Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

D I S U S U
N

OLEH :

Syahbuddin Daulay

JURUSAN FAI FAKULTAS KPI UNIVERSITAS AL WASHLIYAH LABUHANBATU T.A. 2013/2014

KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum Wr.Wb Alhamdulillahhirabbilalamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya di Akhir kelak nanti. Amiiiiiiinnn.. Saya berucap Syukur kepada Allah atas limpahan Nikmat sehat-Nya, baik fisik maupun akal pikiran, sehingga Saya berhasil menyelesaikan pembuatan makalah Saya ini, sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu ushul fiqh dengan judul lafadz Dalalah Tentunya makalah Saya ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu, Saya mengharapkan kritik-kritik dan saran dari pembaca untuk lebih baiknya makalah ini. Demikian, dan jika terdapat banyak kesalahan Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhirul kalam...... Wassalamualaikum Wr.Wb

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Dalam melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya.Berkenaan dengan cara penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh. Menurut ulama Hanafiah, metode dalam penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu ibarah nas, isyarah nash, dalalah nash, dan iqtida nash.Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilahistilah tersebut serta cara bagaimana penunjukannya. B. RUMSAN MASALAH

1. Apa pengertian lafal dalalah nash? 2. Bagaimana penunjukan lafal nash menurut madzhab Hanafi ? 3. Bagaimana perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi ? C. TUJUAN MASALAH 1. Untuk mengetahui lafal dalalah nash. 2. Untuk mengetahui penunjukan lafal nash menurut madzhab Hanafi. 3. Untuk mengetahui perbedaan metode-metode menurut madzhab Hanafi. 4. Lafazs Dan Dalalahnya

BAB 11 PEMBAHASAN

1. Pengertian Lafal N Dalalah ash Secara bahasa kata adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata - nay g berarti menunjukan dan kata dallah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh Quthub Mustafa Sanu bahwa yang dimaksud dengan dallah adalah ; . Dallah itu ialah keadaan sesuatu yang dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya. Dengan kata lain, dillah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash. Dillah lafal itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukan oleh suatu lafal nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini: ( :)

Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dilalah atau penunjukkan yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah ditangkap oleh akal seseorang.Pembahasan tentang dillah ini sangat penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Menurut Amir Syarifuddin[1], bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dillah. 2.Penunjukan Lafal Nash Menurut Madzhab Hanafi Nash Al-Quran dan As-Sunnah adalah kumpulan lafal-lafal yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dalalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf[2] adalah sebagai berikut; Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara yang bersifat amali, baik sifatnya qothi maupun dhanni. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Sementara itu, yang dimaksud dengan dillah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Al-Jarjani, dalam kitab Al-Tarift adalah : Cara penunjukkan lafadz atas sesuatu makna atau pengertian yang dikandung oleh Nash. Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dilalah ialah sesuatu yang ditunjukkan.

Menyangkut dilalah lafadz nash ini di kalangan ulama ushul memang terdapat perbedaan.Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukan dilalah lafal nash itu kepada empat macam, yaitu ibarah nass, isyarah nass, dilalah nass, dan iqtida nass. a. Ibarah Nash Yang dimaksud dengan Ibrat al-Nash ialah: Ibarat nash ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri.[3] Definisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah: . Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya. Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa, Ibrat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut ini. Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual beli dan riba itu dua hal yang berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual beli itu boleh dan riba itu haram.Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.

b. Isyarah Nash Yang dimaksud dengan Isyarat al-Nash ialah ; . Isyarat dan al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa isyrat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya.Tegasnya, isyrat al-nash itu ialah dillah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233: ): / ( Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (maruf).

Menurut Amir Syarifuddin[5], bahwa ungkapan yang diartikan dengan ayah adalah sebagai pengganti kata dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata dalam ayat ini.Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan adalah terdiri dua unsur kata, yaitu yang arti dasarnya adalah anak yang dilahirkan, dan kata yang berarti untuknya dan kata itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga ungkapan arti asalnya anak untuk ayah. Oleh karena itu, ungkapan lafal mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan Isyarat yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash. c. Dalalah Nash Dillat al-Nash ini disebut juga dengan dillat al-dillat. Adapun yang dimaksud dengan dillat al-dillat adalah Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut anhu), karena antara kedua yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar Menurut Romli, Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan illat antara keduanya. Contoh: Untuk maksud ini dapat dilihat dalam surat al-Isra ayat 23 berikut ini : .. Maka janganlah kamu mengucapkan kata ah kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita tidak boleh atau dilarang mengucapkan kata-kata ah atau cis dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah menyakitkan perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya memukul atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan, selain ucapan ah atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT. d. Iqtida Nash Dillah al-Iqtidhal- nash ini disebut juga dillat al-iqtidl.Yang maksud dengan iqtidhalnash ialah: . Iqtidla al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash.

Menurut Romli, Iqtida al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Maidah, ayat 3 berikut ini: Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks.Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.

3. Perbedaan Metode-metode menurut Mazhab Hanafi Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah ibrat al-nash, kemudian menyusul isyrat al-nash dan setelah itu baru dillat al-nash dan yang terakhir adalah iqtidl al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Syaban bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibrat al-nash dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyrat nash, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibrat al-nash lebih didahulukan dari pada isyrat al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibrat nash atau isyrat nash dengan dillat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dillat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dillat al-nash dengan iqtidl al-nash, maka dillat al-nash lebih didahulukan atas iqtidl alnash. Sebagai contoh adalah firman Allah: Surat al-Baqarah ayat 178 berikut ini: Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan Ayat ini dilihat dari segi ibrat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 93 berikut ini: ( (: /

Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya. Ayat ini dengan cara isyrat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibrat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibrat nash lebih diutamakan dari isyrat nash, yaitu dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.

LAFAZH DAN DALALAHNYA 1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazhlafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa). Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Alghazali:145). Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan). Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Untuk mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di ungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori ulama tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antara tingkatan-tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut. 2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya. Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut: Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau dinasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam). 2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah 2.1.1 Zhahir Berikut beberapa definisi tentang Zahir: Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri. ( Bazdawi, 1307 H. I:46) Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu. ( As-Sarakhsi, 1372, I:164) Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah: Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143) Contoh : Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah lain. Masing-masing dari lafazh al-bay dan ar-riba merupakan lafazh amm yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, men-takwil-nya atau me-nasakhnya.

2.1.2 Nash Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah. Menurut bahasa, Nash adalah raf u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut: Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir. (Ad-Dabusi) Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri. (Al-Bazdawi) Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah: Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul). Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa. Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash. 2.1.3 Mufassar Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ): Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil. Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT: Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. ( QS. AtTaubah : 36 ) Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qathi, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya. 2.1.4 Muhkam Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh. Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qathi, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebihlebih pada masa setelah Nabi.

Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah : Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu. Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash. Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qathi, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam. 2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya terhadap penetapan Hukum 2.2.1 Pertentangan antara zhahir dan nash Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir) dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (QS. An-Nisa :24) yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja (Nash). Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan), maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat.Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah budak budak yang kamu miliki.. (QS. An-Nisa : 3). Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir. 2.2.2 Pertentangan antara Muhkam dengan Nash Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan dibatasi empat orang (Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya (QS. Al- Ahzab : 53) Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam. 2.2.3 Pertentangan antara Nash dengan Mufassar Dari Aisyah, ia berkata Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasullullah dan ia berkata sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ? Rasullullah menjawab. tidak, Karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.( As-Syaukani, I : 299 ). Dalam riwayat lain memakai ungkapan, berwudulah setiap waktu shalat. (Az-Zaylai, I, t,t : 125). Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat, sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat, sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada. Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar. 2.2.4 Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam ..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu ( QS. Ath- Thalaq : 2) dengan surat An Nur ayat 4:

dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua. 2.3 Tingkatan- Tingkatan Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafiiyyah) Menurut Imam Syafii tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Imam Asy-Syafii, nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-masing, Nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali, Suatu lafazh yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat maupun takwil jauh. Dan Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta muncul dari dalil. Adapun kemungkinan yang didukung dengan dalil maka lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.

BAB 111 KESIMPULAN

Dillah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.Ibrat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Isyrat al-nash adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan illat antara keduanya. Iqtida al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah ibrat al-nash, kemudian menyusul isyrat al-nash dan setelah itu baru dillat al-nash dan yang terakhir adalah iqtidl al-nash.

DAFTAR PUSTAKA Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. 2001. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. Abdul Wahab Khalaf. Ilm Ushul al-Fiqh. 1984. Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah. Wahbah Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami. 1986. Beirut Libanon: Dar al-Fikr. Zaky al-Din Syaban.Ushul al-Fiqh al-Islami.1965. Mesir: Dar al-Talif Lit-tibaah.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu, 2001), 126. Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Dawah al-Islamiyah, 1984), 20. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I, (Beirut Libanon; Dar al-Fikr, 1986), 349.

Zaky al-Din Syaban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Talif Lit-tibaah,1965), 363-364.

Anda mungkin juga menyukai