Dosen pengampu:
M.Fuad Badruddin,M.Pd
Hariroh
FAKULTAS TARBIYAH
KRAKSAAN PROBOLINGGO
SEPTEMBER 2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Dengan menyebut asma ALLAH Yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Segala puji lagi ALLAH yang telah memberikan taufik serta hidayahnya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada suri teladan
kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat yang membawa
kebenaran pada kita semua.
Dan juga terima kasih yang sebesar besarnya kami ucapkan kepada semua
pihak yang telah membantu kami sehingga bisa terselesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan, sebagai wujud rasa syukur
dengan tersusunnya makalah ini kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
selama penyusunan makalah ini, yang telah dengan tulus ikhlas membantu baik
secara moril maupun materiil, terutama kepada dosen pembina maupun teman
teman sekalian.
Kraksaan,25,september,2023
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan.........................................................................................5
3.2 Saran...................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................7
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa al-quran tersebut,
para Ulama’. baik dari ulama’ ushul fiqh, ulama’ tafsir dan lain sebagainya telah
mengadakan penelitian yang serius,terutama atau khususnya yang terkait dengan
gaya bahasa arab. Dalam makalah ini kami akan mencoba untuk membahas
kaidah-kaidah kebahasaan dalam al-quran, khususnya dalam hal mutlaq dan
muqayyad.
1
BAB II
PEMBAHASAN
a. pengertian mutlaq
secara bahasa mutlaq dapat berarti sesuatu yang tidak ada batasnya atau
tidak terikat (ma khala min al-qoyyidi). Sedangkan secara terminologi para ulama’
telah mengemukakan beberapa definisi berbeda, diantaranya :
Dari definisi di atas nampak dengan jelas bahwa yang satu dengan yang
lainnya Bila dilihat dari segi redaksinya saling berbeda, namun sebenarnya dari
berbagai definisi yang di kemukakan, baik dari kalangan ahli ushul fiqh maupun
3
ahli fiqih memiliki subtansi yang sama. Bahwa yang dimaksud dengan mutlaq
adalah sutu lafazh yang menunjukkan kepada satu-satuan tertentu tetapi tanpa
adanya pembatasan. Biasanya lafazh mutlaq ini berbentuk isim nakirah dalam
konteks kalimat positif (al-itsbat). Sebagai contoh lafazh raqabah yang terdapat
dalam Q.S. Al-Mujadalah/58:3:
1
“M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. Jakarta: Lentera Hati, 2013,
h 188.
2
Firdaus, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
Jakarta: Zikrul Hakim, 2004, h. 26.
3
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran Kritik Terhadap Ulumul Quran, Yogyakarta:
Pelangi Aksara, 2005, h. 271.
َر َقَبٍةُرْيَتْح ِرَفَقاُلْو اِلَم ا َيُعْو ُد ْو َن ُثَّم ِّنَس ۤا ِٕىِهْمِم ْن ٰظ ِهُرْو َنُيَو اَّلِذ ْيَن
َخ ِبْيٌر َتْع َم ُلْو نِبَم ا َو ُهّٰللا ِبٖۗهُتْو َع ُظْو َن ٰذ ِلُك ْم َّيَتَم ۤا َّس ۗا َاْنَقْبِل ِّم ْن
“orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan ,maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan allah
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( Q.S Al-mujadalah/58:3)
Lafazh raqabah (budak) yang terdapat dalam ayat diatas tergolong dalam
kategori mutlaq, sebab tidak ada batasan baik berupa sifat-sifat tertentu atau
keadan yang lainnya. Sehingga yang dimaksud dengan budak dalam ayat diatas
bisa mencakup seluruh macam budak, baik budak yang mukmin maupun yang
kafir.4
b.Pengertian muqayyad
muqayyad secara bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah lafazh yang
menunjukkan kepada hakikat lafazh tersebut dengan dibatasi oleh sifat, keadaan,
dan syarat tertentu. Atau dengan kata lain, lafazh yang menunjukkan pada hakikat
lafazh itu sendiri,dengan dibatasi oleh batasan, tapi memandang pada jumlahnya.
ُمْؤ ِم ًن ا َّي ْقُتَل َاْن ِلُمْؤ ِم ٍن َك اَن َو َم ا َخ َط ًٔـا ُمْؤ ِم ًن ا َقَت َل َو َم ْن ۚ َخ َط ًٔـا ِااَّل
َاْه ِلٖٓه ِآٰلى ُّم َس َّلَم ٌة َّو ِدَي ٌة ُّمْؤ ِم َن ٍة َر َق َب ٍة َفَت ْح ِر ْيُر
َقْو ٍم ِم ْن َك اَن َفِاْۗن َّيَّص َّد ُقْو ا َاْن ِآاَّل
َو َب ْي َن ُهْم َب ْي َن ُك ْم َقْو ٍۢم ِم ْن َك اَن َو ِاْن ۗ ُّمْؤ ِم َن ٍة َر َقَب ٍة َفَت ْح ِر ْيُر ْؤ ِم ٌنُم َو ُه َو َّلُك ْم َع ُد ٍّو
ۚ ُّمْؤ ِم َن ٍة َر َقَب ٍة َو َت ْح ِر ْيُر َاْه ِلٖه ِآٰلى ُّم َس َّلَم ٌة َفِدَي ٌة ِّمْي َث اٌق
ۗ ُم َتَت اِبَع ْي ِۖن َش ْه َر ْي ِن َفِص َي اُم َي ِج ْد َّلْم َف َم ْن ِهّٰللا ِّم َن َت ْو َب ًة
ۗ ا َح ِكْيًماَع ِلْي ًم ُهّٰللا َنَك ا َو
4
Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, Jilid.II, Beirut: Dar al-Ma’arif li al-Tiba’ah wa al-Nashr, 1972, h.
15.
“barangsiapa membunuh seorang beriman karena tersalah (hendaklah) dia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriaman serta (membayar) tebusan yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si
terbunuh) membebaskan pembayaran”.(Q.S An-nisa’/4:92)
Kalimat raqabah dalam ayat tersebut dalam ayat tersebut adalah lafazh muqayyad
Yang dibatasi sifat yaitu seorang hamba sahaya yang beriman.
ُّتُمَع َّقْد ِبَم ا ُّيَؤ اِخ ُذ ُك ْم َو ٰل ِكْن َاْيَم اِنُك ْم ِفْٓي ِبالَّلْغ ِو ُهّٰللا ُيَؤ اِخ ُذ ُك ُم اَل
ُتْطِع ُم ْو َن َم ا َاْو َسِط ِم ْن َم ٰس ِكْيَن َع َش َر ِةِاْطَع اُم َفَك َّفاَر ُتٓٗه اَاْلْيَم اَۚن
َفِص َياُم َيِج ْد َّلْم َفَم ْن ۗ َر َقَبٍة َتْح ِرْيُر َاْو ِكْس َو ُتُهْم َاْو َاْهِلْيُك ْم
َۗاْيَم اَنُك ْم َو اْح َفُظْٓو ا َۗح َلْفُتْم ِاَذ اَاْيَم اِنُك ْم َك َّفاَر ُة ٰذ ِلَك ۗ َاَّياٍم َثٰل َثِة
(89) َتْشُك ُرْو َن َلَع َّلُك ْم ٰا ٰي ِتٖه َلُك ْم ُهّٰللا ُيَبِّيُن َك ٰذ ِلَك
“allah tidak menghukum kamu sebab sumpah-sumpah kamu yang tidak disengaja (untuk
bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumapah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak
mampu melakukannya, maka (kafaratnya). Berpuasalah tiga hari. Itulah kafaratmu
apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah allah menerangkan
hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”. (Q.S Al-Maidah :89)
Kafarat puasa tiga hari tersebut di syaratkan ketika orang yang melanggar sumpah
tidak mampu memerdekakan hamba sahaya atau memberi makan atau memberi
pakaian.
ٱَأْلْبَيُض ٱْلَخ ْيُط َلُك ُم َيَتَبَّيَن َح ّٰت ىاَو اْش َر ُبْو اَو ُك ُلْو...
ۖ... ٱْلَفْج ِر ِم َن ٱَأْلْس َو ِد ٱْلَخ ْيِطِم َن
“...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar”. (Q.S Al-Baqarah : 187)
Dalam ayat tersebut ibadah puasaa dibatasi pada waktu malam. Oleh karena itu
puasa sepanjang malam tidak diperbolehkan.5
2.2 Macam-Macam Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
a. Shighat Mutlaq
kita bisa mengenali dan membedakan apakah suatu lafazh itu mutlaq atau
bukan mutlaq (muqayyad) lewat beberapa ciri fisinya :
1) Perintah yang menggunakan mashdar
Jika isim nakiroh berada dalam struktur kalimat perintah yang menggunakan
حرر َر َقَبة
“memerdekakan budak perempuan”
5
Rohman Taufiqur. (2020). Ushul Fikih Kelas XI MA Peminatan Keagamaan, Jakarta:
Kementrian Agama RI
2
أحرررقبة
6
Artikel Hendra. Lafazh Mutlaq dan Muqayyad dalam Al-Quran dan Hadist, dikutip dari
https://www.tongkronganislami.net/mutlaq-dan-muqayyad-dalam-al-quran-dan-hadist/
Sifat, atau lain-lain yang sejenis seperti syarat ghayah bisa menjadi taqyid yang
menghilangkancakupan jenis kemutlaqan lafazh mutlaq, secara juz’i.
Berdasarkan lima bentuk relasi dan empat bentuk, bentuk mutlaq dan
muaqayyad yang teruraikan diatas, dikalangan ulama ada yaang bersepakat ada
juga yang tidak bersepakat :
1) Jika hukum yang sebabnya sama, seperti dalam kasus kafarah puasa bagi
seorang muslim yang mengingkari sumpahnya, atau dalam pengharaman
darah, maka para ulama’ sepakat membawa lafazh mutlaq dibawa ke
muqayyad.
2) Jika hukum dan sebabnya berbeda, seperti dalam kasus tangan dalam
batasan berwudhu’ dan batasan tangan yang dipotong dalam kasus
pencurian, maka para ulama’ sepakat untuk tidak membawa mutlaq ke
muqayyad. Ijma’ ulama’ memberlakukan mutlaq pada ke-mutlaq-annya
dan muqayyad pada ke-muqayyad-annya.
3) Sebagaimana, pada hukumnya berbeda tapi sebabnya sama, seperti
dalam kasus batasan tangan yang dibasuh wudhu dengan batasan tangan
yang diusap untuk tayammum, maka para ulama’ sepakat pula bahwa
tidak boleh membawa lafazh mutlaq ke muqayyad. Masing-masing tetap
pada ke-mutlaq-annya dan ke-muqayyad-annya.
Namun dalam kasus hukumnya sama, tetapi sebabnya berbeda, seperti
dalam kafarah zihar7 dan pembunuhan terencana, masalah ini juga diperselisihkan
antara sebagian besar ulama’ dan ulama’ hanafiah. Menurut ulama’ hanafiah tidak
boleh membawa mutlaq pada muqayyad. Masing-masing berdiri sendiri. Dalam
kasus ini ulama’ syafi’iyah memberi catatan, mutlaq dibawa ke muqayyad apabila
ada alasan atau hukum yang sama. Caranya yaitu ditempuh dengan jalan qiyas.
Sebab terjadinya perselisihan atau cara memandang ayat-ayat yang berbeda
sehingga menghasilkan hukum yang berbeda. Bagi kalangan hanafiah, ayat demi
7
Muhammad Alwi Almaliki Al Husni, zubdatul itqan fi ulumil quraan, (Jedah: Darus Syuraq,
1986), hlm 109.
ayat dan nash-nash itu berdiri sendiri dan masing-masing menjadi hujjah.
Sedangkan jumhur berpendapat bahwa ayat demi ayat dalam al quran adalah satu
kesatuan.
4
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3) Macam mutlaq-muqayyad dibagi menjadi dua yaitu shighat mutlaq dan shighat
muqayyad. Shighat mutlaq adalah isim nakiroh yang hakiki dalam konteks
kalimat positif bukan negatif. Sedangkan shighat muqayyad adalah berbentuk
beberapa lafazh muqayyad yang telah dihilangkan cakupan jenisnya baik secara
kulli maupun juz’i.
Suatu lafazh yang diungkapkan dengan suatu mutlaq dalam suatu nash,
tetapi di nash lain berbentuk muqayyad. Kondisi itlaq dan taqyidnya
bergantung pada sebabhukum.
Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan
sebabnya.bentuk ini seperti dalam kafarah atau penebus dosa untuk
sumpah yang tidak terlaksana.
Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash berbeda baik dalam
hukumnya maupun sebab hukumnya.
Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedang sebabnya sama.
Mutlaq dan muqayyad sama hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Bentuk ini terdapat dalam kasus-kasus kafarah pembunuhan dan kafarah
dzihar.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa setiap manusia tidak pernah luput dari kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu apabila dalam penyusunan makalah
ini banyak didapati kesalahan yang tidak disengaja, kami mohon maaf. Maka dari
itu kritik dan saran yang pembaca berikan sangat kami hargai untuk dapat
menyusun makalah ini dengan baik lagi dialin kesempatan.
6
DAFTAR PUSTAKA
Fahdi bin Abdurrahman bin Sulaiman Ar-rumi. (2003) Dirasat Fi Ulumil Qur’an,
(Huquq At-Thab’a Mahfudzah Lilmuallif)