Anda di halaman 1dari 23

KAIDAH DALALAH AL-ALFAZH ‘ALA AL-AHKAM

Dibuat Menjadi Bahan Presentasi Serta Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pada Mata Kuliah “Qawaid al-Tafsir”

Semester 5 Tahun Akademik 2021

Oleh :

Kelompok 3

REVIKA RIZKY AMELIA AWALUDDIN


30300119107
FATMAWATI
30300119094
ABD HARIS
30300119119

Dosen Pengajar : Muhammad Tajuddin, S.Si, M.Ag.

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah Swt., yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini tepat waktu, makalah ini berjudul “Kaidah Dalalah al-Alfazh ‘Ala al-Ahkam.”
Selawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Saw,
kemudian kepada keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang
mengikuti sunnah-sunnahnya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid al-Tafsir.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada al-Ustadz Muhammad Tajuddin,
S.Si, M.Ag., sebagai dosen mata kuliah Qawaid al-Tafsir yang telah memberikan
arahan sehingga mempermudah kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kami sangat terbuka pada kritik dan saran yang membangun sehingga
makalah ini bisa lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan Ilmu Pengetahuan khususnya dalam bidang Qawaid al-Tafsir.
Terima Kasih

Gowa, 22 September 2021

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................ii

Daftar Isi...............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. .Pengertian Dalalah Al-Alfazh ‘Ala Al-Ahkam........................................3

B. Dalalah Al-‘Ibarah....................................................................................3

C. Dalalah Al-Isyarah....................................................................................5

D. Dalalah Al-Dalalah...................................................................................6

E. Dalalah Al-Iqtidha’...................................................................................8

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................13

B. Kritik dan Saran.........................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai bahasa Al Qur’an, Bahasa Arab memiliki berbagai macam
dialek (lahjah), sehingga tidak sedikit dijumpai lafazh yang kadang kala
bisa memiliki berbagai macam arti. Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai
istilah yang biasa dipakai untuk menunjukkan makna tertentu, seperti
lafazh dalalah, mantuq, mafhum dan lain sebagainya.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan
dalam mengkaji hukum Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan
hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui
dalil- dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui
nash- nash syara dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Sementara cara penunjukan lafal terhadap makna, dalam
terminologi ulama Ushul, biasanya dibatasi pada penunjukkan secara jelas
dan tegas, secara isyarat, secara tidak langsung, dan secara kehendak syara'
(‫ )االقتضاء‬yang terkandung di dalamnya. Makalah ini secara sederhana akan
memberikan gambaran tentang persoalan kaidah-kaidah tentang
penunjukan makna (Dalalah al-‘Ibarah, Dalalah al-Isyarah, Dalalah al-
Dalalah dan Dalalah al-Iqtidha’).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam?
2. Apa saja pembagian dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam menurut
kalangan Hanafiyah?
3. Bagaimana kaidah-kaidah dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam
2. Untuk mengetahui macam-macam dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam
menurut kalangan Hanafiyah
3. Untuk mengetahui kaidah-kaidah dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dalalah Al-Alfazh ‘Ala Al-Ahkam

Dalalah berasal dari Bahasa Arab ‫ الداللة‬bentuk masdar (kata dasar)

dari kata dalla-yadullu-dalalah (‫دل‬-‫يدل‬-‫ )داللة‬yang berarti menunjukkan.1

Makna dalalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata

sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlul ‫مدلول‬


(yang

ditunjuk/hukum/moral, dsb). Sedangkan kata sesuatu yang disebutkan

kedua disebut disebut dalil ‫( دليل‬yang menjadi petunjuk/dalil, hujjah, dsb).


Dalalah berarti petunjuk. Sedangkan secara istilah dalalah adalah suatu
pengertian yang ditunjuki oleh lafazh. Dalalah didefinisikan sebagai
penunjukkan suatu lafazh naṣh kepada pengertian yang dapat dipahami,
sehingga dengan pengertian tersebut dapat diketahui ketentuan yang
dikandung oleh dalil nash.
Dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam adalah petunjuk pada lafazh-
lafazh atas suatu hukum. Maksudnya suatu hukum diambil dari lafazh-
lafazh pada suatu dalil yang mana lafazh-lafazh tersebut memiliki
petunjuk untuk diambil hukum. Suatu lafazh bila ditinjau dari cara
menunjukkan pada suatu makna, menurut Hanafiyah terbagi ke dalam
empat bagian, yaitu dalalah al-‘ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-
nash dan dalalah al-iqtidha’.

B. Dalalah Al-‘Ibarah
1. Pengertian
Para ulama ushul, menggunakan istilah dalalah al-‘ibarah atau
‘ibarah al-nash untuk satu pengertian. Secara bahasa ‘ibarah adalah isim

1
Agus Miswanto, Metode Istinbath Hukum Islam (Magelang: Magnum Pustaka Utama, 2019),
h.171
3
(masdar) dari
َ‫‘( عَّب‬abbara) yaitu suatu lafazh. Ibarah dapat juga diartikan
2

dengan penafsiran dengan penglihatan. Sedangkan secara istilah menurut


Abu Zahrah, dalalah al-ibarah adalah makna yang langsung bisa dipahami
secara lafazhnya, baik lafazh tersebut berupa zahir maupun al-nash,
mahkam, maupun muhkam. Kejelasan pengertian yang ditunjukkan lafazh
tidak dengan penelitian secara mendalam (pemahaman secara
tersurat/eksplisit)3

2. Contoh Dalalah al-‘Ibarah

QS. An-Nisa’ (4) : 3

‫ُٰ َل َث‬.‫َم َْث ٰ َن َوث‬ ‫ُْ ق‬.‫َوإِ ْن ِ ْخ ف ُْت م أَال ت‬


‫م َن‬¹ ِ ‫ َت َم ٰى َفٱنكِ َما َب‬.ٰ ‫ِِف ٱْلَي‬
۟
‫ َس ِٓاء‬¹ِ ‫طا َل ُكم ٱلن‬
َ ‫ُح ا‬ ‫ِسُطوا‬
۟ ۟
‫ُعوُلوا‬.َ‫ٰ َوِ ح َ َمَل َْأ َيُٰن ُك ْم ۚ َٰذلِ َْأ د َٰنٓ ت‬.‫ ْع ِدُلوا َف‬.‫َت‬ ‫َُورَٰب َع ۖ َفإِ ْن ِ ْخ ف ُْت م‬
‫َأال‬ ‫َك‬ ‫َدًة َْأو م َك ْت‬ ‫َأال‬
‫ا‬
“Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika
kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja
atau haamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu
lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Ibarah ayat tersebut menunjukkan dua pengertian yaitu: a.


menjelaskan bahwa boleh menikahi perempuan sampai empat orang bila
terpenuhi syarat adil. b. menjelaskan secara tidak lansung bahwa
pernikahan itu hukumnya adalah mubah.

2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, 14th edn (Surabaya: Pustaka
4
Progressif, 1997), h. 889

3
Desi Asmaret and Dedi Sumanto, ‘Penunjukan Lafazh Terhadap Hukum (Dilalah) Berbentuk Ibarah
Al-Nash’, Al-Himayah, 3.1 (2019), 88–91.

5
C. Dalalah Al-Isyarah
1. Pengertian
Para ulama ushul kadang menggunakan istilah dalalah al-isyarah
atau isyarah al-nash , dalam pengertian yang sama. Al-isyarah secara
bahasa artinya penunjuk, yang menunjukan, yang mengarahkan.
Sementara secara istilah, para ulama ushul mendefiniskan sebagai berikut:
a) Abdul Wahab Khallaf
“Yang dimaksudkan dengan isyarah al-nash adalah makna yang
tidak cepat ditangkap (difahami) dari lafaz-lafaznya dan tidak
pula yang dimaksudkan dari yang dikekehendaki (lafaz), tetapi
itu adalah makna yang seharusnya untuk makna cepat difahami
dari lafaz-lafanya.”

b) Al-Sarkhasy
Mendefinisikan dalalah al-Isyarah dengan: “Apa yang
terungkap memang bukan ditujukan untuk itu, Namun dari
perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafazh
itu, tidak lebih dan tidak kurang”4

c) DR. Musthafa Sa’id al-Khin,


Isyarah al-Nash adalah “Penunjukan lafazh terhadap hukum
yang tidak dimaksud, tetapi merupakan kelaziman bagi hukum
yang berhubungan dengan bentuk kalam yang dipahami.”5

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat


dalalah al-Isyarah ialah suatu lafazh yang diungkapkan memberi arti
kepada suatu maksud, namun tidak menurut apa yang secara jelas
disebutkan dalam lafaz itu, karena nash tidak menunjuk kepada makna ini
dengan lafazh dan ibarahnya secara langsung, akan tetapi mengisyaratkan
kepada makna

4
Al-Sarkhasy, Ushūl Al-Sarkhasy, 1st edn (Beirut: Dār al-Kutub al-IIlmiyah, 1993), h. 236–37.

5
Musthafa Sa’id Al-Khin, Asar Al-Ikhtilāf Fi Al-Qawā’id Al-Ushūliyah Fiikhtilaf Al-Fuqahā’ (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 1981), h. 129.

6
tersebut menurut kelazimannya (makna lafazh yang ditangkap secara
tersirat/implisit). Untuk mengetahui makna isyarah ini memerlukan
perenungan/ta’mul.

2. Contoh Dalalah al-Isyarah

QS. al-Baqarah (2) : 233

ِ‫ ه َن وك‬.‫ِْرزُق‬ ‫َو َعَلى ٱْل‬


َ ُ ...
‫ْ َس ُو‬ ‫َ ْم وُلوِد َلهُۥ‬
. . .‫تَُ ن بِٱْل َم ْ ُعرو ِف‬
“…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma’ruf…”

Kalau kita memperhatikan ayat tersebut dari segi dalalah al-


isyarahnya, maka di sana terdapat kata al-Maulūdu lahū. Kata al-Maulūdu
lahū yang berarti ayah sebagai pengganti dari lafazh al-Abu. Ini
menunjukkan bahwa seorang anak itu dinisbahkan kepada ayahnya, bukan
kepada ibunya, karena nash (al-Maulūdu lahū) yang terdapat pada ayat
tersebut adalah mengidhafahkan anak kepada ayah dengan
mempergunakan huruf lam yang menunjukkan pengkhususan ( li al-
Ikhtishāsh ). Oleh karena itu ayah boleh mengambil harta anak, sebab
dirinya juga termasuk milik ayahnya.6

D. Dalalah Al-Dalalah
1. Pengertian
Dalalah al-dalalah atau dalalah al-nash , kedua istilah ini digunakan
oleh para ulama ushul dengan makna yang sama. Nash secara bahasa
adalah teks atau tulisan. Sementara al-dalalah maknanya adalah petunjuk
atau penunjukan. Sementara secara istilah, dalalah al-nash didefiniskan
oleh para ulama ushul sebagai berikut:

7
6
Ibid., h. 131

8
a) Abdul Wahab Khallaf
Dalalah al-nash adalah makna yang difahami dari ruhnya
(nash/teks) dan melalui proses berfikir (ma’qulah).

b) Wahbah Al-Zuhaili
Dalalah al-nash adalah penunjukan lafaz dengan metode
penelusuran hukum dan illatnya, bukan dengan jalan (metode)
ibarat (redaksi) dan isyarat (indicator). Seperti tergabungnya
dua peristiwa dalam satu illat hukum; atau sesuatu yang
didiamkan adalah lebih utama dari yang diucapkan. Dan hal itu
dapat diketahui melalu metode bahasa tanpa memerlukan
ijtihad ataupun qiyas.

Dari definsi di atas, dapat difahami, bahwa hakekat dalalah al-nash


adalah penunjukan lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat di balik
lafaz itu. Hukum yang terdapat pada lafaz itu secara tersurat, maka berlaku
juga pada apa yang tersirat di balik lafaz itu, karena di antara keduanya
terdapat hubungan. Secara sederhana dalalah al-nash (dalalah al-dalalah)
yaitu makna yang sebanding denga apa yang ada dalam nash.
Muhammad Abu Zahrah, di dalam kitabnya yang bernama: Ushūl
al-Fiqh, menjelaskan bahwa dalalah al-nash disebut juga dengan mafhum
al-muwāfaqah atau dalalah al-aula, bahkan sebagian ahli fiqih
menyebutnya dengan al-qiyās al-jaly.7

2. Contoh Dalalah al-Dalalah

QS. al-Isra’ (17) :


23

َ َ ‫ قل‬.ُ ‫ َف َل َت‬. ..
‫ ًوال‬.ْ ‫َُلما َق‬ .‫ن‬.ْ ‫ف ََوال َت‬¹ ٍّ ‫َُلمٓا ُأ‬
‫َكِ رًيا‬ ‫ُها َوُقل‬
َ ُ‫ه ر‬
ْ َ

9
7
Muhammad Abu Zahrah, Ushūl Al-Fiqh (Kairo: Dār al-Fikr al-’Arabi, 1958), h. 141.

1
“…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia.”

Ayat ini dari segi dalalah al-Ibarahnya menunjukkan larangan


mengucapkan kata ‘ah’ (uff) kepada kedua orang tua. Dan illat hukum
larangan tersebut adalah menyakiti kedua orang tua dan yang masuk dalam
kategori perbuatan menyakiti adalah memukul dan mencaci maki. Kedua
perbuatan tersebut dari sisi illat lebih kuat (lebih diharamkan)
dibandingkan yang tercantum dalam bunyi ayat al-Qur’an yang
mengucapkan kata ‘ah’ (uff). Makna ini jelas, tidak perlu ijtihad dan
penelitian yang mendalam.

E. Dalalah Al-Iqtidha’
1. Pengertian
Dalalah al-Iqtidha’ atau sebagian ulama menggunakan istilah
Iqtidha’ al-Nash . Secara bahasa, iqtidha’ berarti meminta (thalab).
Sedangkan secara istilah adalah penunjukan suatu lafazh terhadap suatu
makna yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan
lafazh lain yang tersembunyi.8
Abdul Wahab Khallaf di dalam kitab ilmu ushūl al-Fiqhnya
mengatakan, Iqtidha’ al-Nash adalah: lafazh yang menunjukkan kepada
sesuatu yang tidak disebutkan yang makna kebenarannya atau
keshahihannya tergantung kepada yang tidak disebutkan.9

2. Contoh Dalalah al-Iqtidha’

QS. al-Ma’idah (5) : 3

‫َتةُ َوٱل َد ُم َو َ ُْل م ٱ ْلنِ زيِ ر ََومٓا ُِأ ه َل‬.‫ح ِ ْت َعَْلي ُك ُم ٱلْ َ ْمي‬
¹ ُ
‫لِ َْغ ِْي ٱ‬ ‫َرم‬
ََّ ‫ل‬
...‫لِ بِه‬
1
8
Ibid., h. 143

9
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushūl Al-Fiqh (Kairo: Dār al-Qalam, 1978), h. 150.

1
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan
(daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah…”

Maksudnya adalah diharamkan “memakan dan memanfaatkan”


daging-daging tadi. Makna tersebut diperoleh dari petunjuk lafazh karena
tuntutan kalimat (iqtitha’an). Hal ini karena pengharaman tidak berkaitan
dengan dagingnya, namun kepada pekerjaan memakan atau memanfaatkan

daging. Hanya saja, lafazh ‫( األكل‬makan) atau ِ‫ا‬ ‫( لانتفاع‬memanfaatkan) tidak


tercantum dalam nash. Lafazh tersebut diketahui sesuai dengan tuntutan
redaksi dalam nash.

Sabda Rasulullah
saw

‫ُ َعلَْيِ ه‬ ‫ سيا ْسُت‬¹ِ ‫رِف َع ن َُأميت ا ْلََطُأ والن‬


َ ْ َ ْ ُ
‫ْه‬ ‫ُن ََوما ْكِ ر‬ ‫َع‬
‫وا‬
“Dihilangkan dari umatku yaitu: kesalahan, lupa dan karena terpaksa.”

Jika dilihat secara zhahir dari redaksi hadis diatas, dapat dipahami
bahwa terdapat tiga perkara yang telah dihilangkan (diangkat) dari umat
Islam, yaitu kesalahan, lupa dan perbuatan yang dipaksa. Sementara
realitasnya sangat berbeda. Umat Islam tetap saja ada yang melakukan
kesalahan, lupa ataupun melakukan perbuatan yang dipaksa. Maka
sesungguhnya dalam nash di atas terdapat lafazh yang terbuang, yaitu
lafazh

‫إُِْث‬ (itsmu) yang berarti dosa. Dengan kata lain, yang diangkat dari Umat

Islam bukanlah kesalahan, lupa atau perbuatan yang dipaksa, namun


maksudnya adalah dosa yang diperbuat oleh mereka. Jadi, hadis di atas
berbunyi:

‫َعلَْيِ ه‬
1
‫ُهْوا‬ ‫رِف ع َع‬
‫ْ‬ ‫ُ َ‬
‫سُت‬ ‫ْن‬
‫ْك‬ ‫َُأميت‬
‫ر‬ ‫( ِْإ ُث‬
‫)ا‬
‫ْ َلَطُأ‬

‫َوالنِ ‪¹‬‬
‫ْسَيا‬
‫ُن‬
‫ََوما‬

‫‪1‬‬
“Dihilangkan (dosa) dari umatku yaitu: kesalahan, lupa dan karena
terpaksa.”

3. Pembagian Dalalah al-Iqtidha’


Ditinjau dari segi keharusan menyembunyikan lafazh yang
terbuang, para ulama ushul fiqih membagi dalalah al-iqtidha’ menjadi tiga
macam:
a) Dalalah al-iqtidha’ yang menyembunyikan lafazh yang
terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami dengan
benar menurut syara’ kecuali dengan menyembunyikan lafazh
tersebut.
Sabda Rasulullah saw

‫ال صيام ملن ال يبيت النية‬


“Tidak dianggap berpuasa bagi seseorang yang tidak berniat
pada waktu malam.”

Hadits tersebut harus menyembunyikan lafazh ‫( الصحيح‬sah) agar


dapat dipahami dengan benar. Bila tidak, makna dari hadits
tersebut menjadi rancu. Maka kemudian hadits itu berbunyi:

‫ال يقع الصيام صحيحا ملن ال بي يت النية‬


“Tidak dianggap sah puasa seseorang yang tidak berniat pada
waktu malam.”

b) Dalalah al-iqtidha’ yang harus menyembunyikan lafazh yang


terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami secara sah
menurut akal, kecuali dengan menyembunyikan lafazh tersebut.
QS. al-‘Alaq (96) : 17

1
‫ َل ْي ْدع ََن‬.‫ف‬
ُ َ
ِ‫دي ه‬
“Maka biarlah ia memanggil suatu َُ
tempat.”

Lafazh ‫ََن ِدَيه‬ dari ayat di atas berarti tempat, yang

menurut logika tentu mustahil dapat dipanggil. Makna dari


lafazh tadi juga rancu. Oleh karena itu, yang dimaksudkan

dengan lafazh ِ ‫ََن‬ ‫ دَيه‬dari ayat tadi adalah orang-orang yang


berada
di tempat. Dengan demikian, ayat tersebut menyembunyikan

kata ‫أهل‬ (penduduk atau golongan), sehingga bunyi ayat

menjadi:

ِ
ُ‫ ل ي دع أهل ََن دي َه‬.‫ف‬
ُ ْ َ َْ
“Maka biarlah ia memanggil golongannya (untuk menolong).”

c) Dalalah al-iqtidha’ yang harus menyembunyikan lafazh yang


terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami secara sah
menurut syara’ kecuali dengan menyembunyikan lafazh.
QS. al-Baqarah (2) : 178

‫َوَأدٌَاء‬
‫ِِب ْل َم ْع‬ ¹ِ ‫ف َ َم ْن ُعف ِ َلُه ِ َأ ِخ يه ِ ْي ٌء َفات‬. ..
‫َش‬ ‫م‬
‫ُرو ِف‬ ‫ع‬
ٌ ‫َبا‬ ‫َي‬
‫ْن‬

. . . ‫إِلَيه ِ ِِ ْح َس ا ٍّن‬
ْ
ِ‫ب‬
“...Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
1
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)
…”

1
Dalam pandangan syara’, perintah untuk bersikap baik
bagi orang yang memaafkan kepada orang yang diberi maaf
memberikan imbalan harta benda kepada yang memaafkan.10

10
Muhammad Abu Zahrah op. cit., hal. 134

1
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur’an dan Hadis terdiri dari berbagai lafazh (kata) dan
tentunya setiap kata mengandung makna. Makna yang ditangkap dari
lafazh tersebut adalah dalalah al-alfazh ‘ala al-ahkam. Dalalah al-alfazh
‘ala al-ahkam adalah petunjuk pada lafazh-lafazh atas suatu hukum.
Penunjukan lafazh menurut Hanafiyah terbagi menjadi empat yaitu
dalalah al-‘ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nash dan dalalah al-
iqtidha’. Apabila dua yang pertama berusaha menemukan maksud
pembicara baik yang tersurat (‘ibarah) maupun yang tersirat (isyarah) dari
makna secara langsung, maka dua yang terakhir berusaha menemukan
tujuan syar’i yang tidak tertulis dalam teks baik melalui perluasan makna
teks (dalalah al-dalalah) maupun penyisipan (iqtidha’).

B. Kritik dan Saran


Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat dan
menambah wawasan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas,
kurang dimengerti dan lugas. Tentunya banyak kekurangan dan kelemahan
dikarenakan terbatasnya materi dan referensi yang kami peroleh. Kami
juga sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat diterima dengan baik.

1
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, Ushūl Al-Fiqh (Kairo: Dār al-Fikr al-’Arabi, 1958)
Al-Khin, Musthafa Sa’id, Asar Al-Ikhtilāf Fi Al-Qawā’id Al-Ushūliyah Fiikhtilaf
Al-Fuqahā’ (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1981)
Al-Sarkhasy, Ushūl Al-Sarkhasy, 1st edn (Beirut: Dār al-Kutub al-IIlmiyah, 1993)
Asmaret, Desi, and Dedi Sumanto, ‘Penunjukan Lafazh Terhadap Hukum
(Dilalah) Berbentuk Ibarah Al-Nash’, Al-Himayah, 3.1 (2019), 84–101
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushūl Al-Fiqh (Kairo: Dār al-Qalam, 1978)
Miswanto, Agus, Metode Istinbath Hukum Islam (Magelang: Magnum Pustaka
Utama, 2019)
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, 14th edn
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)

Anda mungkin juga menyukai