untuk dapat mengetahui pengertian dari akad.
2. Untuk dapat mengetahui macam-macam akad.
3. Untuk dapat mengetahui penyebab batalnya akad.

[Date] 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Perikatan atau perjanjian, ataupun transaksi-transaksi lainya dalam konteks
fiqih muamalah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa arab al-
‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud yang mempunyai arti perjanjian, persetujuan kedua
belah pihak atau lebih dan perikatan.
Adapun secara terminology ulama fiqh melihat akad dari dua sisi yakni secara
umum dan secara khusus.

a. Secara umum
Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari
segi bahasa menurut pendapat ulama SAyafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah,
yaitu :
َُّ ‫ْن أ َ ُّْم اِ ْحتَا‬
‫ج ِإلَى‬ َّ ‫اء َوال‬
ُِّ َ‫طال‬
ُِّ ‫ق واليَمِ ي‬ ُِّ ‫صدَ َُّر ِبا َِرادَةُّ ُم ْنف َِردَةُّ ك َْال َو ْق‬
ُِّ ‫ف َواْ ِإلب َْر‬ َ ‫علَى فِ ْع ِل ُِّه‬
َ ُّ‫س َواء‬ َ ‫ُكلُّ َما‬
َ ‫عزَ َُّم ال َم ْر ُُّء‬
ُّ‫الر ْه ِن‬ ُِّ ‫ار َوالتَّ ْو ِك ْي‬
َّ ‫ل َو‬ ِ ْ ‫ْن فِي ِإ ْنشَا ِئ ُِّه َُّك ْل َبي ُِّْع َو‬
ِ ‫اْل ْي َج‬ ُِّ ‫ ِإ َرادَتَي‬.
Artinya : “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai.”
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa akad adalah “Setiap yang
diinginkan manusia untuk mengerjakanya, baik keinginan tersebut berasal dari
kehendaknya sendiri, misalnya daam hal wakaf, atau kehendak tersebut timbul
dari dua orang misalnya dalam hal jual beli atau ijaroh.”
Sehingga secara umum akad adalah segala yang diinginkan dan dilakukan
oleh kehendak sendiri, atau kehendak dua orang atau lebih yang
mengakibatkan berubahnya status hukum objek akad (maqud alaih).

[Date] 3
b. Pengertian akad secara khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqh adalah
ُّ‫ُت أَث َ ُر ُّهُ فِى َم َح ِل ِه‬
ُُّ ‫لى َو ْجهُّ َم ْش ُر ْوعُّ يَثْب‬ ُُّ ‫إِ ْرتَبَا‬.
َ ُّ‫ط إِ ْي َجابُّ بِقَب ُْول‬
َُّ ‫ع‬
Artinya: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan
ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Selain itu juga ada Definisi lain tentang akad yaitu “Suatu perikatan
Antara ijab dan Kabul dengan cara yang dibenarkan syarak dengan
menetapkan akibat-akibat hukum pada objeknya.”
Melihat dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan
antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah ijab dan qobul yang
melahirkan akibat hukum baru. Dengan demikian ijab dan qobul adalah sutu
bentuk kerelaan untuk melakukan akad tersebut. Ijab qobul adalah tindakan
hukum yang dilakukan kedua belah pihak, yang dapat dikatakan sah apabila
sudah sesuai dengan syara’. Oleh karena itu dalam islam tidak semua ikatan
perjanjian atau kesepakatan dapat dikategorikan sebagai akad, terlebih utama
akad yang tidak berdasarkan kepada keridloan dan syariat islam. Sementara
itu dilihat dari tujuanya, akad bertujuan untuk mencapai kesepakatan untuk
melahirkan akibat hukum baru.
Sehingga akad dikatakan sah apabila memenuhi semua syarat dan
rukunya. Yang akibatnya transaksi dan objek transaksi yang dilakukan
menjadi halal hukumnya.

B. Jenis-Jenis Akad
Akad banyak macamnya dan berlain-lainan namanya serta hukumnya, lantaran
berlainan obyeknya. Masyarakat, atau agama sendiri telah memberikan nama-nama
itu untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya. Istilah-istilah ini tidak
diberikan oleh para ulama, namun ditentukan agama sendiri. Karenanya terbagilah
akad kepada :
1. ‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namanya oleh syara’
dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu.

[Date] 4
2. ‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan namanya
secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh syara’
sendiri.
‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam. Nama-nama ini semuanya
kita ketemukan satu persatu sesudah kita mempelajari bagian muamalah
maliyah dalam ilmu fiqh.

a. Bai’
َُّ ‫علَى الد َّو‬
‫ام‬ ُِّ ‫ل المِ ْل ِكيّا‬
َ ‫ت‬ َُّ ُ‫ل لُي ِف ْي ُّدَ تَ َباد‬
ُِّ ‫اس ُم َبادَلَ ُِّة ال َما‬ َ ‫ع ْقدُّ َيقَ ْو ُُّم‬
َ َ‫علَى ا‬
ُّ ِ ‫س‬ َ
“Akad yang berdiri atas dasar penukaran harta dengan harta lalu terjadilah
penukaran milik secara tetap”
Akad ini adalah pokok pangkal dari uqud mu’awadlah, hukum-hukumnya
merupakan naqis ‘alaihi, dalam kebanyakan hukum akad. Karena itulah kalau
kita membaca kitab-kitab fiqh, maka yang mula-mula kita ketemukan dalam
bab muamalah, ialah: Babul ba’i (Kitabul Ba’i). Bab ini merupakan titil tolak
untuk membahas segala masalah muawadlah maliyah.

b. Ijarah
ُّْ َ ‫ش ْي ُِّء بِ ُمدّةُّ َم ْحد ُْودَةُّ أ‬
َُّ ‫ى ت َ ْم ِل ْي ُك َها بِع َِوضُّ فَ ِه‬
‫ي بَ ْي ُُّع ال ُمنَاف ُِِّع‬ َ ُ‫ع ُّهُ ال ُمبَادَلَ ُّة‬
ّ ‫علَى َم ْنفَعَ ُِّة ال‬ ُ ‫ع ْقدُّ َم ْوض ُْو‬
َ
“Akad yang obyeknya, ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu artinya:
memilikkan manfaat dengan iwadl, sama dengan menjual manfaat”.

c. Kafalah
‫طالَبَ ُِّة‬
َ ‫ضمُّ ِذ َّمةُّ ِإلى ِذ َّمةُّ فِى ال ُم‬
َ
“Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan”.
Atau dalam ibarat yang lain dikatakan:

‫ب‬ َّ ‫اك نَ ْف ِس ُِّه َم َع ُّهُ فِى ال َم ْس ُؤ ِليَّ ُِّة ِب ُِّه ت ُ َجا َُّه ال‬
ُِّ ‫طا ِل‬ َُّ ‫علَى‬
ُِّ ‫غي ِْر ُِّه َوا ْش َر‬ َ ُّ‫اجب‬ ُِّّ ‫ش ْخصُّ ِب َح‬
ِ ‫ق َو‬ َُّ َ‫ن ْالتِز‬
َ ‫ام‬ َ َ‫ع ْقدُّ يَت‬
ُُّ ‫ض َّم‬ َ
“Akad yang mengandung perjanjian dari seseorang, bahwa padanya ada hak
yang wajib dipenuhi untuk selainnya dan menserikatkan dirinya bersama

[Date] 5
orang lain itu dalam tanggung jawab terhadap hak itu dalam menghadapi
seseorang penagih”.

Multazim, dalam hal ini dinamakan kafiil. Multazim asli dinamakan makful
atau makful ‘anhu. Multazim bihi, yaitu benda, dinamakan makful bihi.

d. Hawalah
َ ‫ي ِ إِلَى‬
ُّ‫غي ِْر ِه‬ ْ َ ‫ِن األ‬
ُّّ ‫ص ِل‬ َُّ ِ‫سئُو ِليَّ ُِّة م‬
ُِّ ‫ن الدَّائ‬ ُُّ ‫ع ُّهُ نَ ْق‬
ُّْ ‫ل ال َم‬ ُ ‫ع ْقدُّ َم ْوض ُْو‬
َ
“Suatu akad yang obyeknya memindahkan tanggung jawab dari yang mula-
mula berhutang kepada pihak lain”.

Madin dinamakan muhil, da’in dinamakan muhal, orang yang ketiga


dinamakan muhal ‘alaih, hutang itu sendiri dinamakan muhal bihi.

e. Rahn
ُ‫ن ا ْستِ ْيفَا ُؤ ُّهُ مِ ْنه‬ ُّّ ‫اس َمالُّ ِلقَا َء َح‬
ُُّ ‫ق يُ ْم ِك‬ ُ ‫ع ْقد َم ْوض ُْو‬
ُُّ َ‫ع ُّهُ اِ ْحتِب‬ َ
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang
mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna”.

Maka orang yang memegang rahn (mahrum) dinamakan murtahin. Orang


yang memberi rahn, atau menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin.
Barang yang dinamakan barang gadaian itu dinamakan marhun bihi.

f. Bai’ul Wafa’
ُّ‫ضي ِْن‬ َُّ ‫ق الت َّ َرا ُِّدّ فِى الع‬
َ ‫ِو‬ ُِّّ ‫ْن ِب َح‬ َّ ‫َاظ ال‬
ُِّ ‫ط َرفَي‬ ُِّ ‫اس ا ْحتِف‬ َ َ‫علَى أ‬
ُّ ِ ‫س‬ ُ ‫ع ْقدت َْوفِ ْيقِيُّ فِي‬
َ ُّ‫ص ْو َرةُِّ َبيْع‬ َ
“Akad taufiqi dalam rupa jual beli atas dasar masing-masing pihak mempunyai
hak menarik kembali pada kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda)”.

Aqad bai’ul wafa’ ini merupakan akad yang bercampur antara bai’dan
iarah. Padanya ada unsur-unsur bai’ dan juga padanya ada juga unsure iarah,
sedang hukum rahn lebih mempengaruhi akad itu. Akad ini mengandung arti
jual beli; karena musytari dengan selesainya akad, memiliki segala manfaat

[Date] 6
yang dibeli itu. Dapat dipakai sendiri benda yang dibeli itu, dapat disewakan.
Berbeda dengan rahn. Rahn tidak boleh ditasharrufkan oleh si murtahin
dengan sesuatu tasharruf. Dan bai’ul wafa’ ini pula mengandung makna rahn,
karena si musytari tidak boleh membinasakan barang itu, tidak boleh
memindahkan barang itu kepada orang lain. Maka di suatu segi, kita katakan
itu bai’, karena si musytari boleh mengambil manfaat barang itu, boleh
bertasharruf dengan sempurna, dari segi yang lain kita katakana rahn; karena
si musytari tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain.

Kemudian si musytari dalam bai’ul wafa’ ini harus mengembalikan


barang kepada si penjual, si penjual mengembalikan harga. Inilah yang
dimaksudkan dengan bai’ul wafa’. Dan si musytari dapaat mendesak si penjual
mengembalikan harga.

g. Al’ida
ُِّ ‫ان ِبغَي ِْر ُِّه فِى حِ ْف‬
ُّ‫ظ َما ِل ِه‬ ِ ُ‫ع ُّهُ ا ْستِ َعانَ ُّة‬
َ ‫اإل ْن‬
ُِّ ‫س‬ ُ ‫ع ْقد َم ْوض ُْو‬
َ
“Sebuah akad yang obyeknya meminta pertolongan kepada seseorang dalam
memelihara harga si penitip itu”.

Si pemilik harga dinamakan mudi’; orang yang dipercaya untuk dititipkan


barang dinamakan wadi’, benda yang dititipkan itu dinamakan wadi’ah. Harta
wadi’ah yang diletakkan dibawah penjagaan si wadi’ dipandang amanah dan si
wadi’ dipandang ‘amiin.

Terkadang lafad wadi’ah dipakai untuk akad sendiri. Artinya amanah


dalam istilah fuqoha, ialah si wadi’ tidak bertanggung jawab terhadap bencana-
bencana yang tak disingkirkan, seperti bencana alam; dan si ‘amiin itu
diharuskan bertanggung jawab apabila kerusakan terjadi lantaran kesalahannya.
Akad Ida’ merupakan pokok dari segi akad amanah; karena akad inilah yang
dilakukan untuk mempercayakan harga kepada seseorang.

h. Al I’arah

[Date] 7
َّ ‫ع ِب َمنَاف ُِِّع ال‬
ُّ‫ش ْىءِ ِْل ْستِ ْع َما ِل ُِّه َو َر ِدّ ِه‬ َ ُ‫ع ْقدُّ يَ ِرد‬
ُِّ ‫علَى التَّبَر‬ َ
“Akad yang dilakukan atas dasar pendermaan terhadap manfaat sesuatu
untuk dipakai dan kemudian dikembalikan”.

Dalam akad terdapat tamlik manfaat tanpa iwadl. Orang empunya barang
dinamakan mu’ir, orang yang meminjam dinamakan musta’ir, barang yang
dipinjamkan namanya ‘ariyah.

I’arah kebalikan ijarah. Ijarah, memiliki manfaat iwadl, atau menjual


manfaat, sedang I’arah memberikan manfaat tanpa bayaran. Karenanya dalam
ijarah wajib ditentukan batas waktu mengambil manfaat, umpamanya sebulan
lamanya.

i. Hibah
ُّ‫ان َمالَ ُّهُ ِلغَي ِْر ُِّه َمجًّانًا بِ َالع َِوض‬ َ ‫اإل ْن‬
ُِّ ‫س‬ ِ ‫ْك‬ ُ ‫ع ْقد َم ْوض ُْو‬
ُُّ ‫ع ُّهُ ت َ ْم ِلي‬ َ
“Akad yang obyeknya ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara
cuma-cuma tanpa adanya bayaran”.

Orang yang memberikan hibah dinamakan wahib, yang menerimanya


dinamakan mauhub lahu, harta yang diberikan itu dinamakan mauhub.

j. Aqdul Qismati
ُّ‫ل مِ ْن َها بِ ُج ْزء ُمعَيَُّّن‬
ُِّّ ‫ْص ُك‬
ُُّ ‫صي‬ ُِّ ‫ى ْالمِ ْل‬
ِ ْ‫ك َوتح‬ َّ ‫ص ال‬
ُّْ ِ‫شائِعَ ُِّة ف‬ َ ِ‫از ْالح‬
ُّ ِ ‫ص‬ ُ ‫إِ ْف ُر‬
“Mengasingkan (menentukan) bagian-bagian yang berkembang (yang
dimiliki bersama) dalam harta milik dan menentukan bagi masing-masing
pemilik dari bagian itu, bagian tertentu”.

Pelaksanaan qismah terdiri dari dua unsur :


a. Unsur ifraz, mengasingkan atau memisahkan dari yang lain.
b. Unsur jual beli dan tukar menukar.

Hal ini berlaku dalam suatu yang dimiliki secara musyarakah (secara
bersama), yang terdapat hak bersama pada tiap-tiap bagian dari benda itu.

[Date] 8
Dan qismah ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak, dan kadang-
kadang dilakukan atas putusan hakim berdasarkan permintaan kongsi.

C. Hal-Hal yang membatalkan Akad


Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzom al-Iqtishodiy menjelaskan
bahwa syirkah dapat menjadi batal atau bubar dikarenakan sebab-sebab berikut :

1. Meninggalnya Salah Seorang Musyarik (anggota Syirkah)


Apabila ada salah seorang musyarik meninggal maka hal tersebut membatalkan
akad syirkah, dan kepada ahli waris yang menggantikan.
✓ Jika seorang musyarik meninggal dunia, dan ia memiliki ahli waris yang telah
dewasa, maka ahli waris tersebut boleh menggantikan posisinya dalam
syirkah. Ahli warisnya ini pun berhak mendapatkan bagi hasil dari syirkah itu.

2. Salah Seorang Musyarik Menjadi Gila


Dalam melakukan akad ataupun muamalah haruslah dalam keadaan waras, hal
ini untuk menghindari kecurangan ataupun suatu hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari.
Karena salah satu dari syaratnya syirkah ini adalah orang yang bersyirkah itu
harus terdiri dari orang yang sudah baliqh dan berakal.

3. Salah Seorang Musyarik Dikendalikan Orang Lain Karena Kebodohannya


Adanya Shighat yaitu kalimat akad yang diucapkan oleh orang-orang yang sama
bersyirkah sebagai pernyataan persetujuan adanya syirkah itu sehingga terdapat
rasa saling percaya mempercayai.
Apabila salah satu musyarik dipengaruhi orang lain, dan sudah hilang rasa saling
percaya ini dapat merusak akad syirkah tersebut, bahkan mungkin tidak berjalan
dengan baik.

[Date] 9
4. Salah Seorang Musyarik di Hijr (Mendapat Hukuman berupa larangan
Bersyirkah atau bermuamalah dengan Khalifah)
Orang yang melakukan akad syirkah tentunya adalah orang yang faham dan mau
menerapkan aturan syariahNya. karena dalam QS Shad ayat 24 telah dijelaskan.

5. Salah Seorang Musyarik Membubarkannya,


Dari beberapa poin ini, pasti banyak pertanyaan yang muncul berikut sedikit
penjelasannya:
✓ Apabila salah seorang musyarik meminta pembubaran syirkah, maka
musyarik lain harus memenuhi permintaan tersebut. Jika syirkah terdiri lebih
dari 2 (dua) orang, sementara satu orang menginginkan syirkah bubar dan
yang lain masih ingin meneruskan syirkah yang ada, maka pihak yang ingin
meneruskan syirkah dapat membuat akad syirkah yang baru dengan
didahului pembubaran syirkah sebelumnya.
✓ Perhitungan laba-rugi saat syirkah dibubarkan dapat dihitung dengan
pendekatan accrual basis atau cash basis. Secara sederhana, pendekatan
accrual basis artinya perhitungan akutansi dari seluruh transaksi yang sudah
terjadi baik kas sudah diterima ataupun belum diterima, pada saat transaksi
tersebut dilakukan. Contoh, telah terjual rumah secara kredit senilai Rp. 1
Miliar. Maka, meski uang Rp. 1 Miliar belum diterima seluruhnya karena
dibayar kredit, namun transaksi tersebut dicatat dan dimasukkan dalam
perhitungan laba-rugi.
Sedangkan pendekatan cash basis hanya mencatat transaksi jika ada
penerimaan atau pengeluaran kas. Misalkan ada penjualan rumah Rp. 1 Miliar
namun yang diterima di kas baru DP senilai Rp. 300 Juta maka yang dihitung
hanya Rp. 300 Juta saja.

[Date] 10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Akad adalah kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah
ijab dan qobul yang melahirkan akibat hukum baru. Akad memiliki rukun dan syarat
yaitu: ‘Aqid, Ma’qud ‘alaih, Maudhu’ al-‘aqd, dan Shighat al-‘aqd. sedangkan syarat
akad meliputi :syarat terbentuknya akad, syarat keabsahan akad, dan syarat-syarat
berlakunya hukum akibat.
Secara garis besar macam-macam akad yaitu: ‘Uqudun musammatun
dan ‘Uqudun ghairu musammah. Hikmah dari mempelajari dan mempraktekkan
akad dalam kehidupan sehari-hari yaitu: Adanya ikatan yang kuat antara dua orang
atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu, Tidak dapat sembarangan
dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i, Akad
merupakan ”payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain
tidak dapat menggugat atau memilikinya.

[Date] 11
DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.


Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ghazaly, Abdul Rahman, et. al. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Kholisoh, Siti dan Yadi
Setiadi http://chezam.wordpress.com/2009/10/14/makalah-tentang-
akad/(di akses pada 19 Februari 2014).
Shiddieqy, Hasbi Ash. 1997. Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.

[Date] 12

Anda mungkin juga menyukai