Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

QAWAID FIQHIYYAH

AL-QAWAID AL KHAS

Disusun

Oleh:

Raujatul Jannah

NIM : 202101004

Dosen Pengampu :

Ikhsan, M.H

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TEUNGKU CHIK PANTE KULU

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

‫السالم عليكم ورحمةهللا وبركا ته‬

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini. Sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Penulis memohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan penyusunan makalah pada masa yang akan datang.

Banda Aceh, 09 Mei 2023

Penyusun Makalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULAN

A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Khas.................................................................................................2
B. Pembagian Khas................................................................................................3
C. Qawaid Al Khas.................................................................................................4
D. Implementasi Kaidah.........................................................................................6
E. Dasar Hukum.....................................................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................................11
B. Saran..................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan menggunakan Bahasa Arab. Sebagai bahasa Al Qur’an, Bahasa Arab memiliki
berbagai macam dialek (lahjah), sehingga tidak sedikit dijumpai lafadz yang kadang kala
bisa memiliki berbagai macam arti. Dalam Al Qur’an banyak dijumpai istilah yang biasa
dipakai untuk menunjukkan makna tertentu, seperti lafadz ‘am, khas, muthlaq, muqayyad,
dan lain sebagainya.
Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al Qur’an tersebut, para ulama,
baik ulama ushul fiqh, ulama tafsir, ulama lughah, dan lain sebagainya, telah mengadakan
penelitian yang serius terhadap beberapa lafadz, khususnya yang terkait dengan uslub atau
gaya bahasa arab.
Hasil penelitian dari para ulama tersebut kemudian disusun menjadi beberapa kaidah-
kaidah atau ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan untuk memahami nash-nash Al
Qur’an secara baik dan benar. Kaidah-kaidah tersebut bisa berupa kaidah yang terkait dengan
masalah kebahasaan, hukum, ilmu-ilmu Al Qur’an, dan lain sebagainya. Dalam makalah ini
kami akan mencoba untuk membahas kaidah-kaidah kebahasaan dalam Al Qur’an, khususnya
dalam hal lafadz ‘am dan khas.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, disusun rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pengertian qawaid al khas ?
2. Bagaimana cara mengetahui lafadz khas ?

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui pengertian qawaid al khas.
2. Mengetahui lafadz khas.
3. Mengetahui jenis-jenis khas

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Khas
Lafadz khas merupakan lawan dari lafadz ‘am, jika lafadz ‘am memberikan arti
umum, yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai satuan-satuan yang banyak, maka lafadz
khas adalah suatau lafadz yang menunjukan makna khusus. 1 Definisi lafadz khas dari para
ulama adalah sebagai berikut:
1. Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khas adalah lafadz yang merupakan kebalikan dari
lafadz ‘am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada
pembatasan.
2. Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khas adalah setiap lafadz yang digunakan
untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang diketahui.
3. Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khas adalah lafadz yang digunakan
untuk menunjukkan satu orang tertentu.2
Khas adalah lawan kata ‘amm, karena itu tidak menghabiskan semua apa yang pantas
baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadz
‘amm. Dan mukhassis (yang mengkhususkan) ada kalanya muttasil, yaitu yang antara ‘amm
dan mukhassis tidak dipisah oleh sesuatu hal, dan adakalanya munfasil, yaitu kebalikan dari
muttasil3
Seperti yang dikemukakan Adib Shalih, lafadz khash adalah lafadz yang mengandung
satu satu pengertian tunggal secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
Sedangkan Saiful Hadi mengatakan lafadz khusus adalah lafadz yang menunjukkan arti satu
atau lebih tapi masih dapat di hitung atau terbatas, seperti 4 ‫ َأْلُف ِر َج اٍل‬, ‫ َر ُج َالِن‬,‫َر ُجٌل‬
Jadi yang dimaksud dengan khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya
sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.5

1
Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-qur’an,( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 185
2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), 299.
3
Manna’ khalil Al-Qattan, 319
4
Saeful Hadi, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), 46
5
Nazar Bakri, 195

2
B. Pembagian Khas
Manna’ Khalil Al-Qattan membagi mukhassin menjadi 2 bagian yaitu mukhassin
muttashil dan mukhassis munfasil. Mukhassis muttashil ada lima diantaranya :
1. Istisna’ (pengecualian) seperti firman Allah : ‫َو اَّلِذ ْيَن َيْر ُم ْو َن اْلُم ْح َص َناِت ُثَّم َلْم َيْأُتْو ِبَأْر َبَعِة ُش َهَداَء‬
‫( َفاْج ِلُد ْو ُهْم َثَم اِنْيَن َج ْلَد ًة َو َال َتْقَبُلْو ا َلُهْم َش َهاَد ًة َأَبًدا َو ُأوَلِئَك ُهُم الفَاِس ُقوَن ِاَّال اَّلِذ ْيَن َتاُبوْا‬An-Nur : 4-5)
2. Sifat, misalnya ‫ َو َرَب اِئُبُك ُم الالتي ِفْي ُحُج ْو ِر ُك ْم ِم ْن ِنَس اِئُك ُم الَّالِتْي َد َخ ْلُتْم ِبِهَّن‬lafadz ‫الَّالِتْي َد َخ ْلُتْم ِبِهَّن‬
adalah sifat bagi lafadz nisa’ukum. Maksudnya, anak perempuan istri telah digauliitu
haram dinikahi oleh suami, dan halal bila belum menggaulinya.
3. Syarat, misalnya : ‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َحَضَر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخ ْيًر الَوِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيَن َو اَالْقَر ِبْيَن ِب الَم ْع ُرْو ِف‬
‫( َح َّقا َعلَى اْلُم ْح ِسِنْيَن‬al-Baqarah : 180). lafadz ‫(ِاْن َتَر َك َخ ْيًر‬jika ia meninggalkan harta) adalah
syarat dalam wasiat. Dan ‫( َو اَّلِذ ْيَن َيْبَتُغ ْو َن اْلِكَتاَب ِمَّم ا َم َلَك ْت َأْيَم ُنُك ْم َفَك اِتُبْو ُهْم ِاْن َع ِلْم ُتْم ِفْيِهْم َخْيرًا‬an-Nur
: 33), yakni mengetahui adanya kesanggupan untuk membayar ayau jujur dan
penghasilan.
4. Ghayah (batas sesuatu), seperti dalam ‫(َو َال َتْح ِلُقْو ُر ُؤ َس ُك ْم َح َّتْى َيْبُلَغ اْلَه ْد ُي َم ِح َّل ه‬al-Baqarah :
196) dan ‫(َو َال َتْقَر ُبْو ُهَّن َح َّتى َيْطُهْر َن‬Al-Baqarah : 222)
5. Badal Ba’d min kull (sebagian menggantikan keseluruhan) Misalnya : ‫َو ِهلل َع َلى الَّناِس ِح ُّج‬
‫( اْلَبْيِت َمِن اْسَتَطاَع ِاَلْيِه َس ِبْيَال‬ali Imran : 97) lafadz ‫ َمِن اْسَتَطاَع‬adalah badal dari ‫الَّناِس‬. maka
kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.6
Mukhassin munfasil adalah mukhassis yang terdapat di tempat lain, baik ayat, hadis,
ijma’ ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh Quran ialah : ‫والُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثَالَثَة ُقُرْو ٍء‬
(al-Baqarah : 228). Ayat ini adalah ‘Amm, mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam
keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis
oleh ayat : ‫( وأوَالُت اَالْح َم اِل َأَج ُلُهَّن َاْن َيَض ْع َن َحْم َلُهَّن‬at-Thalaq : 4) dan firmannya ‫ِاَذ ا َنَكْح ُتُم اْلُم ْؤ ِم َن اِت ُثَّم‬
‫( َطَّلْقُتمْو ُهَّن ِم ْن َقْبِل َاْن َتَم ُّسْو ُهَّن َفَم اَلُك ْم َع َلْيِهَّن ِم ْن ِع َّد ٍة‬al-Ahzab : 49).
Contoh yang ditakhsis oleh hadis ialah ayat :‫( َو َاَح َّل هللا الَبْيَع َو َح َّر َم اّلِرَبا‬al-Baqarah : 275).
Ayat ini di takhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis.
Antara lain disebutkan dalam kitab sahih bukhari, dari ibnu umar, ia berkata : “Rasulullah
melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan”.
Dalam sahihain diriwayatkan dari ibnu umar bahwa Rasulullah melarang jual beli
kandungan binatang yang mengandung, jual beli seekor unta sampai unta itu melahirkan,
kemudian anaknya itu beranak pula. (redaksi hadis ini adalah redaksi bukhari). Dan hadis-
hadis lainnya.
6
Manna’ khalil Al-Qattan, 319

3
Dan dari jenis riba didispensasikanlah jual beli ‘ariyah, yakni menjual kurma basah
yang masih di pohon dengan kurma kering. Jual beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunnah.

‫َع ْن َأِبْي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهللا َع ْنُه َأََّن َر ُسْو َل هللا َص َّل هللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َر َّخ َص ِفْي َبْيِع اْلَعَر اَيا ِبِخ رِصَها ِفْيَم ا ُد ْو َن َخ ْمَسِة َأْو ُس ٍق َأوء‬
‫ِفْي َخ ْمَسِة َأْو ُس ٍق‬
“Dari Abi Hurairah, Bahwa Rasulullah member keringanan untuk jual beli ‘ariyah
dengan ukuran yang sama jika kurang dari lima wasaq’ (muttafaqun ‘alaihi)7

C. Qawaid Al-Khas
Al-Qawaid al-Khas adalah prinsip-prinsip hukum Islam yang ditemukan melalui
analisis dan studi yang mendalam terhadap berbagai hukum syariah. Kaidah ushul fiqh yang
menjadi perhatian kita dalam makalah ini adalah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa an
yadullu daliilu 'ala tahrimiha, tashrifu imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah". Secara
harfiah, kaidah ini berbunyi:
‫ وتشريف اإلمام في رعاية المنِّو ث‬،‫ إال أن يدل دليل على تحريمها‬،‫األصل في المعامالت اإلباحة‬
‫بالمصلحة‬
Artinya, prinsip dasar dalam masalah-masalah muamalah adalah dibolehkannya
kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu haram. Dan tugas imam adalah
memperhatikan kemaslahatan (maslahah) umat dalam mengambil keputusan hukum.
Kaidah ini dapat dijelaskan dalam beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Asal dari setiap muamalah adalah boleh (ibahah) : ‫ إال‬،‫األصل في المعامالت اإلباحة‬
‫أن يدل دليل على تحريمها‬
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam masalah-masalah muamalah, asalnya adalah
kebolehan, kecuali jika ada dalil yang jelas menunjukkan bahwa suatu hal itu haram atau
tidak boleh dilakukan.

2. Adanya pengecualian atas asal kebolehan :

Meskipun asal dari setiap muamalah adalah kebolehan, namun bisa saja ada
pengecualian atau perkecualian atas asal tersebut. Artinya, dalam beberapa kasus, ada
hal-hal yang sebenarnya boleh, namun karena adanya dalil yang jelas menunjukkan
bahwa hal tersebut haram, maka menjadi tidak boleh dilakukan.

7
Manna’ khalil Al-Qattan, 320

4
3. Pentingnya kemaslahatan (maslahah)
Dalam menjalankan kaidah ini, perlu diperhatikan juga kemaslahatan atau
kepentingan umat. Imam atau pemimpin dalam hal ini bertanggung jawab untuk
memperhatikan kemaslahatan umat dalam mengambil keputusan hukum.

Contoh penerapan kaidah ini dapat dilihat dalam beberapa masalah muamalah, seperti:
1. Penggunaan riba dalam transaksi keuangan
Asal dari setiap transaksi keuangan adalah boleh, namun dalam kasus penggunaan
riba, sudah jelas bahwa riba adalah haram berdasarkan dalil yang jelas dalam Al-Quran
dan Hadis. Oleh karena itu, meskipun asalnya boleh, namun penggunaan riba menjadi
tidak boleh dilakukan.

2. Menjual barang haram


Asal dari setiap jual beli adalah boleh, namun jika barang yang dijual adalah barang
haram seperti narkotika atau alkohol, maka menjadi tidak boleh dilakukan. Hal ini
berdasarkan dalil yang jelas bahwa barang haram adalah haram untuk dikonsumsi dan
diperjualbelikan.
Tentunya, berikut adalah lafadz dari tiga poin penting dalam menjelaskan kaidah "al
ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu 'ala tahrimiha, tashrifu imamu ala ri'ayati
manuuthi bil mashlahah":
Dalam penerapan kaidah ini, penting untuk memperhatikan konteks dan kondisi
masing-masing masalah. Misalnya, dalam kasus penjualan barang haram seperti narkotika,
jika ada kasus darurat di mana seorang dokter membutuhkan narkotika untuk menyelamatkan
nyawa pasien, maka penggunaan narkotika menjadi dibolehkan berdasarkan prinsip darurat
(dharurat).
Kaidah ini juga menunjukkan pentingnya memperhatikan kemaslahatan umat dalam
pengambilan keputusan hukum. Misalnya, dalam kasus penggunaan vaksin COVID-19 yang
menggunakan bahan-bahan yang diragukan halal atau haramnya, maka penting bagi para
pemimpin muslim untuk memperhatikan kemaslahatan umat dalam pengambilan keputusan
hukum terkait penggunaan vaksin tersebut.
Selain itu, kaidah ini juga mengajarkan pentingnya memperhatikan dalil atau bukti
dalam pengambilan keputusan hukum. Kaidah ini menyatakan bahwa kebolehan menjadi asal
dalam setiap masalah muamalah, kecuali jika ada dalil yang jelas menunjukkan sebaliknya.

5
Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan hukum, perlu adanya penelitian yang
mendalam terhadap dalil-dalil yang ada.

D. Implementasi Kaidah
Implementasi kaidah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu 'ala
tahrimiha, tashrifu imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" dalam kehidupan sehari-hari
dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut:

1. Menjalankan transaksi jual beli


Dalam menjalankan transaksi jual beli, penting untuk memastikan bahwa barang yang
dijual halal dan tidak mengandung unsur yang haram. Jika tidak ada bukti atau dalil yang
menunjukkan bahwa barang tersebut haram, maka dapat diasumsikan bahwa barang
tersebut halal.
Contoh implementasi kaidah: "Al ashlu fil jual beli al ibahah, illa an yadullu daliilu
'ala tahrimihi. Maka, kita dapat menjual barang yang tidak dilarang dengan asumsi
kehalalannya. Namun, jika ada dalil yang jelas menunjukkan bahwa barang tersebut
haram, maka penjualan tersebut menjadi tidak boleh dilakukan".

2. Menentukan status makanan atau minuman


Dalam menentukan status makanan atau minuman, perlu memastikan bahwa bahan-
bahan yang digunakan untuk membuatnya halal dan tidak mengandung unsur yang
haram. Jika tidak ada bukti atau dalil yang menunjukkan bahwa makanan atau minuman
tersebut haram, maka dapat diasumsikan bahwa makanan atau minuman tersebut halal.
Contoh implementasi kaidah: "Al ashlu fil makanan wal minuman al ibahah, illa an
yadullu daliilu 'ala tahrimiha. Maka, kita dapat mengonsumsi makanan atau minuman
yang tidak dilarang dengan asumsi kehalalannya. Namun, jika ada dalil yang jelas
menunjukkan bahwa makanan atau minuman tersebut haram, maka konsumsi tersebut
menjadi tidak boleh dilakukan".

3. Menentukan kehalalan suatu pekerjaan atau bisnis


Dalam menentukan kehalalan suatu pekerjaan atau bisnis, perlu memperhatikan
kaidah ini dengan teliti. Jika tidak ada bukti atau dalil yang menunjukkan bahwa

6
pekerjaan atau bisnis tersebut haram, maka dapat diasumsikan bahwa pekerjaan atau
bisnis tersebut halal.
Contoh implementasi kaidah: "Al ashlu fil pekerjaan wal bisnis al ibahah, illa an
yadullu daliilu 'ala tahrimiha. Maka, kita dapat menjalankan suatu pekerjaan atau bisnis
dengan asumsi kehalalannya. Namun, jika ada dalil yang jelas menunjukkan bahwa
pekerjaan atau bisnis tersebut haram, maka aktivitas tersebut menjadi tidak boleh
dilakukan".
Dalam implementasi kaidah ini, penting untuk memperhatikan konteks dan kondisi
masing-masing masalah. Jangan sampai terjadi pemaksaan keharaman pada suatu hal yang
sebenarnya tidak haram, atau sebaliknya, pemaksaan kehalalan pada suatu hal yang
sebenarnya haram. Oleh karena itu, sebelum mengambil keputusan hukum, perlu melakukan
penelitian yang mendalam terhadap dalil-dalil yang ada.
Adapun lafadz dari kaidah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu 'ala
tahrimiha, tashrifu imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" dalam bahasa Arab adalah
sebagai berikut:
‫ ويشرف اإلمام على رعاية المنافع‬،‫األصل في المعامالت اإلباحة إال أن يدل دليل على تحريمها‬
‫بالمصلحة‬
Dalam menerapkan kaidah ini, perlu juga memahami bahwa ketidakjelasan atau
ketidakpastian tentang kehalalan atau keharaman suatu hal, tidak boleh digunakan sebagai
alasan untuk menjadikannya halal atau haram. Sebaliknya, harus ada bukti yang jelas dan
mendalam terkait kehalalan atau keharaman tersebut.
Kaidah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu 'ala tahrimiha, tashrifu
imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" juga memperhatikan maslahah atau
kemaslahatan umum dalam suatu transaksi atau perbuatan. Artinya, jika suatu perbuatan
memiliki manfaat atau kemaslahatan bagi umum, maka dapat dilakukan meskipun tidak ada
dalil yang secara spesifik menunjukkan kebolehannya.
Namun, perlu diingat bahwa maslahah atau kemaslahatan umum tidak boleh
digunakan sebagai alasan untuk menghalalkan suatu perbuatan yang sebenarnya haram atau
mengharamkan suatu perbuatan yang sebenarnya halal. Implementasi kaidah ini harus selalu
diterapkan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar dalam syariat Islam.
4. Perilaku sosial
Kaidah ini juga dapat digunakan dalam perilaku sosial sehari-hari. Sebelum
melakukan suatu perbuatan atau tindakan, perlu dipastikan terlebih dahulu apakah

7
perbuatan atau tindakan tersebut halal atau tidak. Jika tidak ada bukti yang jelas mengenai
kehalalannya, maka perbuatan atau tindakan tersebut harus dihindari.
Dalam penerapan kaidah ini, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai dalil-dalil
syariat Islam serta kemampuan untuk menganalisis konteks dan situasi yang dihadapi.
Oleh karena itu, penting untuk terus belajar dan meningkatkan pemahaman terhadap
prinsip-prinsip dasar dalam syariat Islam agar dapat menerapkan kaidah ini dengan benar
dan tepat.

E. Dasar Hukum
Dasar hukum dari kaidahnya adalah sebagai berikut:
1. Al-Quran
Dalam Al-Quran, terdapat beberapa ayat yang menegaskan pentingnya menjaga
kehalalan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam makanan, minuman, maupun
dalam transaksi jual beli. Beberapa ayat yang menegaskan hal ini antara lain:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan barang-barang yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-
Maidah: 87)
"Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 168)

2. Sunnah
Dalam Sunnah, terdapat beberapa hadis yang menunjukkan pentingnya menjaga
kehalalan dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa hadis yang menunjukkan hal ini
antara lain:
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Sesungguhnya Allah itu baik, dan Dia hanya menerima yang baik. Dan sesungguhnya
Allah memerintahkan orang-orang mukmin sebagaimana Dia memerintahkan para rasul,
yakni: 'Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal
shalih.' Dan Allah berfirman: 'Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari makanan
yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu.'" (HR. Muslim)

3. Ijma' Ulama

8
Ijma' ulama juga menegaskan pentingnya menjaga kehalalan dalam berbagai aspek
kehidupan. Ulama sepakat bahwa hal-hal yang diharamkan dalam Islam harus dihindari,
dan bahwa menjaga kehalalan dalam berbagai aspek kehidupan merupakan bagian dari
ketaatan kepada Allah.

4. Qiyas
Qiyas dapat digunakan untuk menetapkan hukum-hukum baru berdasarkan prinsip-
prinsip dasar yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Dalam hal ini, kaidah
"al ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu 'ala tahrimiha, tashrifu imamu ala
ri'ayati manuuthi bil mashlahah" dapat dipahami sebagai sebuah qiyas yang diterapkan
dalam memahami hukum-hukum baru yang muncul dalam konteks muamalah.
Dengan dasar-dasar hukum di atas, maka kaidah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa
an yadullu daliilu 'ala tahrimiha, tashrifu imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" menjadi
sebuah prinsip dasar dalam Islam yang menuntut umat Muslim untuk senantiasa
memperhatikan kehalalan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam praktiknya, kaidah ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan
cara berikut:
1. Memperhatikan sumber-sumber informasi Dalam memperoleh informasi tentang
kehalalan suatu produk atau transaksi, seorang Muslim harus memperhatikan sumber-
sumber informasi yang dapat dipercaya. Informasi yang berasal dari sumber yang
tidak jelas atau meragukan dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpastian dalam
memutuskan kehalalan suatu produk atau transaksi.
2. Menjaga kehati-hatian dalam memutuskan kehalalan Seorang Muslim harus
senantiasa berhati-hati dalam memutuskan kehalalan suatu produk atau transaksi. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara memperhatikan sumber-sumber informasi yang dapat
dipercaya, memahami dasar-dasar hukum Islam, dan berkonsultasi dengan ulama atau
ahli fiqih.
3. Menjaga keseimbangan antara kehalalan dan kemaslahatan Kaidah "tashrifu imamu
ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan
antara kehalalan dan kemaslahatan dalam memutuskan suatu produk atau transaksi.
Seorang Muslim harus mempertimbangkan kemaslahatan yang dihasilkan dari suatu
produk atau transaksi, serta memperhatikan dampak negatif yang mungkin terjadi jika
produk atau transaksi tersebut diharamkan.

9
Dalam kesimpulannya, kaidah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu
'ala tahrimiha, tashrifu imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" merupakan prinsip dasar
dalam Islam yang menuntut umat Muslim untuk senantiasa memperhatikan kehalalan dalam
berbagai aspek kehidupan. Prinsip ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
dengan cara memperhatikan sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya, berhati-hati
dalam memutuskan kehalalan, dan menjaga keseimbangan antara kehalalan dan
kemaslahatan.

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
10
Kaidah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu 'ala tahrimiha, tashrifu
imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" merupakan salah satu kaidah ushul fiqh yang
sangat penting dalam menentukan hukum suatu perkara dalam kehidupan sehari-hari. Kaidah
ini memuat prinsip bahwa segala sesuatu diperbolehkan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya, dan prinsip ini didasarkan pada tujuan syariat untuk mewujudkan
kebaikan dan kemaslahatan umat.
Dalam implementasinya, kaidah ini memiliki beberapa cabang seperti al-qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, 'urf (tradisi), sadd al-dzari'ah, dan lain-lain yang dapat
digunakan sebagai dasar dalam menentukan hukum suatu masalah. Dalam cabang-cabang
tersebut, dijelaskan bagaimana upaya untuk mencari hukum dalam suatu masalah yang belum
ada dalil khususnya dengan cara mengambil kesimpulan atau inferensi dari dalil-dalil yang
berkaitan, menggunakan kebiasaan atau tradisi yang sudah berlaku dalam masyarakat sebagai
pedoman dalam menentukan hukum suatu perkara, dan sebagainya.
Kaidah "al ashlu fil muamalati ibahatu illa an yadullu daliilu 'ala tahrimiha, tashrifu
imamu ala ri'ayati manuuthi bil mashlahah" sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari
karena dapat membantu kita dalam menentukan hukum suatu masalah berdasarkan prinsip-
prinsip yang ada dalam syariat Islam dan tujuan syariat yang mewujudkan kebaikan dan
kemaslahatan umat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami kaidah ini dan
cabang-cabangnya dengan baik agar dapat mengambil keputusan yang tepat dalam
menentukan hukum suatu perkara

B. Saran
Saya sebagai penyusun makalah ini sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dan kekeliruan baik dari segi kata-kata bahasa maupun kalimat, oleh karena itu
saya sangat berharap sekali masukan, kritik maupun saran yang sifatnya membangun guna
penyempurnaan penyusunan penulisan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan.Manna’ Khalil.2011. Studi Ilmu-Ilmu Quran, Bogor;Litera Antar Nusa.

11
Bakry. Bakrey.1996.Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta; PT Rajagrafindo Persada.

Beak.Muhammad Al-Khudhori.1986.Ushul Fiqih, Pekalongan; Raja Murah

Effendi Satria Zein. M.2005.Ushul Fiqh, Jakarta; Prenada Media.

Hadi.Saeful.2011.Ushul Fiqih, Yogyakarta;Sabda Media.

Ikhwan.Mohammad Nor.2002.Memahami Bahasa Al-qur’an, Jogjakarta;Pustaka Pelajar.

Khalaf.Abdul Wahab.1996.Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta;PT Rajagrafindo Persada,

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel.2012.Studi Al-Quran, Surabaya;IAIN SA Press.

Al Quran Terjemahan.2009.Pena Al-Qur’an.,Jakarta

12

Anda mungkin juga menyukai