ILMU BALAGHAH
Balaghah bisa diartikan menggapai tujuan dan tutur kata yang baik. Secara istilah, balaghah
adalah menyampaikan makna yang luhur secara jelas dengan menggunakan ungkapan yang
shahih dan fashih. Secara jelas maksudnya pembicara menyampaikan suatu ungkapan dengan
lugas sehingga mudah difahami dan tidak salah faham. Adapun yang dimaksud shahih adalah
sesuai dengan kaidah sharaf dan nahwu. Sedangkan fashih adalah ungkapan itu harus tersusun
dari kata-kata yang mengandung maksud yang dikehendaki oleh pembicara.
Dalam ilmu balaghah, ada 3 cabang atau subdisplin ilmu, yaitu ilmu bayan, ilmu ma’ani, dan
ilmu badi’.
Ilmu Balaghah
● ILMU BAYAN
1. Etimologi
Secara etimologi, kata al-Bayan ( )البيانsemakna dengan azh-zhuhūr ()الظهور, al-kasyf ()الكشف
dan al-idhah ( )اإليض احyang berarti menjelaskan atau menerangkan. Sebagaimana disebutkan
pada beberapa surat dalam al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah swt.:
ان لَ ِس ْحًرا
ِ ِإ َّن ِمن البي
ََ َ
“Sesungguhnya sebagian dari al-Bayan itu membuat orang tersihir (terkesima/terhipnotis)
dengan kata-kata.”
Dalam konteks ini al-Bayan berarti menyampaikan maksud dan tujuan dengan menggunakan
lafaz yang paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman dan kecerdasan hati (spiritual).
Dalam konteks ini al-Bayan berarti bertindak berlebihan atau over acting dalam berbicara.
Biasanya itu muncul disebabkan perasaan ‘ujub (tindakan agar dikagumi oleh orang yang
melihatnya dan itu merupakan penyakit hati).
Pada kedua Hadis tersebut di atas, al-Bayan menunjukkan arti menjelaskan dan menerangkan
(al-kasyfu wa al-īdhāh).
2. Terminologi
Menurut terminologi, ilmu bayan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara
mengungkapkan bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang sebagian lebih
jelas penunjukan maknanya atau lebih berkesan dari yang lain. Jadi ilmu bayan adalah uslub
mengungkapkan suatu maksud dengan redaksi yang berbeda-beda. Ilmu bayan juga berkaitan
dengan keindahan berbahasa yang pengungkapannya menggunakan kata-kata indah dan mampu
meninggalkan kesan yang mendalam di hati pendengar atau pembaca.
Sekarang perhatikan 3 ungkapan berikut yang menunjukkan seseorang yang mempunyai sifat
dermawan!
ُه َو كالبَ ْحر يِف ال َكَرِم
“Dia seperti lautan dalam kemurahannya”
الر َم ِاد
َّ ُُه َو َكثِري
“Dia banyak abunya”
Pola kalimat pertama menggunakan uslūb at-tasybīh, yang kedua menggunakan uslūb al-majāz;
dan ketiga menggunakan uslūb al-kināyah. Pada kalimat pertama, pembicara atau penulis
menyerupakan seseorang dengan lautan dalam kemurahannya. Pada kalimat kedua, pembicara
atau penulis melihat lautan yang merupakan kata al-majāz (Isti‘ārah) dari orang yang memiliki
sifat pemurah. Pada kalimat ketiga, pembicara atau penulis menyatakan seseorang banyak
abunya yang merupakan kinayah dari sifat pemurah. Seseorang memiliki banyak abu di dapur
karena banyak kayu bakar. Seseorang memiliki banyak kayu bakar karena keseringan atau
banyak yang dimasak. Seseorang yang banyak atau sering masak karena banyaknya atau
seringnya tamu yang bertandang (datang) ke rumahnya. Orang yang seperti itu pasti memiliki
sifat pemurah.
Ada 3 bahasan pokok dalam ilmu bayan, yaitu: At-Tasybīh ( )التش بيه, Al-Majaz ()اجملاز, dan Al-
Kinayah ()الكناية.
1. Tasybih
Tasybih adalah menjelaskan bahwa suatu perkara bersekutu dengan yang lainnya dalam satu sifat
atau lebih dengan menggunakan perantara yaitu kaf ( )كdan sejenisnya baik secara tersurat
maupun tersirat. Contoh:
Dari contoh yang pertama didapati bahwa khalid diserupakan dengan singa karena keduanya
mempunyai sifat yang sama yaitu sama-sama berani. Disyaratkan pula bahwa musyabbah bih itu
lebih kuat daripada musyabbah.
a. Musyabbah (ُشبَّه
َ ُ )املـyaitu sesuatu yang diserupakan
ِ )املـ َشبَّهyaitu sesuatu yang diserupakan dengan
b. Musyabbah bih (به ُ ُ
ِ )َأداةُ التَّ ْشalat atau perantara tasybih
c. Adat tasybih (بيه
Rukun tasybih yang pertama dan kedua disebut denga tharaf ( )طَ رفdan wajib dimunculkan
َ
dalam tasybih. Sedangkan rukun ketiga dan keempat boleh dimunculkan atau dihilangkan.
Dari contoh tersebut kata yang menjadi musyabbah adalah kata ()الْعِ ْلم, musyabbah bih adalah
ُ
kata (ُّو ِر ِ ِ
ْ )الن, adat tasybihnya kata ()ك, dan wajah syabahnya adalah kata ()اهْل َدايَة.
Karena adat dan wajah boleh tidak disebutkan, maka susunan berikut juga termasuk tasybih:
الْعِْل ُم نُ ْوٌر
2. Majaz
Majaz adalah kata yang digunakan bukan pada makna aslinya karena adanya hubungan (alaqah)
dan alasan yang menghalangi untuk difahami dengan makna aslinya atau makna kamus. Dalam
ilmu bayan, majaz dibagi menjadi dua, yaitu majaz aqli dan majaz lughawi.
a. Majaz Aqli
Majaz aqli adalah menyandarkan perbuatan (aktivitas) kepada suatu atau benda yang bukan
aslinya karena adanya ‘alaqah ghair al-musyabahah (hubungan tidak adanya unsur kesamaan
antara makna asli dan makna yang mengalami perubahan) dan qarinah (susunan kalimat) yang
mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafaz tersebut. Dinamakan aqli, karena majaz jenis
ini bisa diketahui penunjukan maknanya dengan menggunakan akal.
Contoh:
Pada ayat ini disebutkan bahwa perbuatan (aktivitas) membangun gedung yang menjulang
disandarkan kepada seorang bernama Haman padahal ia bukan pelaku sebenarnya. Yang
membangun itu adalah para pekerja, tetapi Haman bertindak sebagai pengawas proses
pembangunan itu.
b. Majaz Lughawi
Majaz lughawi adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya karena ada alaqah dan
qarinah yang mencegah makna asli. Dalam majaz lughawi, suatu makna difahami dengan makna
lain karena unsur kebahasaan. Majaz lughawi terbagi lagi menjadi istiarah dan majaz mursal.
● Istiarah
Istiarah adalah kata yang tidak difahami dengan makna aslinya dan mulanya uslub tasybih yang
dibuang salah satu tharafnya. Maka alaqah atau hubungan makna asli dan makna yang dimaksud
dalam istiarah adalah musyabahah.
Contoh:
الس ْو ِق
ُّ ت حَبًْرا يِف
ُ َْرَأي
Artinya: saya melihat “laut” itu di pasar.
Kata ( )حَبْراpada contoh di atas tidak dimaknai sebagai hakikat melainkan merujuk pada seseorang
ً
yang pemurah.
● Majaz Mursal
Majaz mursal adalah suatu lafaz yang dipergunakan bukan pada makna aslinya karena adanya
alaqah ghair musyabahah (hubungan bukan perumpamaan) disertai qarinah (alasan/bukti) yang
mencegahnya dari makna asli. Majaz mursal berbeda dengan kinayah karena pada kalimat yang
berbentuk kinayah tidak harus ada qarinah yang mencegah suatu lafaz dari makna aslinya.
Dinamakan “mursal” karena ia tidak dibatasi oleh pemaknaan tertentu.
Contoh:
Yang dimaksud dengan kenikmatan pada ayat tersebut adalah tempatnya kenikmatan yaitu surga.
3. Kinayah
Kinayah adalah lafadz yang disampaikan dan yang dimaksud adalah kelaziman maknanya,
disamping boleh juga yang dimaksud pada makna yang sebenarnya. Simpelnya kinayah adalah
idiom.
Contoh:
Maksud dari ungkapan di atas adalah bahwa Ali adalah orang yang dermawan. Orang Arab
melazimkan bahwa yang dermawan pasti suka menjamu orang dan tentunya sering masak di
rumah. Dahulu kala orang masak menggunakan kayu bakar sehingga menghasilkan hasil abu
yang banyak.
● ILMU MA’ANI
“Yaitu ilmu yang dengan ilmu itu dapat diketahui sesuatu lafazh sesuai dengan muqtadhal halnya
(situasi dan kondisi).”
Ilmu ma’ani adalah ilmu yang mempelajari kesesuaian antara konteks pembicaraan dengan
situasi dan kondisi sehingga maksud dan tujuan bisa tersampaikan secara jelas dan gamblang.
Definisi lainnya, ilmu ma'ani adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara
menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal halnya) sehingga cocok dengan tujuan
yang dikehendaki.
Berdasarkan definisi di atas, dalam ilmu ma’ani terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan,
yaitu kondisi audien (pendengar) dan obyek (topik pembicaraan).
Pembicaraan harus disesuaikan dengan kapasitas intelektual audien. Bahasa yang digunakan
ketika berbicara dengan orang yang tingkat intelektualnya tinggi, tentu berbeda dengan orang
yang tingkat intelektualnya rendah. Misalnya penggunaan cara berbahasa dengan seorang
mahasiswa di perguruan tinggi berbeda dengan seorang murid Sekolah Dasar atau orang yang
pernah mengenyam pendidikan dengan orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Kalau berbicara dengan orang terdidik kita cukup menggunakan kalimat yang singkat dan padat
bukan bertele-tele. Dengan cara itu mereka sudah bisa memahami dan menangkap maksud dan
tujuan sang pembicara, tetapi sebaliknya kalau kita berbicara di hadapan orang yang tidak
terdidik maka dibutuhkan penggunaan kata-kata yang panjang dan bertele-tele sekalipun maksud
dan tujuan yang ingin disampaikan hanya sedikit.
Selain itu, kondisi audiens ketika menanggapi suatu pembicaraan ada yang yakin, ragu, dan juga
ingkar. Tentunya uslub yang digunakan ketika menyampaikan suatu informasi kepada orang
yang yakin, orang yang ragu, dan orang yang ingkar akan berbeda. Biasanya tambahkan huruf
taukid pada suatu kalimat apabila menyampaikan informasi kepada orang yang ragu, bahkan
taukidnya lebih dari satu apabila audiensnya membantah informasi tersebut.
2. Obyek/Topik Pembicaraan
Obyek pembicaraan memegang peranan penting dan substansial dalam ilmu ma’ani. Obyek
pembicaraan juga harus disesuaikan dengan kadar intelektual audien. Karena ada obyek
pembicaraan yang bisa dijangkau oleh audien dan sebaliknya ada obyek-obyek pembicaraan
yang tidak bisa terjangkau oleh akal dan kadar keilmuannya. Kemampuan menganalisa dan
problem solving (memecahkan masalah) tentu tidak akan mampu dilakukan oleh anak-anak yang
masih belajar di bangku sekolah tingkat dasar.
Ada beberapa topik inti yang menjadi pembahasan para ulama Balāghah dalam ilmu Ma’ani,
yaitu:
Khabar atau kalimat berita adalah ungkapan yang bisa dinilai bahwa yang menyampaikannya
bohong atau tidak. Sedangkan insya’ sebaliknya.
ت ِ
ْ ص ُم
ْ ََف ْلَي ُق ْل َخْيًرا َْأو لي
Artinya: Maka hendaklah mengatakan yang baik atau diam”.
Kalimat dalam bahasa Arab terbentuk dari jumlah ismiyyah (terdiri dari mubtada’ dan khabar)
dan jumlah fi’liyyah (terdiri dari fi‘il dan fa‘il). Dalam Ilmu Balagah kedua unsur pembentuk
susunan kalimat tersebut dinamakan Musnad ( )املسندdan Musnad Ilaih ()املسند إليه.
Contoh:
Dalam kedua kalimat di atas, kata ( )حُمَ َّم ٌدmerupakan tempat disandarkannya perbuatan berdiri
atau disebut musnad ilaih. Sedangkan kata ( )قَاِئ ٌمdan (ام
َ َ )قmerupakan perbuatan yang disandarkan
kepada Muhammad atau disebut Musnad.
Ijaz adalah kalimat yang ringkas. Musawah adalah ungkapan yang setara. Sedangkan ithnab
adalah kalimat yang bertele-tele.
Contoh ijaz:
Kata ( )اخللقyang artinya penciptaan dan kata ( )األمرyang artinya urusan mengandung makna
semua atau segala hal yang berkaitan dengan penciptaan makhluk dan urusannya seperti hidup,
mati, senang, bahagia dan lain-lain itu sudah terkandung dalam makna ayat ini.
Contoh musawah:
ِ
َُم ْن َك َفَر َف َعلَْيه ُك ْف ُره
Artinya: ”Barang siapa yang kafir (ingkar) maka dia sendirilah yang menanggung (akibat)
kekafirannya itu.” (QS. Ar-Rūm: 44)
Contoh ithnab:
● Qashr
Contoh qashr:
Fashal dan washal membahas tentang menyambung atau memisahkan kalimat dengan kalimat
yang lainnya menggunakan huruf athaf ‘wau”.
Contoh fashal:
ِ صل اأْل
يت ُ ِّ اَأْلمَر يُ َف
ْ يُ َدبُِّر
Artinya: “Dia (Allah) yang mengatur urusan dan menjelaskan tanda-tanda” (Ar- Ra’d: 2)
Contoh washal:
Simpulan:
> Ilmu ma’ani membahas macam-macam uslub (gaya bahasa) atas dasar struktur kalimat.
• Agar pembicaraan disesuaikan dengan keadaan audien sehingga bisa berkomunikasi dengan
efektif.
• Mengetahui rahasia balaghah dan fashahah dalam bahasa Arab yang berupa prosa dan puisi
agar dapat mengikutinya dan menyusun sesuai dengan aturannya serta membedakan antara
kalimat yang bagus dengan yang bernilai rendah.
• Apabila berposisi sebagai audiens, kita bisa lebih memahami maksud pembicara lebih dalam.
● ILMU BADI’
Secara bahasa, badi’ diartikan menciptakan sesuatu yang baru, modern, dan asing. Dalam Al-
Quran disebutkan:
Adapun dalam istilah ilmu balaghah, ilmu badi’ adalah ilmu yang mempelajari tentang
keindahan suatu kalimat baik dari segi lafaz maupun makna.
Dari pengertian di atas, dapat kita fahami bahwa tujuan mempelajari ilmu badi’ adalah agar
pembicaraan kita enak didengar oleh mustami’. Tentunya agar pembicaraan kita indah, kita harus
memilih diksi kata yang tepat baik dilihat dari segi pelafalan maupun maknanya.
Dalam ilmu badi’, ada dua tema bahasan, yaitu muhassinatul lafhdziyyah dan muhassinatul
ma’nawiyyah.
1. Muhassinat Lafdziyyah
Muhassinatul lafdziyyah adalah cara untuk memperindah kata dari segi pelafalan atau bunyinya.
a. Jinas
Jinas adalah penggunaan dua kata dalam sama atau mirip satu ungkapan namun berbeda dalam
maknya. Ada dua macam jinas, yaitu:
1). Jinas tam, yaitu dua kata yang sama pengucapannya dalam empat hal, yaitu: jenis huruf,
harakat huruf, jumlah huruf dan urutan huruf. Dari keempat tersebut ada yang perlu diketahui
bawha huruf tambahan selain dalam shighat tashrif seperti alif lam ta’rif dan juga harakat
terakhir tidak termasuk kategori 4 hal tersebut.
Contoh di Al-Qur’an:
ِ
َ اع ٍة َك َذال
ك َكانُواْ يُْؤ فَ ُك ْون ِ
َ اعةُ يُ ْقس ُم الْ ُم ْج ِر ُم ْو َن َما لَبُِث ْوا َغْيَر َس
َ الس
َّ َو َي ْو َم َت ُق ْو ُم
Artinya: “Dan pada hari (ketika) terjadinya kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah, bahwa
mereka berdiam (dalam kubur) hanya sesaat saja. Begitulah dahulu mereka dipalingkan dari kebenaran.”
(QS. Ar-Rum: 55)
2). Jinas ghair tam, yaitu dua kata yang mirip pengucapannya tetapi tidak sama pada salah satu
dari empat hal, yaitu: jenis huruf, harakat huruf, jumlah huruf dan urutan huruf.
Contoh:
b. Iqtibas
Iqtibas adalah mengutip suatu kalimat dari Al-Qur’an atau Hadist, lalu disisipkan ke dalam prosa
atau syair tanpa dijelaskan bahwa kalimat yang dikutip tersebut diambil dari Al-Qur’an dan
Hadist.
Contoh:
)ص ُار ِ ِ َّك ِمن الظَّلَم ِة َك ْثرةُ اجْل يو ِش واَأْلنْصا ِر (ِإمَّنَا نُ ِّخرهم لِيوٍم تَ ْشخ
َ ْص فْيه اَأْلب
ُ َ ْ َ ْ ُ ُ َؤ َ َ ْ ُُ َ َ َ الَ َتغَُّرن
Artinya: Jangan engkau tertipu daya dalam kezaliman dengan banyaknya bala tentara dan
pelindung, sesungguhnya kami tangguhkan (azab mereka) pada hari di mana mata terbelalak.
c. Saja’
As-saja‘ adalah kesamaan huruf akhir pada dua fashilah atau susunan kalimat. Yang dimaksud
fashilah bisa bait, ayat, kalimat, atau penggalan kalimat.
Contoh:
2. Muhsinat Ma’nawiyah
a. Tauriyah
Tauriyah adalah mengungkapkan suatu lafaz yang mempunyai dua makna: pertama, makna dekat
dan jelas yang tidak dimaksud. Kedua, makna jauh dan samar dan inilah yang dimaksud
mutakallim.
Contoh pada kisah Nabi Ibrahim ketika beliau dalam perjalanan dengan istrinya Siti Hajar. Di
tengah perjalanan keduanya di tangkap oleh penguasa yang sangat kejam dan bengis. Untuk
menyelamatkan istrinya dari kebengisan sang penguasa, Nabi Ibrahim menjawab dengan
menggunakan uslub at-tauriyah ketika diintrogasi oleh sang penguasa, “Siapa perempuan ini?”
Nabi Ibrahim menjawab,
هَ ِذ ِه ْ يِت
ْ ُأخ
Artinya dia adalah saudariku.
Kata ( )أخيتdalam konteks kalimat ini mengandung tauriyah yang mempunyai dua makna. Bisa
dimaknai saudari karena nasab atau saudara karena seagama. Sedangkan yang dimaksud Nabi
Ibrahim as adalah saudara seagama. Kata tersebut sengaja diucapkan Nabi Ibrahim untuk
menjaga identitas istrinya. Seandainya beliau menjawab Hajar adalah istrinya bisa jadi dia akan
dibunuh.
b. Thibaq
Thibaq adalah berkumpulnya dua makna yang berlawanan dalam satu kalimat.
Contoh Thibaq:
ود
ٌ َُوحَتْ َسُب ُه ْم َْأي َقاظًا َو ُه ْم ُرق
Artinya: “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur….” (QS. al-ahfi : 18)
c. Muqabalah
Muqabalah adalah mengungkapkan dua lafaz atau lebih lalu diiringi dua lafaz lain yang
merupakan antonim (lawan kata) dari dua lafaz pertama dan disebutkan secara beriringan.
Contoh:
Husnut ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan secara terang-terangan atau pun terpendam
tentang alasan suatu peristiwa yang telah dikenal umum, dan ia mendatangkan alasan lain yang
bernilai sastra yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.
Contoh:
e. Uslub al-Hakim
Uslub al-hakim adalah gaya bahasa yang disampaikan oleh seseorang dalam memberikan
jawaban terhadap sebuah persoalan dengan jawaban yang keluar dari topik persoalan.
Contoh:
ِ يت لِلن
َّاس َواحْلَ ِّج ِ ِ ِِ
ُ ك َع ِن اَْألهلَّة قُ ْل ه َي َم َواق
َ َيَ ْسَئ لُون
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah “itu adalah (petunjuk) waktu bagi
manusia dan (ibadah) haji. (Al-Baqarah: 189)
Selain uslub di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’,
istitbâ’, tafrî’ dan sebagainya, namun diantara yang paling sering dikemukakan dan kita jumpai
adalah lima pola diatas.