I
lmu balaghah merupakan satu dari tiga belas cabang ilmu-ilmu bahasa arab, dimana setiap fan ilmu,
memiliki sepuluh prinsip disiplin ilmu, sebagaimana dituturkan al-‘Allamah Abu al-’Irfan Muhammad
bin Ali al-Shabban al-Syafi’i (w. 1206 H)2 dalam bait-bait sya’irnya:
Tabel 1
ًالبالغة لغة
حسن البيان الوصول إىل الغاية
1 Penulis buku-buku kajian balaghah al-Qur’an & hadits nabawi, dosen bahasa arab, pengajar ilmu balaghah
2 Al-‘Allamah Abu al-’Irfan Muhammad bin Ali al-Shabban al-Syafi’i (w. 1206 H): ulama ahli bahasa arab dan sastra dari Mesir.
3 Sebagaimana dinukilkan para ulama dalam kutub mereka, lihat: Abu al-’Irfan Muhammad bin Ali al-Shabban, Hâsyiyat al-
Shabbân ‘alâ al-Syarh al-Shaghîr li al-Malawwi, Mesir: Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1357 H, hlm. 35.
4 Dr. Ayman Amin Abdul Ghani menguraikan bahwa ilmu balaghah bukanlah ilmu dengan kaidah-kaidah yang stagnan seperti
jasad yang terbujur kaku, tidak peka penginderaannya, tidak bergerak, tidak ada ruh dan tidak ada kehidupan, lihat: Dr. Ayman Amin Abdul
Ghani, Al-Kâfî fî al-Balâghah (Al-Bayân wa Al-Badî’ wa Al-Ma’ânî), Kairo: Dar al-Taufiqiyyah li al-Turats, 1432 H, hlm. 19.
Yakni sampai pada tujuan, dari kata kerja balagha (َ ) َبلَغyang didefinisikan:
Dikatakan, balaghtu al-manzila yakni aku telah sampai padanya6, dikatakan pula:
وبلغ الركب املدينة إذا انتهى إليها وَمبلغ الشيء منتهاه،بلغ فالن مراده إذا وصل إليه
Dikatakan pula balagha fulân[un] murâdahu jika ia sampai padanya, wa balagha al-rakbu al-madînata
jika kafilah telah berhenti sampai di sana, wa mablagh al-syay’i muntahâhu.
Kalimat balagha al-athfâl yakni sampai pada usia baligh7, begitu pula dalam firman-Nya:
ْ ُ ُ ََْ َ َ َْ َ َ
ف ِإذا بَلغ َن أ َجل ُه َن فأم ِسكوه َن بِ َمع ُروف
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik.” (QS. Al-Thalâq
[65]: 2)
Kalimat balaghna ajalahunna yakni tatkala mereka telah mendekatinya dan sampai padanya.8
Yakni baiknya penjelasan, karena lafal al-balâghah adalah mashdar dengan wazan fa’âlah ()فَعَالَة,
musytaqq dari tsulatsi mujarrad dari lafal balugha-yablughu-balâghat[an],9 yakni fashuha lisânuhu wa hasuna
bayânuhu (ُ)فَصُحَ لِسَانُهُ َوحَسُنَ بَيَانُه10: perkataan yang fasih dan penjelasan yang baik.
5 Dr. Abdullah bin Hamid al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’at al-Imâm Muhammad bin Su’ûd al-Islâmiyyah,
cet. II, 1425 H, hlm. 18.
6 Dr. Ayman Amin Abdul Ghani, Al-Kâfî fî al-Balâghah (Al-Bayân wa Al-Badî’ wa Al-Ma’ânî), hlm. 19.
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Abu Ziyad Muhammad bin Sa’id al-Buhairi, Tasynîf al-Âdzân Bi Syarh Mi’at al-Ma’ânî wa al-Bayân fî ‘Ulûm al-Balâghah, t.t.,
hlm. 3.
10 Lihat: https://www.almaany.com
2. Definisi Ishthilâhi
Balaghah, secara istilah (terminologis) didefinisikan ulama balaghah yakni:
Dalam pengertian yang lebih komperhensif memenuhi aspek mâni’ dan jâmi’:
ووفائه باملعنى املراد مع مجال األسلوب، مع مناسبته للمقام،العلمُ الذي تُعرَف به فصاحة الكالم
Suatu ilmu yang diketahui dengannya kefasihan dalam kalimat, disertai kesesuaiannya dengan al-
maqâm (keadaan orang yang diajak bicara), dan kemapanannya menyampaikan pada makna yang
dimaksud dengan memperhatikan keindahan uslûb-nya (cara pengungkapannya).17
Maka suatu perkataan yang mengandung unsur balaghah itu memiliki dua ciri:
Tabel 2
Definisi Balaghah Secara Terminologi
تعريف البالغة
) واضح املعنى1
) سهل اللفظ2
الفصاحة
) سليم التأليف3 البالغة
) موافق لقواعد النحو والصرف4
لكل مقام مقال املطابق ملقتضى أحوال املخاطبني
11 Rajulâni: yakni Al-Zabriqan bin Badr al-Tamimi r.a. dan ‘Amru bin Al-Ahtam al-Tamimi r.a.
12 Al-Masyriq: Yakni masyriq al-Madînah (dari arah Timur Kota Madinah), yakni sisi kota Najd.
13 Al-Bayân: Al-Fashâhah fî al-qawl wa tahsînuhu (kefasihan pada lisan dan keindahannya).
14 Yakni menyerupai sihir dari sisi membolak-balikkan kalbu seseorang, serta menundukkan jiwanya serta memberikan pengaruh
padanya.
15 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 5146); Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 5009); Ibn Hibban dalam Shahîh-nya (no. 5795);
hlm. 5.
موافقًا لقواعد اللغة كالنحو، سليم التأليف، سهل اللفظ،أن يكون الكالم واضح املعنى
والصرف
Perkataan yang jelas maknanya, mudah pelafalannya, benar susunannya, sesuai dengan kaidah-
kaidah bahasa semisal nahwu dan sharaf.18
Dengan kata lain, ciri kefasihan adalah tidak mengandung hal-hal berikut ini:
Tabel 3
1. Al-Gharâbah ()الغرابة: yakni kata-kata yang asing, samar, tidak jelas maknanya dan tidak biasa
digunakan dalam lisan fushahâ’ dan bulaghâ’, semisal: “َّطَلخَم
ْ ”اyang semakna dengan “َّ”اشْتَد, dan
“ْحمَرِش
ْ ج
َ ” yang bermakna “( ”املرأة العجوزةperempuan tua), atau “ ” َتكَ ْأكَأْتُمyang semakna dengan
“ْ;”اجْ َتمَعْتُم
2. Tanâfur al-kalimât ()تنافر الكلمات: yakni kata-kata yang sulit diucapkan, karena tumpang tindih huruf
yang makhraj huruf-nya berdekatan, semisal: “شجِرَات
ْ َ ”مُسْتyang semakna dengan “ ”مرتفعاتdan
“ُ( ”اهلُ ْعخَعnama tanaman), dan yang semisalnya;
3. Dha’f al-ta’lîf ( )ضعف التأليفatau Mukhâlafat al-Qiyâs al-Nahwî wa al-Sharfî ()خمالفة القياس النحوي والصريف:
yakni mengandung kata yang menyalahi rumus sharaf, atau susunan kalimat yang menyalahi
kaidah nahwu, semisal ungkapan: “َ( ”ما رأيتُ إالَّكtidak fasih), seharusnya: “َ( ”ما رأيتُ إالَّ إِيَّاكfasih);
4. Karâhiyyat al-Sam’i Lahâ ()كراهية السمع هلا: yakni mengandung kata yang kasar, liar, tidak disukai
untuk didengar dan dibaca, semisal kata “ ”اجلِرِشَّىyang semakna dengan kata “”النفس.19
18 Dr. Abdullah bin Hamid al-Hamid dkk, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 17.
19 Dr. Ayman Amin Abdul Ghani, Al-Kâfî fî al-Balâghah (Al-Bayân wa Al-Badî’ wa Al-Ma’ânî), hlm. 29-32.
Kadangkala ada mukhâthab (objek yang diajak bicara) yang membutuhkan penjelasan rinci dengan
sisipan kalimat tambahan (al-ithnâb), sebaliknya ada pula yang cukup dengan kalimat ringkas (al-îjâz),
kadangkala ada mukhâthab yang membutuhkan informasi dengan penegasan (al-khabar al-mu’akkad)
adapula yang tidak, dan lain sebagainya. Maka ilmu balaghah merinci kaidah-kaidah penyusunan bentuk
ungkapan yang tepat, dan menunjukkan ragam pola penyusunan kalimat yang bermanfaat dan
berpengaruh kuat,22 yakni fashîh dan balîgh (sesuai untuk keadaan mukhâthab).
Di dalam magnum opusnya, Dalâil al-I’jâz fî ’Ilm al-Ma’ânî, Al-Imam Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471
H) menceritakan sebuah kisah yang sangat menarik, tentang dialog seorang filosof dan ahli bahasa Arab.
Adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Kindi (w. 260 H)23 seorang filosof arab pernah mengalami
kebingungan mendudukkan uslub kalimat dalam bahasa Arab. Menurutnya, orang-orang Arab kerap
mengungkapkan sebuah makna dengan beberapa uslub yang berbeda, padahal maknanya ia anggap
sama.24 Menurut al-Kindi, orang-orang Arab mengatakan tiga uslub yang berbeda tapi bermakna sama.
Ketiganya adalah:
Diriwayatkan oleh Ibn al-Anbari (w. 328 H)25 bahwa akhirnya, al-Kindi pergi menemui pakar
bahasa pada zamannya, Abu al-Abbas Muhammad bin Yazid bin Abdul Akbar, yang lebih dikenal dengan
julukan al-Mubarrad (w. 286 H) untuk menanyakan hal tersebut. Al-Mubarrad pun menjelaskan bahwa
ketiga kalimat tersebut berbeda karena memiliki makna yang berbeda pula.
Al-Mubarrad menguraikan bahwa kalimat pertama dipakai oleh orang-orang Arab untuk sekedar
memberitahu bahwa Abdullah berdiri ()عبد اهلل قائم. Sedangkan kalimat kedua digunakan untuk menjawab
sebuah pertanyaan: “Apakah Abdullah berdiri?” sehingga ditambahkan satu huruf taukid (penguat) demi
20 Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. II, 1432 H, hlm. 17
21 Ibid.
22 Sebagaimana digambarkan para ulama balaghah.
23 Dikenal sebagai filosof arab, ahli pengobatan, ahli musik dan selainnya
24 Abu Bakar ‘Abdul Qahir bin Abdurrahman al-Jurjani, Dalâ’il al-I’jâz fî ‘Ilm al-Ma’ânî, Ed: Dr. Abdul Hamid Hindawi, Beirut: Dar
Setiap perkataan balîgh pasti fashîh, namun tidak semua perkataan fashîh pasti balîgh, yakni jika
perkataan fashîh tersebut tidak sesuai dengan keadaan objek yang diajak bicara. Dalam perinciannya,
penyifatan fashîh mencakup al-kalimah (kata), al-kalâm (kalimat sempurna) dan al-mutakallim (orang yang
berbicara).
Sedangkan penyifatan balîgh, perlu dipahami bahwa objek kajian utama ilmu balaghah adalah
kalimat itu sendiri, maka penyifatan balîgh mencakup al-kalâm (kalimat sempurna) dan al-mutakallim (orang
yang berbicara), maka diistilahkan al-kalâm al-balîgh dan al-mutakallim al-balîgh, tidak termasuk al-kalimah
(kata). Poin pentingnya, al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah, memiliki karakter perkataan balîgh[an],
maka ilmu balaghah berperan penting dalam mengungkap pesan-pesan mendalam di balik untaian kalimat
al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah tersebut.
Tabel 4
البالغة الفصاحة
- الكلمة
الكالم الكالم
املُتَكَلِّم املُتَكَلِّم
26 Pembedaan ini, diulas rinci dalam ilmu balaghah, yakni ‘ilm al-ma’ânî.
27 Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib, Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir, Ed: Muhammad Muhyiddin, Beirut: Al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, 1420 H, hlm. 84.
28 Abu Ziyad Muhammad bin Sa’id al-Buhairi, Tasynîf al-Âdzân, hlm. 3.
Faidah lainnya yang dirinci oleh Dr. Ayman Amin Abdul Ghani:
Namun relevansinya secara umum dengan ilmu syar’i adalah: ilmu balaghah menyokong
pemahaman terhadap nas al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah, maka sangat besar peranannya dalam
membuktikan i’jaz al-Qur’an, dan dalam penafsiran al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah itu sendiri.34
29 Ibid, hlm. 4.
30 Dr. Ayman Amin Abdul Ghani, Mulakhkhash Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Kairo: Dar al-Taufiqiyyah li al-Turats,
31 Disebutkan dalam catatan kaki kitab Al-Jawâhir al-Naqiyyah fî Fiqh al-Sâdat al-Syâfi’iyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah),
keberadaan tafsir al-Qur’an yang menyertakan sajian balaghah al-Qur’an, semisal kitab Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr karya al-‘Alim al-Syaikh
‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Shafwat al-Tafâsîr karya Prof. Dr. Ali al-Shabuni, Tafsir al-Munîr karya Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436
H), dan lain sebagainya banyak.
Kalimat “yuhditsu lahum dzikr[an]” menunjukkan salah satu hikmah turunnya al-Qur’an dengan
Bahasa Arab, sekaligus menunjukkan pentingnya ilmu balaghah untuk menajamkan kepekaan terhadap
setiap diksi dan untaian kalimat dalam al-Qur’an, dimana tingkatan kepekaan seseorang bisa ditentukan
oleh tingkat pemahamannya terhadap Bahasa al-Qur’an itu sendiri, yakni Bahasa Arab, dalam hal ini bisa
diawali dengan memahami ilmu balaghah.36
Al-’Allamah al-Syaikh Makhluf bin Muhammad al-Badawi dalam Hasyiyah-nya atas Hilyat al-Lubb
Syarh al-Jawhar al-Maknûn karya al-’Allamah Ahmad al-Damanhuri menggambarkan:
إذ غايته نيل السعادة، ومنطو على قواعد الفالح،إنّ فنّ البالغة من بينها حمتو على أسباب النجاح
.العظمى من معرفة إعجاز القرآن
Sesungguhnya ilmu balaghah di antara kandungannya mengantarkan kepada sebab-sebab
keberhasilan hidup, mengandung kaidah-kaidah meraih keberuntungan, dimana tujuan akhirnya
adalah meraih kebahagian yang paling agung, yakni mengenal kemukjizatan al-Qur’an.37
1. Peletak dasar pertama ilmu al-ma’ânî: para ulama ahli nahwu, semisal al-Imam al-Khalil bin Ahmad
(w. 170 H) dan muridnya, yakni Sibawaih, diikuti oleh al-Jahizh kemudian Qudamah bin Ja’far;
2. Peletak dasar ilmu al-bayân: Abu ’Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna dengan kitabnya, Majâz al-
Qur’ân38, diikuti oleh al-Jahizh, Ibn al-Mu’tazz, Qudamah bin Ja’far, Abu Hilal al-’Askari kemudian
Abdul Qahir al-Jurjani39;
35
Abu Ziyad Muhammad bin Sa’id al-Buhairi, Tasynîf al-Âdzân, hlm. 4.
36
Sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikh Dr. Ayman Amin Abdul Ghani menyoal salah satu faidah ilmu balaghah, yakni
membentuk dzauq ’cita rasa’ berbahasa, menikmati dan memahaminya dengan pemahaman yang mendalam.
37 Makhluf bin Muhammad al-Badawi, Hasyiyat Syarh Hilyat al-Lubb al-Mashûn, Beirut: Al-Maktabah al-‘Ashriyyah, t.t., hlm. 5.
38 Abu Ziyad Muhammad bin Sa’id al-Buhairi, Tasynîf al-Âdzân, hlm. 4-5.
39 Dr. Ayman Amin Abdul Ghani, Al-Kâfî fî al-Balâghah (Al-Bayân wa Al-Badî’ wa Al-Ma’ânî), hlm. 42.
Adapun Abdul Qahir al-Jurjani (w. 471 H), maka ia merupakan peletak fondasi-fondasi bangunan
mapan ilmu-ilmu ini dalam dua kitabnya, Dalâ’il al-I’jâz dan Asrâr al-Balâghah.41
Seperti penamaan al-insân (manusia) dengan al-raqabah (leher)43, semisal dalam firman-Nya:
َ ُْ َََ ُ ْ ََ ً َ َ ً ُْ َََ ْ ََ
ومن قتل مؤ ِمنا خطأ فتح ِرير رقبة مؤ ِمنة
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 92)
40 Abu Ziyad Muhammad bin Sa’id al-Buhairi, Tasynîf al-Âdzân, hlm. 4-5; Dr. Ayman Amin Abdul Ghani, Al-Kâfî fî al-Balâghah (Al-
hlm. 216-217.
1. Ilmu Al-Ma’ânî ( )
Definisi Ilmu Al-Ma’ânî:
وهو علمٌ يعرَفُ به أحوال اللفظ العربيِّ اليت بها يطابقُ مقتضَى احلال: علمُ املعاني
Ilmu al-Ma’ani adalah ilmu yang memperkenalkan lafal arab dimana dengan ilmu tersebut
perkataan sesuai dengan keadaannya.47
Ilmu yang membahas kesesuaian perkataan atau ungkapan dengan keadaan pihak yang diseru 48,
atau ilmu yang memahamkan kita terhadap pola kalimat yang benar yang sesuai dengan suatu keadaan 49,
atau dengan kata lain membahas tentang makna-makna dengan ragam pola untuk digunakan dalam
berbagai keadaan yang bersesuaian dengannya. Mencakup pembahasan: al-khabar wa al-insyâ’, al-musnad wa
al-musnad ilayh, al-qashr, al-fashl wa al-washl, al-îjâz wa al-ithnâb dan lain sebagainya.50
2. Ilmu Al-Bayân ( )
Definisi Ilmu al-Bayân:
ِ يف وُضو ِح الدّاللة، بطرٍ تختلفُ بعضُها عن بعض،ِ يعرفُ بها إيرادُ املعنَى الواحد،ُأصولٌ وقواعد
.ٍ فاملعنَى الواحدُ يُستطاعُ أداههُ بأساليبَ مُختلفة،س ذلك املعنَى
ِ العقلي ِة على نف
Ilmu yang membahas pokok-pokok prinsip dan kaidah, diketahui dengannya bagaimana suatu
makna diungkapkan dengan beragam gaya pengungkapan yang satu sama lain berbeda, jelas
berdasarkan kejelasan petunjuk ’aqliyyah-nya atas esensi dari makna tersebut, maka suatu makna
bisa diungkapkan dengan beragam gaya pengungkapan.
Intinya, yakni ilmu yang membahas pengungkapan atas suatu makna dengan gambaran atau
bentuk yang beragam.51 Mencakup pembahasan; al-tasybîh, al-isti’ârah, al-kinâyah wa al-ta’rîdh, al-majâz al-
mursal, al-majâz al-’aqli.
3. Ilmu Al-Badî ( )
Definisi Ilmu al-Badî’:
46 Abdurrahman bin Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘Amah li al-Kitab,
Ilmu yang membahas pola-pola bentuk ungkapan yang mempercantik ungkapan, mencakup hiasan
yang bersifat lafzhiyyah atau ma’nawiyyah, mencakup pembahasan: al-thibâq, al-muqâbalah, al-saj’u, al-jinâs, al-
tauriyyah, ta’kîd al-madh bimâ yusybihu al-dzamm (dan sebaliknya), dan lain sebagainya.52
Tabel 5
Pembahasan-Pembahasan Ilmu Balaghah