Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PRAKTEK PENAFSIRAN AL-QURAN


Tentang

Kaidah Mujmal dan Mubayyan dalam Tafsir Al-Munir

Disusun Oleh :
RIRI HANIFAH WILDANI
2120080010

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Irfan, Lc, M.A

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1444 H/2022 M
A. PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan menjadi petunjuk
bagi manusia. Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab melalui Malaikat
jibril kepada Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi terakhir -khatamu al-
nabiyyin- manusia yang paling fasih bahasanya. Al-Quran diturunkan pada
orang-orang Arab dikarenakan orang orang Arab memiliki kemahiran di
bidang bahasa dan sastra meskipun kebanyakan mereka adalah ummi
(tidak bisa membaca dan menulis). Mengenai hal ini terdapat pada surat
Al-Ra‟d ayat 37:

َ ‫إِنَّا ٓ أَنزَ ْل َٰنَهُ قُ ْر َٰ َءنًا‬


َ‫ع َر ِبًٌّا لَّ َعلَّ ُك ْم ت َ ْع ِقلُون‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”

Pemahaman yang dimiliki orang-orang Arab tentu berbeda dengan


pemahaman orang luar Arab yang hanya memahami segelintir saja dari
bahasa Arab. Oleh karenanya pada masa Rasulullah Saw tidak terjani
penafsran Al-Quran seperti zaman-zaman setelahnya dikarenakan diantara
para sahabat memahami Al-Quran sesuai dengan kecerdasan dan
kemampuan bahasa yang dimiliki. Diantara para sahabat yang diberi ilmu
dalam memahami Al-Quran adalah Abdullah bin Abbas Ra, Abdullah bin
Mas‟ud, Aisyah Ra.

Namun pada masa setela tabi‟in karena luasnya perkembangan


Islam, penafsiran terhadap Al-Quran terus dilakukan demi mendapatkan
pemahaman lebih mendalam terhadap Al-Quran. maka seorang yang
menafsirkan Al-Quran memerlukan kaidah-kaidah yang harus dijadikan
acuan dalam memahami Al-Quran.

Diantara kaidah tersebut adalah kaidah mujmal dan mubayyan di


dalam Al-Quran. Pada makalah ini penulis akan membahas mengenai
kaidah mujmal dan mubayyan dalam Al-Quran dengan mengambil kaidah-
kaidahnya dari kitab Qawa’id al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan dan melihat
contoh pengaplikasiannya pada tafsir Al-Munir karya Wahbah al-Zuhayly.

B. PENGERTIAN MUJMAL DAN MUBAYYAN


Mujmal secara bahasa adalah “kumpulan”, seperti perkataan orang
Arab:
“"‫ أجًهج انشًء إجًاال‬maka dimaknai “aku mengumpulkan sesuatu dengan
sebenar-benar mengumpulkan”1

Sedangkan pengertian mujmal secara istilah adalah :

‫ٌطهق ػُد انسهف ػهى يا ال ٌكفى ٔحدِ فى انؼًم‬


“Digunakan oleh orang-orang salaf terhadap hal yang tidak cukup hanya sesuatu
itu dalam pengamalannya.”
Contohnya ada pada surat al-Taubah ayat 103:

َ ‫ص ٰهٕح َ َك‬
‫س َك ٌٍ نَّ ُٓ ْۗ ْى‬ َ ٌَِّ ‫ػهَ ٍْ ِٓ ْۗ ْى ا‬ َ ُ ‫صدَقَتً ح‬
َ َٔ ‫ط ِ ّٓ ُس ُْ ْى َٔحُزَ ِ ّك ٍْ ِٓ ْى ِب َٓا‬
َ ‫ص ِّم‬ َ ‫ُخ ْر ِي ٍْ ا َ ْي َٕا ِن ِٓ ْى‬
‫ػ ِه ٍْ ٌى‬
َ ‫س ًِ ٍْ ٌغ‬
َ ُ‫ّٰللا‬
‫َٔ ه‬
Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan
menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu
(menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui.”

Kata shadaqah pada ayat diatas tidak dijelaskan bahwa maknanya adalah
zakat. Namun hal ini dapat diketahui melalui hadits Nabi. Adapun mujmal
menurut istilah ahli ushul adalah:

ِ‫يا احخًم انًؼٍٍٍُ أٔ أكثس يٍ غٍس حسجٍح نغٍس ٔاحد يًُٓا أٔ يُٓا ػهى غٍس‬

Artinya: “Lafaz yang memungkinkan kepada dua makna atau lebih tanpa adanya
tarjih2.”

1
Khalid Utsman al-Sabt, Qawaid al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, Dar Utsman bin Affan, h. 672
2
Dalam ilmu usul fiqhh tarjih berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar‟i yang secara
zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat.
Adapun mubayyan adalah lafaz yang memberikan dan menjelaskan lafaz-
lafaz yang mujmal atau upaya menyingkap makna dari suatu pembicaraan dan
menjelaskan secara jelas makna yang tersembunyi.3

Adapun ketentuan dalam Mujmal sebagai berikut:4

1. Lafaz jika mengandung ihtimal (kemungkinan) maka dihukumi mujmal


dan gugur istidlalnya. Ihtimal disini maksudnya adalah memiliki
kemungkinan makna lebih dari satu dan tidak ada yang rajah (lebih kuat),
maka tidak dibawa maknanya ke salah satunya.
2. Tidak ada ijmal bila lafaz itu telah mengandung makna lughawi atau
makna syar‟i. maka dilihat pada konteks ayatnya agar dapat menentukan
makna yang diinginkan. Adapun Khalid Utsman al-Sabt mengatakan
bahwa ketika mengandung makna syari, maka lafaz tersebut harus dibawa
kepada makna syar‟i nya. Seperti lafaz shaum, shalat, zakat, dsb.
3. Jika tidak ada qarinah yang membawa lafaz musytarak kepada salah satu
maknanya, maka dihukumi mujmal.
4. Lafaz mujmal tidak dapat dibawa kepada salah satu makna saja (tanpa
mengetahui rajih dan marjuh), tapi memerlukan bayan (penjelas).
5. Siyaq (konteks ayat) dan qarinah (tanda) dapat membantu menjelaskan
yang mujmal.
6. Jika makna yang terkandung dalam lafaz mujmal tidak saling menafikan,
maka dapat digunakan semua makna yang ada secara bersamaan.
7. Jika lafaz mujmal mengandung penghalalan atau pengharaman terhadap
benda tertentu, bukanlah merupakan bagian dari mujmal.
Contohnya firman Allah: )‫ (حسيج ػهٍكى انًٍخت‬QS Al-Maidah ayat 3 atau
)‫ (حسيج ػهٍكى أيٓاحكى‬pada QS An-Nisa ayat 23, maka makna disini sudah
jelas tidak memerlukan bayan (penjelas).

C. KAIDAH-KAIDAH MUJMAL DAN MUBAYYAN

3
Farid Naya, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh, “Tahkim”, Vol.IX, No.2,
Desember 2013, h. 189
4
Op Cit, Khalid Ustman, h. 676-678
Kaidah 1:

Artinya: “Lafaz Al-Quran –dari segi dilalahnya terhadap kandungan maknanya-


bisa jadi nash-nash yang hanya mengandung satu makna, bisa jadi berupa nash
yang menunjukkan makna yang bukan makna zahir, tapi dilemparkan
penggunaannya terhadap satu makna yang menjadikannya seakan-akan
bermakna kepada apa yang bukan merupakan maknanya. Adapula jenis nash-
nash yang mujmal yang membutuhkan penjelasan.”

Dari kaidah diatas dapat disimpulkan bahwa lafaz terbagi 3:


Pertama, Nash yaitu lafaz yang hanya mengandung satu makna saja, tidak
mungkin dipalingkan kepada makna lain.
Pada umumnya seorang mutakallim (orang yang berbicara) tidak
menginginkan kata-katanya dipahami dengan makna yang tidak zahir.
Setiap mutakallim selalu menginginkan perkataannya langsung dipahami
oleh pendengar. Maka dengan ini Khalid Utsman al-Sabt mengkritik
orang-orang yang suka mentakwilkan lafaz Al-Quran dengan mengatakan
makna suatu lafaz bukanlah makna zahirnya. Padahal para sahabat sepakat
mengatakan bahwa lafaz yad atau istiwa‟ dikembalikan pada makna yang
pantas bagi Allah. Adapun hukum nash adalah tidak dipalingkan
maknanya (kepada makna lain) kecuali dengan adanya naskh
(pengangkatan hukum)

Kedua, Zahir
Lafaz yang dibawakan bukan kepada makna zahirnya (makna
eksplisit). Dalam hal ini zahir terbagi menjadi dua: (1) Zahir dengan
ketetapan syariah. Seperti lafaz shiyam dan shalat. Maknanya lafaz ini
telah berpindah dari makna lughawi (bahasa) kepada makna syar’i5 karena
shalat dan puasa secara bahasa berbeda maknanya dengan makna shalat
dan puasa secara syariat. (2) Zahir dengan ketetapan bahasa. Contohnya
ketika ada kemungkinan sebuah ungkapan mengandung kewajiban atau
nadab (anjuran), maka dia tetap dipahami kepada kewajiban.
Adapun hukum zahir adalah harus tetap berpegang kepada makna
yang zahirnya kecuali ada dalil lain yang dapat memalingkannya daripada
makna zahirnya tadi.

Ketiga, Mujmal. Terbagi menjadi beberapa macam:


1. Tidak diketahui secara syariat atau bahasa. Contohnya lafaz-lafaz yang
tidak diterangkan di dalam syariat ataupun tidak dipahami secara
bahasa. Adapun hukumnya adalah tidak diperbolehkan berakhir pada
makna itu kecuali ada dalil yang menafsirkannya.
2. Diketahui maknanya secara lughah (bahasa). Hukumnya sama dengan
jenis pertama.
3. Nash yang mengandung ihtimal (kemungkinan) akan tetapi di dalam
Al-Quran hanya merujuk kepada satu makna saja, sehingga dapat
dipastikan dilalah maknanya.

Pada dasarnya lafaz yang mujmal membutuhkan kepada bayan


(penjelas), maka selama belum ada penjelas dari lafaz tersebut, maka akan
terus menerima banyak kemungkinan arti. Sehingga terdapat dua
kemungkinan penjelas.
1. Dipalingkan dari satu lafaz kepada penjelasnya baik secara
tersambung atau terpisah.
5
Makna Syar’i adalah makna yang ditetapkan oleh syariat. Misalkan lafaz „shalat‟ secara bahasa
dimaknai sebagai „doa‟. Namun secara syariat bermakna sebagai ibadah yang dimulai dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
2. Bisa jadi suatu perkataan mengandung banyak makna dan tidak ada
penjelasnya. Jenis ini tidak terdapat dalam Al-Quran.

Contoh mujmal dalam Al-Quran:

1. Surat Al-An‟am ayat 141

‫ع‬
َ ‫الز ْر‬ َّ ‫ت َّوالنَّ ْخ َل َو‬ ٍ ‫غٌ َْر َم ْع ُر ْو َٰش‬ َ ‫ت َّو‬ ٍ ‫ت َّم ْع ُر ْو َٰش‬ َ ‫ِي ا َ ْن‬
ٍ ّٰ‫شا َ َجن‬ ْٓ ‫۞ َو ُه َو الَّذ‬
ٓ‫الر َّمانَ ُمتَشَا ِب ًها َّو َغٌ َْر ُمتَشَا ِب ٍۗ ٍه ُكلُ ْوا ِم ْن ث َ َم ِر ٓه اِ َذا‬ُّ ‫الز ٌْت ُ ْونَ َو‬ َّ ‫ُم ْخت َ ِلفًا ا ُ ُكلُهٗ َو‬
َ ‫اَثْ َم َر َو ٰات ُ ْوا َحمَّه ٌَ ْو َم َح‬
َ‫صاد ِٖۖه َو ََل تُس ِْرفُ ْوا ٍۗاِنَّهٗ ََل ٌ ُِحبُّ ْال ُمس ِْر ِفٌْن‬
“Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak
merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima
yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya
apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya,
tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan,”

Pada ayat di atas kadar hasil pertanian yang wajib dizakatkan


masih mujmal, sehingga memerlukan penjelas dari dalil Al-Quran ataupun
hadits mengenai kadarnya.

‫ إنه الزكاة‬:‫ فمال ابن عباس‬،‫وللعلماء رأٌان فً الحك الواجب فً الثمر‬


.‫ وهً العشر أو نصفه‬،‫المفروضة‬
‫ إنه ما كان ٌتصدق به‬:‫وروي عن ابن عباس أٌضا وهو لول سعٌد بن جبٌر‬
‫ وكان ذلن واجبا من غٌر تعٌٌن الممدار ألن هذه‬.‫على المساكٌن ٌوم الحصاد‬
‫ فنسخ هذا الواجب بافتراض العشر‬،‫ والزكاة إنما فرضت بالمدٌنة‬،‫اآلٌة مكٌة‬
.‫ وهو الزكاة‬،‫ونصف العشر‬
:‫ والمعنى‬،‫ والحك أن المراد بها هو الزكاة المفروضة‬،‫ إن اآلٌة مدنٌة‬:‫ولٌل‬
‫ حتى ال تؤخروه‬،‫واعزموا على إٌتاء الحك والصدوه واهتموا به ٌوم الحصاد‬
.‫عن أول ولت ٌمكن فٌه اإلٌتاء‬
Wahbah Zuhaily mengatakan terdapat dua pendapat mengenai
kewajiban yang harus dikeluarkan. Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud
dalam ayat ini adalah zakat yang diwajibkan, kadarnya adalah 1/10 atau
1/5. Disebutkan juga dalam riwayat Ibnu Abbas dari perkataan Sa‟id bin
Jubair :
“Pada awalnya tidak ditentukan kadarnya, karena ayat ini turun di Makkah.
Akan tetapi kemudian ayat ini di nasakh dengan perintah zakat di Madinah.”6

2. QS. An-Nur ayat 2

ٍ‫اح ٍد ِ ّم ْن ُه َما ِمائَةَ َج ْل َدة‬


ِ ‫اج ِلد ُْوا ُك َّل َو‬ َّ ‫لزا ِن ٌَةُ َو‬
ْ َ‫الزا ِن ًْ ف‬ َّ َ ‫ا‬
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya
seratus kali”,

Lafaz َّ ‫لزانٌَِةُ َو‬


ًْ ِ‫الزان‬ َّ َ ‫ا‬ tidak dijelaskan, apakah yang dimaksud
pada ayat ini adalah pezina yang belum pernah menikah atau bagi pezina
yang sudah menikah (muhshan). Maka lafaz tersebut memerlukan
penjelas. Pada tafsir Al-Munir, Wahbah Zuhaily menerangkan bahwa
pezina yang dimaksud dalam ayat ini adalah pezina ghairu muhsan.7
َّ ‫الزا ِن ٌَةُ َو‬
،‫الزا ِنً أي غٌر المحصنٌن‬ َّ

3. QS Al-Baqarah ayat 228

‫صنَ ِبا َ ْنفُ ِس ِه َّن ث َ َٰلثَةَ قُ ُر ْۤ ْو ٍۗ ٍء‬


ْ َّ‫طلَّ َٰقتُ ٌَت َ َرب‬
َ ‫َو ْال ُم‬
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga
kali quru'.

Maka lafaz ‫انًطهقاث‬pada ayat ini tidak dijelaskan kelompok mana


yang termasuk golongan yang mendapatkan masa iddah 3 quru‟. “

‫ أما‬،‫واالعتداد للمطلمات ثالثة لروء مخصوص بالحرائر المدخول بهن‬


َ ‫ فَما لَ ُك ْم‬:‫ لموله تعالى‬،‫ فال عدّة علٌهن‬،‫غٌرهن أي لبل الدخول‬
‫علٌَ ِْه َّن‬
]94 /33 ‫ِم ْن ِع َّد ٍة ت َ ْعتَدُّونَها [األحزاب‬

6
Wahbah Al-Zuhaily,, al-tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj. Damaskus :
Dar al-Fikri al-Mu‟ashir, Jilid 8, 1418 H, h. 70
7
Ibid, Juz 18, h. 321
Wahnah Zuhaily menjelaskan bahwa iddah tsalatsah quru‟ (3
Quru‟) berlaku untuk salah satu kelompok perempuan yang ditalaq yaitu
al-hara-ir (perempuan merdeka) yang telah digauli. Adapun selain mereka
yaitu perempuan yang ditalaq sebelum digauli maka tidak ada iddahnya
dengan penjelasan firman Allah pada surat Al-Ahzab ayat 49.8

Kaidah Kedua:

Artinya: Al-Quran mencakup perkara ushul al-din (akidah) baik itu dalil-dalilnya
atau masalah-masalahnya. Adapun Al-Quran menerangkan masalah hukum
kebanyakannya bersifat kulliy (menyeluruh), bukan juz’i (sebagian).

Adapun penjelasan kaidah ini adalah bahwa segala sesuatu yang berkaitan
dengan ushul al-Din (akidah) telah dijelaskan sejelasnya dalam Al-Quran atau
Sunnah. Hal ini berbeda dengan Ahli Filsafat yang mengatakan bahwa ada ayat-
ayat yang isytibah (samar) yang tidak dapat dipastikan bahwa makna zahirnya
yang dikehendaki. Maksudnya adalah ada lafaz-lafaz di dalam Al-Quran yang
samar dan tidak bisa langsung dibawa kepada makna zahir.

Misalkan pada surat Al-Baqarah ayat 255:

‫ث َٔ َيا فِى‬ ِ ٰٕ ًَّٰ‫ً ْانقٍَ ُّْٕ ُو ەَۚ َال حَأ ْ ُخر ُ ِٗ ِسَُتٌ َّٔ َال َ َْٕ ْۗ ٌو نَّٗ َيا فِى انس‬ ُّ ‫ال ا ِٰنَّ ا َِّال ُْ َۚ َٕ ا َ ْن َح‬ ‫َه‬
ٓ َ ُ‫ّٰللا‬
‫ِي ٌَ ْش َف ُغ ِػ ُْدَ ٗ ِٓ ا َِّال ِب ِا ْذَِ ّْۗ ٌَ ْؼهَ ُى َيا َبٍٍَْ ا َ ٌْ ِد ٌْ ِٓ ْى َٔ َيا خ َْه َف ُٓ َۚ ْى َٔ َال‬ْ ‫ض َي ٍْ ذَا انَّر‬ ْۗ ِ ‫ْاالَ ْز‬
ِ ٰٕ ًَّٰ‫ش ًْءٍ ِ ّي ٍْ ِػ ْه ًِ ّٓ ا َِّال ِب ًَا ش َۤا َۚ َء َٔ ِس َغ ُك ْس ِسٍُُّّ انس‬
َ َۚ ‫ث َٔ ْاالَ ْز‬
ُِٗ ‫ض َٔ َال ٌَـُٔ ْٕد‬ َ ِ‫ط ٌَْٕ ب‬ ُ ٍْ ‫ٌ ُِح‬

ُّ ‫ظ ُٓ ًَ َۚا َٔ ُْ َٕ ْانؼَ ِه‬


‫ً ْانؼَ ِظ ٍْ ُى‬ ُ ‫ِح ْف‬
Artinya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus
mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya

8
Ibid, Juz 2, h. 318
tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa
yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”

Dalam ayat ini dijelaskan mengenai perkara akidah yaitu mengenai sifat-
sifat Allah dengan sangat jelas. Allah dijelaskan dengan sifat yang dapat
dipahami. Jadi lafaz Allah sudah diketahui dan jelas Zat dan sifatnya.

Adapun hal yang berkaitan dengan masalah furu’ (hukum) maka


hukumnya kully (menyeluruh) dan tidak dikhususkan untuk sebagian orang saja,
untuk satu kondisi saja atau untuk satu zaman saja. Maka dalam kondisi ini
terkadang Al-Quran membutuhkan banyak bayan (penjelas). Contohnya
sebagaimana pada Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 43.

َّ ‫ار َكعُ ْوا َم َع‬


َ‫الرا ِك ِعٌْن‬ َّ ‫ص َٰلوة َ َو َٰاتُوا‬
ْ ‫الز َٰكوة َ َو‬ َّ ‫َواَقِ ٌْ ُموا ال‬
Artinya: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk.”

Untuk perkara shalat dan zakat masih mujmal dan tidak dijelaskan di
dalam Al-Quran tatacara dan batasannya sehingga membutuhkan kepada penjelas
dari Hadits.

Kaidah Ketiga:

Artinya: Setiap ta’wil yang mengangkat hukum nash atau sebagian dari Nash
maka dianggap bathil (tidak diterima).9

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nash adalah lafaz yang


hanya mengandung satu makna saja, tidak mungkin dipalingkan kepada makna
lain. Sedangkan takwil menurut ulama Ushul adalah:
“Memalingkan lafaz dari makna zahir (jelas) kepada makna yang muhtamal
(kemungkinan) yang marjuh, dengan dalil yang menunjukkan kepadanya.”10

Sedangkan menurut Salaf, pada takwil terdapat 2 makna:

1. Memalingkan lafaz dari makna zahirnya dengan sesuatu yang dianggap


makna sebenarnya, ini dinamakan dengan ta’wil bathil atau ba’id.
Contohnya pada surat Al-Mujadalah ayat 4.

ُ ‫س ْٕ ِن ّْۗ َٔحِ ْه َك ُحد ُْٔد‬ ‫ِط َؼا ُو ِس ِخ ٍٍَّْ ِي ْس ِك ًٍُْ ْۗا ٰذ ِن َك ِنخُؤْ ِيُُ ْٕا ِب ه‬
ُ ‫اّٰللِ َٔ َز‬ ْ ‫فَ ًَ ٍْ نَّ ْى ٌَ ْسخ َ ِط ْغ فَا‬
ٌ َ ‫ػر‬
‫اب ا َ ِن ٍْ ٌى‬ َ ٌٍَْ‫ّٰللاِ َْۗٔ ِن ْه ٰك ِف ِس‬
‫ه‬
Artinya:
“Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam
puluh orang miskin.”
Sebagian berpendapat memberi makan 60 orang miskin sama dengan
memberi makan 1 orang selama 60 hari. Namun ini kurang tepat karena
lafaz ‫ يسكٍُا‬adalah tamyiz dari bilangan 60. Sehingga jika tidak diterima
bila memberi makan kurang dari 60. Orang miskin11 Maka lafaz ini tidak
lagi dikategorikan mujmal dan tidak menerima takwil.

2. Memalingkan makna lafaz dari lafaz zahirnya tanpa dalil. Ini dinamakan
dengan la’b (permainan).
Sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 67

‫ّٰللا ٌَأ ْ ُم ُر ُك ْم ا َ ْن ت َ ْذ َب ُح ْوا َب َق َرة ً ٍۗ قَالُ ْٓوا اَتَت َّ ِخذُنَا ُه ُز ًوا ٍۗ َقا َل‬
َ ّٰ ‫َواِ ْذ قَا َل ُم ْوسَٰ ى ِلقَ ْو ِم ٓه ا َِّن‬
َ‫اّٰلل ا َ ْن ا َ ُك ْونَ ِمنَ ْالجَٰ ِه ِلٌْن‬
ِ ّٰ ِ‫ع ْوذُ ب‬
ُ َ‫ا‬
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan
kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau
akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung
kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”

Syiah Rafidhah berpendapat bahwa yang dimaksud baqarah disini adalah


Aisyah Ra, namun ini adalah mempermainkan makna Al-Quran. pada hal ini

10
Op.cit, Khalid al-Sabt, h. 684
11
Ibid, h. 684-685
lafaz baqarah mujmal dan tidak menerima takwilan. Sehingga tidak dapat
dipalingkan maknanya dari „sapi betina‟ kepada makna lain.

Wahbah Zuhaily menjelaskan dalam Tafsirnya:

،‫ فلم ٌمتثلوا‬،‫ّٰللا ٌَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت َ ْذ َب ُحوا بَقَ َرة ً أي بقرة كانت‬


َ َّ ‫ِإ َّن‬
.‫ فشدد هللا علٌهم‬،‫وشددوا‬

"Bahwa Allah menyuruh mereka untuk menyembelih sapi betina, apapun sapi
betinanya. Akan tetapi mereka tidak menaatinya dan bersikap keras. Allah pun
bersikap keras kepada mereka.12"

Kata ‫ بقسة‬disini awalnya tidak ditentukan jenis untanya. Akan tetapi mucul
penjelasnya bahwa mereka diharuskan menyembelih sapi betina dengan ciri-ciri
khusus sebagaimana firman Allah ta‟ala surat Al-Baqarah 68-71.

‫ض َٔ َال ِب ْك ٌس‬ ِ َ‫ً َۚ قَا َل ِإََُّّ ٌَقُٕ ُل ِإََّ َٓا َبقَ َسة ٌ َّال ف‬
ٌ ‫از‬ َ ِْ ‫قَانُٕا ا ْدعُ نََُا َزب ََّك ٌُ َب ٍٍِّ نََُّا َيا‬
ٌَٔ‫ػ َٕاٌَ َبٍٍَْ ٰذَ ِن َك ۖ فَا ْف َؼهُٕا َيا حُؤْ َي ُس‬
َ
ُ َ ‫ص ْف َسا ُء فَا ِق ٌغ نَّ َُْٕ َٓا ح‬
‫س ُّس‬ َ ٌ ‫قَانُٕا ا ْدعُ نََُا َزب ََّك ٌُ َب ٍٍِّ نََُّا َيا نَ َُْٕ َٓا َۚ قَا َل ِإََُّّ ٌَقُٕ ُل ِإََّ َٓا َبقَ َسة‬
ِ َُّ‫ان‬
ٌٍَ‫اظ ِس‬

ٌَُٔ‫ّٰللاُ نَ ًُ ْٓخَد‬ َ ََّ‫ً ِإ ٌَّ ْانبَقَ َس حَشَاب‬


َّ ‫ػ َه ٍَُْا َٔ ِإََّا ِإٌ شَا َء‬ َ ِْ ‫قَانُٕا ا ْدعُ نََُا َزب ََّك ٌُ َب ٍٍِّ نََُّا َيا‬
Artinya:

Mereka menjawab, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia


menerangkan kepada kami sapi betina apakah itu." Musa menjawab, "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak
muda, pertengahan di antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada
Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia
menerangkan kepada kami apa warnanya." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, kuning tua war-
nanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." Mereka berkata,
"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami
bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi betina

12
Op.cit, Wahbah al-Zuhaily, Juz 1, h.189
itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk." Musa berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu
adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula
untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata,
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya."
Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir mereka tidak melaksanakan
perintah itu.

Kaidah Keempat

Artinya: Setiap (lafaz) yang mubham dalam Al-Quran tidak boleh


mengembalikan hukumnya kepada hal yang ditafsirkan sacata qiyas.

Contohnya pada ayat pengharaman menikahi Ibu, Lafaz ‫أيٓاث َساءكى‬


pada surat Annisa ayat 23 disini mubham dan tidak dijelaskan apakah
yang dimaksud adalah haram menikahi Ibu bagi istri yang sudah
dicampuri atau belum dicampuri, maka hukumnya adalah diharamkan
secara mutlaq, dan tidak diperbolehkan diqiyaskan dengan kalimat:

‫س ْۤا ِٕى ُك ُم الّٰ ِت ًْ َدخ َْلت ُ ْم بِ ِه ٖۖ َّن‬


َ ِّ‫َو َربَ ْۤا ِٕىبُ ُك ُم الّٰتِ ًْ فِ ًْ ُح ُج ْو ِر ُك ْم ِ ّم ْن ن‬
“(Diharamkan) anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,”

Karena disini ada qayyid dan penjelas bahwa yang haram dinikahi adalah
anak tiri dari istri yang telah dicampuri. Sependapat dengan hal ini
pendapat Wahbah Zuhaily dalam tafsirnya:

‫ وَل ٌشترط فً تحرٌم أم المرأة الدخول‬.‫َوأ ُ َّمهاتُ نِسائِ ُك ْم أي أمهات الزوجات‬


.‫ وهو رأي الجماهٌر‬.‫ بل ٌكفً مجرد العقد‬،‫بالبنت‬
Artinya: “Diharamkan menikahi ibu-ibu dari istri-istri kamu (mertua). Dan tidak
disyaratkan berlaku bagi istri yang sudah dicampuri saja. Akan tetapi sudah
cukup dengan adanya akad (untuk mengharamkan menikahi mertua). Dan ini
adalah pendapat jumhur.”13

D. KESIMPULAN
Lafaz Mujmal adalah lafaz yang mengandung beberapa
kemungkinan makna yang tidak ada tarjih sehingga memerlukan penjelas.
penjelas ini dinamakan dengan bayan. Ketika ada lafaz yang mujmal
penting untuk mencari penjelasnya baik dari Al-Quran, Hadits atau dapat
dipahami dari konteks ayat dan qarinah yang ada. Mengetahui mujmal dan
mubayyan sangat membantu mufassir dalam menafsirkan Al-Quran
sehingga tidak jatuh kepada takwil yang bathil.

E. SUMBER
Khalid Utsman al-Sabt, (1415 H). Qawaid al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan. Dar
Utsman bin Affan.
Naya, Farid. (2013). Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh,
“Tahkim”, Vol.IX, No.2, Desember.
Al-Zuhaily, Wahbah. (1418 H). al-tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa
al-Manhaj. Damaskus : Dar al-Fikri al-Mu‟ashir.

13
Ibid, Jiz 4, h. 133

Anda mungkin juga menyukai