Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH QAWAIDUL FIQHIYAH

Bidang Muamalah
#1

Dosen Pengampu : Yusuf, S.H.I., M.H.I.

Disusun Oleh :
Meisya Fitri NIM. 18.011.1550
Muliana NIM. 17.011.1495

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH


SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH (STIS)
SYARIF ABDURRAHMAN PONTIANAK
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
yang merupakan salah satu tugas yang diberikan pada mata kuliah QAWAIDUL
FIQHIYAH Bidang Muamalah #1.
Pada makalah ini penulis banyak mengambil informasi dari berbagai sumber dan
refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada Bapak Yusuf, S.H.I.,
M.H.I.. yang mengajarkan mata kuliah ini, semoga ALLAH Yang Maha Esa
memberikan kesehatan serta rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
guna kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.

Pontianak, 15 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................2
C. Tujuan ........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
BAB III PENUTUP ................................................................................................7
A. Kesimpulan ...............................................................................................7
B. Saran ..........................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sangat memperhatikan perekonomian umatnya, hal ini dapat dilihat dari banyak
nya ayat-ayat Alquran, sunah, mau pun ijtihad para ulama yang berbicara tentang
perekonomian (muamalah). Bahkan menurut Muhammad Ali al-Sayid dalam Tafsir ayat
al- Ahkam sebagaimana yang dikutip oleh syamsul hilal bahwa ayat yang terpanjang dalam
Alquran justru Berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah mahdhah atau
akidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah al-Baqarah, menurut Ibn
‘Arabi ayat ini mengandung 52 hukum ekonomi. Akan tetapi al-quran dan hadits hanya
menentukan garis-garis besarnya saja berbeda dengan bidang ibadah mahdhah dan hukum
keluarga islam yang memberikan aturannya dengan rinci.
Sangat logis apabila dalam bidang fiqh muamalah yang ruang lingkup ijtihad menjadi
sangat luas dan materi-materi fiqh sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak. Tampaknya,
hal ini terkait erat dengan fungsi manusia yang selain hamba Allah juga sebagai khalifah
di muka bumi. Usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa banyak
sekali. Dalam transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari dua puluh lima macam
transaksi.
Dengan demikian, sudah barang tentu sekarang ini dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, akan
melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi
hukum Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap islami dan di sisi lain mampu
menyelesaikan masalah kehidupan yang nyata. Di antara caranya adalah dengan
menggunakan kaidah-kaidah fiqh. Kaidah-kaidah fiqh di bidang mu‘amalah mulai dari
kaidah pokok dan cabangnya, kaidah umum dan kaidah. Di antara kaidah fiqh khusus di
bidang mu‘amalah adalah:

َ َ‫صلَ َح ِة ال َع ْق ِد أَ ْو ِمنْ ُم ْقت‬


‫ضاهُ فَ ُه َو َجا ِئز‬ َ ‫ُك ُّل ش َْر ٍط َك‬
ْ ‫ان ِمنْ َم‬
ُ‫ض َما نُه‬
َ ‫ص َّح‬ َ ‫ُك ُّل َما‬
َ ‫ص َّح ال َّرهْنُ ِب ِه‬
ُ‫اجا َز بَ ْي ُعهُ َجا َز َر ْهنُه‬
َ ‫َم‬
ُ‫كُلُُقُرُضُُجُ ُرُمُنُفُعُةُُفُهُوُُرُبُاُوُكلُقرضُجرُنفعًاُفهوُحرام‬
ُ‫الباطلَُلُيقبلُاإلجازة‬

1
‫‪B. Rumusan Masalah‬‬
‫‪Dari uraian latar belakang diatas, penulis mengambil rumusan masalah adalah :‬‬
‫‪Apa pengertian Kaidah‬‬

‫صلَ َح ِة ال َع ْق ِد أَ ْو ِمنْ ُم ْقتَ َ‬


‫ضاهُ فَ ُه َو َجائِز ‪‬‬ ‫ُك ُّل ش َْر ٍط َك َ‬
‫ان ِمنْ َم ْ‬
‫ض َما نُهُ ‪‬‬
‫ص َّح َ‬ ‫ُك ُّل َما َ‬
‫ص َّح ال َّرهْنُ بِ ِه َ‬
‫اجا َز بَ ْي ُعهُ َجا َز َر ْهنُهُ ‪‬‬
‫َم َ‬
‫‪‬‬ ‫كُلُُقُرُضُُجُ ُرُمُنُفُعُةُُفُهُوُُرُبُاُوُكلُقرضُجرُنفعًاُفهوُحرامُ‬
‫الباطلَُلُيقبلُاإلجازةُ ‪‬‬

‫‪C. Tujuan‬‬
‫‪Dari Rumusan masalah diatas, penulis merumuskan tujuan adalah :‬‬
‫‪Menjelaskan pengertian Kaidah‬‬

‫صلَ َح ِة ال َع ْق ِد أَ ْو ِمنْ ُم ْقتَ َ‬


‫ضاهُ فَ ُه َو َجائِز ‪‬‬ ‫ُك ُّل ش َْر ٍط َك َ‬
‫ان ِمنْ َم ْ‬
‫ض َما نُهُ ‪‬‬
‫ص َّح َ‬ ‫ُك ُّل َما َ‬
‫ص َّح ال َّرهْنُ ِب ِه َ‬
‫اجا َز بَ ْي ُعهُ َجا َز َر ْهنُهُ ‪‬‬
‫َم َ‬
‫‪‬‬ ‫كُلُُقُرُضُُجُ ُرُمُنُفُعُةُُفُهُوُُرُبُاُوُكلُقرضُجرُنفعًاُفهوُحرامُ‬
‫الباطلَُلُيقبلُاإلجازةُ ‪‬‬

‫‪2‬‬
BAB II
PEMBAHASAN

Qawa’idul Fiqhiyah dibidang muamalah #1


1.
َ َ‫صلَ َح ِة ال َع ْق ِد أَ ْو ِمنْ ُم ْقت‬
‫ضاهُ فَ ُه َو َجائِز‬ َ ‫ُك ُّل ش َْر ٍط َك‬
ْ ‫ان ِمنْ َم‬

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan.”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang
gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya.
Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
2. ُ
ُ‫ض َما نُه‬
َ ‫ص َّح‬ َ ‫ُك ُّل َما‬
َ ‫ص َّح ال َّرهْنُ ِب ِه‬

“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”


Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap, kekalatau penahanan.1
Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan
hutang, yang hak kepemilikannya dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya. 2
Gadai ialah menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai
jaminan hutang dan akan dijadikan pembayaran hutangnya jika hutang itu tidak dapat dibayar
a) ijab qabul yakni tanda serah terima
b) syarat harta yang digadaikan ialah benda yang sah dijual.
c) syarat harta yang digadaikan dan yang menerima gadaian itu akhil baligh, dan tidak
dilarang mempergunakan hartanya dan dilakukannya dengan kemauannya. Maka
tidaklah diperbolehkan wali megadaikan barang milik anak kecil, misalnya anak yatim,
harta benda milik orang gila dan sebagainya.
d) tidak boleh merugikan orang yang menggadai, misalnya dengan perjanjian barangnya
boleh dipakai oleh orang yang menerima gadai.

1
Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta:
Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73
2
Ibid, hlm. 73

3
e) tidak merugikan orang yang menerima gadai, misalnya gadai dengan perjanjian tidak
boleh menjual benda yang digadaikan itu, setelah datang waktunya, sedang utang sudah
sangat diperlukan bagi yang menerima gadai.3

3.
ُ‫اجا َز بَ ْي ُعهُ َجا َز َر ْهنُه‬
َ ‫َم‬

“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”


Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi
tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan. Menurut jumhur fuqaha akad al-
rahn harus disertai penyerahan barang jaminan. Karena itu menurut mereka piutang dan
harta bersama tidak sah dijadikan jaminan, kecuali ada persetujuan dari sekutunya. Fuqaha
Syafi’iyah dan Hanabilah mempertegaspersyaratan al-marhun harus berupa a’in (benda),
tidak sah menjaminkan manfaatnya suatu benda
Semua barang yang boleh diperdagangkan boleh pula digadaikan di dalam tanggungan
hutangnya, apabila hutang telah tetap menjadi tanggungan orang yang berhutang. Orang yang
menggadaikan barangnya boleh menarik kembali barangnya, selagi barangnya belum diterima
oleh penerima penggadaian.
Dilihat dari rukun dan syarat jual beli maka hampir serupa dengan rukun dan syarat
yang ada rahn (gadai). Shigat (ijab qabul) yang ada pada keduanya merupakan syarat sahnya
kedua aqad tersebut, dimana keduanya harus tasarruf yaitu baligh, berakal, tidak idiot dan tidak
paksa dalam transaksi. Kemudian dari segi ma’qud alaih (objek atau barang) dalam transaksi
jual beli ataupun rahn adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, harta yang menjadi objek
transaksi telah dimiliki sebelumnya yaitu merupakan barang milik sendiri, jelas barangnya
tidak bersatu dengan harta lain dan syarat harta yang digadaikan ialah benda yang sah dijual.
Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan dalam agama, maka tidak boleh
menjual atau menggadai barang yang haram atau dialarang dalam agama. Dan juga kedua
belah pihak baik itu penjual dan pembeli maupun rahin dan marhun tidak boleh merugikan atau
memudhratkan keduabelah pihak. Jika ditarik kesimpulan maka secara tidak langsung
ditemukan kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-
sama menggunakan wazan sighat, yakni ijab dan Qabul antara Rahin dan Murtahin maupun
penjual dan pembeli.

3
Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Lengkap, hlm.423

4
4.

ُ‫كُلُُقُرُضُُجُ ُرُمُنُفُعُةُُفُهُوُُرُبُاُوُكلُقرضُُجرُنفعًاُفهوُحرام‬

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba dan setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan haram”
Makna Kaidah
Setiap transaksi muamalat yang memberikan jasa pinjaman dana tertentu dan dalamtransaksi
tersebut diharuskan membayar uang dengan lebih besar dari dana yang telahdihutangnya
(pinjaman berbunga) maka tindakan renten seperti ini adalah perbuatan riba.
Misalnya, seseorang meminjam uang dengan syarat pada waktu pembayaran harus ada
tambahan atau meminjam uang dari rentenir. Pendekatan kaidah fiqh dalam kasus ini cukup

dengan menggunakan kaidah fiqh tafsiliyyah, yaitu: ُ‫كلُقرضُجرُنفعًاُفهوُُرُبُاُحرام‬

“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan) adalah riba
yaitu haram”.
Dengan menggunakan kaidah fiqh tersebut, jelas bahwa meminjam uang dari rentenir
hukumnya haram karena termasuk riba. Selain itu, kaidah fiqh di atas berhubungan dengan
masalah mu‘amalah (transaksi), tetapi bukan dari aspek kebolehannya melainkan dari aspek
keharamannya yaitu riba. Dengan demikian, masalah ini masuk dalam ruang lingkup kaidah
fiqh: “Hukum asal dalam mu‘amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Oleh karena itu, keharaman meminjam dari rentenir merupakan pengecualian dari hukum asal,
yaitu kebolehan transaksi. Kaidah fiqh ini termasuk kepada kaidah fiqh yang khusus, dan jika
dihubungkan dengan kaidah fiqh yang ruang lingkupnya lebih luas (kaidah fiqh yang umum),
Maksud kaidah ini adalah setiap terjadi sebuah pinjaman diantara pelaku akad dan
memberikan manfaat bagi orang yang memberi hutang maka itu adalah riba.
Contohnya, si A meminjam uang ke si B sebanyak Rp. 100.000,00 untuk kepentingan
yang mendesak. Dan si B menyerahkan pinjamannya kepada si A sesuai dengan kebutuhan si
A dengan disertai syarat bahwa si A harus memberikan kembalian uang tersebut harus
sebanyak Rp. 110.000,00 kepada si B. Maka si B mendapat kan manfaat/keuntungan dari
pinjaman yang ia berika terhadap si A. Dan perbuatan melebihkan pinjaman tersebut yang
sebanyak Rp.10.000,00 itu dinamakan dengan riba.

5
5.

ُ‫الباطلَُلُيقبلُاإلجازة‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernaha terjadi. Oleh karena
itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank
syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem
bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah
dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain
itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad
atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.

َ َ‫صلَ َح ِة ال َع ْق ِد أَ ْو ِمنْ ُم ْقت‬


‫ضاهُ فَ ُه َو َجا ِئز‬ َ ‫ُك ُّل ش َْر ٍط َك‬
ْ ‫ان ِمنْ َم‬

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan.”
2. ُ
ُ‫ض َما نُه‬
َ ‫ص َّح‬ َ ‫ُك ُّل َما‬
َ ‫ص َّح ال َّرهْنُ ِب ِه‬

“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”


3.
ُ‫اجا َز بَ ْي ُعهُ َجا َز َر ْهنُه‬
َ ‫َم‬

“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”


4.

ُ‫كُلُُقُرُضُُجُ ُرُمُنُفُعُةُُفُهُوُُرُبُاُوُكلُقرضُجرُنفعًاُفهوُحرام‬

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba dan setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan haram”
5.

ُ‫الباطلَُلُيقبلُاإلجازة‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

B. Saran
Dari makalah ini penulis berharap kepada pembaca, dapat memberikan kritik dan saran
dalam pembahasan makalah ini. Agar makalah ini menjadi lebih baik dan dapat digunakan
sebagai bahan penambahan wawasan dan pengetahuan yang lebih bermanfaat untuk orang lain.

7
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A. 2014. Kaidah-kaidah fikih kaidah-kaidah hokum Islam dalam menyelesaikan


masalah-masalah yang praktis. Kencana

Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Lengkap, hlm.423


Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an
Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73

Anda mungkin juga menyukai