Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TAFSIR MAUDHU’I AHKAM


RIBA
Dosen Pengampu: Ustadz Anshor Bahary, M.A.

Disusun Oleh:
Ananda Gilang Fajar Anugrah
Muhammad Dzul Qornain
Muhammad Rizky Fahrezal Amriel

FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
INSTITUT PERGURUAN TINGGGI ILMU AL-QUR’AN
JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang senantiasa memberikan kita


nikmat kesehatan keimanan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul ”Riba”. Shalawat serta salam selalu kita curahkan kepada
Uswatun Hasanah kita yaitu Nabi Muhammad Shalla Allahu ‘Alaihi Wa
Sallam, beserta keluarga, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan
para pengikutnya yang semoga Allah Ta’ala istiqomahkan kita di atas
kebenaran.

Kami sebagai penulis makalah ini mengucapkan terima kasih sebesar-


besarnya kepada ustadz Anshor Bahary, M.A. selaku dosen pengampu
mata kuliah Tafsir Maudhu’i Ahkam. Kami juga mengucapkan terima
kasih pada teman-teman yang telah mendukung kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, kami tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Kami berharap makalah ini dapat memberikan informasi bagi
pembaca dan bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai Riba. Kami
berharap teman-teman dapat memberikan kritik dan saran agar makalah ini
menjadi lebih baik.

Jakarta, 20 Februari 2023

Penyusun

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I ................................................................................................................. 1

A. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................ 1

C. TUJUAN ................................................................................................. 1

BAB II ............................................................................................................... 2

A. PENGERTIAN RIBA ............................................................................. 2

B. AYAT AYAT YANG MEMBAHAS RIBA ........................................... 3

C. JENIS-JENIS RIBA .............................................................................. 13

D. KONTEKSTUAL RIBA ....................................................................... 14

E. HIKMAH DISYARIATKAN RIBA ..................................................... 19

BAB III ............................................................................................................. 20

PENUTUP ........................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 21

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam ii


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan riba termasuk topik yang penting dibahas dalam kajian tafsir
maudhu’i ahkam. Hal ini tidak hanya terkait dengan dampaknya yang
menghancurkan sendi-sendi ekonomi bangsa (umat) tetapi juga
disebabkan aspek-aspeknya yang sangat luas; tidak hanya dalam utang
piutang (pinjam meminjam), tetapi juga bisa dalam berbagai bentuk
transaksi yang lain misalnya dalam mudhārabah dan jual beli. Oleh karena
itu tidak heran kalau al-Qur’an dan hadis mengancam pemakan riba seperti
orang yang kemasukan setan, termasuk dosa paling besar (akbar al-
kabāir), dan akan masuk neraka kekal di dalamnya.
Namun riba tak hanya sebatas yang kita ketahui secara umum saja.
Dalam al-Qur’an dijelaskan dengan detail mengenai permasalah riba yang
terlihat sederhana namun sebenarnya sangat kompleks. Meskipun larangan
riba dalam Alquran dan hadits sangat jelas, namun praktek riba begitu sulit
dihilangkan dalam muamalah masyarakat. Seakan menjadi duri dalam
daging dalam kehidupan. Sesuatu yang begitu jelas menjadi penyebab
kerusakan justru terjadi disetiap aspek transaksi kehidupan. Seolah tak ada
jalan keluar lain, sementara sistem ekonomi syariah terus dikembangkan
oleh para praktisi ekonomi syariah baik dari lembanga keuangan bank
maupun non bank.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian riba?
2. Apa saja jenis riba?
3. Apa saja ayat Al-Qur’an yang membahas tentang riba dan
bagaimana penafsirannya?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian riba
2. Mengetahui apa saja jenis riba
3. Mengetahui apa saja ayat al-Qur’an yang membahas tentang riba
dan bagaimana penafsirannya

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 1


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Secara etimologis riba berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata raba-
yarbu-rabwan, yang berarti az-ziyadah (tambahan) atau al-fadl
(kelebihan), an-nama (tumbuh), an-numuw (berkembang), al-irfa’
(meningkat), dan al-‘uluw (membesar). Dengan kata lain riba adalah
penambahan, perkembangan, peningkatan dan pembesaran atas pinjaman
pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan
karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama
periode waktu tertentu.1
Sedangkan secara terminologi (istilah), para ulama berbeda-beda
dalam mengungkapkannya. Di antara definisi riba yang bisa mewakili
definisi yang ada adalah definisi dari Muhammad Asy-Syirbiniy. Riba
adalah:
ِ ْ َ‫وص غَ ِْي َم ْعلُ ِوم الت ََّماثُِل ِِف ِم ْعيَا ِر الش َّْرِع َحالَ َة الْ َع ْق ِد أ َْو َم َع ََتْ ِخ ٍي ِِف الْبَ َدل‬
‫ْي‬ ٍ ‫ص‬ ٍ ‫َع ْق ٌد َعلَى عِ َو‬
ُ َْ‫ض َم‬
‫َح ِد ِِهَا‬
َ ‫أ َْو أ‬
“Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad
berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau
adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya.”2
Mengenai masalah riba ini dalam kaitannya dengan pengertian al-
bathil, Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an,
menjelaskan pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang
dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil
tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syariat. Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang
yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa,

1
Ahmad Warson Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia al-Munawir,
(Jogyakarta: Pustaka Progresif Pondok Pesantren al-Munawir, 1984), h. 504.
2
Syarbani, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Khatibi, Mughni al-muhtaj ila
ma'rifati ma'ani alfadz al-minhaj, (Kairo : Dar El Hadith, 2006), jil.6 h.309

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 2


atau bagi hasil proyek. Ttransaksi ekonomi yang sering dikaitkan dengan
riba yaitu mengenai credit bank konvensional atau membungakan uang.
Berdasarkan hasil inventarisasi Fuad ‘Abd al-Baqi dalam al-Qur’an
kata al-ribā disebutkan 8 (delapan) kali yaitu dalam surat al-Baqarah lima
kali; dalam ayat 275 (tiga kali), ayat 276 dan 278 masing-masing satu kali.
Dalam surat Ali ‘Imran satu kali yaitu pada ayat 130, surat al-Nisa ayat
161 dan surah Ar-Rum ayat 39 satu kali.3

Pembahasan Al-Quran tentang riba ini serupa dengan tahapan


pembahasan khamr (minuman keras), pada tahap pertama hanya
menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Ar-Rum: 39),
kemudian dilanjutkan dengan sinyal tentang larangannya (An-Nisa': 161).

Kemudian pada tahap ketiga, secara eksplisit disebutkan larangan salah


satu bentuknya (Ali Imran: 130), dan pada tahap terakhir, dilarang sama
sekali dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).

B. Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Membahas Tentang Riba


1. QS. Al-Baqarah : 275-279

‫س ٰذلِكَ بِاَنَّ ُه ْم‬ ِّۗ ِ ‫شي ْٰطنُ ِمنَ ْال َم‬ َّ ‫طهُ ال‬ ُ َّ‫ِي يَتَ َخب‬ ْ ‫الر ٰبوا ََل يَقُ ْو ُم ْونَ ا ََِّل َك َما يَقُ ْو ُم َّالذ‬ ِ َ‫اَ َّل ِذيْنَ يَأْ ُكلُ ْون‬
‫ظةٌ ِم ْن َّر ِبه‬ َ ‫وا فَ َم ْن َج ۤا َءه َم ْو ِع‬ ِّۗ ‫الر ٰب‬ ِ ‫ّٰللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬ ‫وا َواَ َح َّل ه‬ ۘ ‫الر ٰب‬
ِ ‫قَالُ ْْٓوا ِانَّ َما ْال َب ْي ُع ِمثْ ُل‬
ۤ ٰ ُ ‫عادَ فَا‬
َ‫ار ۚ هُ ْم فِ ْي َها ٰخ ِلد ُْون‬ ِ َّ‫ب الن‬ ُ ٰ‫صح‬ ْ َ‫ول ِٕىكَ ا‬ َ ‫ّٰللا ِّۗ َو َم ْن‬ ِ ‫ف َواَ ْم ُرهُْٓ ِا َلى ه‬ َ ِّۗ ‫س َل‬
َ ‫فَا ْنتَهٰ ى فَ َله َما‬
َ‫ ا َِّن َّال ِذيْن‬٢٧٦ ‫ار اَثِيْم‬ ٍ َّ‫ّٰللاُ ََل ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬ ‫ت ِّۗ َو ه‬ ِ ‫صدَ ٰق‬ َّ ‫الر ٰبوا َوي ُْر ِبى ال‬ ِ ُ‫ّٰللا‬ ‫ يَ ْم َح ُق ه‬٢٧٥
‫ف‬ ٌ ‫الز ٰكوةَ َل ُه ْم اَج ُْرهُ ْم ِع ْندَ َر ِب ِه ۚ ْم َو ََل خ َْو‬ َّ ‫صلوةَ َو ٰات َُوا‬ ٰ َّ ‫ت َواَقَا ُموا ال‬ ِ ٰ‫ص ِلح‬ ‫ع ِملُوا ال ه‬ َ ‫ٰا َمنُ ْوا َو‬
‫الر ٰب ْٓوا ا ِْن‬
ِ َ‫ي مِن‬ َ ‫ّٰللا َوذَ ُر ْوا َما بَ ِق‬ َ ‫ ٰيااَيُّ َها َّال ِذيْنَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا ه‬٢٧٧ َ‫ع َل ْي ِه ْم َو ََل هُ ْم يَحْزَ نُ ْون‬ َ
‫س‬ ُ ‫س ْو ِل ۚه َوا ِْن ت ُ ْبت ُ ْم فَ َل ُك ْم ُر ُء ْو‬ُ ‫ّٰللا َو َر‬ِ ‫ب ِمنَ ه‬ ْ ُ َّ
ٍ ‫ فَا ِْن ل ْم تَ ْف َعل ْوا فَأذَنُ ْوا ِب َح ْر‬٢٧٨ َ‫ُك ْنت ُ ْم ُّمؤْ ِمنِيْن‬
٢٧٩ َ‫ظ َل ُم ْون‬ ْ ُ ‫َظ ِل ُم ْونَ َو ََل ت‬ ْ ‫اَ ْم َوا ِل ُك ۚ ْم ََل ت‬

“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak


dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena
kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa
jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual

Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzhil Qur’an,


3

(Indonesia: Maktabah Dahlan, tt), h. 381.

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 3


beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya
peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti
sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi
riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.(275)
Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan
sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi
bergelimang dosa.(276) Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
beramal saleh, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih.(277) Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin.(278) Jika kamu tidak
melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah
dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika kamu bertobat, kamu berhak atas
pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak
dizalimi (dirugikan).(279) ”
a. Qira’at
ََُْ
‫( فأذن ْوا‬Maka ketahuilah)
َُ َ
‫ َفآذن ْوا‬dengan huruf hamzah dibaca panjang, fi'lu amr (kata kerja
perintah) dari “Aadzana” yang artinya adalah memberitahukan. Ini
adalah bacaan Hamzah. Jadi artinya adalah, maka beritahukan kepada
orang yang tidak berhenti dari pekerjaan itu bahwa Allah SWT dan
RasulNya akan memeranginya. jadi, di sini terdapat maf'uul bih yang
di buang.4
b. Analisis Kata
‫الر ٰبوا‬
ِّ (tambahan secara mutlak)
ُ ُ َ َ
َ‫( َيتخ َّبطه‬tidak rata/tidak tegak, miring)
ْ
َ‫( ال َمس‬bermakna “al junun” atau gila)

4
Az-Zuhaili, Wahbah, Terj. Al-Kattani, Abdul Hayyie, Tafsir al-munir : aqidah,
syariah, manhaj , (Jakarta :: Gema Insani, 2018), h. 112

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 4


َ
َ‫( َم ْو ِعظة‬pengingat terhadap suatu kebaikan berdasarkan hati)
َ
‫( َسلف‬bermakna “madhi” atau yang telah berlalu)

َ‫( َي ْم َح ُق‬bermakna kurang, pergi/hilang)


ٰ َ َّ
َ ِ ‫َالصدق‬
‫ت‬ ‫( َو ُي ْر ِب‬meningkatkan, memperbaiki, memperbanyak)5

c. Sabab Nuzul
Al-Wahidi (w. 427 H) dalam bukunya Asbāb al-Nuzūl ayat 278
mengemukakan pendapat ayat tersebut turun sehubungan ada gugatan
Bani ‘Amr dan Bani al-Mughirah. Kedua suku ini tadinya (pada zaman
Jahiliah) melakukan riba kepada penduduk Tsaqif sebelum adanya
larangan riba. Keduanya menuntut (menagih) agar membayar riba.
Gubernur ‘Attab bin Asyad menulis surat kepada Rasulullah saw dan
dijawab oleh Nabi sesuai dengan ayat 278-279.6
d. Munasabah Ayat
Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan tentang berinfak atau
bersedekah dengan harta tanpa mengharapkan imbalan atau ganti
karena hanya ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT mencari
ridha-Nya dan meneguhkan jiwa mereka di atas keimanan. Adapun
ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang bertransaksi dengan
riba yang mengambil harta dari orang lain tanpa adanya imbalan atau
ganti. Allah SWT memberkahi sedekah dan memusnahkan harta riba
serta menghilangkan keberkahannya. jadi, persesuaian di antara ayat-
ayat sebelumnya dengan ayat-ayat ini adalah persesuaian yang bersifat
pertentangan. Karena iika menyebutkan sesuatu maka biasanya sesuatu
yang langsung terpetik di dalam pikiran adalah sesuatu yang meniadi
lawan dari apa yang telah disebutkan tersebut.7
e. Tafsir Ayat
Menurut Muhammad Ali ash Shabuni maksud dari kata ya’kuluna
pada surah Al-Baqarah ayat 275 tersebut ialah mengambil dan

5
Muhammad Ali As-shobuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Minal Quran,
(Makkah Al Mukaramah : Der Alkutub Alislaniyah, 1999), h. 383-384
6
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, info@omelketab.net
tanpa halaman.
7
Tafsir Munir II h. 115

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 5


membelanjakannya. Disini diungkapkan dengan kata (makan), karena
makan adalah tujuan utama. Kata makan ini sering pula dipakai dengan
arti mempergunakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar dan
selainnya hanya mengikuti.8
Dipersamakannya pemakan-pemakan riba dengan orangorang
yang kesurupan, adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu: Allah
swt memasukkan riba kedalam perut mereka itu, lalu barang itu
memberatkan mereka. Hingga mereka itu sempoyongan bangun dan
jatuh. Hal itu akan menjadi tanda mereka nanti di hari kiamat sehingga
semua orang akan mengenalnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Bakar Ibnu Abu Syaibah. telah menceritakan kepada kami Al-Hasan
Ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Abus
Silt, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬ َ pernah
bersabda: Aku bersua di malam aku menjalani Isra dengan suatu kaum
yang perut mereka sebesar-besar rumah, di dalam perut mereka
terdapat ular-ular yang masuk dari luar perut mereka. Maka aku
bertanya, "Siapakah mereka itu, hai Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka
adalah para pemakan riba."9
Perkataan innamal bai’u mitslu riba (sesungguhnya jual beli sama
dengan riba) itu disebut tasybih maqlub (persamaan terbalik. Sebab
musyabah bih-nya memiliki nilai lebih tinggi. Sedang yang dimaksud
disini ialah: riba itu sama dengan jual beli. Sama-sama halalnya. Tetapi
mereka berlebihan dalam kenyakinannya, Bahwa riba itu dijadikan
sebagai pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamakan dengan
jual beli. Disinilah letak kehalusannya.10
Dengan kata lain, jual beli itu sama dengan riba, mengapa yang ini
diharamkan, sedangkan yang itu tidak? Hal ini jelas merupakan
pembangkangan dari mereka terhadap hukum syara’. Yakni yang ini

8
Muhammad Ali As-shobuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Minal Quran,
h. 387
9
Al Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur'anil, ( Kairo : Dar el-hadith, 2005)
10
Muhammad Ali As-shobuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Minal
Quran, h. 387

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 6


sama dengan yang itu, tetapi yang ini dihalalkan dan yang itu (riba)
diharamkan.11
Dalam ayat tersebut yang menjadi menjadi titik tinjauan ialah kata
Yamhakullah al-Ribaa wa yurbhi Sadaqaah (Allah swt memusnahkan
riba dan menumbuhkan sedekah), ialah bahwa periba mencari
keuntungan harta dengan cara riba, dan pembangkang sedekah mencari
keuntungan harta dengan jalan tidak mengeluarkan sedekah. Untuk
itulah, maka Allah swt. menjelaskan bahwa riba menyebabkan
kurangnya harta dan penyebab tidak berkembangnya harta itu. Sedang
sedekah adalah penyebab tumbuhnya harta dan bukan penyebab
berkurangnya harta. Keduanya itu ditinjau dari akibatnya di dunia dan
akhirat kelak.12
Menurut Muhammad Ali ash Shabuni, kata “perang” (harbun)
dengan bentuk nakirah adalah untuk menunjukan besarnya persoalan
ini, lebih-lebih dengan dinisbatkannya kepada Allah swt dan Rasul-
Nya. Seolah-seolah Allah swt mengatakan: percayalah akan ada suatu
peperangan dahsyat dari Allah swt dan Rasul-Nya yang tidak dapat
dikalahkan. Ini memberi isyarat, bahwa akibat yang paling buruk akan
dialami oleh orang-orang yang biasa makan harta riba.13
Adapun makna ayat secara Global menurut Muhammad Ali ash
Shabuni bahwa Allah Swt. memberi kabar kepada orangorang yang
melakukan praktek riba, yang menghisap darah orang lain, bahwa
mereka tidak akan bangkit dari kuburnya, melainkan dalam keadaan
seperti orang yang terkena penyakit epilepsy ketika kambuh
penyakitnya dan kemasukan syaitan. Mereka tergelincir dan lalu jatuh
dan tidak bisa berjalan tegak karena kesurupan syaitan. Semuanya itu
terjadi akibat ulah mereka yang menghalalkan riba, padahal Allah swt.
telah mengharamkannya. Mereka mengatakan, bahwa riba itu sma
dengan jual beli, karena itu mengapa diharamkan, Alllah swt., lalu
menjawab dengan tegas kepada mereka, tentang penyerupaan yang
tidak sehat itu, yaitu bahwa jual beli adalah tukar menukar manfaat

11
Al Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur'anil, ( Kairo : Dar el-hadith, 2005)
12
Muhammad Ali As-shobuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Minal
Quran, h. 388
13
Muhammad Ali As-shobuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Minal
Quran, h. 388

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 7


yang dihalalkan oleh Allah swt., sedangkan riba adalah tambahan biaya
dari hasil jerih payah orang yang berhutang atau dari dagingnya yang
telah diharamkan-Nya.14

2. Q.S. Ali Imran : 130


١٣٠ َ‫ّٰللا َل َع َّل ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْو ۚن‬
َ ‫ض َعافًا ُّمضٰ َعفَةً َّۖواتَّقُوا ه‬ ِ ‫ٰ ْٓياَيُّ َها ا َّل ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل تَأْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الر ٰب ْٓوا ا‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.”
a. Analisis Kata
َ ٰ ً ْ َ
َ‫( اض َعافاَ ُّمض َعفة‬dengan berlipat ganda, seperti kalian memberikan
waktu tenggang pembayaran utang untuk kedua kali kepada seseorang
yang berutang, namun dengan syarat jumlah harta yang harus dibayar
olehnya lebih banyak. Pelipatgandaan ini ada kalanya hanya di dalam
bunganya saja, atau ada kalanya pelipatgandaan ini berhubungan
dengan utang pokok seperti utang 100 dikembalikan 300.15
b. Sabab Nuzul
Diriwayatkan oleh al-Faryabi yang bersumber dari ‘Atha’. Bahwa
di zaman jahiliyah, bani Tsaqif berhutang kepada bani Nadlir. Ketika
tiba waktu membayara, Tsaqif berkata: “Kami bayar bunganya dan
undurkan waktu pembayarannya.” Maka turunlah ayat ini (Ali ‘Imran:
130) sebagai larangan atas perbuatan seperti itu.16
c. Munasabah Ayat
Setelah Allah SWT memberikan peringatan kepada kaum
Mukminin agar jangan sampai menjadikan non-Muslim sebagai al-
Bithaanah (orang dekat), menjelaskan bahwa jika kaum Mukminin
sabar; tabah dan bertakwa, maka tipu daya musuh tidak akan
menimbulkan mudharat apa-apa pada mereka. Lalu Allah SWT
memberikan contoh sikap sabar dan takwa pada perang Badar dan

14
Muhammad Ali As-shobuni (1999), Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam Minal
Quran, h. 388
15
Tafsir Munir II h. 416
16
Asbabun Nuzul – K.H.Q Shaleh – H.A.A Dahlan dkk.

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 8


Uhud serta apa yang terjadi pada kaum musyrik dan kaum Yahudi.
Selanjutnya di sini, Allah SWT memberikan peringatan kepada kaum
Mukminin dari sebuah bentuk faahisyah (perbuatan keji) yang telah
menjadi sifat atau karakteristik kaum Yahudi dan kaum musyrik, yaitu
riba. Peringatan ini diikuti dengan penjelasan beberapa bentuk at-
Targhiib (mendorong melakukan kebaikan) dan at-Tarhiib (menakut-
nakuti dari berbuat jelek), berbagai bentuk petunjuk dan tuntunan serta
penjelasan tentang buah dari perbuatan baik dan perbuatan buruk.17
d. Tafsir Ayat
Ayat ini lafal nashnya menunjuk bahwa tidak boleh makan riba
yang berlipat ganda. Ini bukan berarti kalau tidak berlipat ganda
dibolehkan. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa penundaan
pembayaran utang yang kemudian bunganya menjadi bertambah-
tambah. Dalam tafsir al-Manār ayat ini adalah ayat pertama turun
tentang riba, sedangkan al-Baqarah turun setelah ini. Yang dimaksud
riba dalam ayat ini adalah riba jahiliah, yakni penambahan yang
dijanjikan dalam utang piutang.18
Pada ayat ini, riba diberi sifat ‘berlipat-ganda’, hingga membuat
kita perlu untuk membicarakannya dari segi ekonomi. Ada dua macam
riba: nasi’ah dan fadhl.
Yang pertama, riba al-nasi’ah, adalah yang secara tegas
diharamkan oleh teks al-Qur’an. Batasannya adalah suatu pinjaman
yang mendatangkan keuntungan kepada si pemilik modal sebagai
imbalan penundaan pembayaran.
Sama saja apakah keuntungan itu banyak atau sedikit, berupa uang
atau barang. Tidak seperti hukum positif yang membolehkan riba bila
tidak lebih dari 6%, misalnya.
Sedang riba al-fadll adalah suatu bentuk tukar-menukar dua barang
sejenis yang tidak sama kwantitasnya. Contoh: penukaran 50 ton
gandum dengan 50,5 ton gandum atas kesepakatan kedua belah pihak.

17
Tafsir Munir II h. 418
18
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manār, Juz IV, (Mesir: al-Haiah al-
Mishriyyah, 1990), hlm. 101

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 9


Tukar-menukar itu bisa terjadi pada bahan makanan yang wajib
dikeluarkan zakatnya ataupun pada uang. Adapun yang menjadi dasar
pengharaman riba jenis ini adalah hadis Nabi yang disebut sebelumnya
dan dikuatkan dengan hadis riwayat Ibn ‘Umar sebagai berikut. Nabi
bersabda, "Janganlah kalian semua menukar emas dengan emas
kecuali dengan yang semisalnya juga jangan menukar wariq (mata
uang yang terbuat dari perak) kecuali dengan yang semisal dan sama
persis jumlahnya, karena sungguh aku mengkhawatirkan kalian
terjerumus dalam riba’ yaitu riba!"
Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa riba yang
pertama sajalah yang dengan tegas diharamkan oleh teks al-Qur’an.
Karena riba ini adalah laba ganda yang bila dimakan akan terwujud
praktek memakan riba berlipat-lipat seperti yang tersebut dalam ayat,
sesuatu hal yang tidak terjadi pada riba al-fadll, maka tidak
diharamkan.
Pengharamannya pun, menurut sebagian ulama ini, tidak langsung
didasarkan pada hadis itu sendiri. Tetapi didasarkan pada kaidah syadd
al-dzara’i’ (mencegah suatu perbuatan yang bisa membawa kepada
yang perbuatan haram). Hal itu karena praktek riba al-fadll bisa
menggiring orang untuk melakukan riba al-nasi’ah yang telah jelas
haram, walau terkadang masih dapat dibolehkan dalam keadaan
darurat.
Adapun dari sisi ekonomi, riba merupakan cara pengumpulan harta
yang membahayakan karena riba merupakan cara penimbunan harta
tanpa bekerja. Sebab harta dapat diperoleh hanya dengan memperjual-
belikan uang, suatu benda yang pada dasarnya diciptakan untuk alat
tukar-menukar dan pemberian nilai untuk suatu barang.
Agama Yahudi pun mengharamkan praktik riba ini. Hanya saja,
anehnya, pengharaman itu hanya belaku di kalangan mereka sendiri.
Sedangkan praktik riba dengan orang lain dibolehkan. Tujuan mereka
adalah untuk menyengsarakan orang lain dan untuk memegang kendali
perekonomian dunia.19

19
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jl. 2 hal .217

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 10


3. Q.S. An-Nisa : 160-161

‫ّٰللاِ َكثِي ًْر ۙا‬ َ ‫ع ْن‬


‫سبِ ْي ِل ه‬ ْ ‫ت اُ ِح َّل‬
َ ِ‫ت َل ُه ْم َوب‬
َ ‫ص ِد ِه ْم‬ ٍ ‫طيِ ٰب‬ َ ‫ظ ْل ٍم ِمنَ ا َّل ِذيْنَ هَاد ُْوا َح َّر ْمنَا‬
َ ‫ع َل ْي ِه ْم‬ ُ ِ‫فَب‬
١٦٠
‫اط ِل َِّۗواَ ْعتَدْنَا ِل ْل ٰك ِف ِريْنَ ِم ْن ُه ْم‬
ِ ‫اس ِبا ْل َب‬
ِ َّ‫ع ْنهُ َواَ ْك ِل ِه ْم اَ ْم َوا َل الن‬ ِ ‫َّواَ ْخ ِذ ِه ُم‬
َ ‫الر ٰبوا َوقَدْ نُ ُه ْوا‬
١٦١ ‫عذَابًا اَ ِل ْي ًما‬ َ
“Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami mengharamkan
atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang (dahulu) pernah
dihalalkan bagi mereka; juga karena mereka sering menghalangi
(orang lain) dari jalan Allah, (160) melakukan riba, padahal sungguh
mereka telah dilarang darinya; dan memakan harta orang dengan
cara tidak sah (batil). Kami sediakan untuk orang-orang kafir di
antara mereka azab yang sangat pedih. (161)”
a. Analisis Kata
ِّ
َ‫( َو ِب َصد ِه ْم‬disebabkan tindakan mereka yang menghalang-halangi
manusia.)
ُ ْ َ ْ ُُ ْ َ َ
َ‫اَعنه‬ ‫( وقدَنهو‬mereka telah dilarang dari mengambil riba dalam kitab
Taurat.)20
b. Sabab Nuzul
Penulis tidak menemukan Riwayat mengenai sabab nuzul ayat ini.
c. Munasabah Ayat
Ayat-ayat ini masih melanjutkan pembicaraan seputar kaum
Yahudi. Setelah Allah SWT memaparkan berbagai keburukan, tingkah
laku dan perbuatan-perbuatan kaum Yahudi yang mengakibatkan
murka Allah SWT Allah SWT menjelaskan bentuk hukuman yang Dia
jatuhkan kepada mereka di dunia, yaitu diharamkannya bagi mereka
beberapa makanan yang baik. Hukuman di akhirat adalah adzab yang
sangat menyakitkan. Sementara itu, bagi orang-orang yang beriman
dan saleh ada pahala yang agung yaitu surga.21

20
Tafsir Munir III h. 358
21
Tafsir Munir III h. 359

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 11


d. Tafsir Ayat
Dalam ayat ini Allah mengharamkan riba seperti yang
dipraktekkan oleh masyarakat Yahudi. Berdasarkan ayat ini ada
informasi bahwa riba itu telah dipraktikan (menjadi budaya)
masyarakat Yahudi oleh karena itu, sebagaimana terdahulu, kitab
Taurat telah mengharamkan riba. Menurut tafsir Maqatil bin Sulaiman,
ini termasuk riba yang dharamkan karena tanpa hak.22
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan
kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr yang mengatakan bahwa
Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan:
“beberapa jenis makanan yang dahulunya dihalalkan bagi
mereka.”
Pengharaman ini adakalanya bersifat qadri atas kemauan mereka
sendiri. Dengan kata lain, pada mulanya Allah memberikan
keleluasaan kepada mereka, tetapi ternyata mereka melakukan
penakwilan dalam kitab mereka, mereka mengubah dan mengganti
banyak hal yang dihalalkan bagi mereka. Kemudian mereka
mengharamkannya atas dirinya sendiri yang akibatnya mempersulit
dan mempersempit diri mereka sendiri.
Adakalanya pengharaman ini bersifat syar’i. Dengan kata lain,
Allah subhanahu wa ta’ala, mengharamkan kepada mereka di dalam
kitab Taurat banyak hal yang dahulunya dihalalkan kepada mereka
sebelum itu. Seperti yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
melalui firman-Nya:
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, kecuali makanan
yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum
Taurat diturunkan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 93)
Dalam pembahasan yang lalu mengenai tafsir ayat ini disebutkan
bahwa makna yang dimaksud ialah semua jenis makanan adalah halal

22
Maqatil bin Sulaiman, Tafsir Maqātil bin Sulaiman, Juz I
(http://www.altafsir.com) h. 267

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 12


sebelum Taurat diturunkan, kecuali apa yang diharamkan oleh Nabi
Ya’qub untuk dirinya sendiri dari daging unta dan air susunya.23
C. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar para ulama fiqih membagi riba menjadi dua, riba
nasi’ah dan riba fadhl, dan mazhab syafi’i membaginya menjadi tiga, yaitu
riba nasi’ah, fadhl dan yad, sedangkan beberapa ulama lainnya membagi
riba menjadi empat yaitu riba nasi’ah, riba fadhl, riba yad, dan riba qardhi.
Dalam pembagiannya, penulis menguraikan penjelasannya sebagai
berikut:
1. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang
berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh
tempo. Apabila waktu tempo telah tiba, ternyata orang yang berutang
tidak sanggup mebayar utang dan kelebihannya, maka waktu bisa
diperpanjang dan hutangnya pun bertambah atau yakni tukar menukar
dua barang yang sejenis atau tidak atau jual beli yang penjualnya
mensyaratkan kelebihan karena pembayarannya dilambatkan atau
diakhirkan. Contohnya si Fulan membeli sepatu Farid seharga Rp
50.000, oleh Farid disyaratkan membayar dua bulan yang kan datang
seharga Rp 55.000, maka kelebihan tersebut dinamakan riba nasi’ah.24
2. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah yakni tukar menukar antara dua benda yang sama
jenisnya, tetapi ukuran atau timbangannya tidak sama dengan yang
disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Contohnya tukar menukar
antara cincin emas 24 karat seberat 10 gram dan gelang emas 24 karat
seberat 12 gram, maka kelebihan ini disebut riba. Agar tidak disebut
riba, maka barang, timbangan, dan takaran barang harus sama serta
tunai (saat itu juga).25
3. Riba Yad

23
Al Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur'anil, ( Kairo : Dar el-hadith, 2005)
24
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta:
Gema Insan Press, 2005), h. 77-78.
25
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, h. 79

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 13


Riba yad adalah suatu akad jual beli barang yang penjual dan
pembelinya berpisah sebelum serah terima. Pengertian riba al-yad
seperti dikemukakan oleh wahbah zuhaili adalah jual beli atau tukar
menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang
ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan. masanya. Yakni
terjadinya jual beli atau tukar menukar dua barang yang berbeda
jenisnya, seperti gandum dengan jagung, tanpa dilakukan penyerahan
di majelis akad. Contohnya seorang yang membeli barang tetapi ia
belum menerima barang tersebut kemudian berpisah.26
4. Riba Qardhi
Riba qardhi adalah yakni meminjamkan sesuatu dengan syarat ada
tambahan dari orang yang meminjam. Contohnya si Fulan meminjam
uang sebanyak Rp 100.000 kepada Farid, dan Farid mengharuskan
kepada si Fulan untuk mengembalikan uangnya sebanyak Rp 110.000,
maka tambahan tersebut disebut riba qardhi.27

D. Kontekstual Riba
Dalam kehidupan sehari-hari kita masih banyak di sekitar kita yang
masih terjebak kedalam system ribawi, yang mana system-sistem tersebut
terbungkus dengan rapih atau dengan beralaskan sosial yang justru
menjerumuskan manusia tanpa mereka menyadarinya. Seperti Lembaga-
lembaga keuangan seperti bank yang membungkus praktek ribawinya
dengan beratas namakan syariah juga mengatas namakan kemakmuran
sosial padahal didalamnya masih ada praktek ribawi.
Ribawi berkaitan erat dengan syariat yakni dalam perihal muamalah.
Muamalah adalah hukum yang mengatur hubungan sesama manusia.
Dalam muamalah terdapat kaidah dasar bahwa “segala sesuatu asal
hukumnya adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya”. Dalam
hukum muamalah sendiri terbagi menjadi dua, tabarru dan tijari. Karena
riba berhubungan dengan perihal muamalah, maka dalam pembagian tadi,
tabarru dan tijari dapat masuk system-sistem riba didalamnya.
Jadi, garis besar dari pada praktek riba yang terjadi di masyarakat saat
ini adalah sebagai berikut :

26
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, h. 81
27
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, h. 82

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 14


1. Tabarru
Tabarru adalah proses tolong menolong, yang biasanya dalam
transaksi, dipakai dalam bentuk akad utang piutang atau pinjam
meminjam.
Maka jelas dalam proses ini yang dasarnya tolong menolong, maka
dalam akad tak boleh ada kesepakatan kelebihan dalam hal
pengembalian barang pinjaman, jika ada kelebihan, maka kelebihan
tersebut termasuk kedalam riba. Riba yang masuk dalam sistem tabarru
adalah riba qordhi yaitu kelebihan dari pembayaran utang yang
disyaratkan baik yang di tetapkan di awal akad atau di jatuh tempo.
2. Tijari
Tijari adalah muamalah yang didalamnya mencari keuntungan
dengan barang yang ditukarkan. Tijari dibagi menjadi dua macam,
yaitu murobahah dan syirkah
a. Murobahah
Murobahah adalah akad jual beli yang sering kita jumpai.
Dalam murobahah ini peluang terjadinya riba adalah dari segi
pengambilan keuntungan. Sebenarnya tidak ada Batasan menurut
ulama dalam mengambil keuntungan dari suatu barang selama
tidak ada unsur tipuan didalamnya, tidak merusak harga pasar, dan
tidak menzholimi orang lain.
b. Syirkah
Syirkah ini lebih dikenal dengan sistem bagi hasil. Syirkah
sendiri terbagi menjadi dua mudhorobah dan musyarokah.
Mudhorobah adalah sistem bagi hasil antara dua pihak atau
lebih dengan satu pihak sebagai investor dan pihak lain sebagai
pelaku usaha atau kegiatan produktif dalam tempo yang telah
ditentukan, kesepakatan uang yang dipinjamkan akan tetap
jumlahnya ketika pengembalian, kemudian untuk pembagian hasil
atau keuntungannya adalah dengan kesepakatan presentase
keuntungan antara kedua pihak di kesepakatan awal. Kemudian
untuk kerugian dari hasil usaha tersebut akan ditanggung 100%
oleh investor, sebab pelaku usaha sudah mendapatkan kerugian
dalam segi waktu dan tenaga. Kemudian akad riba yang bisa terjadi
dalam proses ini adalah ketika investor memastikan kelebihan atau
keuntungan dari uang yang ia pinjamkan untuk usaha di

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 15


kesepakatan awal berupa nominal, tanpa ada pertimbangan akan
rugi atau untungkan suatu usaha tersebut.
Sedangkan yang kedua ada yang disebut dengan Musyarokah,
yakni pencampuran harta dari dua pihak atau lebih untuk dijadikan
usaha atau kegiatan produktif, dengan presentasi keuntungan
diambil sesuai kesepakatan kedua pihak dan kerugian ditentukan
diawal dengan mengacu kepada presentase modal kedua pihak
pada tempo yang telah ditentukan. Akad riba yang dapat terjadi
dalam proses ini adalah Ketika salah satu pihak menetapkan
keuntungan dengan cara mematok nominal atau presentase
keuntungan tertentu sebagai kelebihan atau keuntungan dari harta
yang telah ia campurkan diawal kesepakatan, tanpa menghiraukan
hasil dari usaha tersebut, baik untung maupun rugi.
Dari muamalah-muamalah diatas dapat dipahami bahwa praktek riba
bisa saja masuk dengan mudah karena gagal faham akan akad muamalah
yang sesuai syariah dan terjebak kedalam akad akad yang mengandung
unsur ribawi. Beberapa akad yang mengandung unsur ribawi yang dapat
kita temui di kehisupan sehari-hari adalah :
1. Transaksi perbankan
Hal ini terjadi akibat perbankan syariah saat ini masih beralaskan
kepada pasar, bukan kepada ideologi syariah. Sebagaimana kita
diketahui bersama, bahwa basis pendekatan atau sistem yang
digunakan dalam praktik khususnya perbankan konvensional
menggunakan pendekatan berbasis bunga baik dari aspek
penghimpunan maupun penyaluran dananya dari dan untuk
masyarakat. Dimana pihak nasabah sebagai peminjam dana bank serta
pihak bank bertindak selaku pemberi pinjaman dana tersebut. Atas
dasar pinjaman dana tersebut, nasabah akan dikenakan bunga dalam
prosentase tertentu atas pinjaman pokok sebagai kompensasi atau
imbalan dari pertangguhan waktu atas pembayaran hutang atau
pinajaman nasabah tersebut, dimana pihak bank tidak memperdulikan
hasil usaha nasabahnya, apakah usaha nasabah tersebut berhasil dan
berkembang sehingga memperoleh keuntungan atau bahkan
mengalami gagal sehingga mengalami kebangkrutan.
Kasus seperti di atas, sebenarnya hampir sama dengan praktik
kegiatan riba jahiliyah pada zaman dulu. Tetapi memiliki sedikit

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 16


perbedaan, riba jahiliyah bunga atau tambahan baru akan dikenakan
ketika peminjam tidak mampu membayar atas hutangnya pada waktu
yang ditentukan kepada peminjam, sebagai imbalan atas penambahan
waktu pembayaran yang mengalamikemunduran. Sedangkan kasus
pada praktik perbankan saat ini, besarnya bunga telah ditetapkan
dimuka atau pada saat akad kedua belah pihak terjadi. Sehingga dapat
disimpulkan sebenarnya praktik riba di perbankkan saat ini jauh lebih
jahiliyah di bandingkan dengan riba jahiliyah itu sendiri.
Hal itu diakui pula oleh sebagaian besar para ulama. Jika dari aspek
pembiayaan demikian, tidak berbeda pula dalam hal penghimpunan
dana, sebut saja produk tabungan. Pada saat menabung nasabah
dijanjikan terlebih dahulu akan memperoleh bunga yang pasti. Berbeda
dengan sistem yang ada pada bank syariah, di mana bank syariah tidak
menjanjikan keuntungan tetap, melainkan hanya nisbah bagi hasil
keuntungan bukan dari pokok uangnya. Sehingga keuntungan kedua
belah pihak tergantung hasil usahanya.
Meskipun demikian, ada pula bank syariah yang secara struktur
menggunakan sistem bagi hasil tapi kenyataannya secara kultur atau
pelaksanaan juga sama bank konvensional hanya beda namanya
saja.karena sesungguhnya sampai saat ini saya melihat bahwa bank
syariah baru dibangun dari sistem pasar bukan ideologi. Sehingga
transaksi perbankan yang dilakukan masyarakat setiap hari sangat
rentan terlibat praktik riba yang dilarang dan dilaknat oleh Allah dan
Rasul.
2. Transaksi Asuransi
Praktik asuransi yang ada saat ini, masih banyak yang mengandung
unsur ribawi. Karena dalam asuransi saat ini, khususnya asuransi
konvensional terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban
diantara keduanya. Sehingga kecenderungan yang terjadi pihak
konsumen sering mengalami kerugian. Sehingga hal-hal yang
seharusnya menjadi hak konsumen tidak diberikan.
3. Transaksi Jual Beli dengan Kredit
Jual beli secara kredit sebenarnya diperbolehkan, hanya saja saat
ini yang berkembang adalah jual beli kredit dengan sistem bunga.
Apalagi jika sifat dari kredit itu dengan sistem bunga yang
berfruktuatif, menjadikan ketidakjelasan. Sehingga harga dari jual dan
harga dari belinya menjadi tidak jelas. Sementara dalam syariah Islam

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 17


sebenarnya jual beli harus ada kepastian antara penjual dan pembeli
terkait dengan harga salah satunya, serta tidak diperbolehkan akan
adanya perubahan yang tidak pasti, barang maupun harga yang
diperjualbelikan tersebut.
4. Pinjaman Online
Media sosial saat ini telah banyak muncul-muncul iklan yang
memberikan kemudahan untuk memberikan pinjaman uang secara
online. Pinjaman online dalam hukum Indonesia telah diatur dalam
undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan teknologi,
serta diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor
77/POJK/.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam Uang berbasis
teknologi informasi. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer,
atau media elektronik dan yang sejenis dengan itu.
Dalam pinjaman online setidaknya terdapat jenis-jenis akad yang
diperbolehkan dalam teknologi keuangan, yaitu; pertama; Mudharabah
yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (shahibu al-
maaf yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola
('amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai
nisbah yang disepakati dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung
oleh pemilik modal. Kedua; musyarakah yaitu akad kerja sama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak
memberikan kontribusi dana modal usaha (ra'su al-maal dengan
ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau
secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak
secara proporsional. Ketiga; wakalah bi al ujrah yaitu akad pelimpahan
kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan
imbalan berupa ujrah (upah). Keempat, Qardh yaitu akad pinjaman dari
pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib
mengembalikan uang yang diterimanya sesuai dengan waktu dan cara
yang disepakati.

Secara kontekstual sesungguhnya transaksi-transaksi yang


mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita masih
banyak lagi. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri
sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Agar laknat Allah dan Rasul

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 18


tidak menimpa kita sebagai individu maupun masyarakat, sehingga
terhindar dari azab Allah Swt.

E. Hikmah Disyariatkan Riba


Ada banyak sekali manfaat yang dapat kita ambil daripada
pensyariatan riba, yang mana akan mendorong perilaku manusia menjadi
terarah dan lebih baik lagi, diatara hikmah hikmahnya adalah:
1.Membangun pribadi yang saling tolong menolong satu sama lain.
2.Menjalin silaturrahmi yang lebih kuat, karena akibat sifat saling
tolong menolong itu akan menghasilkan sifat persaudaraan yang
semakin kuat.
3.Tidak merugikan orang lain, karena dengan perilaku riba maka orang
yang susah menjadi semakin susah.28
4.Menjadikan pekerjaan sebagai suatu amal ibadah, karena suatu
pekerjaan itu menjadi sarana untuk mendapatkan penghasilan.

28
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), cet. 1

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 19


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Riba ialah
penambahan-penambahan yang di isyaratkan oleh orang yang memiki
harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan. Praktek ribawi dapat masuk dalam setiap akad muamalah kita
sehari-hari, maka kita harus cerdas dan harus memahami bagaimana cara
bermuamalah yang sesuai dengan aturan syariah dan mengetahui mana
yang termasuk praktek akad-akad ribawi. Hikmah pelaranggan riba
diantaranya menjadikan manusia suka saling tolong menolong, menutup
pintu pada tindakan memutus hubungan silaturrahmi sesama manusia,
memuliakan kerja, serta tidak merugikan orang-orang yang sedang
mengalami kesusahan. Allah dan Rosul melaknat siapapun yang ikut
terlibat di dalam praktek tersebut tanpa kecuali. Konteks perilaku riba yang
dilakukan masyarakat saat ini antara lain berupa transaksi perbankan
terutama perbankan konvensional, transaksi asuransi, transaksi jual beli
secara kredit, dan masih banyak lagi.
B. Saran
Demikian makalah yang penulis buat yang berisi tentang pembahasan ini.
Kami merasa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, mohon kritik dan saran dari para pembaca dan pendengar guna
perbaikan makalah selanjutnya.

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 20


DAFTAR PUSTAKA
Al-Baqi, Muhammad Fuad, ‘Abd al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzhil
Qur’an, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt).
Al-Wahidi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul.
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek,
(Jakarta: Gema Insan Press, 2005).
As-Shobuni, Muhammad Ali, , Rawai’ul Bayan Tafsir Ayat Al Ahkam
Minal Quran, (Makkah Al Mukaramah : Der Alkutub Al-islamiyah,
1999).
Az-Zuhaili, Wahbah, Terj. Al-Kattani, Abdul Hayyie, Tafsir al-munir
: aqidah, syariah, manhaj , (Jakarta :: Gema Insani,, 2018).
Dahlan dkk, Q Shaleh dan H.A.A, Asbabun Nuzul
Katsir, Al Hafidz Ibnu, Tafsir Al Qur'anil Azhim, ( Kairo : Dar el-
hadith, 2005)
Muslich, Ahmad Wardi, Fikih Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010).
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Bahasa Arab-Indonesia al-
Munawir, (Jogyakarta: Pustaka Progresif Pondok Pesantren al-Munawir,
1984).
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manār, Juz IV, (Mesir: al-Haiah
al-Mishriyyah, 1990).
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013).
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Mishbah: pesan, kesan dan keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta, Lentera Hati, 2002).
Sulaiman, Maqatil bin, Tafsir Maqātil bin Sulaiman, Juz I (Beirut :
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003).
Suhendi, Hendi, Fikih Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Syarbani, Syamsudin Muhammad bin Muhammad Khatibi, Mughni
al-muhtaj ila ma'rifati ma'ani alfadz al-minhaj, (Kairo : Dar El Hadith,
2006).

Riba_Tafsir Maudhu’i Ahkam 21

Anda mungkin juga menyukai