musytarok muradif
Pendahuluan
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li an-nas dan sebagai kitab yang
diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS. Ibrahim 14 : 1).
Al-Qur’an merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang menempatkan posisi sebagai sentral,
bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu keislaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan
pemadu dalam gerakan-gerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian,
pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran dan pendalaman ilmu
kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya umat Islam terlebih dalam konteks
masa kini guna memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal.
Oleh karena itu, makalah kecil ini akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana
memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang musytarak dan ketentuan-ketentuan hukumnya.
Pembahasan
a. Pengertian musytarok
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشتركyang berarti bersekutu seperti
dalam ungkapan اشترك القومyang berarti “kaum itu bersekutu”. [1]
Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama’ ushul merumuskan pengertian musytarak menurut
istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:
اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر داللة على السوأ عند اهل تلك اللغة
“ Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang
sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Seperti kata قرءyang dalam pemakaian bahasa Arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidl,
lafad عينbisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai (jasus) dan emas[4],
kata يدmusytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنةdapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah,
bisa pula tahun masehi. [5]
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangatlah banyak sekali, namun ulama’
ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan
terhadap satu makna.[6] Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد, dalam satu kabilah, kata ini
digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna( )كله ذراع. Satu kabilah untuk menunjukkan (
)الساعدوالكفSedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.[7]
2. Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti lafadz فتنyang
asalnya bermakna ( المعدن فى النارlogam/barang tambang dalam api) selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan arti ( االضطهاد فى الدينpenindasan agama) kemudian bermakna ( الوقوع فى الضاللterjerumus
dalam kesesatan).[8]
4. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan ) )ترددantara makna hakiki dan makna istilah urfi.
Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang
digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصالةyang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian
dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.[9]
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut
kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan
istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’,[10] kecuali ada indikasi- indikasi yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa[11]
b) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah
salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti
tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah
adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu
masyarakat Arab pada saat turunnya nash tersebut.[12]
c) Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut
golongan hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya.
Menurut golongan malikiyah dan syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.[13]
“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu melepaskan tali
ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali ikatan
secara mutlaq.
Lafadz الصالةpada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula
berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. [14] Berikut
ini contoh lafadz الصالةyang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalm QS.
Al-ahzab : 56
“ Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Lafadz الصالةpada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai
makna dalam istilah bahasa yaitu doa.[15] Karena الصالةdalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah
dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Lafadz Quru’ dalam pemakain bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidl. Oleh
karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang
dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu
Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi
tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa Arab ma’dudnya
harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan
masa haidl. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara
dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal
ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidl. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada
dua quru’ (tidak sampai tiga)[16]
“ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيضdapat berarti masa/waktu haidl (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah
haidl (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidl.
Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap
menggauli istri-istrinya dalam waktu haidl.[17] Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيضdiatas adalah
bukanlah waktu haidl akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidl (qubul).
e. Pengertian Muradif
Muradif ialah lafalnya banyak sedangkan artinya adalah sama (sinonim), misalnya lafal asad dan allits
(artinya singa), himtah dan qamhu (artinya gandum).[18]
Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’.
Pendapat lain mengatakan: meletakkan lafal muradif di tempat lainnya, diperbolehkan asal masih satu
bahasa.[19]
Tentang lafal muradif tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lafal yang satu dapat
menempati tempat yang lain selama tidak mengubah makna dan tidak ada larangan syara’ untuk
mempergunakannya.[20]
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal selain Al-Qur’an yaitu zikir-zikir dalam ayat dan
lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan, tidak boleh membaca takbir kecuali dengan lafal
Allahuakbar. Demikian pula pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah memperbolehkan
takbir dengan lafal yang sama artinya dengan Allahuakbar seperti Allah Al-A’dzam atau Allah Al-A’la atau
Allah Al-Ajall. Perbedaan pendapat ini adalah disebabkan apakah kita beribadah dengan lafalnya atau
maknanya.[21]
g. Contoh-contoh
Dalam Alquran, seorag pembaca akan banyak menemukan lafal-lafal muradif. Seperti contoh:
Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-
khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Sebuah contoh
berikut akan memperlihatkan kejelasannya:
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan
mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Arrad : 21)
Dalam ayat ini memberitahukan pembaca ahwa sesungguhnya Al-khasyah dikhususkan hanya untuk
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab kata Al-khasy itu disebabkan kemuliaan yang dimuliakan. Sedangkan
kata Al-khauf disebabkan karena kelemahan (dla’if) Al-khaif itu sendiri.
Al-askary juga membedakan Al-bukhl dengan kata Adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya
atu aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya.
ين
ٍ ِ ضن ِ َو َما هُ َو َعلَى ْال َغ ْي
َ ِب ب
Dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib (QS. At-takwir : 24)
Disini tidak dikatakan dengan Al-bukhl. Di lain waktu juga dikatakan Adl-dlanin bi ilmihi.
َ ََسيَقُو ُل ْال ُم َخلَّفُونَ إِ َذا ا ْنطَلَ ْقتُ ْم إِلَى َمغَانِ َم لِتَأْ ُخ ُذوهَا َذرُونَا نَتَّبِ ْع ُك ْم ي ُِري ُدونَ أَ ْن يُبَ ِّدلُوا كَاَل َم هَّللا ِ قُلْ لَ ْن تَتَّبِعُونَا َك َذلِ ُك ْم ق
ْال هَّللا ُ ِم ْن قَ ْب ُل فَ َسيَقُولُونَ بَل
تَحْ ُسدُونَنَا بَلْ كَانُوا اَل يَ ْفقَهُونَ إِاَّل قَلِياًل
15. orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil
barang rampasan: "Biarkanlah Kami, niscaya Kami mengikuti kamu"; mereka hendak merobah janji
Allah. Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan
sebelumnya"; mereka akan mengatakan: "Sebenarnya kamu dengki kepada kami". bahkan mereka tidak
mengerti melainkan sedikit sekali. (Al-Fath 48:15)
55. dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan
supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An’am 06: 55)
h. penutup
Dari sedikit pemaparan diatas, dapat kita pahami bahwa perbedaan akan interpretasi terhadap nash-
nash Al-Quran akan menimbulkan kesimpulan-kesimpulan hukum yang berbeda pula. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap bahasa Arab dari berbagai aspeknya sangatlah penting
untuk dikaji secara konperehensif sehingga kita dapat mengaktualisasikan pesan-pesan teks Al-Qur’an
dalam konteks zaman kontemporer yang penuh tantangan dan problematika-problematika umat yang
membutuhkan jawaban-jawaban yang dapat memberikan pencerahan terhadap ummat.
Ahkirnya penulis berharap semoga makalah yang kecil ini sedikit dapat memberikan kontribusi positif
dalam rangka untuk memahami Al-Qur’an sebagai modal utama bagi umat Islam, khususnya kita sebagai
generasi muda Islam sehinnga mampu menjawab tantangan zaman yang sangat kompleks. Amin….
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001,
[2] Imam Az-Zarkasyi, Al-Bahru Al-Muhith, (Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf , 1992) jilid 2, hal. 122.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo : Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz,
(Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 326
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo : Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul
Fiqh, hal. 178, Aly Saghnaqi, Kitab Al-Wafi (Dar Al-Qahirah : 2003 ) hal. 268, Abd. Wahab khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh ( Madinah : Darul Fikr Araby, 1995) hal.167
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz,
(Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 326
[5] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 178
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Darul Fikr, 1997) hal. 150, Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, hal.
179, Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh hal.167
[7] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 179
[8] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327.
[9] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 180, Dr. Abd. Karim
Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327
[10] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327. Abd. Wahab khallaf,
Ilmu Ushul Fiqh ( Madinah : Darul Fikr Araby, 1995) hal.167
[11] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[14] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 328
[15] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[16] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 329. Dr. Wahbah Zuhaily,
Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181, Lihat juga Ibnu Rusyd, bidayah al-
mujtahid, (semarang : usaha keluarga) jilid 1 hal. 67
[17] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[18] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h195
[19] ibid
[20] Burhanudin, Fiqih Ibadah, Cet. I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001, h. 227.