Anda di halaman 1dari 21

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

USHUL FIQH JAMIAH, M.Pd

KHAS DAN TAKHSIS

OLEH:

ABDURRASYID 180101011066
LAILATUL RAHMI 180101011171

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan taufiq, hidayah,
serta inayahnya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta
salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini bisa terwujud atas
bantuan dan jasa dari berbagai pihak, baik bantuan moril maupun materil. Untuk itu
penulis tidak lupa mengucap terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Ushul
Fiqh Ibu Jamiah, M.Pd. yang telah memberikan masukan terhadap pembuatan makalah
ini.

Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada
umumnya. Dan kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dari makalah ini,
maka dari itu kami mengharapkan banyak kritik serta saran agar kami dapat
memperbaikinya dimasa yang akan datang.

Banjarmasin, 3 Maret 2019

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................................................................... 1
Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 1
Tujuan........................................................................................................................................ 1
BAB II ...............................................................................................Error! Bookmark not defined.
PEMBAHASAN .................................................................................Error! Bookmark not defined.
A. KHAS DAN TAKHSIS .................................................................Error! Bookmark not defined.
1. Pengertian Khas dan Takhsis ............................................................................................. 2
2. Pembagian Takhsis ............................................................................................................ 3
3. Macam-macam Takhsis ..................................................................................................... 8
BAB III .......................................................................................................................................... 14
PENUTUP ..................................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan.......................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... .

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana telah di ketahui sumber ajaran islam, baik Al-Qur’an maupun


sunnah adalah sumber ajaran yang berbahasa arab. Oleh karena itu, untuk memahami
hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah harus benar-benar
memahami gaya bahasa (uslub) yang ada dalam bahasa arabdan cara penunjukkan nash
kepada artinya.

Para ulama ahli ushul fiqh mengarahkan perhatian mereka kepada penelitian
terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa arab yang lazim digunakan untuk
memahami nash-nash syariat secara benar sesuai pemahaman orang arab sendiri yang
nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.

Oleh karena itu, maka diperlukan adanya pembelajaran yang dapat memberian
pemahaman tentang uslub-uslub bahasa arab untuk memahami sumber hukum islam
dengan benar.

Para ushuliyyin menetapkan bahwa, perhubungan lafadz dengan makna


mempunyai beberapa segi yang harus dibahas. Mereka membagi lafadz dalam
hubungannya kepada beberapa bagian, yang diantaraanya yaitu pembagian tentang
“lafadz dari segi kandungan prngrtiannya; yang dalam makalah ini akan membahas
tentang khas dan takhsis.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Khas dan Takhsis?


2. Apa saja pembagian takhsis?
3. Apa saja macam-macam takhsis?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian khas dan takhsis.


2. Untuk mengetahui pembagian takhsis.
3. Untuk mengetahui macam-macam takhsis dan contohnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Khas dan Takhsis

1. Pengertian Khas dan Takhsis


Di samping lafal ‘amm, ada juga lafal khas, yaitu perkataan atau susunan
yang mengandung arti tertentu yang tidak umum. Jadi khas adalah kebalikan
dari ‘amm.1
Khas adalah suatu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan orang,
barang, atau hal. Seperti lafazh rajulun (orang laki-laki). Upaya mengeluarkan
sebagian daripada satuan-satuan lafazh ‘amm dari ketentuan lafazh (dalil) ‘amm,
dan lafazh ‘amm tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada
(tidak dikeluarkan) disebut takhsis.2
Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau
mengeluarkan satuan-satuan materi dari yang umum, sedangkan satuan lainnya
belum atau tidak disebutkan. Dengan demikian, keumumannya masih berlaku
bagi satuan yang tersisa.
Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya
satuan dari yang umum.
Kaitannya dengan khas, takhsis, dan mukhassis, Hanafi menjelaskan
melalui satu contoh, sebagaimana tertuang dalam surah Al-A’araf ayat 32:

ْْْۚ‫ق‬ ِْ ‫الرز‬
ِ َْْ‫تْ ِمن‬ َّ ‫جْ ِل ِعبَا ِدِۦهْ َو‬
ِْ ‫الط ِي ٰب‬ َْ ‫ّللاِْالَّتِىْْأَخ َر‬
َّْ َْ‫قُلْْ َمنْْ َح َّر َْمْ ِزينَ ْة‬
َْ ‫صةْْيَو َْمْال ِق ٰي َم ِْةْْْۚ َك ٰذ ِل‬
ِ َ‫كْنُف‬
ُْ ‫ص‬
ْ‫ل‬ َ ‫ىْ ِللَّذِينَْْ َءا َمنُواْفِىْال َح ٰيوةِْْالدُّنيَاْخَا ِل‬ َْ ‫قُلْْ ِه‬
َْ‫تْ ِلقَومْْ َيعلَ ُمون‬ ِْ ‫اْل َ ٰاي‬
"Katakanlah (Muhammad), Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-
baik? Katakanlah, Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan

1
Khairul Uman dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 81
2
Abdul Hidayat, Ushul Fiqh (Dasar-dasar Memahami Fiqh Islam), Banjarmasin, IAIN Antasari Fakulats
Tarbiyah, 2006, hlm 86

2
dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 32)
Maksudnya, perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu
dapat dinikmati di dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang tidak beriman. Sedangkan di akhirat nanti perhiasan dan makanan baik
tersebut semata-mata untuk orang yang beriman saja.
Dalam ayat diatas diterangkan bahwa semua perhiasan boleh dipakai.
Perhiasan itu meliputi cincin emas, pakaian, intan, kalung, dan lain-lain.
Masing-masing disebut satuan-satuannya (afrad al-‘amm). Cincin emas
kwmudian di keluarkan dari ketentuan ayat 32 surah Al-A’raf tesebut sebab
tidak boleh dipakai oleh kaum laki-laki. Ini dinamakan takhsis. Pengeluaran ini
berdasarkan pada hadits. Karena membatasi keumuman3 ayat tersebut (sebab
tidak meliputi cincin emas), maka haditsnya dinamai mukhassis. Melihat hadits
itu sendiri yang hanya mengenai satu hal saja, yaitu cincin emas, hadits itu
disebut khas.
Dengan contoh di atas, secara definitif lafazh khas adalah suatu lafazh
yang di pasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.
Dengan demikian, takhsis ialah membatasi jumlah afrad al-‘amm
(taqlil). Berbeda dengan nasakh karena nasakh ialah membatalkan hukum yang
telah ada dan mengganti dengan hukum yang baru (tabdil). Takhsis (mukhassis)
bisa dengan kata-kata Al-Qur’an dan hadits, dan bisa juga dengan dalil-dalil
syara’ berupa ijma’, qiyas, dan dengan dalil akal. Nasakh (nasikh) hanya bisa
dengan kata-kata.
Takhsis hanya masuk pada dalil umum, sedangkan nasakh bisa masuk
kepada dlil umum maupun khusus. Dengan perkataan lain, yang di takhsis kan
hanya dalil umum, dalil khusus tidak bisa, sedangkan nasakh, yang dibatalkan
bisa dalil umum maupun dalil khusus.4

3
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 236
4
Ibid., hlm. 237

3
2. Pembagian Takhsis
a. Mukhassis muttasil, yaitu mukhassis yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
pengertiannya selalu berhubungan dengan dalil. Yang termasuk mukhassis
muttasil ialah:
1) ‘istisna
Menurut Amir, istisna adalah mengeluarkan sesuatu dari pembicaraan
yang sama dengan menggunakan “kecuali”, atau kata lain yang sama
maksudnya dengan itu.
Istisna ialah mengeluarkan sesuatu dari yang lainnya, seperti,
silahkan makan buah itu kecuali manga. Al-mustasna minhu ialah
perkataan “semua” buah-buahan, dan buah mangga di kecualikan dari
buah-buahan yang boleh dimakan. Al-mustasna ialah buah mangga
yang dikecualikan (segala hal yang dikecualikan) Istisna muttasil
ialah apabila antara mustasna minhu dan mustasna satu jenis. Istisna
munqati ialah apabila mustasna dan mustasna minhu tidak satu jenis,
seperti dalam surat Al-Ahqaf ayat 25:

ْْْْۚ‫لْ َمسٰ ِكنُ ُهم‬ ْ َ ْ‫لْشَىءْْبِأَم ِْرْ َربِ َهاْفَأَصبَ ُحوا‬


ْ َّ ِ‫لْيُ ٰرىْْإ‬ َّْ ‫تُدَ ِم ُْرْ ُك‬
َْ‫كْنَج ِزىْالقَو َْمْال ُمج ِر ِمين‬ َْ ‫َك ٰذ ِل‬
"yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya,
sehingga mereka (kaum 'Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi)
kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah
Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa."
(QS. Al-Ahqaf 46: Ayat 25)
Kata “mereka” untuk kaum ‘ad, yang dikecualikan tempat tinggalnya,
artinya bukan yang sejenis. Karena kaum ‘ad itu jenis manusia,
sedangkan tempat tinggal terbuat dari batu atau benda selain manusia.

Syarat-syarat sahnya istisna:


a. Dalam mengucapkan istisna, antara mustasna dan mustasna minhu
harus bertemu. Berbentuk, berhenti sebentar, pertanyaan-peorang

4
lain dan keadaan lain yang menurut kebiasaan tidak memutuskan
pembicaraan, tidak dianggap membatalkan sahnya istisna.
b. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang
menghabiskan adalah batal. Misalnya “aku punya uang sejuta,
kecuali sejuta.”

Istisna dari kalimat ingkar (nafi) menjadi positif. Contoh: tidak ada
Tuhan, Kecuali Allah. Tidak ada tuhan adalah kalimat ingkar,
pengecualiannya (istisna) menetapkan adanya tuhan, yaitu Allah.

Menurut pendapat Imam Syafi’I, Imam Malik, dan Imam Ahmad,


istisna sesudah beberapa jumlah yang bersambung-sambung, istisna
itu kembali kepada semua jumlah.

Golongan hanafiyah mengatakan bahwa istisna itu kembali pada


jumlah yang terakhir. Menurut Imam Syaukani; kalau tidak ada
halangan, baik dari lafazh itu sendiri maupun dari dalil-dalilnya,
pengecualian (istisna) itu kembali kepada seluruh jumlah sebelumnya.

Contoh dalam surat An-Nur ayat 4-5:

ْ‫ش َهدَا َْء‬ ُ ْ‫تْث ُ َّْمْلَمْْ َيأتُواْ ِبأَر َب َع ِْة‬


ِْ ‫ص ٰن‬ َ ‫َوالَّذِينَْْ َير ُمونَْْال ُمح‬
ْ‫كْ ُه ُْم‬ ٰ ُ ‫لْتَقبَلُواْلَ ُهمْْشَهٰ دَةْْأَبَداْْْۚ َوأ‬
َْ ِ‫ولئ‬ ْ َ ‫فَاج ِلدُو ُهمْْثَمٰ نِينَْْ َجلدَةْْ َو‬
ْْ‫ّللاَْ َغفُور‬
َّْ ْ‫ن‬ َّْ ِ ‫كْ َوأَصلَ ُحواْفَإ‬ َْ ‫لْالَّذِينَْْتَابُواْ ِمنْْبَع ِْدْ ٰذ ِل‬ ْ َّ ‫ْ ِإ‬.َْ‫ال ٰف ِسقُون‬
ْ‫َّر ِحيم‬
"Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang
yang fasik," "kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan

5
memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang." (QS. An-Nur 24: Ayat 4-5)

Pengecualian (istisna) pada ayat tersebut bisa kembali kepada


orang-orang fasik saja (jumlah terakhir). Bisa juga kembali kepada
orang-orang fasik dan persaksian mereka (seluruh jumlah). Kalau
kembali kepada jumlah yang terakhir, meskipun sudah tobat, orang
yang menuduh itu tetap tidak bisa menjadi saksi.

2) Syarat
Syarat dibagi dua:
a) Syarat tunggal, seperti jika telah wudhu, kamu bersih dari
najis.
b) Syarat berbilang, yaitu suatu hal yang harus menyatu, jika
kamu rajin belajar dan bekerja, kamu akan pintar. Jika kamu
beriman dan beramal shaleh, kamu akan masuk surge. Atau
masing-masing dapat berdiri sendiri. Misalnya kalu berwudhu
dan mandi janabah harus memakai niat.
Contoh syarat, di antaranya dalam al-qur’an surah an-nisa ayat
11:

َْ ‫نْثُلُثَاْ َماْت َ َر‬


ْْ‫كْْْۚ َو ِإنْْ َكانَت‬ َّْ ‫نْفَلَ ُه‬
ِْ ‫ساءْْفَوقَْْاثنَتَي‬ َّْ ‫فَإِنْْ ُك‬
َ ِ‫نْن‬
ُْ ‫ٰو ِحدَةْْفَلَ َهاْالنِص‬
ْْْۚ‫ف‬
"Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka
dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan)."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 11)
Dalam syarat berbilang yang tidak dapat berdiri sendiri,
masyrut baru terwujud dengan terwujudnya syarat-syarat
keseluruhannya. Dalam syarat yang dapat berdiri sendiri,

6
masyrut dapat terwujud dengan hanya salah satu dari syarat-
syarat yang telah disebutkan.
3) Sifat
Sifat disebut dibelakang dengan satu lafazh atau beberapa lafazh.
Contoh dalam surat An-Nisa ayat 25

ِْ ‫تْال ُمؤ ِم ٰن‬


ْْ‫تْفَ ِمن‬ ِْ ‫ص ٰن‬
َ ‫حْال ُمح‬ َ ْْ‫َو َمنْْلَّمْْيَست َ ِطعْْ ِمن ُكم‬
َْ ‫طولْْأَنْْيَن ِك‬
ِْ ‫َّماْ َملَ َكتْْأَيمٰ نُ ُكمْْ ِمنْْفَت َ ٰيتِ ُك ُْمْال ُمؤ ِم ٰن‬
ْْْۚ‫ت‬
"Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk
menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan
menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu
miliki. " (QS. An-Nisa' 4: Ayat 25)
Kata fatayat adalah kata umum yang dapat meliputi beriman atau
yang tidak beriman. Dengan adanya sifat al-mukminat (beriman),
hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk di dalamnya.
Adakalanya kata-kata itu saling berhubungan dan adakalanya
tidak berhubungan. Jika berhubungan, sifat itu kembali kepada mausuf
dan dalam keadaan tidak berhubungan, sifat itu kembali kepada kata
yang terakhir.
Contoh pertama:
Terjadi ikhtilaf dalam hal kembalinya sifat, sebagaimana dalam surat
An-Nisa ayat 23:

ْ‫سائِ ُك ُْمْالّٰتِى‬ َ ِ‫َوأ ُ َّمهٰ تُْْن‬


ِ ‫سائِ ُكمْْ َو َر ٰبئِبُ ُك ُْمْالّٰتِىْفِىْ ُح ُج‬
َ ِ‫ور ُكمْْ ِمنْْن‬
ْ‫نْفَإِنْْلَّمْْت َ ُكونُواْدَخَلتُمْْبِ ِه َّن‬
َّْ ‫دَخَلتُمْْبِ ِه‬
"Diharamkan atas kamu (menikahi)ibu-ibu istrimu (mertua), anak-
anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu
dari istri yang telah kamu campuri,"
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 23)
Ada perbedaan persepsi, apakah mausuf nya hanya kalimat
“istrimu yang terakhir” atau berikut perkataan istrimu yang pertama.

7
Menurut jumhur ulama, kalau mausuf nya hanya perkataan
istrimu yang terakhir, mertua perempuan menjadi haram (muhrim)
apabila sudah mengawini anaknya. Jadi perkawinan saja sudah cukup
menyebabkan haram, karena syarat bercampur (terhadap istri hanya
menjadi syarat haramnya anak tiri. Adapun jika mausuf nya kedua
perkataan istrimu yang ada pada ayat tersebut, mertua belum menjadi
haram dengan mengawini anaknya, sebagaimana pendapat diatas,
tetapi baru haram jika sudah mencampurinya.
Jika demikian, haramnya seorang mertua perempuan karena
mengawini anaknya atau karena mengawini dan mencampurinya?
Pendapat pertama dinyatakan oleh jumhur ulama sebagai pendapat
yang paling rajah.
4) Ghayah
Ghayah ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya
(ghayah) dan tidak adanya hukum bagi sesudahnya. Adapun
mughayah ialah lafazh yang jatuh sesudah ghayah. Ghayah ada dua,
yaitu hatta (sehingga) dan ila (sampai). Misalnya: “tidak ada dosa
bagimu berbuat sesuatu, sehingga kamu mendurhakai.”
Kalimat sebelum kata kata sehingga, memberi pengertian, bahwa
semua perbuatan tidak dilarang. Kata sehingga mentakhsiskan
keumuman kalimat sebelumnya. Sebab, dengan adanya perhitungan
ini, tidak berlaku hukum yang umum, yaitu tidak adanya dosa. Hal itu
dapat diartikan “berdosa” jika melakukan perbuatan yang durhaka.
Contoh lainnya, terdapat ayat yang artinya: “semua perbuatan
tidak menyebabkan dosa, sehingga ada rasul yang menjelaskan status
perbuatan yang dimaksudkan.” Jadi, jika telah ada peringatan dari
Allah atau Rasul tentang segala perbuatan dan manusia dituntut
memilih yang baik dengan meninggalkan yang buruk, setiap
perbuatan atas balasannya.
Ghayah harus masuk kepada mughayah nya dalam hal yang
sejenis, misalnya dalam surah Al-Maidah ayat 6:

8
ْْ‫ص ٰلوةِْْفَاغ ِسلُواْ ُو ُجو َه ُكم‬
َّ ‫ٰيأَيُّ َهاْالَّذِينَْْ َءا َمنُواْإِذَاْقُمتُمْْ ِإلَىْال‬
ِْ ِ‫َوأَي ِديَ ُكمْْإِلَىْال َم َراف‬
ْ‫ق‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai
ke siku,."
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 6)
Karena lengan dan siku satu jenis, yaitu sama-sama tangan,
tangan dibasuh sampai dengan siku-sikunya.
Ghayah juga dapat masuk kepada mughayah yang tidak sejenis,
contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 187:

ِْ ‫امْ ِإلَىْالَّي‬
ْْْۚ‫ل‬ ِ ْ‫ث ُ َّْمْأَتِ ُّموا‬
َْ َ‫الصي‬
" Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 187)
Puasa dengan malam bukan hal yang sejenis, tetapi keduanya
menyatu untuk menjelaskan maksud tertentu.
5) Badal ba’da min kulli
Dalam ilmu nahwu badal (pengganti) yang bisa mentakhsis kan
hanya badal badhi minkullin. Contohnya dalam surat Ali Imran ayat
97:

َ ْ‫عْ ِإلَي ِْه‬


ْْْْۚ‫س ِبيل‬ َْ َ ‫نْاست‬
َْ ‫طا‬ ِْ ‫تْ َم‬
ِْ ‫جْالبَي‬ ْ ِ َّ‫لِلِْ َعلَىْالن‬
ُّْ ‫اسْ ِح‬ َّْ ِ ‫َو‬
"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang
mampu mengadakan perjalanan ke sana."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 97)
Kata an-nas adalah kull (semua manusia), artinya siapa pun juga
terkena kewajiban haji. Manistatha’a (yang kuasa) adalah sebagian
(ba’dhu) dari keseluruhan manusia, dan menggantikan lafazh an-nas.
Dengan adanya penggantian ini, tidak setiap orang di wajibkan haji,
tetapi hanya yang mampu.

9
c. Mukhassis munfasil, yaitu mukhassis yang dapat berdiri sendiri. Yang
termasuk mukhassis munfasil ialah:
1) Peraturan-peraturan syariat yang umum;
2) ‘urf (kebiasaan);
3) Nash-nash hukum syara’, yaitu al-qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas.

Mukhassis munfasil berkaitan dengan dasar hukum yang umum, artinya


berbagai taklif yang tidak ada pengecualiannya, sebagaimana taklif
berlakunya beban hukum untuk semua mukallaf. Dengan demikian, anak
kecil, orang gila, dan orang yang sedang tidur tidak terkena taklif karena
bukan mukallaf.

Berkaitan pula dengan urf (kebiasaan), karena terkadang kebiasaan dapat


mentakhsiskan nash-nash yang umum.5

3. Macam-macam Takhsis
1) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an.

ْْْْْ ْ‫نْث َْٰلث َ ْةَْقُ ُروء‬


َّْ ‫طلَّ ٰقتُْْيَت َ َربَّصنَْْ ِبأَنفُ ِس ِه‬
َ ‫َوال ُم‬
"Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru'." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 228)
Lafazh ini bersifat umum, yaitu semua wanita yang ingin
dithalaq masa iddahnya harus menunggu tiga kali suci. Namun pada ayat
yang lain ada menerangkan sebagai takhsis dari ayat di atas, bahwa
wanita yang hamil ketika dithalaq masa iddahnya hanya menunggu
sampai melahirkan.
Allah SWT berfirman:

5
Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 258

10
َّْ ‫نْارتَبتُمْْفَ ِعدَّت ُ ُه‬
ْ‫ن‬ ِْ ‫سائِ ُكمْْ ِإ‬ ْ ِ ‫َو ٰالَّـئِىْيَئِسنَْْ ِمنَْْال َم ِح‬
َ ِ‫يضْ ِمنْْن‬
َ َ‫نْأَنْْي‬
َْْ‫ضعن‬ َّْ ‫لْأ َ َجلُ ُه‬
ِْ ‫ولتُْْاْلَح َما‬ ٰ ُ ‫ث َ ٰلث َ ْةُْأَش ُهرْْ َو ٰالَّـئِىْلَمْْيَ ِحضنَْْْْْ َوأ‬
‫ّللاَْ َيج َعلْلَّ ْهۥُْ ِمنْْأَم ِر ِْهۦْيُسرا‬ َّْ ‫َحملَ ُه‬
ِْ َّ ‫نْْْْ َو َمنْْيَت‬
َّْ ْ‫ق‬
"Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di
antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka
idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah
mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya
dalam urusannya." (QS. At-Talaq 65: Ayat 4)
Begitu juga dengan wanita yang belum melakukan hubungan
badan ketika di thalaq, mereka tidak ada iddah.
Allah SWT berfirman:

َّْ ‫طلَّقت ُ ُمو ُه‬


ْْ‫نْ ِمن‬ ِْ ‫ٰيأَيُّ َهاْالَّذِينَْْ َءا َمنُواْإِذَاْنَ َكحت ُ ُْمْال ُمؤ ِم ٰن‬
َ ْ‫تْث ُ َّْم‬
َّْ ‫نْفَ َماْلَ ُكمْْ َعلَي ِه‬
َّْ ‫نْ ِمنْْ ِعدَّةْْتَعتَدُّونَ َها ْْْْْفَ َم ِتعُو ُه‬
ْ‫ن‬ ُّ ‫لْأَنْْت َ َم‬
َّْ ‫سو ُه‬ ِْ ‫قَب‬
ْ‫س َراحاْ َج ِميل‬ َّْ ‫س ِر ُحو ُه‬
َ ْ‫ن‬ َ ‫َو‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka
yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut‘ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya." (QS. Al-
Ahzab 33: Ayat 49)
2) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Hadits.
Allah SWT berfirman:

ْْْْْ‫ّللاُْفِىْْأَو ٰل ِد ُكم‬
َّْ ْ‫وصي ُك ُْم‬
ِ ُ‫ي‬

11
"Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian
warisan untuk) anak-anakmu,
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 11)
Lafazh ini bersifat umum, yaitu anak-anak yang mendapat harta
warisan. Kemudian ada hadits Nabi yang bersifat khas, yaitu anak yang
kafir yang tidak akan mendapatkan warisan.

ُ ‫ثْال ُمس ِل ُمْال َكافِ ُرْ َو َلْيَ ِر‬


ْ‫ْ(متفق‬.‫ثْال َكافِ ُرْال ُمس ِل ُم‬ ُ ‫َلْيَ ِر‬
)‫عليه‬
“Orang Islam itu tidak menerima warisan dari orang kafir, dan
orang kafir tidak menerima warisan dari orang muslim.” (HR. Bukhari-
Muslim).
3) Mentakhsis Hadits dengan Al-Qur’an.

َّ ‫ثْ َحتَّىْيَت َ َو‬


ْ)‫ْ(متفقْعليه‬.َٔ ‫ضا‬ َْ َ‫ص َلة َْا َ َح ِد ُكمْاِذَاْاَحد‬
َ ُْ‫ّللا‬ ُْ ‫لَْيُق َب‬
ّٰ ْ‫ل‬
“Allah tidak akan menerima shalat seseorang dari kamu apabila
berhadats sehingga berwudhu. (HR. Bukhari-Muslim).
Lafazh hadits ini bersifat umum, yaitu bersuci itu dengan wudhu,
tetapi pada ayat al-qur’an ada keterangan yang bersifat khas, yaitu
kebolehan bersuci dengan tayammum apabila dalam keadaan sakit,
musafir, atau tidak mendapatkan air.
Allah SWT berfirman:

ُ ْْ‫ص ٰلو ْة َْ َوأَنتُم‬


ْ‫س ٰك ٰرىْ َحتّٰىْتَعلَ ُمواْ َما‬ ْ َ ْ‫ٰيأَيُّ َهاْالَّذِينَْْ َءا َمنُوا‬
َّ ‫لْتَق َربُواْال‬
ْْ‫سْبِيلْْ َحتّٰىْتَغت َ ِسلُوا ْْْْْ َوإِنْْ ُكنتُم‬ َ ْ‫عابِ ِرى‬ ْ َ ‫تَقُولُونَْْ َو‬
ْ َّ ِ‫لْ ُجنُباْإ‬
َ ْ‫ل‬
ْ‫طْأَوْْ ٰل َمست ُ ُْم‬ َ ْ‫ضىْْأَوْْ َع ٰلى‬
ِْ ِ‫سفَرْْأَوْْ َجا َْءْأ َ َحدْْ ِمن ُكمْْ ِمنَْْالغَائ‬ ٰ ‫َّمر‬
ْْ‫س ُحواْ ِب ُو ُجو ِه ُكم‬ َ ْ‫ص ِعيدا‬
َ ‫طيِباْفَام‬ َ ْ‫سا َْءْفَلَمْْت َ ِجدُواْ َماءْْفَت َ َي َّم ُموا‬
َ ِ‫الن‬
‫ّللاَْ َكانَْْ َعفُ ًّواْ َغفُورا‬ َّْ ِ‫َوأَيدِي ُكمْ ْْْْْإ‬
َّْ ْ‫ن‬

12
"Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika
kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu
ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam
keadaan junub kecuali sekadar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu
mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam
perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah
kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu
dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 43)
4) Mentakhsis Hadits dengan Hadits.

)‫ْ(متفقْعليه‬.‫س َما ُءْال َعش ُر‬ َ َ‫سق‬


َّ ‫تْال‬ َ ْ‫فِي َما‬
“Pada tanaman yang disirami air hujan zakatnya sepersepuluh (10%)”
(HR. Bukhari-Muslim).
Lafazh hadits ini bersifat umum, sebab tidak ada batasan dan
jenisnya. Pada hadits lain diterangkan bahwa hasil tanaman itu yang
wajid di zakati minimal 5 usuq.

)‫ْ(متفقْعليه‬.‫صدَقَة‬ ُ ‫س ِةْاُو‬
َ ْ‫سق‬ َ ‫لَي‬
َ ‫سْ ِفي َماْدُونَ ْالخَم‬
“Tidak ada pada tanaman yang kurang dari lima usuq shadaqah (zakat).”
(HR. Bukhari-Muslim).
-satu wasaq= 60 sha’
-lima wasaq= 5 x 60 sha’= 300 sha’
-satu sha’= 3,1 liter
-300 sha’= 300 x 3,1 liter= 930 liter.
5) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Ijma.
Allah SWT berfirman:

ْ‫ص ٰلوْةِْ ِمنْْيَو ِْمْال ُج ُم َع ِْةْفَاس َعواْ ِإ ٰلى‬ َْ ‫ٰيأَيُّ َهاْالَّذِينَْْ َءا َمنُواْإِذَاْنُود‬
َّ ‫ِىْ ِلل‬
َْ‫ّللاِْ َوذَ ُرواْال َبي َْعْْْْ ٰذ ِل ُكمْْخَيرْْلَّ ُكمْْ ِإنْْ ُكنتُمْْتَعلَ ُمون‬
َّْ ْ‫ذِك ِْر‬

13
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk
melaksanakan sholat pada hari Jum'at, maka segeralah kamu mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah 62: Ayat 9)
Lafazh ayat di atas bersifat umum, sebab tidak ada batasan
(semua orang yang beriman). Akan tetapi, para ulama telah sepakat
(ijma’) bahwa perempuan, dan para budak tidak berkewajiban sholat
jum’at. Kesepakatan para ulama (ijma) ini tentunya adanya qarinah dari
nash sendiri secara tidak langsung.
6) Mentakhsis ayat Al-Quran dengan Qiyas.
Allah SWT berfirman:

ْْْْْ ْ‫لْ ٰو ِحدْْ ِمنْ ُه َماْ ِمائ َ ْةَْ َجلدَة‬ َّ ‫الزانِيَ ْةُْ َو‬
َّْ ‫الزانِىْفَاج ِلدُواْ ُك‬ َّ
"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali,..” (QS. An-Nur 24: Ayat 2)
Lafazh ayat ini bersifat umum, yaitu meliputi semua orang.
Kemudian, ada keterangan ayat lain yang bersifat khas yaitu bagi budak
perempuan hukuman mereka setengah dari yang berlaku terhadap
perempuan merdeka.
Allah SWT berfirman:

ِْ ‫تْال ُمؤ ِم ٰن‬


ْ‫تْفَ ِمنْْ َّما‬ ِْ ‫ص ٰن‬
َ ‫حْال ُمح‬ َ ْْ‫َو َمنْْلَّمْْيَست َ ِطعْْ ِمن ُكم‬
َْ ‫طولْْأَنْْيَن ِك‬
ُ ‫ّللاُْأَعلَ ُْمْبِإِيمٰ نِ ُكمْْْْْبَع‬
ْْ‫ض ُكم‬ َّْ ‫ت ْْْْْ َو‬ ِْ ‫َملَ َكتْْأَيمٰ نُ ُكمْْ ِمنْْفَت َ ٰيتِ ُك ُْمْال ُمؤ ِم ٰن‬
َ ‫نْأ ُ ُج‬
َّْ ‫ور ُه‬
ْ‫ن‬ َّْ ُ‫نْ َو َءاتُوه‬ َّْ ‫نْأَه ِل ِه‬ َّْ ُ‫ِمنْْ َبعضْ ْْْْْفَان ِك ُحوه‬
ِْ ‫نْ ِبإِذ‬
ِْ ‫لْ ُمت َّ ِخ ٰذ‬
ْْ‫تْأَخدَانْْْْْفَإِذَا‬ ْ َ ‫ص ٰنتْْغَي َْرْ ُمسٰ ِفحٰ تْْ َو‬ َ ‫وفْ ُمح‬ ِْ ‫ِبال َمع ُر‬
َْْ‫تْ ِمن‬ ِْ ‫ص ٰن‬
َ ‫فْ َماْ َعلَىْال ُمح‬ ُْ ‫نْنِص‬ َّْ ‫نْفَإِنْْأَتَينَْْ ِب ٰف ِحشَةْْفَ َعلَي ِه‬ ِ ‫أُح‬
َّْ ‫ص‬
ِْ ‫العَذَا‬
ْْْْ‫ب‬

14
"Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk
menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi
perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang
lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka
dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena
mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan
pezina, dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka
setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang
tidak bersuami).." (QS. An-Nisa' 4: Ayat 25)
Keterangan ayat diatas tertuju kepada budak perempuan, sedang
pada budak laki-laki tidak ada diterangkan. Para ulama mengqiyaskan
bahwa budak laki-laki yang melakukan zina hukumannya sama dengan
budak perempuan yaitu setengah (50 kali dera). Ayat ini mentakhsis ayat
sebelumnya (QS. An-Nur: 2), begitu juga dengan qiyas yang dilakukan
para ulama ushul fiqh.6

6
Ibid., hlm. 88-96.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Khas adalah suatu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan orang, barang, atau hal

Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau mengeluarkan satuan-
satuan materi dari yang umum, sedangkan satuan lainnya belum atau tidak disebutkan.
Dengan demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.

Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya satuan dari yang
umum. Mukhassis terbagi menjadi dua, yaitu mukhassis muttasil, dan mukhassis
munfasil.

Mukhassis muttasil terbagi menjadi:

1. Istisna
2. Syarat
3. Sifat
4. Ghayah
5. Badal

Mukhassis munfasil terbagi menjadi:

1) Peraturan-peraturan syariat yang umum;


2) ‘urf (kebiasaan);
3) Nash-nash hukum syara’, yaitu al-qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas.

Macam-macam takhsis:

1) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an


2) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Hadits.
3) Mentakhsis Hadits dengan Al-Qur’an
4) Mentakhsis Hadits dengan Hadits
5) Mentakhsis Ayat Al-Qur’an dengan Ijma.

16
6) Mentakhsis ayat Al-Quran dengan Qiyas

17
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Abdul. 2006. Ushul Fiqh (Dasar-dasar Memahami Fiqh Islam). IAIN Antasari
Fakulats Tarbiyah: Banjarmasin.

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia: Bandung.

Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009 Fiqh Ushul Fiqh. Pustaka Setia: Bandung.

Uman, Khairul dan A. Achyar Aminudin. Ushul Fiqih II. Pustaka Setia: Bandung.

Al-Qur’an Indonesia. http://quran-id.com

https://www.academia.edu 20:54

Anda mungkin juga menyukai