1. Pengertian ‘Am
Menurut bahasa ‘am artinya umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan menurut istilah dapat
kita perhatikan uraian dari para ulama berikut ini: Abu Husain Al-Bisyri, sebagimana kutipan yang
diambil dari Muhammad Musthafa Al-Amidi sebagai berikut:
Artinya : ‘Am adalah lafadz yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuansatuan
(afrad) yang terdapat dalam lafadz tanpa pembatasan jumlah tertentu.
Artinya : ‘Am adalah suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu arti yang dapat
terwujud pada satuan-satuan banyak, tanpa batas.
Dalam bahasa Arab bahwa ditemukan lafad-lafad yang arti bahasanya menunjukkan makna yang
bersifat umum (‘am) di antaranya adalah sebagai berikut:
Kedua kata tersebut keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (QS. Ali ‘Imran (3): 185)
َو اْلَو اِلَداُت ُيْر ِض ْع َن َأْو اَل َد ُهَّن َح ْو َلْيِن َكاِم َلْيِن ۖ ِلَم ْن َأَراَد َأْن ُيِتَّم الَّرَضاَع َة
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah : 233)
Kata al walidat dalam ayat diatas bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah : 275)
Kata al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu,
keduanya adalah lafadh ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafadh Asma’ al-Mawshu, Seperti ma, al-ladhi na, al-lazi dan sebagainya.
ِإَّن اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن َأْم َو اَل اْلَيَتاَم ٰى ُظْلًم ا ِإَّنَم ا َيْأُك ُلوَن ِفي ُبُطوِنِهْم َناًراۖ َو َسَيْص َلْو َن َسِع يًرا
“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS.
An Nisa’ : 10)
e. Lafadh Asma’ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan
sebagainya.
َوَم ْن َقَتَل ُم ْؤ ِم ًنا َخ َطًأ َفَتْح ِريُر َر َقَبٍة ُم ْؤ ِم َنٍة َو ِدَيٌة ُمَس َّلَم ٌة ِإَلٰى َأْهِلِه ِإاَّل َأْن َيَّصَّد ُقوا
“dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (QS. An Nisa’ : 92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata َو اَل ُجَناَحdalam ayat berikut,
َو اَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم َأْن َتْنِكُحوُهَّن ِإَذ ا آَتْيُتُم وُهَّن ُأُجوَر ُهَّن
“dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”(QS. Al
Mumtahanah : 10)
g. Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyah.
۲۷۵: َو َأَح َّل ُهَّللا اْلَبْيَع َو َح َّر َم الِّر َبا (البقرة
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS.al-Baqarah : 275)
Lafadz al ba’I (jual beli) dan ar riba (riba) keduanya disebut lafadz ‘am, karena isim mufrad yang
dita’rifkan dengan “al-jinsiyyah.”
Lafadz aulad adalah lafadz jama’ yang diidhafahkan dengan lafadz kum sehingga menjadi ma’rifah . oleh
karena itu lafadz tersebut dikatagorikan lafadz ‘am.
i. Isim-isim mausul seperti al ladzi, al ladzina, al lati, al la’I dan lain sebagainya.
Misalnya :
َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-
istri itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS.al-Baqarah :234)
j. Isim-isim syarat, seperti man (barang siapa), maa (apa saja), ayyumaa ( yang mana saja).
Misalnya :
َم ْن َذ ا اَّلِذ ي ُيْقِرُض َهَّللا َقْر ًضا َح َس ًنا َفُيَض اِع َفُه َلُه َأْض َع اًفا َك ِثيَر ًة
“Siapakah yang mau member pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), Allah akan melipatgandakan harta kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (QS.al-Baqarah :
245)
Kaidah-kaidah Lafadh ’Am.
1. ( َعاٌم ُيَر اُد ِبِه الُع ُم ـْو َمLafadh ‘Am yang dikehendaki keumumannya),
karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish
(pengkhususan). Misalnya:
َوَم ا ِم ْن َد اَّبٍة ِفي اَأْلْر ِض ِإاَّل َع َلى ِهَّللا ِرْز ُقَها َو َيْع َلُم ُم ْس َتَقَّرَها َوُم ْسَتْو َدَعَهاۚ ُك ٌّل ِفي ِكَتاٍب ُم ِبيٍن
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab
yang nyata (Lauhmahfuz)." (QS. Hud :6).
2. ( الَع ـاُم ُيَر اُد ِبِه الُخ ُصـْو ُصLafadh ‘Am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus),
Contohnya: َم ا َك اَن َأِلْهِل اْلَم ِد يَنِة َوَم ْن َح ْو َلُهْم ِم َن اَأْلْع َر اِب َأْن َيَتَخ َّلُفوا َع ْن َر ُسوِل ِهَّللا َو اَل َيْر َغُبوا ِبَأْنُفِس ِهْم َع ْن َنْفِسِه
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar
mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih
mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. “ (QS. At Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tetapi hanya orang-orang yang mampu.
ialah lafadh ‘am yang tidak disertai karinah ia tidak mungkin dikhususkan dan tidak ada pula karinah
yang meniadakan tetapnya atau keumumannya. Tidak ada qarinah lafadh atau akal atau ‘urf yang
memastikannya umum atau khusus. Lafadh ‘am seperti ini dzahirnya menunjukkan umum sampai ada
dalil pengkhususannya.
َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َثاَل َثَة ُقُروٍء
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al Baqarah :
228).
Lafadh ‘Am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari
indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
B. Menganalisis Kaidah Khaash
1. Pengertian Khaash
Khaas adalah lafad yang dipakai untuk satu arti yang sudah diketahui kemandiriannya.
Khaas adalah tiap-tiap lafad yang dipakai untuk arti satu yang tersendiri dan terhindar dari arti lain yang
musytarak. Dari dua definisi khaash tersebut, dapat dipahami bahwa khaash adalah lafadz atau perkataan
yang menunjukkan arti sesuatu tertentu , tidak menunjukkan arti umum.
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan lafad-lafad yang menunjukkan makna umum atau ‘am, dan juga
khaash yang bentuknya dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:
a. Lafadz khaash berbentuk muthlaq, yaitu lafad khash yang tidak ditentukan dengan sesuatu.
Maksudnya adalah apabila dalam nash itu terdapat lafad yang menunjukkan makna khaash, selama tidak
terdapat dalil yang mengalihkan dari makna hakiki ke makna lain, maka harus diartikan sesuai dengan arti
hakiki.
Contohnya; hukuman bagi pelaku zina muhshan yaitu 100 kali dera, maka sanksi hukuman tersebut tidak
boleh kurang atau lebih dari 100 kali dera.
Apabila lafadh khaash yang muthlaq itu ditemukan berada dalam nash lain dan diterangkan secara
muqayyad, sedangkan topik dan sebab pembicaraannya sama, maka semua hukumnya harus ikut sama.
Contohnya; keharaman darah, di dalam QS. Al-Maidah ayat 3, ditentukan oleh lafadz ‘am darah yang
mengalir atau yang membeku (semua darah) hukumnya haram. Namun dalam QS Al-An’am ayat 145,
ditentukan lafadz muqayyad darah yang haram itu hanya darah yang mengalir saja.
c. Lafadz khaash berbentuk amar (perintah).
Maksudnya apabila lafadz khaash berbentuk amar atau yang mengandung arti amar, hukumnya wajib.
Contoh; pada firman Allah Swt. berikut ini:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan
bagi apa yang mereka kerjakan” . (QS. AlMaidah [5]: 38)
Maksudnya lafad khaash berbentuk amar mengandung makna potong tangan hukumnya wajib pada kasus
pencurian apabila memenuhi satu nisab barang yang dicuri.
maksudnya adalah jika lafadz khaash itu mengandung arti nahi, hukum yang terkandung di dalamnya
adalah haram.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (QS. Al-Baqarah [2]:
221)
Larangan pada ayat tersebut menunjukkan hukum haram. Namun, apabila terdapat tanda yang
memalingkan lafad dari arti yang sebenarnya karena adanya qarinah, maka pengertian hukumnya harus
disesuaikan dengan tanda tersebut, memungkinkan mengandung arti makruh, do’a, irsyad dan lain
sebagainya.
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS. Ar-Rahman
[55]: 27)
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada
masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-
buruk jalan (yang ditempuh). (QS. AnNisa’ [4]: 22)
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS. Ali Imran[3]: 183)
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Hud [11]: 6)
e. Allah Swt. penguasa alam semesta ini baik yang ada di langit maupun di bumi, seperti pada
firman Allah Swt.:
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. (QS. Al-Baqarah [2]:
284)
4. Macam-Macam Takhsish
Takhsish (pengkhususan) dalam ilmu ushul fikih dibagi menjadi dua: Takhsish muttasil dan takhsish
munfasil.
a. Takhsish muttasil (bersambung) Takhsish muttasil adalah takhsish yang tidak dapat berdiri sendiri;
tetapi pengertiannya bersambung, dari potongan ayat awal disambung oleh potongan ayat berikutnya
dalam satu ayat , berikut ini:
1) Pengecualian اإلستثناء
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya....(QS. AlBaqarah [2]: 282)
…kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah [2]: 282)