Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

USHUL FIQHI

(Lafadz dari Segi Petunjuk Makna)

)Dosen Pengampuh : Dr. M. Ali Rusdi, S.Th.I, M.HI)

Disusun Oleh:

Kelompok IV

Magfira : 17.2200.0

Fatmawati : 17.2200.009

Najamiah amir : 17.2200.012

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES)


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PAREPARE
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah ‘azza wa jalla yang telah memberikan segala
kemudahan sehingga makalah ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda alam, suri teladan, Nabi
Muhammad SAW. dan juga bagi keluarganya, sahabatnya dan pengikutnya
hingga akhir zaman.
Kami menghaturkan banyak terima kasih kepada dosen kami Islamul Dr.
M. Ali Rusdi S.Th.I, M.HI atas bimbingan dan arahannya kepada kami sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Lafadz dari Segi Petunjuk Makna”.
Dengan demikian, makalah ini diharapkan menjadi bacaan yang dapat
menambah ilmu yang mudah dipahami dan dipelajari dan semoga berguna bagi
kita semua. Dan kami juga mengharapkan kritik dan saran oleh rekan-rekan
sekalian.

Parepare, 08 April 2019

Tim penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2

1.3 Tujuan Masalah ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Dalalah ibarat nash (ungkapan nash) ...................................................... 3

2.2 Dalalah isyarat nash ................................................................................ 8

2.3 Dalalah nash ............................................................................................ 12

2.4 Dalalah iqtidha’ ....................................................................................... 15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nash Syar'i atau perundang-undangan wajib diamalkan sesuatu dengan
sesuatu yang difahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau isyaratnya, atau
dalalahnya, atau iqtidha'nya. Karena segala sesuatu yang difahami dari nash
dengan salah jalan dari empat jalan tersebut maka ia termasuk diantara madlul
yang ditunjuk oleh Nash, sedangkan nash adalah hujjah atasnya.
"Apabila pengertian yang dipahami dengan salah satu jalan tersebut
bertentangan dengan pengertian lainnya yang dipahami melalui jalan dari jalan-
jalan tersebut, makna yang dipahami dari ibarat dimenangkan atas makna yang
dipahami melalui isyarat; dan makna yang dipahami melalui salah satu dari dua
jalan tersebut dimenangkan atas makna yang dipahami melalui dalalah".
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah bahwasanya Nash syar'i
atau perundang-undangan terkadang menunjukkan beberapa makna yang beragam
melalui cara dalalah tersebut. Dalalah Nash tersebut tidaklah terbatas pada makna
yang dipahami dari ibaratnya dan huruf-hurufnya akan tetapi terkadang pula ia
menunjukkan berbagai makna yang dipahami dari isyaratnya dari dalalahnya dan
dari iqtidha'nya. Setiap makna dari makna maknanya yang dipahami dengan salah
satu dari cara-cara tersebut maka ia termasuk diantara madlul yang ditunjuki oleh
nash. Nash adalah Dalil dan hujjah atas dirinya dan ia wajib mengamalkannya
karena seseorang yang dibebani dengan Nash (teks) perundang-undangan juga
dibebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki oleh Nash tersebut, dengan
salah satu cara yang diakui menurut bahasa. Apabila seorang mukallaf
mengamalkan madlul yang ditunjuki oleh Nash dari sebagian cara dalalahnya dan
tidak mengabaikan pengamalan terhadap madlul Nash dari cara yang lain maka
sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan Nash dari sebagian segi oleh karena itulah
maka para ahli ilmu Ushul fiqih berkata:" wajib mengamalkan apa yang ditunjuki
oleh ibarat Nash dan apa yang ditunjukkan oleh jiwa dan penalaran nash tersebut.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan pokok dalam makalah ini sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana penjelasan tentang dalalah ibarat nash (ungkapan nash)?
1.2.2 Bagaimana penjelasan tentang dalalah isyarat nash?
1.2.3 Bagaimana penjelasan tentang dalalah nash?
1.2.4 Bagaimana penjelasan tentang dalalah iqtidha’?
1.3 Tujuan
Adapun tujuannya sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui tentang dalalah ibarat nash (ungkapan nash)!
1.3.2 Mengetahui tentang dalalah isyarat nash!
1.3.3 Mengetahui tentang dalalah nash!
1.3.4 Mengetahui tentang dalalah iqtidha’!

2
BAB II

PEMBAHASAN

Dilalah adalah pengertian yang diperoleh dari lafadz-lafadz nash hingga satu
lafadz dapat menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan.

Para fuqaha mazhab Hanafi membagi cara peninjauan dilalah lafadz menjadi
empat bagian.1

2.1 Ibarat Nash (Ungkapan nash)


Yang dimaksud dengan ibarat nash ialah shighatnya yang terdiri dari berbagai
satuan kata (mufradat) dan kalimat. Sedangkan yang dimaksud dengan makna
yang dipahami dari ibarat nash ialah makna yang segera dapat dipahami dari
shigatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya.
Sepanjang makna itulah yang zhahir pemahamannya dari shigat nash. Sedangkan
nash disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka ia adalah yang
ditunjuki oleh ibarat nash, yang juga disebut dengan makna literal bagi nash. Jadi
dalalah ibarat ialah dalalah shigat terhadap makna yang segera dapat dipahami
darinya, yang dimaksudkan dari susunannya, baik makna tersebut dikehendaki
dari susunannya secara asli ataupun dikehendaki secara pengikutan.2
Dilalah ibarah ialah makna yang dipahami dari lafadz yang jelas, yang
didatangkan untuk makna itu sendiri. Dilalah ibarah dalam bahasa Indonesia lebih
tepat dimaknai dengan istilah tersurat dan tertulis.3
Ulama ushul al-fiqh mendefinisikan ‘Ibarat al-Nash secara beragam. Namun
beberapa defenisi yang dikemukan oleh para ulama, pada dasarnya ibarat al-nash
merupakan upaya memahami makna dari lafadz. Oleh karena itu, ibarat al-nash
disebut juga dengan istilah dalalah al-nash.4

1
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqhi; Metode Istinbath dan Istidlal, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2013), h. 60

2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h.
212
3
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqhi; Metode Istinbath dan Istidlal, h. 60

4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarata: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 130.

3
Defenisi-defenisi tentang ibarat al-nash yang dikemukakan oleh para ulama,
antara lain sebagai berikut:
2.1.1 Menurut Abu Zahrah

‫داللة العبارة هي المعني المفهوم من اللفظ سواء أكان ظاهرافيها أم‬


.‫كان نصاسواء كان محكما أم كان غير محكم‬
Artinya:
“Dilalat ‘ibarat adalah makna yang dapat dipahami dari lafzh; baik itu
lafzh al-Zhahir atau lafzh al-nash, atau baik lafzh muhkam atau bukan
muhkam”
2.1.2 Menurut Syekh al-Khudlary

‫عبارة النص هو اللفظ ومعناها داللة اللفظ علي المعني مقصودا‬


‫أصليا أو غير أصلي‬
Artinya:
“Ibarat al-Nash itu lafzh dan artinya adalah petunjuk lafzh atas makna
yang dimaksudkan; baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”
2.1.3 Menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf

‫داللة العبارة هي داللة الصيغة علي المعني المتبادر فهمه منها‬


‫المقصود من سياقها سواء كان مقصودا من سياقها أصالة أو‬
.‫مقصودا تبعا‬
Artinya:
“Dalalat ‘ibarat (ungkapan) ialah petunjuk dari bentuk makna yang cepat
dapat dipahami dari padanya, serta dimaksudkan oleh susunan lafadznya.
Baik susunan lafadz itu dimaksudkan untuk makna asli atau karena makna
yang mengikutinya (bukan makna asli).”
2.1.4 Menurut Zakiy al-Din Sya’ban

‫عبارة النص هي داللة اللفظ علي حكم مقصود من السياق أصالة‬


.‫أوتبعا‬

4
Artinya:
“Ibarat al-nash adalah petunjuk lafzh atas hukum yang dimaksudkan it asli
atau karena mengikuti hukum asli.”
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya ibarat al-nash
mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Mengandung lafadz yang tersusun dari dua makna maksud hukum;
maksud hukum asli (hukum yang mula-mula dipakai) dan maksud hukum
bukan asli (taba’iy = ikutan)
b. Mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafznya.
c. Diantara lafadznya mengandung lafazh al-Zhahir, lafazah al-nash,
lafazhal-muhkam atau lafzh ghayr al-muhkam.5
Contoh dalalah ini tidak terhitung banyaknya, karna sesungguhnya nash
perundang-undangan hanyalah dimaksudkan oleh syar'i (pembuat hukumnya)
untuk suatu hukum tertentu. Ia menghendaki pembentukan hukumnya, dan
menyusun lagaznya dan ibaratnya (susunan redaksinya), agar supaya
menunjukkan pengertian yang jelas terhadap hukum itu. Setiap teks baik dalam
undang-undang syar'i maupun hukum positif mempunyai makna yang ditunjuki
oleh susunan redaksinya. Dan terkadang pula disamping makna tersebut ia
menunjukka suatu makna lain berdasarkan isyarat, dalalah, maupun iqtidha', dan
kadang kala pula tidak mengandung makna lainnya. Oleh karena itu tidak perlu
menyebutkan banyak contoh yang ditunjuki oleh nash berdasarkan susunan
kalimatnya.6
Kadang-kadang dengan nash ini ia mempunyai arti yang ditunjukkan dengan
isyarat, atau dalalah, atau tuntutan terkadang tidak. Maka tidak memerlukan
menyebutkan contoh-contohnya yang ditunjukkan (maknanya) oleh nash dengan
ungkapannya. Akan tetapi kami hanya meringkas kepada sebagian contoh-comoh

5
H.M. Mawardi Djalaluddin, “Metode Dilalah Al-Alfadz dalam Hukum Islam”,
http://journal.uin-alauddin.ac.id/2016/12/index.php/al_daulah/article/viewFile/4848/4341/ (07
April 2019) h. 292-293

6
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, h. 212

5
yang dan‘ contoh-contoh itu tampak jelas perbedaan antara maksud susunan kata
menurut dasar dan maksud daripadanya secara ikut-ikutan.7
Allah swt. berfirman:

‫َوا َ َح َّل هللاُ ْال َب ْي َع و َح َّر َم الربوا‬


Artinya:
“padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-
Baqarah [2]: 275)8
Nash ini shighotnya menunjukkan kepada dalalah yang nyata kepada dua arti,
yang masing-masing dimaksudkan oleh susunan katanya. Pertama, bahwa jual-
beli itu tidak seperti riba. Kedua, bahwa hukum jual-beli itu halal dan hukum riba
adalah haram. Dua-duanya itu adalah arti yang difahami dari ungkapan nash dan
keduanya dimaksudkan oleh susunan katanya. Tetapi yang pertama adalah tujuan
susunan kata secara dasar, karena ayat tersebut didatangkan untuk menolak orang-
orang yang mengatakan: "Jual-beli itu hanya seperti riba". Sedangkan yang kedua
adalah tujuan susunan kata secara ikut-ikutan, karena meniadakan persamaan itu
adalah menjelaskan hukum masing-masing dua perkara itu (jual-beli dan riba),
tidak sama. Seandainya orang meringkas kepada arti yang dimaksud dari susunan
kata itu secara dasar, niscaya dia akan berkata: "Tidaklah jual-beli itu seperti
riba".9
Allah juga berfirman:

‫اء َمثْنى‬
ِ ‫س‬َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِم ْن ن‬
َ ‫ط‬َ ‫ط ْوا فِى ْاليَتمى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬
ُ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَالَّ ت ُ ْق ِس‬
ِ ‫فَ َو‬
.‫احدَة‬ ‫ فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَالَّ ت َ ْع ِدلُ ْوا‬,‫لث َو ُرب َع‬
َ ُ ‫َوث‬

Artinya:

7
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, Cet. 6, 1996), h. 231

8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Jumanatul
‘Ali-‘Art, 2004), h. 47

9
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 231

6
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: 2 3 atau 4. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil, maka nikahilah seorang saja...” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)10
Dari ibarat nash ada tiga makna dapat yang dipahami, yaitu: pembolehan
menikahi wanita yang disenangi, membatasi jumlah maksimal istri sebanyak 4
orang, dan perwajiban mencukupkan satu orang istri saja, apabila dikhawatirkan
berlaku tidak adil pada saat istrinya banyak. Sebab seluruh makna tersebut
ditunjuki oleh lafazh nash dengan dalalah yang nyata. Semuanya dimaksudkan
dari susunan kalimatnya, akan tetapi makna yang pertama dimaksudkan secara
pengikutan, sedangkan makna yang kedua dan yang ketiga dimaksudkan secara
asli. Sebab ayat tersebut disusun untuk menyesuaikan orang-orang yang menjadi
washiy terhadap orang-orang yang membatasi diri yang keberatan untuk
menerima wasiat, karna merasa khawatir untuk berlaku tidak adil terhadap harta
benda anak-anak yatim.
Allah swt mengingatkan kepada mereka bahwasanya kekhawatiran untuk
berlaku zhalim juga harus menghalangi kamu untuj memperbanyak istri kepada
jumlah yang tak terbatas dan tanpa suatu ikatan. Oleh karena itu, mereka haruslah
mencukupkan dua orang atau tiga orang atau empat orang istri. Dan jika mereka
juga merasa khawatir untuk tidak dapat berlaku adil ketika beristri banyak, maka
hendakalah mereka mencukupkan pada seorang istri saja. Mencukupkan pada dua
orang istri, atau tiga orang istri, atau empat orang istri, atau seorang istri saja
adalah wajib bagi orang-orang yang merasa khawatir untuk tidak berlaku adil.
Maka inilah yang dimaksudkan secara asli dari susunan ayat tersebut. Makna ini
diikuti lagi dengan penjelasan mengenai kebolehan perkawinan. Pembolehan
perkawinan dimaksudkan secara pengikutan bukan secara asli, Sedangkan yang
dimaksud secara asli adalah pembatasan jumlah istri banyak 4 orang, atau satu
orang saja. Kalau sekiranya hanya dibatasi pada dalalah pada makna yang
dimaksud dari susunan kalimatnya, niscaya Allah berfirman: " dan jika kamu
merasa khawatir untuk tidak berlaku adil pada anak yatim, maka cukupkanlah

10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 77

7
pada jumlah para istri tidak lebih dari 4 orang kemudian jika kamu merasa
khawatir tidak berlaku adil, diantara jumlah itu, maka cukupkanlah pada seorang
istri saja".
2.2 Isyarat Nash
Isyarat nash adalah makna yang tidak segera dapat dipahami dari lafazh-
lafazhnya, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah
makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami dari lafazhnya. Jadi ia
adalah makna yang ditunjuki oleh lafadz melalui cara iltizam. Karna ia adalah
makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, maka dalalah nash
terhadap makna tersebut isyarat bukan ibarat. Segi kezhaliamanya terkadang jelas,
dan terkadang pula tersembunyi. Oleh karna inlah mereka berkata: "sesungguhnya
sesuatu yang yang di isyaratkan oleh nash, terkadang pemahamannya
menbutuhkan penalaran yang mendetail dan pemikiran yang berlebih. Terkadang
pula ia dapat dipahami dengan pemukiran yang sederhana. Jadi, dalalah isyarat
adalah dalalag nash terahadap makna yang lazim bagi sesuatu yang diapahami
dari ibaratnya, namun tidak dimaksudkan dari susunannya, pemahamannya
membutuhkan perenungan yang berlebih atau sederhana, sesuai dengan jelasnya
segi kezhaliman dan ketersembunyiannya.11
Dalam kaitan tersebut, berbagai defenisi Isyarat al-nash telah banyak
dikemukakan oleh para ulama ushul fiqhi, antara laian sebagai berikut:
2.2.1 Menurut ‘Abd al-Wahab Khallaf

‫داللة اإلشارة هي داللة النص عن معنى الزم لما يفهم من عبارته‬


‫غير مقصود من سياقه يحتاج فهمه الي فضل تأمل أو أدناه حسب‬
‫ظهوروجه التالزم وخفائه‬
Artinya:
“Dilalat isyarat adalah petunjuk nash atau makna yang lazim (tetap) yang
dapat dipahami dari ungkapannya serta tidak dimaksudkan oleh susunan
lafznya dan untuk memahami (makna)-nya diperlukan pemikiran sedalam-

11
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, h. 213-214

8
dalamnya atau pemikiran yang sederhana, menurut terang dan tidaknya
dari segi ketetapannya.”
2.2.2 Menurut Syekh al-Khudlairy

‫إشارة النص هي داللة علي يقصدله اللفظ أصال‬


Artinya:
“Isyarat al-nash adalah petunjui nash atau makna yang tidak dimaksudkan
oleh lafznya”
2.2.3 Menurut Zakiya al-Din Sya’ban

‫إشارة النص هي داللة اللفظ علي حكم لم يقصدمنه أصالة والتبعا‬


‫ولكنه الزم للمعني الذي سيق الكالم إلفادة وال يتوقف عليه صدق‬
‫الكالم والصحته شرعا‬
Artinya:
“Isyarat al-nash adalah petunjuk lafzh atas hukum yang tidak dimaksudkan
baik oleh makna asli maupun makna tabi’iy (bukan asli). Akan tetapi hukum
itu tetap ada bagi makna yang tersusun (dalam) susunan lafz untuk
keperluannya, dan tidak dapat diketahui atas makna hukum itu suatu
kebenaran dan keshasihan susunan lafzh menurut syara’.”
2.2.4 Menurut Abu Zahrah

‫إشارة النص هي ما يدل عليه اللفظ بغير عبارته ولكنه يجيء نتيجة‬
‫لهذه العبارة فهو يفهم من الكالم ولكن ال يستفاد من العبارة ذاتها‬
Artinya:
“Isyarat al-Nash adalah suatu makna yang ditunjuki oleh lafzh bukan dari
segi “ibaratnya. Akan tetapi ia muncul sebagai natijat (konklusit) dari
ibarat ini ia dapat dipahami dari susunan kalimat, tetapi tidak memberikan
faedah dari zat (hakikat makna yang tersurat didalam) ‘ibarat-nya”.”
Dengan demikian, isyarat al-nash pada dasarnya mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:

9
a Mengandung makna (hukum) tetap yang tidak dimaksudkan baik oleh
makna asli maupun makna taba’iy dalam susunan lafznya.
b Dalam memahaminya kadang-kadang diperlukan pemikiran sedalam-
dalamnya atau pemikiran yang sederhana mungkin.
c Kebenaran dan keshasihan makna (hukum) dari Isyarat al-nash ini tidak
dapat diketahui dalam tuntutan syara’.12
Contonya isyarat ini ialah firman Allah swt:

ِ ‫َو َعلَى ْال َم ْولُ ِدلَهُ ِر ْزقُ ُه َّن َوقِ ْس َوت ُ ُه َّن ِب ْال َم ْع ُر ْو‬
‫ف‬
Artinya:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang makruf”(QS. Al-Baqarah [2]: 233) 13
Dari ibarat nash ini dapat dipahami bahwasanya nafkah para ibu baik
makanan maupun pakaian adalah wajib atas para ayah, karna sesungguhnya
pengertian inilah yang segera tertangkap dari lafazh-lafazhnya, yang dimaksudkan
dari susunannya. Dan berdasarkan isyarat nash dipahami pada bahwasanya ayah
tidak disertai oleh siapapun dalam kewajiban menafkahi anaknya, karna anak
adalah untuknya bukan untuk orang lain. Kalau sekiranya seorang ayah itu adalah
dari suku quraishy dan ibunya bukan quraisy maka anaknya adalah untuk ayahnya
yang quraisy itu, karna naknya adalah untuknya bukan untuk orang lain.
Selanjutnya bahwasanya ayahnya ketika membutuhkan dapat memiliki harta
anaknya sesuai yang dibutuhkannya tanpa suatu ganti, karna anak tersebut adalah
baginya, maka harta kekayaan anaknya juga miliknya. Huku-hukum ini dipahami
dari isyarat nash. Karna sesungguhnya pada lafazh nash terdapat pengkaitan anak
pada ayahnya dengan huruf lam yang mempunyai pengertian pengkhususan yaitu:

ُ‫َو َعلَى ْال َم ْولُ ِدلَه‬

12
H.M. Mawardi Djalaluddin, “Metode Dilalah Al-Alfadz dalam Hukum Islam”,
http://journal.uin-alauddin.ac.id/2016/12/index.php/al_daulah/article/viewFile/4848/4341/ (07
April 2019) h. 294-295

13
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 37

10
(Dan atas orang yang (anak itu) dilahirkan untuknya). Pengkhususan inilah
yang diungkapkan dalam hadits:

‫ت َو َملُ َك ِالَ ِبي َْك‬


َ ‫ا َ ْن‬
Artinya:
“Kamu dan hartamu adalah bagi ayahmu”
Satu contoh dari undang-undang pidana (mesir):
Materi 274 : " Wanita yang bersuami yang terbukti berzina di hukum kurungan
(penjara) selama tidak lebih dari 2 tahun, akan tetapi suaminya berhak untuk
menghentikan pelaksanaan hukuman dengan kerelaannya untuk bergaul
dengannya kembali"
Materi ini berdasarkan ibaratnya menunjukkan penghukuman istri yang
terbukti berzina, dan bahwa suami berhak untuk menghentikan eksekusi hukuman
tersebut selanjutnya berdasarkan isyaratnya, materi tersebut menunjukkan bahwa
perizinan istri bukanlah kriminalitas sosial dalam pandangan pembuat hukum di
mesir. Iya hanyalah tindak kriminal terhadap suami. Ini adalah lazim
(konsekuensi) dari penetapan hak kepada suami untuk menggugurkan
hukumannya.
Contoh dari undang-undang perdata (Mesir) yang telah dianulir yaitu:
Materi 155: " anak dan suami anaknya sepanjang masih tetap hubungan
perkawinan ,wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya dan istrinya"

Mateti 156: " demikian pula orang tua wajib menafkahi anak anaknya dan istri
anak-anaknya dan para suami diwajibkan memberi nafkah satu sama lain.

Materi 157: " penentuan jumlah nafkah dengan memperhatikan berbagai


kelaziman orang yang nafkah Itu diwajibkan pada mereka dan kekayaan orang
yang diwajibkan mengeluarkannya." bagaimanapun juga wajib membayarkan
nafkah bulan demi bulan dengan didahulukan.
Dari ibarat masing-masing materi dipahami adanya hukuman yang ditetapkan
berkenaan dengan hukum nafkah, dan berdasarkan isyarat nas dipahami pula
penckhususan Ahliyyah untuk memutuskannya, karena dari Nas undang-

11
undangnya diperoleh ketetapan mengenai kewajiban untuk menerapkannya,
khususan ini merupakan makna yang lazim karena adanya materi-materi tersebut
dalam undang-undang namun tidak dimaksudkan dari susunan materi. Ia
dipahami melalui jalan isyarat nash. banyak nash-nash perundang-undangan
hukum positif yang ibaratnya menunjukkan beberapa hukum, dan
mengisyaratkan kepada beberapa hukum pula. inilah yang dinyatakan oleh para
tokoh undang-undang dengan ucapan mereka: nashjelas dalam masalah begini dan
melalui jalan isyarat dapat diambil kesimpulan begini.
Selanjutnya dalam berikhtiar melalui cara isyarat haruslah memerlukan dan
membatasinya pada sesuatu yang lazim bagi makna Nas dengan suatu kelaziman
yang tidak dapat dihindarkan lagi. karena inilah makna yang ditunjuki oleh Nash
sebab yang menunjukkan kepada yang di lazim ini juga menunjukkan kepada
lazimnya. Adapun menanggungkan nash terhadap berbagai makna yang jauh
yang tidak ada kelaziman antara Makna tersebut dan maknanyaberdasarkan
isyarat, maka hal tersebut adalah penyimpangan dalam memahami Nash dan hal
itu tidaklah yang dimaksudkan dengan dalalah isyarat Nash.14
2.3 Dalalah Nash
Dalalah nash (petunjuk nash) ialah makna yang difahami dari jiwa nash dan
rasionalnya. Maka apabila nash itu ungkapannya menunjukkan atas hukum
mengenai suatu kejadian karena illat (alasan) yang menjadi dasar hukum ini, dan
terdapat kejadian lain yang sama illat hukumnya dengan kejadian pertama atau
bahkan lebih utama daripadanya, dan persamaan atau keutamaan ini menuntut
pemahaman secara bahasa, ansich, tanpa memerlukan kepada Ijtihad atau Qiyas,
maka secara bahasa dapat difahami bahwa nash itu mencakup dua kej adian
tetsebut, dan bahwa hukum nash yang terjadi atas sasarannya itu menetapkan
kepada pengertian yang Sesuai dengan hukum tersebut dalam illatnya, baik
hukum itu sama atau lebih utama.
Contohnya ialah firman Allah SWT mengenai sikap terhadap kedua orang tua
yang berbunyi:15

14
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, h. 217-218
15
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 237

12
‫فَ َال تَقُ ْل لَّ ُه َما اُف‬
Artinya:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" ...” (QS. Al-Isra’ [17]: 23)16
Ibarat nash ini menunjukkan terhadap larangan mengucapkan “ah” kepada
kedua orang tuanya. Illat pada larangan ini adalah penyakitan hati dan menyakiti
mereka yang terdapat kata “ah” terhadap mereka. Kemudian ada bentuk lain yang
lebih menyakitkan daripada mengatakan “ah”, seperti memukul dan mencaci
maki, sehingga segera dapat dipahami bahwa hal tersebut juga termasuk dalam
larangan. Ia juga diharamkan berdasarkan nash yang mengharamkan
mengucapkan “ah”. Karena menurut bahas, yang segera dapat dipahami dari
larangan mengucapkan “ah” adalah larangan terhadap sesuatu yang lebih
menyakiti terhadap dua orang tua. Jadi pengertian yang dipahami yang sesuai dan
didiamkan itu adalah lebih-lebih lagi hukumnya dibanding pengertian yang
diucapkan.
Contoh lain adalah firman Allah swt.:17
ُ ُ‫ظ ْلما اِنَّ َما َيأ ْ ُكلُ ْونَ ِف ْي ب‬
‫ط ْو ِن ِه ْم نَارا‬ ُ ‫ا َِّن الَّ ِذيْنَ َيأ ْ ُكلُ ْونَ ا َ ْم َوا َل ْال َيتمى‬
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya...” (QS. An-Nisa’ [4]: 10)18
Dari ungkapan nash ini dapat difahami keharaman memakan kekayaan harta
anak-anak yatim secara aniaya bagi para penerima wasiat. Dan dari dalalah nash
ini dapat difahami keharaman memberi makan dari harta kekayaan anak yatim
tersebut kepada orang lain. juga membakamya, mencerai-beraikan, dan
merusaknya dengan bentuk apa saja. Karena perbuatan-perbuatan ini sama dengan
memakan secara aniaya harta kekayaan orang yang tidak kuat dan lemah menolak

16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 284
17
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, h. 218-219

18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 78

13
aniaya. Maka nash yang ungkapan' nya mengharamkan memakan harta kekayaan
anak yatim secara aniaya adalah berarti mengharamkan membakar harta kekayaan
itu, atau mencerai-beraikannya. menurut cara dalalah. Di sini pengertian yang
sesuai dan didiamkan adalah sama dengan apa yang diucapkan. Maka perbedaan
antara dalalah nash dan qiyas, yaitu bahwa persamaan makna yang sesuai dengan
yang diucapkan nash dapat difahami hanya menurut pemahaman bahasa tanpa
memperhatikan ijtihad dan istinbath. Sedangkan perasamaan sesuatu yang
diqiyaskan kepada yang dikiyasi tidak dapat difahami menurut bahasa melulu.
Bahkan harus memerlukan ijtihad dalam menemukan illat hukumnya yang
dikiyasi dan dalam mengetahui realisasi illat dalam perkara yang dikiyaskan.
Contoh undang-undang perdata yang dihapuskan: teks pasal 370 berbunyi
bahwa: "Orang yang menyewakan tidak dibebani peketj aan apa saja kecuali bila
hal itu disyaratkan dalam kontrak tersebut".
Dari dalalah nash ini bisa difahami bahwa orang yang menyewa tidak
dibebani membuat kamar umpamanya. Karena perbuatan ini lebih utama daripada
sesuatu perbuatan dalam hai merealisir illat mencegah membebani orang yang
menyewakan. Illat itu ialah saling rela merelakan atas benda-benda yang
diperjanjikan sesuai dengan keadaannya pada waktu akad (dilaksanakan).
Contoh undang-undang pidana. Teks pasal 274 berbunyi bahwa: "Wanita
bersuami yang berzina diberi pidana penjara dalam tempo yang tidak lebih dari
dua tahun, tetapi suaminya boleh menangguhkan pelaksanaan pidana itu lantaran
ia rela untuk mempergauli istrinya, seperti yang sudah". Dari dalalah nash ini bisa
difahami bahwa suami punya hak menuntut menangguhkan kelangsungan
dakwaan zina (istrinya), sebelum ada keputusan mengenai dakwaan itu; karena
seseorang yang mempunyai hak menangguhkan pelaksanaan hukum sesudah
terbitnya hukum itu, adalah lebih utama memiliki hak penangguhan pelaksanaan
tuduhan lantaran kedudukannya (sebagai suami).
Teks pasal 237 berbunyi bahwa: "Seseorang yang menyerang istrinya ketika
berbuat zina, dan membunuhnya seketika itu Maka dipidana penjara sebagai ganti
pidana yang telah ditetapkan dalam pasal 234 dan 236".

14
Dari dalalah nash ini bisa difahami bahwa seandainya suami memukul istri
dan kepada seseorang yang berzina dengan dia. dengan pukulan yang dapat
menimbulkan cacat yang tetap, maka cacar itu dianggap sebagai dosa ringan dan
bukan pidam Karena perbuatan ini lebih utama daripada perbuatan membunuh
dari segi keringanannya.
2.4 Iqtidha’ Nash (Kehendak nash)
Yang dimaksud dengan sesuatu yang difahami dari kehendak nash, ialah
makna yang kalam (logika), tidak bisa tegak kecuali dengan mengukur makna.
Maka bentuk nash itu di dalamnya bukanlah kata (lafazh) yang menunjukkan
kepada nash tersebut, tetapi bentuk nash dan tegaknya maknanya itu menghendaki
kepada nash tersebut, atau membenarkannya, dan sesuai dengan kenyataan yang
menghendaki.19
Dilalah iqtida adalah penunjukan lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian
lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya lafadz yang membantu untuk
memahaminya.
Misalnya firman Allah swt.:20

‫َو ْسئ َ ِل ْالقَ ْريَةَ الَّتِي ُكنَّافِ ْي َها‬


Artinya:
“Dan tanyakanlah (penduduk) negeri yang kami berada disitu” (QS. Yusuf
[12]: 82)21
Perintah bertanya kepada negeri tidak dibenarkan secara logika, sekiranya
tidak dibubuhkan perkataan ahli (penduduk) sebelum lafadz qaryah. Dengan
demikian tersusunlah rangkaian pengertian berikut:

‫واسأل اهل القرية التى كنافيها‬


“Dan tanyakanlah kepada penduduk negeri yang kami tadinya berada di
situ”.22

19
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 238-241

20
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqhi; Metode Istinbath dan Istidlal, h. 63

21
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 246
22
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqhi; Metode Istinbath dan Istidlal, h. 64

15
Misalnya lagi, firman Allah swt:

‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوالدَّ ُم َولَ ْح ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر‬


ْ ‫ُح ِر َم‬
Artinya:
“Diharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi....” (QS. Al-Ma’idah
[5]: 3)23
Maksudnya memakannya dan memanfaatkannya. Karena substansinya tidak
dapat dikaitkan dengan pengharaman. Pengharaman hanyalah berkaitan dengan
perbuatan mukallaf. Kemudian pada setiap nash diperkirakan sesuatu yang
dituntut sesuai dengannya.24

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dilalah adalah pengertian yang diperoleh dari lafadz-lafadz nash hingga satu
lafadz dapat menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan.

23
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 107

24
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, h. 222

16
Dalalah ibarat ialah dalalah shigat terhadap makna yang segera dapat
dipahami darinya, yang dimaksudkan dari susunannya, baik makna tersebut
dikehendaki dari susunannya secara asli ataupun dikehendaki secara pengikutan.
Isyarat nash adalah makna yang tidak segera dapat dipahami dari lafazh-
lafazhnya, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah
makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami dari lafazhnya. Jadi ia
adalah makna yang ditunjuki oleh lafadz melalui cara iltizam. Karna ia adalah
makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, maka dalalah nash
terhadap makna tersebut isyarat bukan ibarat.
Dalalah nash (petunjuk nash) ialah makna yang difahami dari jiwa nash dan
rasionalnya. Maka apabila nash itu ungkapannya menunjukkan atas hukum
mengenai suatu kejadian karena illat (alasan) yang menjadi dasar hukum ini, dan
terdapat kejadian lain yang sama illat hukumnya dengan kejadian pertama atau
bahkan lebih utama daripadanya.
Dilalah iqtida adalah penunjukan lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian
lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya lafadz yang membantu untuk
memahaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya.


Bandung: CV Penerbit Jumanatul ‘Ali-‘Art.

Hasbiyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqhi; Metode Istinbath dan Istidlal.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya

17
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqhi. Semarang: Dina Utama
Semarang

Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh 2. Jakarata: Logos Wacana Ilmu

Djalaluddin, H.M. Mawardi. 2019. “Metode Dilalah Al-Alfadz dalam Hukum


Islam”. http://journal.uin-alauddin.ac.id/2016/12/ index.php/ al_daulah
/article/ viewFile/4848/4341/ (07 April)

18

Anda mungkin juga menyukai