Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KIDAH FIQIH TENTANG PERCAMPURAN HALAL DAN HARAM

Disusun untuk memenuhi tugas semester pendek Qawaid Fiqhiyah Muamalah


Dosen Pengampu: Dr. Hj. Neni Nuraeni, M.Ag

Disusun Oleh:

Hendra Lesmana (1173020061)

HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kidah Fiqih Tentang Percampuran
Halal Dan Haram” dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Semester Pendek Mata Kuliah Qawaid
Fiqhiyah Muamalah. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
pencampuran antara yang halal dan haram bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua elemen yang telah membantu dalam
menyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 23 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
C. Tujuan Makalah...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................2
A. Pengertian Halal dan Haram........................................................................................2
B. Dasar Hukum Percampuran Halal dan Haram............................................................3
C. Kaidah-kaidah tentang pencampuran antara Halal dan Haram...................................4
BAB III PENUTUP...............................................................................................................15
A. Kesimpulan................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hakikat dari harta seorang muslim, adalah bukan milik sendiri, melainkan milik Allah
SWT. Ia bersifat dikuasakan kepadanya dan suatu saat akan diminta kembali oleh Pihak Yang
Maha Menguasakan atau diperintah untuk menyalurkan pada hal-hal yang diridlai oleh-Nya.
Jika suatu harta tidak disalurkan sesuai dengan ridla-Nya, maka tak urung, pihak yang dititipi
akan terkena pasal keharaman sehingga berdosa.

Bermuamalah (niaga atau jasa, dan sejenisnya) dengan pihak yang mayoritas haram
sumber pendapatannya, hukumnya menjadi boleh tanpa unsur kemakruhan. Illat yang
dipergunakan adalah ‘ammati al-balwa, dan berusaha menghilangkan kesulitan. Akan tetapi,
catatan yang terpenting adalah adanya kulfah (yaitu beban kerja). Tanpa adanya kulfah, maka
menjadikan bermuamalah dengannya sebagai tidak ada faktor penguatnya (murajjih) untuk
mendapatkan harta halal.

Pengetahuan tentang halal dan haram pada suatu objek sangat diperlukan untuk
memperjelas hukum yang patut untuk dilakukan. Selain hal tersebut syubhat merupakan
hukum yang masih tidak diketahui banyak orang, hukumnya pun masih samar samar antara
yang halal maupun yang haram. Maka dari itu situasi menuntut kita untuk mencari kebenaran
dari suatu hukum tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasakan uraian latar belakang tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji
dalam makalah ini adalah:
1. Apa Pengertian halal dan haram?
2. Apa dasar hukum halal dan haram?
3. Apa saja kaidah-kaidah percampuran halal dan haram?

C. Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1
1. Mengetahui Pengertian halal dan haram.
2. Mengetahui hukum halal dan haram.
3. Mengetahui kaidah-kaidah percampuran halal dan haram.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Halal dan Haram

Kata halal, berasal dari bahasa arab berakar dari kata halla-yahillu-hillan yang artinya
membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan, dan membolehkan.1 Secara
etimologi, kata halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak
terikat dengan ketentuan yang melarangnya, atau bisa juga diartikan sebagai segala sesuatu
yang bebas dari bahaya dunia dan akhirat. Dalam konteks pangan, makanan halal adalah
makanan yang boleh dikomsumsi, diproduksi dan dikomersialkan.

Secara terminology, istilah halal diartikan dengan dua pengertian:


1) Segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika
menggunakannya.
2) Sesuatu yang boleh dikerjakan menurut Syara’.
Yusuf Qardhawi mendefinisikan istilah halal sebagai segala sesuatu yang boleh
dikerjakan, syariat membenarkan dan orang yang melakukannya tidak dikenai sanksi dari
Allah Swt. Karenanya, yang berhak dan berwenang untuk menentukan kehalalan segala
sesuatu adalah Allah SWT. Hal ini sesuai dengan beberapa dalil dari al-Qur’an dan hadits
seperti pada QS. As-Syuura ayat 21, QS. At-Taubah ayat 31, dan QS. Yunus ayat 59.2
Manusia tidak memiliki sedikitpun kewenangan dalam hal ini. Rasulullah SAW bersabda:

، ‫ وما سكت عنه فهو عافية‬، ‫ وما حرم فهو حرام‬، ‫ما أحل هلال يف كتابه فهو حالل‬
)‫ مث تال هذه اآلية (وما كان ربك نسيا‬، ‫ فإن هلال مل يكن نسيا‬، ‫فاقبلوا من هلال العافية‬
“Apa yang Allah halalkan pada kitab sucinya, maka ia adalah halal, dan apa yang
diharmkan maka ia adalah haram, dan apa yang didiamkan maka itulah yang ditoleransi,
maka terimalah apa yang ditoleransi, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa, kemudian
1
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, jilid 11, hlm 163
2
Yusuf al-Qardhawi, al-Halal wal Haram fil Islam, hlm 26

2
Rasulullah membaca ayat “dan Tuhanmu tidak pernah lupa”. (HR. ad-Darulqutni, al-
Hakim, ath-Thabrani)3

Halal adalah suatu istilah dalam ilmu yang berhubungan dengan ketentuan hukum, yaitu
sesuatu atau perkara-perkara yang dibolekan, dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh syara’.
Ibnu Mas’ud r.a meriwayatkan bahwasannya Rasulullah Saw bersabda,

‫طلب احاللل فريضة على كل مسلم‬


”Mencari kehidupan yang halal adalah fardu bagi setiap Muslim”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mencari rizki yang halal hukumnya wajib bagi umat
Muslim. Orang-orang yang telah dikekuasai oleh kemalasan menganggap saat ini tidak ada
lagi yang halal, sehingga ia melakukan apa saja yang diinginkannya. Padahal ini adalah suatu
kebodohan. Sebab Rasulullah telah menggambarkan mana yang halal dan mana yang haram.
Adapun lawan dari yang halal adalah haram. Secara etimologis, Haram diambil dari al-
hurmah, yang berarti sesuatu yang tidak boleh dilanggar.4 Haram dan Mahzhûr adalah dua
istilah untuk konotasi yang sama. Keduanya merupakan sinonim (mutarâdif). Menurut syara’
adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tegas, dimana pelakunya
akan dikecam, dikenai sanksi ketika di dunia dan adzab ketika di akhirat.
Menurut mazhab Hanafi, istilah haram hanya digunakan untuk larangan yang tegas
disertai dalil qath’î, namun jika tidak disertai dalil qath’î, mereka sebut dengan Makrûh
tahrîm. Meskipun sebenarnya, dua-duanya maksudnya sama.
Selain itu, haram juga biasa dinamakan dengan mahzur, maksiat, mutawa’ad alaih,
mazjur ‘anhu, mamnu’, fahisyah, itsm, zanb, haraj, tahrij, dan uqubah. Kesemua istilah ini
menunjukkan segala sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’ (hukum Islam),
jika perkara tersebut dilakukan akan menimbulkan dosa dan jika ditinggalkan akan berpahala.
Seperti: perbuatan zina, mencuri, minum khamar dan yang semisalnya.

B. Dasar Hukum Percampuran Halal dan Haram

1. Al-Quran
1) Al-An'am 6:164

...‫از َرةٌ ِّو ْز َر اُ ْخ ٰر ۚى‬ ۚ ٍ ‫ َواَل تَ ْك ِسبُ ُكلُّ نَ ْف‬...


ِ ‫س اِاَّل َعلَ ْيهَا َواَل ت َِز ُر َو‬

3
At-Thabrani, Musnad as-Syamiyyin, jilid 3, hlm 209
4
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, jilid 12, hlm 119

3
“Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan
seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain.”

2) Al-Maidah: 90

َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِنَّ َما ْالخَ ْم ُر َو ْال َمي ِْس ُر َوااْل َ ْن‬
‫صابُ َوااْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِّم ْن َع َم ِل‬
َ‫ال َّشي ْٰط ِن فَاجْ تَنِبُوْ هُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung.”
Penjelas dari kaidah ini: jika berkumpul dalam sesuatu antara hal yang
mubah dan hal yang haram / berbahaya, maka di utamakan sisi yang haram untuk
menjaga diri dari haram tersebut, dan tidak munkin menjauhi / menjaga diri dari
sisi yang haram tersebut kecuali jika menjauhi secara total sesuatu yang yang
bercampur antara yang halal dengan yang haram tersebut, adapun dalil yang
menunjukkan kaidah ini adalah firman allah SWT.
Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamer (minuman keras) dan judi
(serta mengundi nasib) padahal didalamnya terdapat manfaat dan faedah buat
manusia, namun jika banyak mudharat dan kejelekannya maka menjadi haram
dan dilarang.
3) Al-Baqarah: 173
‫انَّما ح َّرم َعلَ ْي ُكم ْالم ْيتَةَ وال َّدم ولَحْ م ْالخ ْنزيْر ومٓا اُه َّل به ل َغيْر هّٰللا‬...
ِ ِ ِ ِٖ ِ َ َ ِ ِ ِ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ ِ
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi,
dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.”

Dalil lain yang menunjukkan hukum asal daging adalah halal firmanya:
{َ‫ا ْل َم ْيتَة‬ ‫ }اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم‬dalam ayat ini pengharamannya di batasi dengan kata "
‫ "إنما‬maka yang demikian itu menunjukkan bahwasanya hukum asal daging
adalah halal.

C. Kaidah-kaidah tentang pencampuran antara Halal dan Haram

َ ‫اَ ْخ َر َج قَ ْدر‬: ‫ام‬šِ ‫َم ْن اِ ْختَلَطَ بِ َمالِ ِه ال َحالَ ِل َوال َح َر‬


‫ َحالَل له‬š‫والبَاقِي‬, ‫ُالح َرام‬
4
“Apabila bercampur harta yang halal dan haram, maka keluar yang haram, dan
sisanya halal”

Dalam dunia perniagaan hari ini, kita kerap berhadapan dengan situasi percampuran
antara halal dan haram. Situasi ini menuntut kita mengetahui hukum mengenainya, supaya
harta yang kita peroleh bersih dari elemenelemen yang bertentangan dengan syariah.
Prinsip asas kepada situasi ini adalah: "Apabila bercampur halal dan haram, maka ia
dikira haram."5

1. Hukum itu Berputar Bersama Sebabnya

Termasuk kaidah fiqih yang berkaitan dengan masalah ini adalah:6

‫ َو َع َد ًما‬š‫ر َم َع ِعلَّتِ ِه ُوجُوْ ًدا‬šُ ْ‫ْال ُح ْك ُم يَ ُدو‬

“Hukum itu berputar bersama sebabnya, ada dan tidaknya.”

Contohnya,7 institusi-institusi perbankan Islam berhadapan dengan masalah ini;


apabila terdapat pendeposit yang membuka akun di institusi bersangkutan, bekerja di tempat
yang haram seperti kelab malam atau premis perjudian.

Sebagai individu yang hidup bermasyarakat, kita juga tidak dapat lari dari situasi ini.

Antaranya, apabila kenalan yang bekerja di tempat yang haram mengundang kita
untuk makan malam ataupun, kenalan kita tersebut memberikan hadiah kepada kita. Apakah
boleh kita menerima undangan dan hadiah tersebut? Bagaimana pula sekiranya duit yang
digunakan itu adalah hasil riswah atau judi?

Terdapat perbedaan hukum bergantung kepada realiti serta sifat keharaman itu. Jika
harta haram itu diperoleh dengan menggunakan kaidah yang halal, maka harta tersebut boleh
dimanfaatkan oleh pihak yang menerimanya.
5
Wan Jemizan W. Deraman, Ahmad Termizi Mohamed Din, Apabila Halal dan Haram Bercampur, 2011,
melalui: www.utusan.com.my
6
Sidebar Hr, 2011, http://Melacak-Status-Hukum-Kopi-Luwak-Abu-Ubaidah-Yusuf-AsSidawi_2.htm
7
Op. Cit

5
Sebagai contoh, seseorang yang bekerja dengan syarikat yang menawarkan produk-
produk riba, pendapatannya adalah haram. Namun, perolehan pendapatannya itu diusahakan
melalui cara dan kaidah sebagaimana ia bekerja. Maka jika individu tersebut memberi
hartanya kepada pihak kedua dengan menggunakan cara yang halal seperti hadiah atau
sedekah, maka pihak yang menerima harta tersebut bisa menggunakannya. kerana, harta
haram tersebut dimiliki sendiri oleh pengusahanya dengan cara yang sah.

Imam Ibn Taimiah dalam Majmu' Fatwa mengistilahkan harta tersebut sebagai halal
kerana pemilik mengurai harta haram tersebut berpindah milik kepada pihak yang
mengusahakannya. Yang artinya, pekerja kilang arak layak mendapat gaji kerana usaha dan
kerja yang dilakukan olehnya.

Dalam hal ini, pihak yang pertama tetap mendapat dosa kerana bekerja di tempat yang
haram. Namun, siapa yang diberi hadiah atau menerima undangan makan dari pekerja kilang
arak boleh mengambil dan menerimanya. Dosa yang dilakukan oleh orang yang bekerja di
tempat yang haram itu tidak terkait kepada pihak yang kedua secara langsung. Ini
berdasarkan beberapa hujah. Antara dalil yang boleh menjadi rujukan adalah firman Allah
SWT:

“Dan tiadalah (kejahatan) yang diusahakan oleh tiap-tiap seseorang melainkan


orang itulah saja yang menanggung dosanya dan seseorang yang boleh memikul tidak akan
memikul dosa perbuatan orang lain (bahkan dosa usahanya saja)…”(al-An'am: 164)

Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a: Barirah telah diberikan daging. Rasulullah
SAW datang dan bekas masakan berada di atas dapur. Lalu Nabi SAW dihidangkan dengan
roti dan lauk yang telah sedia ada di rumah (tanpa hidangan daging tersebut). Rasulullah
SAW bertanya, "Bukankah tadi aku melihat ada bekas masakan di atas dapur yang di
dalamnya ada daging?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Rasulullah. Daging itu ialah daging
yang telah disedekahkan kepada Barirah. Kami merasa tidak senang untuk tidak
memberikan daging tersebut kepadamu” (disebabkan Rasulullah tidak menerima sedekah).
Lalu Baginda SAW menjawab, "Pemberiannya kepada Barirah adalah sedekah, dan
pemberian Barirah kepada kita adalah hadiah". (riwayat Muslim)8

8
Ibid

6
Hadis ini menunjukkan bahawa urusan pertama tidak ada kaitan dengan urusan kedua.
Sekiranya pihak yang pertama memperoleh harta secara haram, dosa berkenaan tidak terkena
kepada pihak kedua yang melakukan urusan secara halal dengan pihak yang pertama.

ِ ‫ب ال ِم ْل‬
‫ك َكتَبَ ُّد ِل ال َعي ِْن‬ َ َ‫تَبَ ُّد ُل َسب‬

"Perubahan sebab kepemilikan sama seperti berubahnya barang”

Mazhab Hanafi meletakkan kaidah perpindahan milik memestikan perubahan 'ain dari


sudut hukum sekalipun 'ain nya adalah sama.

Bersangkutan dengan masalah ini (hal yang mubah bercampur dengan hal yang
haram/berbahaya) dalam kitab mulakhos Qowaid Al Fiqhiyyahnya as Syeikh Sholeh al
Usaimin yang di rinkas oleh as Syeikh Abu Humaid Abdullah al Falasiy mengatakan dalam
kaidah ke dua puluh satu yakni;9

‫ر‬šُ ‫ب ال َمحْ ظُو‬


َ َ‫ َغل‬š،‫ إِ َذا اِجْ تَ َم َع ُمبَا ٌح َو َمحْ ظُو ٌر‬:‫القاعدة الحادية والعشرون‬.

Artinya: "Jika berkumpul menjadi satu antara sesuatu yang halal dengan yang
haram/berbahaya maka di dahulukan ( diambil ) yang haram/berbahaya".

.‫ وسبب إباحة‬،‫ سبب تحريم‬:‫ولعل هذه األدلة ليست في مسألة األصل؛ ألن هذه األدلة لما اجتمع فيه سببان‬
‫ المسائل التي ليس‬:‫ يراد بها‬-‫كما تقررت سابقا‬- ‫ األصل‬š‫ ومسائل‬.‫ سهم وغرق‬،‫كلب صيد وكلب أجنبي‬
‫ وليس‬،‫ أن األصل في اللحوم هو الحل‬š‫ وال دليل تحريم؛ ولذلك فإن األظهر‬،‫ ال دليل إباحة‬.‫فيها دليل‬
‫التحريم‬.

Mungkin saja dalil-dalil ini bukan inti dari permasalahan hukum asalnya, karena dalil-
dalil ini jika berkumpul antara daging yang halal dan yang haram didalamnya ada dua sebab
yaitu: sebab keharamanya dan sebab kehalalanya, antara daging dari anjing pemburu
(terlatih) dan anjing biasa, antara hewan yang mati karena anak panah atau karena tengelam.

9
Jundi Taqi Zuhdi, Kaidah-kaidah Fiqih (Qowaidul Fiqhiyyah), 2007, melalui: http://myquran.net/t/23277

7
Namun permasalahan inti asalnya – sebagiamana penjelasan di atas- adalah : perkara dan
sesuatu yang tidak ada/tidak didapati dalilnya, baik dalil yang menghalalkannya atapun dalil
yang mengharamkannya, oleh karena itu yang nampak jelas dan rajih : bahwasanya hukum
asal daging hewan adalah halal bukan haram.

Termasuk kaidah yang sangat berkaitan erat dengan masalah ini adalah
kaidah Istihalah dan membersihkan benda yang terkena najis:

ُّ‫ت بِأَيِّ ُم ِز ْي ٍل طَهُ َر ْال َم َحل‬


ْ َ‫النَّ َجا َسةُ إِ َذا َزال‬

“Benda najis apabila dibersihkan dengan pembersih apa pun maka menjadi suci.”

Jadi, apabila ada percampuran antara harta yang halal dan haram maka, keluarkan
terlebih dahulu harta yang haramnya (agar diketahui sebab keharamannya) dan selebihnya
adalah halal.

‫ وال يدل‬.‫ حرم‬،‫ وسبب نجاسة في الماء‬،‫ ولو اجتمع سبب طهارة‬،‫ األصل فيها الطهارة‬:‫كما قلنا في المياه‬
‫ أن األصل في المياه هو النجاسة‬:‫ذلك على‬ .

Sebagaimana kami katakan tentang air : hukum asal air adalah suci, seandainya
berkumpul antara sebab kesuciannya dan sebab kenajisannya maka air itu menjadi najis
(tidak boleh di gunakan untuk bersuci) maka dari hal tersebut tidak menunjukkan
bahwasanya : " hukum asal air adalah najis "

ِ ُ‫ { قُلْ اَل أَ ِج ُد فِي َما أ‬:‫ قوله سبحانه‬،‫ أن األصل في اللحوم هو الجواز والحل‬:‫ويدل على‬
َّ َ‫وح َي إِل‬
‫ي ُم َح َّر ًما‬
ْ َ‫اع ٍم ي‬
‫ أن األصل هو‬:‫ فإنه دل على‬، )145 : ‫ اآلية } (سورة األنعام آية‬..... ً‫ط َع ُمهُ إِاَّل أَ ْن يَ ُكونَ َم ْيتَة‬ ِ َ‫َعلَى ط‬
š‫ وأن التحريم مستثنى‬،‫الحل والجواز‬.

8
Adapun dalil : hukum asal daging adalah boleh dan halal, adalah firman-Nya : 145.
Katakanlah: "Tiadaklah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang". (Al-An'am: 145)

Maka dari ayat ini menunjukkan bahwasanya : hukum asal daging hewan adalah halal
dan boleh dimakan, dan pengharamannya adalah dengan pengecualaian (istisna') dari yang
halal.

‫د فَص ََّل لَ ُك ْم َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ْم‬šْ َ‫ { َو َما لَ ُك ْم أَاَّل تَأْ ُكلُوا ِم َّما ُذ ِك َر ا ْس ُم هَّللا ِ َعلَ ْي ِه َوق‬:‫ قوله جل وعال‬:‫ويدل على ذلك‬
‫) فدل أن األصل هو الحل والجواز في اللحوم‬119 : ‫ سورة األنعام آية‬-( } ‫م إِلَ ْي ِه‬šُْ‫إِاَّل َما اضْ طُ ِررْ ت‬
š‫ وأن التحريم مستثنى‬،‫المأكولة‬ .

Dan dalil yang lainya adalah firman Allah SWT: “Mengapa kamu tidak mau
memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. ( QS. Al- An'am : 119 )

Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya hukum asal daging adalah halal dan boleh
memakanya, sedangkan pengharamnya dengan pengecualain (istisna') dari yang halal.

‫ " سئل عن اللحوم‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ من حديث عائشة أن النبي‬،‫ويدل عليه أيضا ما ورد في السنن‬
‫ اذكروا اسم هللا عليها أنتم وكلوا " ولو كان‬:‫ هل ذكر اسم هللا عليها أو ال؟ فقال‬š‫ وال يُدرى‬،‫التي تؤتى إليهم‬
‫ إلى غير ذلك من النصوص‬.‫ ال تأكلوا حتى تعلموا قيام سبب اإلباحة‬:‫األصل في اللحوم التحريم؛ لقيل‬
‫ حتى يأتي دليل يغيره‬،‫الدالة على أن األصل في اللحوم هو الحل والجواز‬ .

9
Dan menunjukan demikian juga (asal daging halal) hadist yang ada di sunan, dari
hadistnya Aisyah ra: bahwasanya rasulullah pernah di Tanya tentang daging yang diberikan
kepada mereka, sedang mereka tidak tahu apakah dalam penyembelihannya menyebut asma
Allah apa tidak? maka beliau menjawab: “maka bacakan basmalah atasnya kemudian
makanlah daging itu"( HR. Bukhari Kitabul Buyu' bab: tidak memperdulikan was-was dan
semisalnya dari subhat hadist no : 2057, kitabut tauhid bab: berdoa dengan nama Allah dan
mohon perlindungan denganya hadist no:7398)

 Kalau seandainya hukum asal daging adalah haram, sungguh akan


dikatakan: "janganlah kamu makan sampai kamu tahu dalil (bukti) halalnya daging tersebut.
Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang menyetakan bahwasanya hukum asal daging adalah
halal dan boleh, sampai ada dalil yang menyatakan lain (haram/subhat)”
2. Hubungannya dengan Syubhat dan Rukhsah

Setelah tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan, maka di bawahnya adalah


syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih
samar-samar kehalalan maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan
perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya. Oleh sebab itu, orang yang memiliki
kemampuan untuk berijtihad, kemudian dia melakukannya, sehingga memperoleh
kesimpulan hukum yang membolehkan atau mengharamkannya, maka dia harus melakukan
hasil kesimpulan hukumnya. Dia tidak dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya
karena khawatir mendapatkan celaan orang lain. Karena sesungguhnya manusia melakukan
penyembahan terhadap Allah SWT berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri kalau memang
mereka mempunyai keahlian untuk melakukannya. Apabila ijtihad yang mereka lakukan
ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan satu pahala.

Dan barang siapa yang hanya mampu melakukan taklid kepada orang lain, maka dia
boleh melakukan taklid kepada ulama yang paling dia percayai. Tidak apa-apa baginya untuk
tetap mengikutinya selama hatinya masih mantap terhadap ilmu dan agama orang yang dia
ikuti.

10
Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas
kebenarannya, maka perkara itu dianggap syubhat, yang harus dia jauhi untuk
menyelamatkan agama dan kehormatannya;

sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits Muttafaq 'Alaih:

"Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya yang haram juga jelas. Di
antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya oleh banyak
orang. Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama
dan kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus ke dalamnya, maka dia telah
terjerumus dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala ternaknya
di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang ternaknya memakan rumput di
sana."10 

Orang yang bodoj diharuskan bertanya kepadanya yang pandai dan dapat dipercaya
dalam perkara yang masih diragukan, sehingga dia mengetahui betul hakikat hukumnya.
Allah SWT berfirman:

"...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui." (an-Nahl: 43)

Dalam sebuah hadits disebutkan:

"Tidakkah mereka mau bertanya kalau mereka tidak tahu? Karena sesungguhnya
kesembuhan orang yang tersesat adalah dengan bertanya."11

Cara orang menghadapi masalah syubhat inipun bermacam-macam, tergantung


kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat dan kebiasaan mereka, dan juga
perbedaan tingkat wara' mereka.

10
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Nu'man bin Basyir (52), (2051); dan diriwayatkan oleh Muslim (1599)
11
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 4362)

11
Ada orang yang tergolong khawatir yang senantiasa mencari masalah syubhat hinga
masalah yang paling kecil sehingga mereka menemukannya. Seperti orang-orang yang
meragukan binatang sembelihan di Negara Barat, hanya karena masalah yang sangat sepele
dan remeh. Mereka mendekatkan masalah yang jauh dan menyamakan hal yang mustahil
dengan kenyataan. Mereka mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit
ruang gerak meraka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh Allah SWT.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-
hal yang jika diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu..." (al-Ma'idah: 101)

Sebagai orang Muslim tidaklah  patut  bagi  kita  untuk mencari-cari hal yang lebih
sulit. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari 'Aisyah sesungguhnya Nabi
saw pernah ditanya, "Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan
membawa daging, dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika
menyembelihnya ataukah tidak." Maka Nabi saw bersabda, "Sebutlah nama Allah dan
makanlah."

Imam Ibn Hazm mengambil hadits ini sebagai suatu kaidah: "Sesuatu perkara yang
tidak ada pada kami, maka kami tidak akan menanyakannya."

Diriwayatkan bahwasanya Umar r.a. pernah melintasi sebuah jalan kemudian dia
tersiram air dari saluran air ruma seseorang; ketika itu dia bersama seorang kawannya. Maka
kawannya berkata, "Hai pemilik saluran air, airmu ini suci atau najis?" Maka Umar
berkata, "Hai pemilik saluran air, jangan beritahu kami, karena kami dilarang mencari-cari
masalah."12

Perkara ini berkaitan erat dengan kaidah turunan dari al masyaqqah tajlib al-
taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan) yang berbunyi sebagai berikut:

‫ق‬ َ ‫ق االَ ْم ُر اِتَّ َس َع َو اِ َذا اِتَّ َس َع‬


َ ‫ضا‬ َ ‫اِ َذا‬
َ ‫ضا‬

12
Qardhawi Yusuf, Fiqih Prioritas. Sebuah Ajaran Baru Berdasarkan Al-Qur’an Dan As-Sunah

12
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu
perkara menjadi luas maka hukumnya menyempit”13

Kaidah ini juga menunjukan fleksibilitas hukum islam yang bisa diterapkan secara
tepat pada setiap keadaan.

Ada sebuah hadits shahih dari Nabi saw bahwa ada seseorang yang mengadu
kepadanya tentang orang yang merasa bahwa dia, merasakan sesuatu, ketika shalat atau
ketika berada di masjid.  Maka Nabi saw menjawab, "Jangan kembali, sampai dia
'mendengar suara' atau merasa buang angin. "

Dari hadits ini para ulama menetapkan suatu kaidah: "Keyakinan tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan”. Dan sesungguhnya orang itu harus berbuat sesuai dengan
keyakinan asalnya dan  menyingkirkan keraguannya. Inilah cara yang paling pasti untuk
menyingkirkan keraguan.

Pada suatu hari Rasulullah saw pernah menyambut undangan seorang Yahudi. Beliau
memakan makanannya dan tidak bertanya apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-
wadahnya suci ataukah tidak. Nabi saw dan para sahabatnya mengenakan pakaian
yang diambil dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang kafir dan wadah yang
dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin berperang, mereka juga membagi-bagikan
wadah, pakaian, kemudian mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa mereka
juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik.14

Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya karena berpegang kepada


hadits shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab,
yang memakan babi, dan meminum khamar. Beliau menjawab "Jika kamu tidak menemukan
yang lainnya, maka basuhlah dengan air, kemudian makanlah dengan bejana itu."15

Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada  antara halal dan
haram; yakni yang betul-betul halal dan betul-betul haram. Dia berkata, "Barangsiapa yang
13
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 4362)
14
Lihat Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, 1:199
15
uttafaq Alaih, diriwayatkan oleh Bukhari (5478): Muslim (1390) dari Abu Tsa'labah alKhasyani

13
menjauhinya, berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang bercampur
antara yang halal dan haram."

Ibn Rajab berkata, "Masalah syubhat ini berlanjut kepada cara bermuamalah  dengan
orang yang di dalam harta bendanya bercampur antara barang yang halal dan barang yang
haram.  Apabila kebanyakan harta bendanya haram, maka Ahmad berkata, 'Dia harus
dijauhkan kecuali untuk sesuatu yang kecil dan sesuatu yang tidak diketahui.' Sedangkan
ulama-ulama yang lain masih berselisih pendapat apakah muamalah dengan orang
itu hukumnya makruh ataukah haram?

Jika kebanyakan harta bendanya halal, maka kita diperbolehkan melakukan


muamalah dengannya, dan makan dari harta bendanya. Al-Hadits meriwayatkan dari Ali
bahwasanya dia berkata tentang hadiah-hadiah yang diberikan oleh penguasa: "Tidak apa-
apa, jika yang diberikan kepada kamu berasal dari barang yang lebih banyak halalnya
daripada haramnya, karena dahulu Nabi saw dan para sahabatnya pernah melakukan
muamalah dengan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab, padahal mereka tidak menjauhi hal-
hal yang haram secara menyeluruh."

Jika ada suatu perkara yang masih diragukan maka perkara ini  dikatakan syubhat.
Dan orang-orang wara' (yang lebih berhati-hati dalam menjauhkan diri  dari
kemaksiatan) meninggalkan perkara yang termasuk dalam syubhat ini. Sufyan berkata, "Hal
itu tidak mengherankan saya, yang lebih mengherankan bagi saya ialah cara dia
meninggalkannya."

Az-Zuhri dan Makhul berkata, "Tidak apa-apa bagi kita untuk memakan sesuatu yang
kita tidak tahu bahwa barang itu haram, jika tidak diketahui dengan mata kepalanya sendiri
bahwa di dalam barang itu terdapat sesuatu yang haram." Ini sesuai dengan apa yang
ditegaskan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal.

Ishaq bin Rahawaih berpendapat sesuai dengan riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ud
dan Salman, dan lain-lain yang mengatakan bahwa perkara ini termasuk rukhshah;
serta berdasarkan riwayat yang berasal dari al-Hasan dan Ibn Sirin yang membolehkan

14
pengambilan sesuatu yang berasal dari riba dan judi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibn
Manshur.

Sekelompok ulama salaf yang lain memberikan keringanan untuk memakan makanan


dari orang yang diketahui bahwa di dalam hartanya ada sesuatu yang haram, selama orang itu
tidak tahu barang haram itu dengan mata kepalanya sendiri; sebagaimana pendapat Makhul
dan al-Zuhri yang kami sebutkan di awal. Begitu pula pendapat yang diriwayatkan dari
Fudhail bin  'Iyadh.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa orang itu berkata, "Aku tidak tahu
sesuatupun dari miliknya selain barang yang kotor dan haram." Ibn Mas'ud
menjawab: "Penuhi undangannya." Imam Ahmad men-shahih-kan riwayat ini dari Ibn
Mas'ud, akan tetapi  dia menolak isi riwayat darinya dengan berkata, "Dosa itu melingkari
(hawazz) hati."16

Bagaimanapun, perkara-perkara syubhat yang tidak jelas apakah itu halal atau haram,
karena banyak orang yang tidak mengetahui hukumnya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi
saw kadang-kadang kelihatan jelas oleh sebagian orang bahwa ia halal atau haram sebab dia
memiliki ilmu yang lebih. Sedangkan  sabda Nabi saw menunjukkan bahwa ada perkara-
perkara syubhat yang diketahui hukumnya oleh sebagian manusia, tetapi banyak orang yang
tidak mengetahuinya.

Untuk kategori orang yang tidak mengetahuinya, terbagi menjadi dua:

1) Mendiamkan masalah ini dan tidak mengambil tindakan apa-apa karena ini adalah
masalah syubhat.
2)   Orang yang berkeyakinan bahwa ada orang lain yang mengetahui hukumnya. Yakni
mengetahui apakah masalah ini dihalalkan atau diharamkan.

Ini menunjukkan bahwa untuk masalah yang masih diperselisihkan halal haramnya
adalah sama di sisi Allah, sedangkan orang yang lainnya tidak mengetahuinya. Artinya, orang

16
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir, 8747-8750, kemudian disebutkan oleh alHaitsami dalam al-
Majma', 1: 176

15
lain itu tidak dapat mencapai hukum yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Allah SWT
walaupun dia berkeyakinan bahwa pendapatnya mengenai masalah syubhat itu sudah benar.
Orang seperti ini tetap diberi satu pahala oleh Allah SWT karena ijtihad yang dilakukannya,
dan dia diampuni atas kesalahan yang telah dilakukannya.

"Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang syubhat maka berarti telah


menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang telah terjerumus dalam
syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam sesuatu yang haram"

Hadits ini membagi manusia dalam masalah syubhat, menjadi dua bagian; yakni bagi
orang yang tidak mengetahui hukumnya. Adapun orang yang mengetahui hukumnya, dan
mengikuti petunjuk ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia termasuk pada kelompok
ketiga, yang tidak disebutkan di sini karena hukumnya sudah jelas. Inilah kelompok terbaik
dalam tiga kelompok yang menghadapi masalah syubhat, karena ia mengetahui hukum Allah
dalam perkara-perkara syubhat yang dihadapi oleh manusia, dan dia mengambil tindakan
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

Sedangkan kelompok yang tidak mengetahui hukum Allah terbagi menjadi dua:

Pertama, Orang yang menjauhi syubhat tersebut. Kelompok ini dianggap  telah


menyelamatkan (istabra'a) agama dan kehormatannya. Makna istabra'a di sini ialah mencari
keselamatan untuk agama dan kehormatannya, agar terhindar dari kekurangan dan
keburukan. Hal ini menunjukkan bahwa mencari keselamatan untuk kehormatan diri adalah
terpuji, seperti halnya mencari kehormatan untuk agamanya. Oleh sebab itu, ada
ungkapan: "Sesungguhnya sesuatu yang dipergunakan oleh seseorang untuk menjaga
kehormatan dirinya termasuk sedekah."

Kedua, orang yang terjerumus ke dalam syubhat padahal dia tahu bahwa perkara itu
syubhat baginya. Sedangkan orang yang melakukan sesuatu yang menurut pandangan orang
syubhat, tetapi menurut pandangan dirinya sendiri bukan syubhat, karena dia tahu bahwa
perkara itu halal, maka tidak ada dosa baginya di sisi Allah SWT. Akan tetapi, kalau dia
khawatir bahwa orang-orang akan mengecam dirinya karena melakukan hal itu, maka
meninggalkan perkara itu dianggap sebagai penyelamatan terhadap kehormatan dirinya. Dan

16
ini lebih baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi saw kepada orang yang  sedang
melihatnya berdiri bersama Shafiyah; yakni Shafiyah binti Huyai.17

Anas keluar untuk shalat Jumat, kemudian dia melihat orang-orang telah shalat dan
kembali, kemudian dia merasa malu, lalu dia masuk ke sebuah tempat yang tidak tampak oleh
orang banyak, kemudian dia berkata, "Barangsiapa yang tidak malu kepada orang, berarti
dia tidak malu kepada Allah."

Kalau seseorang melakukan suatu perkara dengan keyakinan bahwa perkara itu halal,
dengan ijtihad yang telah diketahui oleh orang banyak, atau dengan taklid yang telah
dilakukan oleh orang banyak, kemudian ternyata keyakinannya salah, maka hukum perkara
yang dilakukannya adalah mengikut hukum ketika dia melakukannya. Akan tetapi kalau
ijtihadnya lemah, dan taklidnya tidak begitu terkenal di kalangan orang banyak, kemudian dia
melakukan hal itu hanya sekadar mengikuti hawa nafsu, maka perkara yang dia lakukan
dihukumi sebagai orang yang melakukan syubhat.

17
Diriwayatkan oleh Bukhari (2035): Muslim (2175): Abu Dawud (2470): dan Ahmad 6:337 dari hadits
Shafiyyah.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam dunia perniagaan hari ini, kita kerap berhadapan dengan situasi percampuran
antara halal dan haram, Dalam pengertian sederhananya halal ialah sesuatu yang
“dibolehkan”, sedangkan haram ialah sesuatu yang “dilarang”. Setelah tingkatan perkara-
perkara kecil yang diharamkan, maka di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak
diketahui hukumnya oleh orang banyak, yang masih samarsamar kehalalan maupun
keharamannya. Hal tersebut membuat situasi menuntut untuk mengetahui hukum
mengenainya, supaya harta yang kita peroleh bersih dari elemen-elemen yang bertentangan
dengan syariah.

18
DAFTAR PUSTAKA
Jundi Taqi Zuhdi, Kaidah-kaidah Fiqih (Qowaidul Fiqhiyyah), 2007, melalui:
http://myquran.net/t/23277

Muharrom T. Kaidah idza ijtama’a al-hala wa al-haram ghuliba al-haram


http://sanusi171.blogspot.com

Qardhawi Yusuf, Fiqih Prioritas. Sebuah Ajaran Baru Berdasarkan AlQur’an Dan
As-Sunah, Jakarta: Robbani Press, Cetakan pertama, Rajab
1416H/Desember 1996M

Sidebar Hr, 2011, http://Melacak-Status-Hukum-Kopi-Luwak-AbuUbaidah-


Yusuf-As-idawi_2.htm

Wan Jemizan W. Deraman, Ahmad Termizi Mohamed Din, Apabila Halal dan
Haram Bercampur, 2011, melalui: www.utusan.com.my

19

Anda mungkin juga menyukai