Bidang Muamalah
#1
Disusun Oleh :
Meisya Fitri NIM. 18.011.1550
Muliana NIM. 17.011.1495
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................2
C. Tujuan ........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
BAB III PENUTUP ................................................................................................7
A. Kesimpulan ...............................................................................................7
B. Saran ..........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sangat memperhatikan perekonomian umatnya, hal ini dapat dilihat dari banyak
nya ayat-ayat Alquran, sunah, mau pun ijtihad para ulama yang berbicara tentang
perekonomian (muamalah). Bahkan menurut Muhammad Ali al-Sayid dalam Tafsir ayat
al- Ahkam sebagaimana yang dikutip oleh syamsul hilal bahwa ayat yang terpanjang dalam
Alquran justru Berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah mahdhah atau
akidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah al-Baqarah, menurut Ibn
‘Arabi ayat ini mengandung 52 hukum ekonomi. Akan tetapi al-quran dan hadits hanya
menentukan garis-garis besarnya saja berbeda dengan bidang ibadah mahdhah dan hukum
keluarga islam yang memberikan aturannya dengan rinci.
Sangat logis apabila dalam bidang fiqh muamalah yang ruang lingkup ijtihad menjadi
sangat luas dan materi-materi fiqh sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Tampaknya,
hal ini terkait erat dengan fungsi manusia yang selain hamba Allah juga sebagai khalifah
di muka bumi. Usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa banyak
sekali. Dalam transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari dua puluh lima macam
transaksi.
Dengan demikian, sudah barang tentu sekarang ini dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, akan
melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi
hukum Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap islami dan di sisi lain mampu
menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Di antara caranya adalah dengan
menggunakan kaidah-kaidah fiqh. Kaidah-kaidah fiqh di bidang mu‘amalah mulai dari
kaidah pokok dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah. Di antara kaidah fiqh khusus di
bidang mu‘amalah adalah:
1
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, penulis mengambil rumusan masalah adalah :
Apa pengertian Kaidah
C. Tujuan
Dari Rumusan masalah diatas, penulis merumuskan tujuan adalah :
Menjelaskan pengertian Kaidah
2
BAB II
PEMBAHASAN
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan.”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang
gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya.
Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
2. ُ
ُض َما نُه
َ ص َّح َ ُك ُّل َما
َ ص َّح ال َّرهْنُ ِب ِه
1
Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta:
Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73
2
Ibid, hlm. 73
3
e) tidak merugikan orang yang menerima gadai, misalnya gadai dengan perjanjian tidak
boleh menjual benda yang digadaikan itu, setelah datang waktunya, sedang utang sudah
sangat diperlukan bagi yang menerima gadai.3
3.
ُاجا َز بَ ْي ُعهُ َجا َز َر ْهنُه
َ َم
3
Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Lengkap, hlm.423
4
4.
ُكُلُُقُرُضُُجُ ُرُمُنُفُعُةُُفُهُوُُرُبُاُوُكلُقرضُُجرُنفعًاُفهوُحرام
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba dan setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan haram”
Makna Kaidah
Setiap transaksi muamalat yang memberikan jasa pinjaman dana tertentu dan dalamtransaksi
tersebut diharuskan membayar uang dengan lebih besar dari dana yang telahdihutangnya
(pinjaman berbunga) maka tindakan renten seperti ini adalah perbuatan riba.
Misalnya, seseorang meminjam uang dengan syarat pada waktu pembayaran harus ada
tambahan atau meminjam uang dari rentenir. Pendekatan kaidah fiqh dalam kasus ini cukup
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan) adalah riba
yaitu haram”.
Dengan menggunakan kaidah fiqh tersebut, jelas bahwa meminjam uang dari rentenir
hukumnya haram karena termasuk riba. Selain itu, kaidah fiqh di atas berhubungan dengan
masalah mu‘amalah (transaksi), tetapi bukan dari aspek kebolehannya melainkan dari aspek
keharamannya yaitu riba. Dengan demikian, masalah ini masuk dalam ruang lingkup kaidah
fiqh: “Hukum asal dalam mu‘amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Oleh karena itu, keharaman meminjam dari rentenir merupakan pengecualian dari hukum asal,
yaitu kebolehan transaksi. Kaidah fiqh ini termasuk kepada kaidah fiqh yang khusus, dan jika
dihubungkan dengan kaidah fiqh yang ruang lingkupnya lebih luas (kaidah fiqh yang umum),
Maksud kaidah ini adalah setiap terjadi sebuah pinjaman diantara pelaku akad dan
memberikan manfaat bagi orang yang memberi hutang maka itu adalah riba.
Contohnya, si A meminjam uang ke si B sebanyak Rp. 100.000,00 untuk kepentingan
yang mendesak. Dan si B menyerahkan pinjamannya kepada si A sesuai dengan kebutuhan si
A dengan disertai syarat bahwa si A harus memberikan kembalian uang tersebut harus
sebanyak Rp. 110.000,00 kepada si B. Maka si B mendapat kan manfaat/keuntungan dari
pinjaman yang ia berika terhadap si A. Dan perbuatan melebihkan pinjaman tersebut yang
sebanyak Rp.10.000,00 itu dinamakan dengan riba.
5
5.
ُالباطلَُلُيقبلُاإلجازة
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernaha terjadi. Oleh karena
itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank
syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem
bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah
dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain
itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad
atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan.”
2. ُ
ُض َما نُه
َ ص َّح َ ُك ُّل َما
َ ص َّح ال َّرهْنُ ِب ِه
ُكُلُُقُرُضُُجُ ُرُمُنُفُعُةُُفُهُوُُرُبُاُوُكلُقرضُجرُنفعًاُفهوُحرام
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba dan setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan haram”
5.
ُالباطلَُلُيقبلُاإلجازة
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
B. Saran
Dari makalah ini penulis berharap kepada pembaca, dapat memberikan kritik dan saran
dalam pembahasan makalah ini. Agar makalah ini menjadi lebih baik dan dapat digunakan
sebagai bahan penambahan wawasan dan pengetahuan yang lebih bermanfaat untuk orang lain.
7
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA