Anda di halaman 1dari 10

N M U’ AWWA L

DZAHIR DA

DISUSUN OLEH :
EDO WARDI
R
M. EZRA ALY AKBA
M. YANTO
Pengertian Dzahir dan Mu’awwal

Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:

‫المتردد بين أمرين هو فى احد هما اظهر‬.


Artinya: “Kuragu-ragukan diantara dua perkara atau dua lafaz, sedangkan salah
satunya adalah lebih jelas.”
Maksudnya adalah, suatu lafazd yang bisa diartikan dengan dua makna, tetapi
tinjauan dari segi bahasa menunjukkan bahwa salah satu maknanya, artinya lebih
jelas atau lebih menonjol pada lafaz tersebut dari pada makna lainnya
Dzahir adalah suatu lafazh yang dengan mendengarkan lafazh itu pendengar bisa
langsung mengerti apa maksudnya tanpa perlu berpikir dan tidak bergantung
kepada petunjuk lain.
Pengertian Muawwal (Ta’wil)

Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih adalah memindahkan makna


lafazh (Dzahir) Al-Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima oleh
akal dari makna harfiyahnya.
Pengertian mu’awwal dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha
untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui
pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh
itu. Dengan kata lain, mu’awwal berarti mengartikan lafazh dengan
beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriyahya,
bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikkan
dengan tafsir
Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul, ta’wil ialah
memalingkan lafazh dari zhahirnya lantaran ada dalil. Dan termasuk
sesuatu yang telah ditetapkan, yaitu bahwa asal sesuatu itu tidak
memalingkan lafazh dari zhahirnya, tidak benar, kecuali apabila
didasarkan kepada dalil syara’ yang berupa nash atau qiyas atau
didasarkan kepada jiwa pembentukan hukum, atau prinsip-prinsip
umum.  Apabila takwil itu tidak didasarkan atas dalil syara’ yang sahih,
bahkan didasarkan kepada hawa nafsu, tujuan-tujuan khusus, dan
meguatkan sebagian pendapat, maka takwil itu adalah tidak benar.
Bentuk-bentuk Pembentukan Hukum Dzahir dan Muawwal

•  Hukum Dzahir
Yang dimaksud dengan hukum dzahir adalah dalam hal bagaimana kita
boleh atau harus berpegang pada makna yang dzahir, dan dalam
keadaan bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti dzahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum tentang pemakaian lafaz dzahir
sebagai berikut:
Dzahir itu adalah dalil syar’i (yang) wajib diikuti, kecuali terdapat dalil
yang menunjukkan lain daripadanya.
Maksudnya adalah apabila tidak terdapat alasan yang kuat untuk
mendorong pentakwilan sesuatu lafazh, maka lafazh dzahirnyalah yang
dipakai sebagai dalil dan yang wajib kita ikuti
• Hukum Mu’awwal
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks
bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu
mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan
bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil.
Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai
cara meng-istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil
jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan
dalalahnya qath’i, maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.
Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang
tidak pasti, wajib mengamalkan sesuai maknanya.
Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain
sepanjang berdasar pada dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk
mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
Implikasi Penerapan Hukum Dzahir dan Muawwal

Untuk mengetahui hukum yang tersirat di balik suatu lafaz dibutuhkan


daya nalar untuk mengetahui hakikat dan tujuan suatu lafaz dalam al-
Qur’an, yang memungkinkan untuk merentangkan hukum yang berlaku
dalam lafaz tersebut kepada kejadian lain yang bermunculan di balik
lafaz ini dapat dilakukan dengan beberapa cara :
• Pertama, perentangan suatu lafaz kepada maksud lain dapat dilakukan
dengan semata pemahaman lafaz. Dalam ushul fiqih cara seperti ini
disebut menggunakan kaidah mafhum muwafaqah atau mafhum
mukhalafah.
• Kedua perentangan kepada maksud lain tidak dengan semata
pemahaman lafaz tetapi tergaantung ada pemahaman alasan hukum
atau illat. Cara perentangan lafaz dalam bentuk ini disebut
menggunakan kaidah qiyas
Contoh dan Kaidah-kaidah Dzahir dan Mu’awwal
a) Contoh Lafadz Dzahir
Firman Allah SWT:
Artinya: “orang-orang yang makan (mengaambil) riba tidak dapt berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka (berkata)
berpendapat, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).
Ayat ini datang, menurut konteks kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan
untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan jual beli. Akan tetapi, dari zhahir
lafazhnya mengandung pengertian diperbolehkannya jual beli
Kaidah yang berlaku disini adalah, wajib mengamalkan pengertian zhahir dari
suatu ayat atau hadis selama tidak ada dalil atau qarinah yang memalingkannya
kepada pengertian yang lain. Jika ada qarinah yang menunjukkan
pengertian lain, lafal zhahir bisa dita’wil (dipalingkan pengertian lafal itu dari
maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak zhahir atau tidak cepat
dapat ditangkap.
b) Contoh Lafadz Mu’awwal
Seperti lafaz “yadun” dari firman Allah yang berbunyi:
‫والسمأ بنينا ها بأيد‬.....
“Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat: 47).
Lafadz (‫د‬WW‫)ي‬   pada ayat diatas, makna dzahir –nya adalah “tangan” sebagaimana
keterangan diatas. Tetapi oleh para ulama’, lafadz (‫د‬WW‫)ي‬ atau (‫يد‬W‫)ا‬ pada ayat diatas
diartikan “tangan” berarti mempersembahkan Allah dengan makhluk, sedang
Allah tidak mempunyai sesuatu pun sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an
yang berbunyi:
‫ليس كمثله شئ‬
“Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya”. (QS. A-s-Syura: 11).
 
Oleh karena itu maka ditakwil arti “tangan menjadi “kekuasaan”. Perubahan arti
yang demikianlah yang dianamakan takwil

Anda mungkin juga menyukai