Anda di halaman 1dari 21

ILMU TAFSIR

Adz-Dzahabi
ّ
1. Tafsir, dalam Bahasa Arab secara etimologis yaitu ُ‫( اإليضاح‬al-idhah / penerangan) dan ‫بي‬ ُِ ‫الت‬
(at-tabyin / penjelasan). Arti di atas digunakan dalam ayat al-qur’an ketika menggunakan
kata tafsir, yaitu dalam Q.S al-furqon : 33
َۡ َ ۡ َ َۡ ‫َ ۡ َ َ َ ا‬
ُ٣٣ُ‫َوَل َُيأتونكُب َمث ٍلُإَلُجئن َٰ كُبٱل َح ِّق َُوأ ۡح َس َنُتفس ًيا‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang “ganjil”,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”
ّ
2. Kata ُ ‫ التفسي‬merupakan kata jadian dari ‫ الفرس‬yang arti harfiahnya adalah ‫اإلبانة‬
(penjelasan) dan ُ‫( الكشف‬penyingkapan). Dalalm lisanul ‘Arab disebutkan ;
ُ‫ الفرس‬: yaitu menyingkap sesuatu yang tertutup / ‫كشفُالمغط‬ ُّ ّ
‫ا‬ ِ
ُ‫ التفسي‬: yaitu menyingkap sebuah lafazh yang sukar / ‫ادُمنُاللفطُالمشكل‬ ّ ‫ِا‬ ‫كشفُالمر‬
ّ ِ ّ
3. Tafsir, secara terminologis yaitu ُ‫العلم ُالذي ُيفهم ُبه ُكتاب ُهللا ُالميل ُعىل ُمحمدُص ُوبيان ُمعانيه ُو‬
‫ استخرتجُأحكامهُوُحكمه‬itulah definisi menurut az-Zarkasyi sebagaimana dikutip As-Suyuthi.
Ada banyak definisi yang dikemukakan para ulama namun semuanya bermuara pada
‫ر‬ ّ
pengertian ‫اقةُالبرسية‬ ‫العلمُيبحثُعنُمرادُهللاُتعاىلُبقدرُالط‬
4. Para ulama lazimnya mendefinisikan َ juga takwil dalam setiap karya (‘ulumul qur’an) nya.
Takwil secara etimologis artinya ُ‫ األول‬dan ‫الرجوع‬ ُّ
5. Definisi terminologis takwil menurut ulama salaf yaitu : ُ‫تفسيُالكالمُوبيانُمعناهُسواءُأكانُموافقا‬
ّ
‫ للظاهر ُأم ُمخالفا ُله‬. menurut definisi ini takwil dan tafsir adalah sinonim, definisi ini
dipegang oleh Ibnu Jarir at-Thabari.
6. Sedangkan menurut ulama salaf lainnya takwil ialah “esensi dari sebuah kalimat”. Seperti
kalimat permintaan takwilnya adalah tindakan atau perbuatan yang menjadi permintaan.
‫ر‬
7. Menurut ulama kholaf takwil adalah ‫اجحُإىلُألمرجوحُلدليلُيقينُبه‬ ‫رصفُاللفظُعنُمعناهُا ّلر‬
8. Pendapat as-Suyuthi :
ِّ ّ ّ
ّ ‫ُالتفسي ُما ُيتعلق‬
‫ُبالرواية ُو ُالتأويل ُما ُيتعلق ُبالدراية‬ ‫ أن‬pendapat as-Suyuthi diafirmasi oleh az-
ّ
ّ ُ‫ُاإلتباعُو‬ ّ ِ
Zarkasyi dengan mengutip penjelasan dari Abu Nasr al-Qusyairi ُ‫السماع‬ ‫ُفُالتفسي‬ ّ ‫بعتي‬
‫ر‬
ّ ّ
‫وإنماُاإلستنباطُماُيتعلقُبالتأويل‬
9. Adz-dzahabi sendiri membedakan tafsir dengan takwil, tafsir ialah apa yang berkaitan
dengan (merujuk kepada) riwayat, sedangkan takwil adalah aktivitas yang bertumpu pada
diroyah (penalaran). Sebab tafsir menyingkap makna (maksud) Allah, maka tidak ada opsi
lain kecuali memperolehnya dari dalil yang shahih. Sedangkan takwil lebih konsentrasi
pada proses pentarjihan dan penalaran suatu kemungkinan makna yang kuat pada lafazh
berdasarkan indikasi (dalil). Adapun proses pentarjihan sangat bersandar pada ijtihad,
sedangkan ijtihad tentu memerlukan perangkat yang memadai.
10. Adz-Dzahabi memberikan komentar : “upaya penafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an
tidak dilakukan dalam satu metode saja, disamping itu makna-makna atau tafsiran dari
ayat-ayat tersebut tidak dipahami secara seragam. Perbedaan penafsiran atau makna
yang ditangkap oleh setiap mufassir sangat wajar.”
11. Tafsir mengalami perkembangan yang berkelanjutan, mulai dari bentuk yang sederhana
sampai yang paling kompleks dan matang (mapan), namun ternyata usaha penafsiran
tidak pernah dinilai tuntas dan final.
Mengapa pada fase awal perkembangannya tafsir amat sederhana?. Yaitu karena
masyarakat yang hidup saat itu, pada masa turunnya al-qur’an adalah orang arab murni.
Mereka penutur Bahasa arab yang fasih, artinya secara umum berkaitan dengan aspek
kebahasaan mereka tidak banyak mengalami kesulitan, seandainya ada kata atau kalimat
yang tidak diketahui (maksudnya) mereka dapat langsung meminta penjelasan dari
rasulullah Saw.
12. Tafsir pada masa Nabi Saw. Dan sahabat
Allah mengutus Rasul (sebagai “penafsir pertama”) dengan Bahasa Kaumnya. Seperti
dalam Q/S Ibrahim : 4
ۡ ۡ ٓ َ َ َ ٓ َ َ َ ‫ُّ ه‬ َ ۡۖ َ َِ ِّ َ َ ‫ا‬ َ ۡ َ َۡ ٓ َ َ
ُ ‫نُيشاء َُو َي ۡهديُم‬
ُ ُ٤ُ‫نُيشاء َُوه َوُٱل َع يِيُُٱل َحِيم‬ ‫يُله ۡمُفيضلُٱَّللُم‬ ‫ولُإَلُبل َسانُق ۡومهۦُليب‬ ‫ا‬
ٍ ‫وماُأرسلناُمنُرس‬
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan
siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”
13. Karena nabi diangkat dari bangsa arab, maka Allah pun menurunkan al-qur’an dalam
Bahasa Arab. Q.S Yusuf : 2
َ ُ َ ُ ‫ا ٓ َ َ ۡ َ َٰ ۡ َ َٰ ً َ ّٗ ه ه‬
ُ ُ٢ُ‫اُع َرب ّياُل َعلك ۡمُت ۡعقلون‬ ‫ُإناُأنُلن هُقرء ن‬
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar
kamu memahaminya”
ُ‫ي‬ِ ‫ُع َر ّب ُُّمب‬ َ َ َ ۡ َ َ ُ َ َ ۡ َ َٰ َ َ ِ َۡ ُّ َ ََ َِ َ َٰ َ ُۡ ‫ۥُل َت ِ ِييل َُر ِّب‬
َ ‫َ ا‬
ٖ ّٖ ّ ‫ ُبلس ٍان ر‬١٩٤ُ ‫ ُُعىل ُقلبك ُلتكون ُمن ُٱلمنذ يرين‬١٩٣ُ ‫ ُنُل ُبه ُٱلروح ُٱألمي‬١٩٢ُ ‫ُٱلع لمي‬ ‫ُوإنه ي‬
ُ ُ١٩٥
“sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia
dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa
Arab yang jelas”.
14. Menurut adz-Dzahabi “rasulullah memahami seluruh ayat al-qur’an tanpa terkecuali,
baik secara general maupun secara spesifik atas wahyu dari Allah Swt. Sedangkan bagi
para sahabat yang meskipun sama-sama orang Arab murni, menyaksikan turunnya al-
qur’an, mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, mereka hanya memahami ayat-ayat al-
qur’an secara global saja.
15. Meskipun para sahabat hidup di zaman Nabi, tapi pengetahuan dan pengalaman mereka
tidak rata satu dengan yang lainnya mengenai sabab nuzul al-qur’an, sebagian yang lain
menyaksikan dan yang lain tidak, sebagian dari mereka telah memahami ayat-ayat
tertentu sedangkan yang lain belum memahaminya.
16. Muncul perbedaan pendapat diantara ulama, apakah nabi menjelaskan (menafsirkan)
seluruh ayat al-qur’an kepada sahabat atau hanya sedikit saja pada bagian ayat yang
musykil?!. Adz-Dzahabi mengutip perkataan ibnu abbas
‫وجهُتعرفهُالعربُمنُكالمها‬
ُ “tafsir yang diketahui secara bahasa”
‫“ تفسي ُال ُيعذر ُأحد ُبجهالته‬tafsir yang tidak membuat seorangpun merasa kesulitan”(ayat
yang perlu dipahami lebih dari sekedar makna literalnya)
‫“ تفسيُتعرفهُالعلماء‬tafsir yang hanya bisa dijangkau oleh para pakar (ulama)”
ّ
‫“ تفسيُالُيعلمهُإالُهللا‬tafsir yang hanya diketahui oleh Allah”.
17. Banyak makna ayat yang belum dijelaskan nabi Saw. Kepada para sahabat
18. Para sahabat merasa cukup berhenti pada makna-makna tertentu secara global dan
normatif. Misalnya potret umar bin khattab yang merasa telah berlebihan membebani
diri dengan menerka makna sebuah ayat. Suatu hari umar di atas mimbar membacakan
“wa faakihatan wa Abbaa” lalu ada sahabat yang berkomentar “kalau faakihah kita sudah
paham makanannya, tapi apa yang dimasud oleh kata Abba”. Lalu umar menimpal
dengan ucapan “demi tuhan, ini sungguh memberatkan”.
Diriwayatkan dari Abu Ubaidah, Ibnu Abbas berkata “dulu aku tidak mengerti makna
kalimat “faathiris-sama>wa>ti” sampai aku bertemu dengan dua orang baduy yang
sedang berdebat mengenai kepemilikan sumur, seorang diantaranya berbicara “ana
fathartuha>” maksudnya (saya yang pertama kali bikin sumur ini).
19. Ada sahabat yang tidak tepat dan akurat dalam memahami sebuah ayat. Diriwayatkan
dari Imam Bukhori bahwa Adi bin Hatim keliru saat memahami ayat ُ‫بواُحتُيتبتُلهم‬ ‫ر‬ ‫ر‬
‫كلواُواش‬
‫ الخيطُاألبيضُمنُالخيطُاألسود‬.
20. Pemahaman sahabat mengenai makna ayat al-qur’an tidak semuanya sama tingkat
pemahamannya. Seperti kasus ketika Umar membawa Ibbnu Abbas ke pertemuan besar
yang dihadiri oleh orang dewasa. Kemudian umar mengajukan pertanyaan mengenai
makna surat an-Nashr, ternyata Ibnu Abbas memberikan penafsiran yang sangat berbeda
dengan yang lain.
21. Sumber tafsir nabi Saw. Tiada lain Allah Swt. Karena nabi langsung memperoleh
penafsiran dari Allah Swt. Dan dari kandungan al-Qur’an itu sendiri serta dari ijtihad
beliau Saw. Sendiri. Meski demikian, semua yang dikatakan nabi mengenai apapun
bersumber dari Allah Swt. Karena beliau dibimbing dan dijaga oleh wahyu.
22. Tafsir pada masa sahabat ada 4 sumber:
a. A-qur’an (lihat Q.S 2:37 yang kemudian ditafsirkan oleh Q.S 7:23.
b. Rasulullah (penafsiran ini merujuk langsung pada keterangan dan perilaku beliau
semasa hidup, pada sunnahnya sepeningalan beliau, ini dikarenakan tugas nabi
adalah :
َ ‫ََ ه‬ ‫َ ه‬ َ ‫ۡ َ ِّ َ َٰ َ ُّ ِۗ َ َ َ ۡ َ ٓ َ ۡ َ ِّ ۡ َ َ ِّ َِ ا‬
ُ ُ٤٤ُ‫اس َُماُن ُِّ َلُإل ۡيه ۡم َُول َعله ۡم َُي ُتفكرون‬
‫بٱلبين تُوٱلِب يرُوأنُلناُإليكُٱلذكرُلتبيُل ي‬
‫لن‬
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al
Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Contoh penafsiran dengan menggunakan sumber ini ialah seperti yang diriwayatkan
dari tirmidzi, “suatu hari Ali R.a bertanya kepada Rasulullah mengenai makna
“Yaumul Hajjul Akbar” yang kemudian dijawan oleh rasulullah maksudnya adalah
“Hari berkurban”.
c. Ijtihad. Apabila para sahabat tidak menemukan secara implisit tafsir dalam ayat dan
hadits, maka mereka menafsirkannya melalui jalan ijtihad dengan syarat telah
terpenuhi kriteria kelayakannya. Perangkat ijtihad yang telah dirumuskan oleh para
sahabat diantaranya adalah : 1. Pemahaman Bahasa Arab, 2. Pemahaman tradisi
Bangsa Arab (Budaya), 3. Pemahaman kondisi Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab saat
masa turunnya whayu, 4. Pemahaman Asbabun nuzul, 5. Kapasitas dan wawasan
yang komprehensif dan atomistik dalam berbagai ilmu pengetahuan.
d. Israiliyyat. Menjadikan Informasi historis dari ahli kitab sebagai sumber penafsiran,
sebab banyak peristiwa sejarah yang sama diberitakan pula dalam injil dan taurat.
Namun injil dan taurat lebih terperinci menjelaskan peristiwa sejarah tersebut,
sedangkan dalam al-qur’an hanya diuraikan secara global.
23. Sumber tafsir pada masa sahabat tidak luwes dan sangat ketat, sebaliknya, pada masa
tabi’in sumber penafsiran lebih luwes dan longgar seperti mengutip israiliyyat tanpa
selektif memilih riwayat yang valid. Disamping itu ijtihad mendapatkan porsi yang lebih
besar dalam penafsiran.

24. Tafsir berkembang seiring dengan berkembangnya problem kehidupan manusia dan
kompleksitasnya. Setiap generasi setelah sahabat semakin hari semakin “kesulitan”
memahami al-qur’an semudah para sahabat yang hidup sezaman dengan nabi serta
memiliki kemampuan Bahasa yang tinggi dan masih murni. Kebutuhan untuk memahami
al-qur’an kian mendesak, maka umat islam mencari beragam cara untuk dapat
memahami al-qur’an. Diantara dampaknya ialah ijtihad mengemuka diantara generasi
setelah sahabat, lantaran keterbatasan mereka memahami al-qur’an secara langsung dari
pembawa risalahnya.
25. Pada masa sahabat ada 3 pusat studi tafsir yang mengemuka, ketiganya didirikan oleh
sahabat nabi yang mahsyur di bidang tafsir al-qur’an.
A. Madrasah Mekah, dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Murid kenamaannya : Said Bin
Jubair, Mujahid Bin Jubair, Ikrimah Ibnu Abbas, Thous Bin Kiyas al-Yamani, ‘Atha Bin
Abi Wabah
B. Madrasah Madinah, dinisbahkan kepada Ubay Bin Ka’ab. Murid kenamaannya : Abu
‘Aliyah, Rofi’ Bin Mihron ar-Riyah, Muhammad Bin Ka’ab al-Qurozi, Zain Bin sulam
C. Madrasah Iraq, dinisbahkan kepada Ibnu Mas’ud. Murid kenamaannya : Alqamah Bin
Qays An-nakh’iy, Masruq Bin al-Ajda’I al-Hamdani, Aswad Bin Yazid an-Nakh’iy, Hasan
al-Bashri, Qotadah Bin ‘alqomah.
26. Tafsir pada masa tabi’in, fase ini dimulai seiring berakhirnya fase sahabat. Dari sisi
sumber penafsiran, ada perbedaan dari fase sebelumnya meskipun tidak terlalu banyak.
Sumber penafsiran mereka ialah : 1. Al-Qur’an, 2.Hadits nabi, 3. Penafsiran sahabat, 4.
Israiliyyat, 5. Ijtihad.
27. Tafsir dari nabi Saw. Dan sahabat sangat terbatas, tidak seluruh al-qur’an diberikan
penjelasan oleh nabi, disebabkan belum banyak makna yang samar bagi para sahabat dan
tabi’in. Tapi kemudian setelahnya muncul persoalan dalam memahami al-qur’an.
28. Status penafsiran dari tabi’in, ulama berbeda pendapat mengenai tafsir yang
diriwayatkan tabi’in. ada beberapa pandangan ulama secara khusus membahas
menegenai penggunaan penafsiran (pendapat) tabi’in bila tidak menemukan riwayat dari
sahabat atau rasul.
A. Imam Ahmad : pertama, ada riwayat yang menerima tafsir bil ma’tsur yang berasal
dari tabi’in, kedua, ada riwayat yang menolak tafsir bil ma’tsur yang berasal dari
mereka.
Pendapat pertama, seperti diutarakan sebagian ulama, dan diceritakan pula oleh
syu’bah, bahwa tiafsir yang dilakukan oleh tabi’in derajat dan tingkat otentisitasnya
berbeda dengan penafsiran yang berasal dari sahabat. Hal itu disebabkan karena
tabi’in tidak mengalami dan menyaksikan turunnya al-qur’an, para sahabat menyimak
serta merekam secara langsung dari rasulullah, sedangkan tabi’in tidak memiliki
kesitimewaan tersebut. Oleh karena itu tingkat kemungkinan salah dan keliru dari
penafsiran tabi’in lebih besar.
Imam Abu Hanifah berkata : “apa yang datang dari rasulullah Saw. Adalah benar
secara mutlak (rujukan utama), sedangkan dari para sahabat relatif bisa kita pilah
(alternative), dan apa yang datang dari tabi’in (harus selektif) adalah sama dengan
pendapat kita biasa”
Pendapat kedua, ada ulama yang menerima pendapat tabi’in bisa dijadikan sebagai
sumber tafsir, sebab tabi’in dalam menafsirkan al-Qur’an juga berdasarkan ilmu atau
bertalaqqi kepada sahabat. Misalnya mujahid pernah berkata : “saya membaca al-
qur’an dihadapan ibnu Abbas hingga tiga kali, setiap selesai satu ayat saya berhenti
dan bertanya kepadanya : kapan diturunkan ayat ini?”. Demikian pula Qotadah
berkata “tidak ada satu ayat pun dalam al-qur’an kecuali aku telah mendengar
sesuatu tentang ayat tersebut”.
Pendapat yang paling paling diterima mengenai persoalan ini adalah bahwa :
penafsiran sahabat dapat diterima, kecuali untuk persoalan-persoalan yang sudah
jelas dan tidak lagi membutuhkan Ra’yu atau pendapat.
29. Karakteristik tafisr tabi’in, tabi’in A. cenderung ramah dan akomodatif pada israiliyyat
dan nasraniyyat, sehingga mereka banyak mengadopsinya tanpa secara ketat melakkukan
seleksi. B. penafsiran pada masa tabi’in dikembangkan melalui metode talaqqi dan
riwayat (dari para sahabat). C. banyak tafsir yang dikembangkan mufassir pada masa
tabi’in ini yang dipengaruhi oleh berbagai madzhab keagamaaan yang muncul pada
masa itu.
30. Tafsir pada masa kodifikasi/Tadwin (ketiga), dimulai pada peralihan antara bani
ummayyah dan Bani Abassiyyah.
31. Pada Fase Kodifikasi atau tadwin, tafsir telah mengalami perkembangan signifikan.
Tahap perkembangan pertama berlangsung pada dua fase awal yang telah dijelaskan di
atas yaitu periwayatan tafsir al-ma’tsur dari rasulullah, sahabat dan tabi’in. tidak ada
metode lain selain riwayat. Setelah itu dimulailah fase ketiga dengan ditandai pembukuan
ilmu-ilmu.
32. Tahap kedua dimulai dengan pembukuan hadits rasulullah Saw. Isinya sangat beragam,
termasuk tafsir menjadi salah satu bab di dalamnya yang memuat hadits-hadits
penjelasan ayat al-qur’an.
sampai saat itu tafsir belum terbukukan secara terpisah, penafsiran pun masih belum
mengapresiasi seluruh ayat al-qur’an.
33. Tetapi para ulama demikian gigih melanjutkan upaya kodifikasi tafsir dengan berkeliling
ke penjuru kota untuk mengumpulkan hadits. Mereka memperoleh hadits-hadits tafsir
yang disandarkan kepada Nabi Saw., sahabat, tabi’in. diantara orang yang giat
mengumpulkan hadits-hadits tersebut adalah Yazid Bin Harun As-Sulami yang wafat pada
tahun 117 H dan Syu’bah bin al-Hajaj W.160H
34. Tahap selanjutnya yang ketiga yaitu ketika tafsir memisahkan diri dari hadits dan
terkodifikasi menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Mulailah setiap ayat alqur’an ditafsirkan
sesuai tertib mushaf. Upaya ini disempurnakan di tangan para ulama : Ibnu Majah
w.273H, Ibnu Jarir at-Thabari w.310H. dll. Semua penafsiran diriwayatkan dengan disertai
sanad yang bersambung kepada rasul, sahabat atau tabil’in
35. Ibnu jarir at-Thabari merupakan mufassir perintis yang mengembangkan pemilihan
sumber tafsir, dia mengawalinya dengan memuat pandangan dan pendapat dari para
periwayat, kemudian mentarjihnya dan mengI’rabnya bila dirasa butuh. Lebih progresif
lagi ia melakukan istinbath hukum dari ayat-ayat al-qur’an.
36. Tahap keempat tafsir masih menggunakan metode bil ma’tsur , ada sedikit perubahan
yang memberikan pengaruh signifikan terhadap keberlangsungan tafsir. Perubahan yang
terjadi ialah pola pengambilan sanad, dimana ada upaya meringkas sanad, selain itu
banyak para penafsir yang menukil suatu pendapat tanpa menyertakan riwayat yang
jelas, dari siapa dia mengutip dan dari kitab apa. Pada tahap ini tafisr bil ma’’tsur
mengalami keguncangan dari sisi validitas sumber penafsisran, karena tercampur antara
riwayat (pendapat) yang shahih dengan yang palsu.
37. Tahap kelima. Menampilkan wajah baru khazanah tafsir dengan ditandai dominasi
penggunaan rasio atau nalar yang memperkaya penafsiran sebelumnya. Tahap ini
mengalami perkembangan sangat dinamis dan panjang, mulai dari zaman bani
Abbasiyyah hingga hari ini. Kodifikasi tafsir secara konsekuen mengakomodir penafsiran
riwayat dan penggunaan ra’yu (rasio).
38. Literature atau kodifikasi Tafsir Bil ‘aqli (ro’yi / rasio) menemukan bentuknya yang jelas
setelah melalui beberapa tahapan. Pertama dengan berupaya memahami penafsiran
individual. Kemudian melakukan validasi (pentarjihan) terhadap pendapat-pendapat
individual tersebut.
39. Masih pada tahap di atas, ilmu nahwu dan shorf disusun, perdebatan mengenai teologi
(kalam) mulai menyeruak ke permukaan, fanatisme madzhab juga semakin kentara di
zaman ‘Abasiyyah ini, kemudian kelompok-kelompok islam tersebut mulai menyebarkan
dan mendakwahkan pemikiran dan keyakinannya. Selain itu, banyak buku-buku filsafat
yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
40. Tafsir berkembang cukup jauh dari pertama kemunculnya yang ditandai dengan
munculnya beragam kecenderungan (arah), memuat banyak istilah-istilah ilmiah, dan
kental dengan ideologi madzhab (kepentingan madzhab). Dari sini terlihat pengaruh
peradaban, pengaruh dari tradisi filslafat dan ilmu pengetahuan serta tasawuf dalam
bidang penafsiran al-qur’an. Meski tampak nyata adanya dominasi emosi dan hawa nafsu
manusiawi di dalam upaya-upaya interpretasi terhadap al-qur’an.
41. Berkembangnya berbagai ilmu turut memberi kontribusi dalam perkembangan tafsir.
Para ahli di bidang keilmuan tertentu melakukan penafsiran melalui pendekatan ilmu
atau keahlian di bidangnya masing-masing. Adz-Dzahabi menyebut tahapan ini
didominasi oleh kecenderungan ilmiah, akaliah dan madzhabiyah.
42. Adz Dzahabi membagi tafsir kedalam 5 jenis : Tafsir bil ma’tsur, tafsir bir-ra’yi, tafsir
maudhu’I, tafsir Isyari, tafsir ilmi.
43. Tafsir bil ma’tsur adalah penjelasan makna dan maksud Allah Swt. Dalam al-Qur’an yang
dinukil dari nabi Saw., sahabat dan Tabi’in. adapun sebetulnya mengenai status
periwayatan dari tabi’in masih selalu diperdebatkan, apakah termasuk bil ma’tsur atau
ijtihad?!. Namun argument rasional dari ad-dzahabi memasukan riwayat (pendapat) dari
tabi’in sebagai kategori bil ma’tsur dikarenakan dalam beberapa literature tafsir
keterangan mereka disandingkan dengan keterangan-keterangan dari sahabat dan
bahkan rasulullah Saw.
44. Dari sisi kualifikasi dan penentuan otentisitas serta validitasnya, secara umum model
periwayatan tafsir bil ma’tsur mirip dengan model periwayatan hadits. Namun otentisitas
dan validitas periwyatannya hanya sampai akhir masa sahabat. Hal ini disebabkan
beberapa perawi memasukan unsur-unsur tertentu ke dalam suatu riwayat yang sama
sekali bukan bagian dari tafsir.
45. Diulas kembali mengenai proses kodifikasi tafsir sejak awal sampai dalam bentuknya yang
mapan.
a. Kodifikasi tafsir telah dimulai sejak pembukuan hadits, di dalam pembukuan hadits itu
dimuat beragam Bab termasuk tafsir menjadi salah satu Bab di dalamnya. Di dalam
bab tafsir teresebut, para perawi hadits meriwayatkan pernyataan-pernyataan
seputar penafsiran yang berasal dari Nabi, sahabat dan Tabi’in. lalu para penulis
melakukan verifikasi terhadap hadits-hadits yang shahih.
b. Selanjutnya tafsir memisahkan diri dengan mulai menghimpun riwayat-riwayat yang
menjelaskan maksud dan makna al-QUR’AN secara mandiri. As-Suyuthi menyebutkan
bahwa naskah tafsir bil matsur pertama yang ditemukan ialah yang ditulis dan
diriwayatkan Ali Bin Thalhah dari Ibnu ‘Abbas.
c. Kodifikasi tafsir berikutnya jauh lebih berkembang dan lebih banyak ayat-ayat yang
ditafsirkan. Misalnya Muhammad Bin Tsaur menuliskan 3 jilid kitab yang diriwayatkan
dari Ibnu Juraij.
d. Muncul penulisan tafsir berupa ensiklopedia, kontennya memuat semua penemuan
sang penulis berkaitan dengan penafsiran dari Nabi, sahabat dan tabi’in. validitas atau
keshahihan riwayatnya dapat ditelusuri melalui sanad yang dicantumkan penulis.
Mereka memandang penulisan sanad merupakan tanggungjawabnya secara
intelektual dalam sebuah karya. Penulisan tafsir seperti ini diantaranya adalah kitab
yang ditulis oleh Ibnu Jarir at-THabari yang wafat pada 310 H
e. Fase selanjutnya bermunculan beragam kitab tafsir bil ma’tsur yang ditulis tanpa
jaminan validitas atau keshahihan riwayatnya, mereka tidak menyertakan sanad dan
paerawi dalam kitabnya. Artinya, penulis mencampur adukan antara riwayat yang
shahih dengan yang dlo’if. Dengan begitu para pembaca kesulitan melakukan
verifikasi terhadap riwayat tersebut. Contoh karya tulis yang menggunakan model
seperti ini adalah kitab “Bahrul ‘Ulum” karya Abu Laits as-Samarqandy yang wafat
pada 373 H, kitab ini sangat minim penyertaan sanad.
f. Lalu terjadilah transisi dari penafsiran bil matsur menuju tren penafsiran bir Ra’yi
melalui rangkaian proses dan tahapan yang telah dibahas sebelumnya.
46. Melemahnya Tafsir bil ma’tsur serta penyebabnya
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tafsir bil ma’tsur mengalami kegoncangan hingga
menurunkan tingkat kepercyaan dan penerimaannya. Melemahnya penafsiran bil
ma’tsur sudah terasa mencemaskan sejak periode awal masa tabi’in dan memuncak pada
tahun 41H. masa ini bertepaatan dengan terjadinya disintegrasi kaum muslimin menjadi
Syi’ah, Khawarij dan Jumhur. Kondisi di atas juga tidak lepas dari pengaruh kemenangan
islam di beberapa daerah yang menyebabkan banyak orang memeluk islam, namun tetap
meninggalkan orang-orang yang masih membenci islam yang memiliki tujuan
menghancurkan islam mulai dari akar. Factor selanjutnya adalah bermunculannya
madzhab keagamaan dan politik yang dalam islam dimana untuk menjustifiksi
kepentingan kelompok atau madzhab mereka membuat hadits maudhu’ yang
disandarkan kepada nabi. Ringkasnya, melemahnya otentisitas tafsir bil ma’tsur
disebabkan 3 hal :
a. Dihilangkannya sanad dalam riwayat
b. Masuknya Israiliyyat secara massif dalam penasfsiran (terjadi pasca periode tabi’in
memberikan peluang masuknya hadits-hadits palsu)
c. Bermunculannya hadits-hadits palsu dalam tafsir
Adz-Dzahabi memandang di antara ketiga sebab di atas, yang paling fatal adalah nomor
satu, sebab validitas suatu riwayat sudah tidak dapat diteliti lagi bila tidak mencantumkan
sanad.
47. Pendapat para ulama berkenaan dengan tafsir bir ra’yi. Sebagian ulama berpandangan
tafsir bir ro’yi tidak boleh dilakukan meskipun interpretor memiliki kualifikasi yang layak
dan keilmuan yang memadai. Penafsiran hanya boleh kita sandarkan pada apa yang telah
ditetapkan rasulullah saw. Dan apa yang telah dituturkan para sahabat sebagai yang
menyaksikan turunnya wahyu, juga apa yang dikemukakan tabi’in berdasarkan kesaksian
sahabat. Namun sebagian ulama lain berpandangan boleh menggunakan tafsir bir ra’yi.
48. Argumentasi ulama yang menolak tafsir bir ra’yi ialah :
a. Penafsiran dengan ra’y artinya menjelaskan maksud Allah Swt. Tanpa didasari ilmu.
b. Dan berdasar pada dalil “wa anzalna ilaika aldzikra litubayyina linnasi ma nuzzila
ilaihim” artinya seluruh penjelasan mengenai maksud dan makna al-qur’an telah
termuat dalam adz-dzikr yang disampaikan oleh rasulullah. Dengan begitu tidak boleh
ada penjelasan apapun kecuali merujuk kepada adz-dikr sendiri.
c. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzy dan Abu Dawud, yang termasuk kategori hadits
marfu’dan hadits hasan, bahwa: “barang siapa mengatakan sesuatu tentang alQur’an
dengan pendapatnya sendiri maka tempatnya adalah di neraka”.1 Selain itu ada juga
hadits terkait yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan Abu Dawud dari Jundub bahwa ia
mengatakan: Rasulullah Saw telah bersabda: “barang siapa mengatakan sesuatu
tentang al-Qur’an dengan ra’yinya, meskipun perkataan itu benar, tetapi tetap saja ia
salah”.2
d. Ada atsar dari sahabat dan tabi’in yang menunjukan bahwa mereka menghindarkan
diri dari penggunaan ra’yu (pandangan atau pendapat sendiri) dalam menafsirkan al-
qur’an.
Sebagaimana jawaban abu bakar ketika dimintai pendapatnya mengenai tafsir suatu
ayat, dia menjawab : “di langit mana aku harus bernaung, di bumi mana aku harus
berpijak dan kemana lagi ku harus berlindung jika aku berbicara sesuatu mengenai
ayat al-qur’an padahal itu bukan maksud yang dikehendaki allah swt.”
49. Argument ulama yang membolehkan menafsirkan dengan ro’yu atau jalan penalaran,
adalah sebagai berikut :
a. Terdapat ayat-ayat dalam al-qur’an yang memberikan isyarat kepada manusia untuk
melakukan usaha memperoleh makna dari ayat-ayat al-qur’an. Seperti dalam Q.S
Muhammad : 24, Q.S Shaad : 83, Q.S An-Nisa : 83
b. Nabi Muhammad Saw. Tidak menafsirkan seluruh ayat al-qur’an, beliau hanya
menafsirkan sebagian kecil dari ayat al-qur’an itupun secara global. Beliaupun tidak
meninggalkan metode yang sistematis untuk menafsirkan al-qur’an. Sebetulnya
pelarangan tafsir bir ra’yi keliru.

1
At-Tirmidzi dalam bab tafsir, Juz II, hal 157, cet. al-Amiriyah 1292 H.
2
idem
c. Sahabat nabi pun melakukan ijtihad (menafsirkan bir ra’yi) terhadap ayat-ayat yang
belum dijelaskan oleh nabi Saw. Disamping itu, tidak semua sahabat mengetahui
ayat-ayat yang pernah ditafsirkan oleh nabi.
d. Kita dapat tarik kesimpulan dari konteks do’a nabi kepada Ibnu ‘Abbas, dimana beliau
mendo’akannya dengan redaksi “allahumma faqqihhu f al-din wa ‘allimhu at-ta’wil”
(Ya Allah, pandaikanlah dia dalam urusan agama dan anugerahkanlah kepadanya
penakwilan). Takwil disini ialah kapasitas ijtihad dalam menafsirkan dan menjelaskan
makna alqur’an. Sebab bila takwil bermakna tafsir bil ma’tsur (sima’ dan penukilan
saja) maka do’a ini tidak memberikan keistimewaan tertentu kepada ibnu ‘abbas.
e. SIkap adz-dzahabi dalam menerima perbedaan dua kelompok ulama ialah : mencoba
menganalisisnya secara jernih dan berorientasi pada solusi. Adz-dzahabi memandang
bahwa perdebatan panjang yang berlarut-larut ini hanya bersifat Literer, tidak pada
persoalan yang lebih substansial. Sebab ditelisik dari argument masing-masing, secara
substantive tidak ada pertentangan yang berarti, bila kita mebagi tafsir bir ra’yi
kepada dua kategori. Pertama, tafsir bir ra’yi yang mendasarkan analisisnya pada
kaidah Bahasa Arab dan aspeknya, mempertimbangkan penjelasan al-qur’an dan
hadits sendiri, memenuhi syarat kelayakan mufassir. Inilah tafsir birr ayi yang
dimaksud ulama yang membolehkannya. Kedua, tafsir yang hanya bertumpu pada
rasio tanpa diimbangi keterangan-keterangan dari hadits dan ayat al-qur’an, tidak
menggunakan analisis Bahasa, mengabaikan syarat ketat kelayakan mufassir.
50. Perangkat keilmuan yang diperlukan mufassir. Ulama mensyatkan sejumlah ilmu yang
mesti dikuasai seorang muffasir agar bisa menafsirkan secara rasional dan dapat diterima.
Disamping itu, perangkat keilmuan ini disusun agar mufassir tidak jatuh ke dalam
kesalahan dan menjaga mereka agar tdiak termasuk orang yang membicarakan maksud
Allah Swt. Tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu tersebut ialah :
a. Bahasa Arab. Sebab dengan ilmu ini mufassir akan memahami makna tiap kosa kata
dalam al-qur’an dan mengetahui konteks penggunaannya.
b. Ilmu Nahw. Ilmu nahwu memberikan wawasan mengenai perubahan I’rab, I’rab
sendiri berimplikasi pada perubahan makna sebuah kata atau kalimat.
c. Ilmu Shorf. Ilmu ini mengkaji perubahan bentuk kata
d. Ilmu Isytiqoq. Sebuah Ism atau kata benda terkadang “dianggap” memiliki beberapa
kemungkinan terbentuk dari dua atau lebih akar kata. (Misalnya ada suatu kata
benda, kata tersebut memiliki beberapa kemungkinan akar kata, yang tentu saja
setiap dikembalikan pada akar katanya ia akan menghasilkan makna yang berbeda).
e. Ilmu Balaghah. Ilmu ini memuat tiga sub, yaitu al-ma’ani, al-bayan, al-badi’.
Al-ma’ani : ilmu ini akan memberikan kita kemampuan menganalisis keistimewaan
suatu susunan kalimat dari aspek faidah maknanya (akurasi makna)
Al-bayan :
Al-Badi’ :
f. Ilmu Qiro’at : menguasai varian qiro’at tertentu akan sangat membantu dalam
melakukan tarjih beberapa kemungkinan makna sebuah kata atau kalimat. Atau
bahkan membantu memahami sebuah ayat.
g. Ilmu Ushulud diin : dengan ilmu ini memungkinkan mufassir untuk mengetahui
mengenai apa saja yang wajib, boleh dan mustahil bagi Allah Swt. Dan mampu
mengkaji tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan nubuwwah. Dll dengan benar
h. Ilmu Ushul Fiqh : dengan ilmu ini memungkinkan mufassir mampu melakukan
peggalian hukum dan pencarian petunjuk dari ayat-ayat al-qur’an dan hadits. Juga
dapat mengetahui ayat-ayat yang mujmal dan mubayan, ‘Aam dan Khaas, Muthlaq
dan Muqoyyad, Amr dan Nahyi.
i. Ilmu Asbabun Nuzul : jika mengetahui secara spesifik latar belakang atau asbabun
nuzul suatu ayat, maka mufassir akan memahami konteks dan maksud suatu ayat.
j. Ilmu Qashash : bila memahami sejarah, maka akan membantu memahami ayat-ayat
kisah yang terdapat dalam al-Qur’an yang dibahas secara global saja
k. Ilmu nasikh dan Mansukh : ilmu ini memberikan wawasan mengenai muhkam dan
buka muhkaml. Ilmu ini sangat penting, sebab siapapun yang mengabaikan sisi ke
muhkam-an lalu ia berhukum dengan yang Mansukh, maka ia akan tersesat.
l. Ilmu Hadits
m. Ilmu Muhibbah
51. Penafsiran bir ra’yi tetap harus merujuk dan mempertimbangkan tafsir al-qur’an bil
qur’an dan tidak boleh bertentangan dengan penafsiran dari nabi. Bila syarat di atas
terpenuhi maka tafsir tersebut bisa digolongkan kepada tafsir yang terpuji (Mahmud).

52. Rujukan pokok untuk tafsir bir ra’yi :


a. Al-qur’an. Artinya penafsir harus meneliti dengan seksama ayat yang akan ditafsirkan,
mengumpulkan dan mengklasifikasikan ayat-ayat menjadi satu tema lalu
membandingkannya.
b. Bila sudah ada penjelasan dari rasulullah Saw. Maka tidak boleh meninggalkannya
dan berusaha menginterpretasikan sendiri.
c. Bila sudah ditemukan riwayat yang shahih dari para sahabat dalam penafsirannya,
maka mufassir tidak boleh mengabaikannya dan memilih atau mengutamakan
pendapatnya sendiri. Sebab sahabat mengalami turunnya al-Qur’an, memahami
asbab nuzul artinya mereka lebih dekat pada kebenaran.
d. Mengacu pada kata yang mutlak (sudah jelas). Namun bukan berarati hanya harus
berpegang pada makna dzohir saja, tetapi perlu penelusuran makna bathin.
e. Penafsiran terhadap makna suatu kata mesti didasari dengan pengetahuan dan
keilmuan hukum Syara’
53. Hal-hal yang wajib dihindari mufassir :
a. Mengobral penjelasan maksud Allah Swt. Dalam al-Qur’an tanpa menguasai kaidah-
kaidah Bahasa Arab, Ushulus Syari’ah dan tidak memiliki kapasitas ilmiah sebagai
seorang mufassir.
b. Tenggelam dalam perkara yang hanya diketahui Allah Swt. : seperti megenai ayat-
ayat mutasyabih yang hanya diketahui oleh-Nya . mufassir tidak punya beban untuk
menerka yang ghaib setelah Allah Swt. Menjadikannya rahasia diantara rahasia-
rahasia-Nya.
c. Hendaknya mufassir menjauhi pertimbangan nafsu dan istihsan (prasangka)
d. Menundukan tafsir dalam cara berpikir madzhab.
e. Saksralisasi tafsir atau memutlakan penafsiran kelompoknya
54. Manhaj atau Etika Menafsirkan al-Qur’an :
a. Bersikap proporsional, tidak mereduksi dan mengeliminasi penjelasan makna ayat
atau yang sebetulnya perlu diuraikan. Atau bahkan tidak boleh menambah dan
menyisipkan konten apapun yang tidak diperlukan dalam menafsirkan ayat
b. Memilah dan membedakan antara makna majazi dan makna haqiqi.
c. Mempelejari susunan dan rangkaian kalimat agar memperoleh makna dan maksud
ayat yang seringkali terkandung secara tersirat.
d. Mengetahui munasabatul ayaat
e. Mengetahui Asbab Nuzul. Sebelum masuk pada penafsiran ayat, mufassir harus
mengetahui terlebih dahulu sebab-sebab mengenai turunnya ayat tersebut.
f. Dst
55. Faktor kesalah tafsir bir Ra’yi
Paradigma. Kata ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang ilmuwan bernama Thomas Khun dalam bukunya
berjudul Ther Structure of Scientific. Istilah ini belum jelas. Beru terdefinisikan oleh Robert Fredrich
Paradigma ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dasar yang akan menentukan bagaimana pandangan manusia
terhadap dunia (sesuatu). Cara pandang ini lah yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kogintif), bersikap ( afektif)
dan bertingkah laku.
Robert fredrich menyebutkan “Paradigma merupakan kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir
seseorang sebagai (yg dijadikan) titik tolak pandangannya sehingga terbentuk citra subjektif seseorang terhadap realita
(sesuatu) sehingga berujung pada ketentuan bagaimana cara untuk menangani realita tersebut
Asumsi : 1. dugaan atau anggapan yang kebenarannya belum pasti.
Skenario u/ mensimulasikan realitas yang berbeda atau situasi yang mungkin terjadi tanpa menghiraukan factor-faktor
yang kompleks.
Apa itu tafsir?

Tergantung kepada

Paradigma

Paradigma Tafsir, tertuang


dalam definisi para ahli

Definisi Tafsir

Paradigma teknis Paradigma fungsional Paradigma akomodatif

‫علم يبحث عن كيفية النّطق بألفاظ القرآن‬ ّ


‫المنزل على نبيه‬ ‫علم يفهم به كتاب هللا‬ ‫علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم‬
‫ و أحكامها اإلفرادية و‬,‫و مدلوالتها‬ ‫مح ّمد ﷺ و بيان معانيه و إستخراج‬ ‫من حيث داللته على مراد هللا تعلى بقدر‬
‫ و معانيها الّتي تحمل عليها‬, ‫التّركيبيّة‬ ‫أحكامه و حكمه‬ ‫الطاقة البشرية‬
‫حالة التّركيب و تتمات لذاك‬ Ilmu yang digunakan untuk Ilmu yang mengkaji tentang al-
Ilmu yang membahas tatacara memahami kitab Allah yang Qur’an dari sisi dilalahnya
pengucapan lafadz-lafadz al- diturunkan kepada Nabi untuk memahami maksud
qur’an, serta (menjelaskan Muhammad Saw, menjelaskan firman Allah SwQt. Sesuai
makna dan hukum-hukum) maknanya dan menggali dengan kemampuan manusia
yang ditunjukk oleh lafadz- hukum-hukum serta hikmah-
lafadz tsb, baik ketika lafadz hikmah yang ada di dalamnya. Az-Zarqaani – manaahillul
(sehingga al-Qur’an itu dapat Irfan. ‘Ali Ash-Shobuni – at-
itu berdiri sendiri atau ketika
berada dalam susunan kalimat. benar berfungsi sebagai Tibyaan fii ‘ulumil qur’an
Termasuk pula mengkaji petunjuk bagi mansia). Dilalah : Pengertian yang hendak
makna-makna yang dituju oleh suatu lafazh. Atau
Az-zarkasyi – Al Burhan Fii
dikandungnya. Serta yang penunjukan suatu lafazh
ulumil qur’an terhadap makna tertentu
mendukung penafsiran.
Dikutip dari kitab at-tafsir wal mufassiruun,
Abu Hayyan Al-Andalusi – maktabah wahbah, mesir hlm.13
Bahrul Muhith
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa hakikat tafsir merupakan ilmu yang sangat bersifat
teknis dan sangat luas. Mulai dari cara pengucapan lafazh-lafazh, I’robnya, cara memahami
kandungan pokoknya, kajian asbab-nuzul, nasikh-mansukh, munasabah, kajian aspek semantik.
Adz-dzahabi menyimpulkan (mempersempit) bahwa hakikat tafsir adalah :
ّ ‫علم يبحث عن مراد هللا تعلى بقدر‬
‫الطاقة البشرية‬
“Ilmu yang mengkaji firman Allah Swt. Sejauh kemampuan manusia”
Objek Material : al-Qur’an
Objek Formal : Problem memberi dan memproduksi makna sesuai dengan kapasitas keilmuan
serta konteks yang melingkupi sang mufassir. Maka seorang mufassir adalah seorang pencari
“kebenaran”, bukan seorang penentu “kebenaran” itu sendiri secara mutlak.
Al-qur’an secara teologis normative diyakini kebenarannya mutlak, sedangkan tafsir
kebenarannya nisbi dan ralatif, sebab ia terkait dengan latar belakang mufassir. Tafsir akan
merepresentasikan kondisi sosio-historis mufassir, bahkan mungkin di dalamnya ada hidden
ideology dan kepentingan politis.
Menurut abdul Mustaqim, setidaknya ada dua paradigm utama dalam melihat hakikat tafsir :
1. Tafsir sebagai proses
Berangkat dari asumsi bahwa al-qur’an itu Eternal-Universal atau Shalih li kulli
zaman wa makan., maka al-qur’an harus selalu dijadikan landasan moral-teologis dalam
menyelesaikan problem-problem sosial-keagamaan era sekarang dan nanti (modern-
kontemporer). Sedangkan kita selama ini menggali dan memperoleh petunjuk al-qur’an
melalui akses tafsir para ulama terdahulu dalam menyelesaikan berbagai problem
manusia. Padahal kita punya kebutuhan dan latar sosio – historis yang berbeda. Lebih
berbahaya lagi ketika tafsir ulama dahulu dianggap mengandung kebenaran mutlak dan
berlaku universal. Bila demikian, kita telah menyejajarkan tafsir dengan al-qur’an.
Adagium al-qur’an shalih li kulli zaman wa makan harus dijadikan spirit dalam
upaya terus melakukan ijtihad dan penafsiran, serta mendialogkan realitas yang tidak
terbatas dengan nash al-quran yang terbatas. Upaya demikian menjadi sine quo none,
mengingat tantangan yang dihadapi manusia semakin kompleks, sementara tidak setiap
problem terdapat jawaban secara eksplisit dalam al-qur’an.
Al-qur’an itu fungsinya sebagai petunjuk (Q.S al-baqarah : 2). Manusia memahami
al-qur’an melalui penafsiran, sedangkan penafsiran mesti harus terus dilakukan
berdasarkan tuntutan kebutuhan zaman agar bisa menyelesaikan problem kekinian.
Kenapa tidak menggunakan penafsiran yang sudah ada? Yang disusun oleh para ulama?.
Masalahnya adalah bukan tidak boleh menggunakan penafsiran yang sudah ada, yang
menjadi masalah adalah ketika tidak boleh menafsirkan ulang, mencari solusi dan
jawaban dari al-qur’an dengan pendekatan tafsir yang lebih modern dan kontekstual.
Serta masalahnya adalah ketika penafsiran masa lalu dianggap final dan tidak boleh
dikritik atau direvisi, hal ini lah yang menyebabkan ummat islam jumud bahkan jatuh
kepada syirik intelektual. Disamping memang boleh jadi tafsir masa lalu sudah tidak
relevan lagi dengan problem kontemporer.
# Konteks dan situasi historis ternyata sangat mempengaruhi redaksi ayat-ayat al-Qur’an.
Untuk itu sangat penting bagi seorang mufassir memahami hal ini, agar memperoleh
akurasi dalam menafsirkan al-Qur’an, karena al-Qur’an itu respon tuhan kepada manusia,
yang al-Qur’an itu tidak turun dalam ruang yang hampa budaya. Misalnya kita bisa lihat
surat al-mujadilah, surat al-lahab, surat luqman dll. Yang merekam sisi historis person.
2. Tafsir Sebagai Produk
Tafsir merupakan produk pemikiran dari seorang mufassir sebagai respon
mufassir terhadap teks al-Qur’an. Tasfir adalah hasil dialektika antara mufassir, teks dan
konteks. Maka betapapun teks yang ditafsirkan dianggap suci, maka tafsir itu sendiri
sudah “tidak suci lagi”.
Krarena tafsir adalah produk pemikiran manusia, maka ia sangat bersifat historis ,
relative dan tentative. Makanya menurut syahrur, kita harus punya visi baru dalam
memandang al-Quran, kita anggap seolah-olah al-Qur’an baru diturunkan kepada kita,
dan nabi saw. Seolah-olah sudah wafat kemarin.
Implikasi teoritis dari pandangan tersebut adalah bahwa kita sebagai orang yang
hidup di era kontemporer, perlu menggunakan perangkat keilmuan kontemporer untuk
memahami al-qur’an tanpa ada beban moril dan teologis yang menghalangi.
Oleh karenannya tafsir meruakan sebuah produk pemikiran qur’ani. Ia tidak
bersifat universal, apalagi berlaku sepanjang zaman. Penafsiran yang dulu dianggap benar
dan solutif menyelesaikan problem-problem sosial keagamaan, dengan berjalannya
waktu dan berkembangnya realitas boleh jadi penafsiran dulu bisa dikatakan keliru
karena sudah tidak relevan lagi dan tidak menjadi solusi.

Orientasi Penafsiran
Berbicara orientasi penafsiran berarti berbicara tentang ke mana arah tafsir atau
interpretasi mau di arahkan, apakah hanya akan mereproduksi makna-makna teks masa lalu, ata
memproduksi makna-makna yang beru sehingga penafsiran lebih dinamis dan produktif.
Menurut abdul mustaqim ada dua arus utama dalam penafsiran :
1. Retrospektif
Orientasi penafasiran yang cenderung besfifat mundur ke belakang dan repetitif. Ciri
penafsiran yang reprospektif adalah :
a. Hanya mempercayai makna awal yang dipahami audiens awal ketika turunnya al-
qur’an.
b. Menganggap makna suatu teks mampu melampaui berbagai zaman
c. Bersifat tekstualis, deduktif dan justifikatif.
d. Cenderung memaksakan suatu makna ke dalam beragam konteks berbeda
e. Menolak hermeneutik sebagai metode dan kritik terhadap interpretasi

2. Prospektif
Orientasi penafsiran ini bersifat produktif dan progresif. Ayat – ayat al-qur’an harus selalu
berdialog dengan realitas perkembangan zaman. Oleh karenannya penafsir dituntut
untuk selalu kreatif dan terus membaca realitas, sehingga produk tafsir yang dihasilkan
selalu aktual dan kontekstual.
Sejarah Perkembangan Tafsir dalam Perspektif
The History Of Idea
Abdul Mustaqim

1. Tafsir Era Formatif dengan Nalar Quasi Kritis


Dimulai sejak zaman nabi – Abad ke-2 Hijriyyah (mencakup masa Nabi > Sahabat
> Tabi’in). tradisi penafsiran pada masa ini merupakan awal pertumbuhan dan
pembentukan tafsir, sehingga dapat dikategorikan sebagai era formatif.
Nalar quasi kritis disini ialah model atau cara berpikir yang kurang
memaksimalkan penggunaan ra’yu (akal) dalam menafsirkan al-Qur’an serta kurang kritis
terhadap produk penafsiran.
Di era sekarang, tafsir sudah memiliki episteme yang jelas serta banyak kaidah
dan metode tafsir yang otoritatif. Wajah tradisi tafsir bila dirunut, prosesnya tentu terjadi
sejak zaman nabi dan terbentuk hingga hari ini. Itulah kenapa tafsir pada masa nabi
dikategorkan sebagai tafsir formatif.
Ciri-ciri berpikir nalar quasi-kritis :
1. Menggunakan symbol-simbol tokoh dalam penafsiran. Seperti symbol tokoh nabi,
sahabat, tabi’in. mereka dijadikan rujukan utama dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Standar kebenaran tafsir ditentukan oleh ketokohan orang-orang tersebut, bukan
karena argumennya.
3. Kurang kritis dalam menerima produk penafsiran
4. Al-qur’an diposisikan sebagai subjek, sedangkan mufassir dan realitas diposisikan
sebagai objek. Sehingga metode penafsiran yang berkembang saat itu adalah metode
bil ma’tsur
Bukti model berpikir quasi kritis :
1. Abdullah Bin umar tidak mau menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu
2. Abu bakar enggan memberikan jawaban ketika ditanya mengenai tafsir suatu ayat
yang tidak ada penjelasannya dari Nabi Saw. Abu bakar
3. Umar Bin Khattab mencambuk ibnu sabigh ketikda ditanya mengenai ayat
mutasyabihat
Pada masa nabi Muhammad, setiap kali ada ayat yang turun, beliau biasanya
membacakannya dan menjelaskan kalimat yang musykil kepada para sahabat. Penafsiran
dari nabi bersifat global dan disampaikan secara oral, karena peradaban Arab saat itu
adalah peradaban lisan dan periwayatan, bukan peradaban tulis dan penalaran. Nabi saw.
Tidak meninggalkan metode yang sistmatis dalam menafsirkan al-qur’an.
Setelah nabi wafat, tradisi penafsiran al-Qur’an diteruskan oleh para sahabat :
Para sahabat melanjutkan penafsiran al-Qur’an, tapi dengan pola dan episteme yang
masih sama. Diantara para sahabat yang konsen terhadap tradisi penafsiran yaitu :
1. ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w. 687 M)
2. ‘Abdullah ibn Mas’ud (w. 653)
3. ‘Ubay ibn Ka’ab (w. 640 M)
4. Zaid bin Tsabit (w. 665 M)
Tradisi penafsiran sahabat :
1. Bersifat oral dengan metode periwayatan
2. Banyak hadits yang merupakan penjelasan ayat-ayat musykil
3. Bila mereka tidak mendapatkan penjelasan (tafsir) nabi mengenai suatu ayat, maka
mereka menafsirkan ayat tersebut dengan ayat lainnya yang memiliki relevansi. Ini
lah cikal bakal lahirnya tafsir tematik di kemudian hari.
4. Selain riwayat (hadits) dan ayat al-qur’an, sumber penafsiran mereka yang ketiga
adalah Qiro’ah (variasai bacaan),
Setelah generasi sahabat berakhir, tradisi penafsiran al- Qur’an dilanjutkan oleh para
tabi’in . pola dan episteme yang digunkan pun relative sama dengan yang sebelumnya.
Namun ada beberapa perbedaan tertentu antara penafsiran tabi’in dengan sahabat, yaitu
:
1. Tafsir pada masa tabi’in lebih diwarnai dan dipengaruhi oleh kepentingan madzhab
yang muncul waktu itu.
2. Muncul aliran-aliran tafsir berdasarkan kawasan.
3. pada masa ini ada pergeseran rujukan penafsiran, yaitu riwayat israiliyyat oleh para
tabi’in dijadikan rujukan tafsir. Seiring dengan meluasnya kekuasaan islam banyak
ahli kitab yang masuk islam, ini pula yang menjadi faktor utama timbulnya pergeseran
sumber tafsir di masa tabi’in. tokoh-tokoh ahli kitab yang masuk islam diantaranya :
‘Abdullah ibn salam, Ka’ab al-Akhbar, wahb ibn Munabbih, dan ‘Abdul Aziz ibn
Juraij.

Sumber Validitas Karakteristik dan


Metode Penafsiran Tujuan Penafsiran
Penafsiran Penafsiran
1. Bi ar-riwayat. (pada 1. Shahih tidaknya 1. Minimnya
 al-Qur’an
tahap selanjutnya sanad dan budaya
 al-Hadits
ditambahi sedikit matan sebuah kritisisme
(aqwal
analisis kaidah-kaidah riwayat 2. Penafsiran
ijtihad nabi)
kebahasaan) 2. Kesesuaian bersifat global,
 Qiro’at,
2. Disampaikan secara oral dengan kaidah- praktis dan
aqwal dan
melalui system kaidah Bahasa implementatif
ijtihad
periwayatan. Arab dan sesuai 3. Tujuan
sahabat dan
dengan hadits penafsiran yaitu
tabi’in
yang shahih untuk
memahami
makna belum
sampai pada
maghza
4. Posisi penafsiran
sebagai subjek,
bukan objek.
2. Tafsir Era Afirmatif dengan nalar Ideologis
Pasca era formatif, perkembangan tafsir berikutnya memasuki era afirmatif yang
berbasis pada nalar ideologis. Era afirmatif ini terjadi pada abad pertengahan (
).
Ciri-ciri menggunakan nalar ideologis :
1. Lebih didominasi kepentingan politik, madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu.
2. Menjadikan al-Qur’an sebagai legitimasi bagi kepentingan di atas.
3. Bias ideologi
Tradisi penafsiran pada masa ini :
1. Tafsir menjadi disiplin ilmu yang mendapat perhatian khusus dari para sarjana
2. Berbagai corak dan ragam penafsiran muncul
3. Fanatisme yang berlebihan terhadap madzhab (yang tentunya akan mempengaruhi
laju perkembangan tafsir pada masa ini)
Bukti model berpikir dengan nalar ideologis :
1. Tafsir bias ideologi mengenai ajaran wihdatul wujud. Ayat “wadzkur isma rabbaka
watabattal ilaihi tabtiilaa”. (Q.S al-Muzammil). Lalu ditafsirkan dengan
“wadzkurisma rabbaka alladzi huwa anta”. Kemudia ayat ”Nahnu khalaqnaakum
falaw laa tushaddiquun” mereka menafsirkanya “Nahnu khalaqnaakum bi
Izhaarikum biwujuudinaa, wazhuhuurinaa fii shuwaarikum”
2. Menjadikan al-Qur’an sebagai legitimasi magi madzhab atau ideologi tertentu. Seperti
yang dilakukan al-Karakhi, salah seorang pendukung madzhab Hanafi, yang
mengatakan, Kullu aayah aw hadiits yukhaalifu ma ‘alaihi ash habunaa fahuwa
mu’awwal aw mansuukh

Validitas Karakteristik dan


Sumber Metode Penafsiran
Penafsiran Tujuan Penafsiran
Penafsiran
 Bi ar-riwayat. (pada  Kesesuaian  Ideologis, sectarian,
 Akal / ijtihad
tahap selanjutnya antara hasil atomistic, repetitive,
lebih
ditambahi sedikit penafsiran pemaksaan gagasan
dominan dari
analisis kaidah-kaidah dengan non-qur’ani,
al-Qur’an dan
kebahasaan) kepentingan  Ada truth claim dan
hadits
 Dicocok-cocokan penguasa, subjektif
 Teori-teori
keilmuan
dengan teori dari madzhab  Tujuan penafsiran
disiplinn keilmuan atau dan untuk kepentingan
madzhab masing- keiilmuan kelompok,
masing mufassir mendukung
kekuasaan dan
madzhab atau
keilmuan yang
ditekuni

Pada era ini sektarianisme begitu kental mewanai produk-produk tafsir,. Kegiatan
penafsiran seolah tidak dilandasi oleh tujuan bagaimana menjadikan al-Qur’an sebagai
hidayah bagi manusia, melainkan sekedar sebagai alat legitimasi bagi disiplin ilmu
tertentu, dan ideologi tertentu atau untuk mendukung suatu kekuasaan.
3. Tafsir Era ReFormatif dengan nalar kritis
Perkembangan selanjutnya dari babakan sejarah penafsiran adalah era reformatif yang
berbasis pada nalar kritis dan bertujuan transformative.
Era ini dimulai dengan tokoh-tokoh islam seperti Ahmad Khan, Muhammad Abduh yang
terpanggil untuk melakukan kritik terhadap produk-produk penafsiran ulama terhadahulu
yang sudah tidak relevan lagi. Langkah Ahmad Khan dan Muhammad Abduh ini kemudian
banyak diikuti oleh para penafsir kontemporer berikutnya. beberap hal yang pada
umumnya mereka lakukan adalah : 1. Bersikap kritis 2. Cenderung melepaskan diri
dari model berpikir madzhabi 3. Mulai mengggunakan perangkat keilmuan modern.
Bangunan epistemologi Tafsir Kontemporer
a. Asumsi Paradigma Tafsir Kontemporer
1. AL-Qur’an: Shalih li kulli zaman wa makan
Paradigma Tafsir Kontemporer

menjawab /
prinsip- memberi
problem
prinsip solusi
sosial yang
Al-qur'an universal al- Kontekstualisasi segala
bersifat
kitab Qur'an secara terus problem
temporal
terakhir Shalih li menerus sosial
dan
kulli Zaman keagamaan
partikular
Wa Makan kontempor
er

Paradigma Tafsir Klasik


Problem
manusia
Al-qur'an Tafsir Solusi
sepanjang
waktu

Terjadi Sakralisasi

2. Teks Yang Statis dan Koneks yang Dinamis

Problem yang Konteks


Aktualisasi dan nilai dan prinsip-
kompleks dan Partikular era
Kontekstualisasi prinsip universal
tidak terbatas kontemporer

Fazlru Rahman : “Ayat-ayat al-qur’an yang diturunkan pada waktu tertentu


dalam sejarah – dengan keberadaan umum dan khusus yang menyertainya –
sering kali menggunakan ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan situasi yang
mengelilinginya. Oleh karenanya, ayat-ayat tersebut tidak boleh direduksi atau
dibatasi oleh situasi historis pada saat ia diwahyukan.”
3. Penafsiran bersifat relative dan tentative
Secafra normative al-qur’an diyakini memiliki kebenaran mutlak, namun
kebenaran produk penafsiran al-Qur’an bersifat relative dan tentative. Sebab,
tafsir adalah respons mufassir ketika mmahami al-Qur’an, memahami situasi dan
problem sosial yang dihadapi.

1. Latar belakang kultural


2. latar belakang keilmuan
3. asumsi
4. problem sosial yang dihadapi
Mufassir Al-Qur'an
5. politik
6. kepentingan dan atau
ideologi

Oleh karena itu, meskipun al-qur’an itu tunggal, tetapi jika dibaca dan ditafsirkan
oleh banyak pembaca maka hasilnya bisa bervariasi. Amina Wadud : “Although
each reading is unique, the understanding of various readers of single text will
converege on many points”
b. Karakteristik Paradigma Tafsir Kontemporer
1. Memosisikan al-Qur’an Sebagai Kitab Petunjuk
Berawal dari kegelisahan Muhammad ‘Abduh terhadap penafsiran masa lalu.
Menurutnya kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya telah
kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk. Abduh menilai bahwa kitab tafsir
pad masanya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas berbagai pendapat ulama
yang saling berbeda (bertentangan) dan pada akhirnya menjauhkan dari tujuan
diturunkannya al-Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia (Hudan
linas)3

Sebagian besar kitab-kitab klasik dinilai abduh hanya berkutat pada persoalan :
- Pengertian kata-kata
- Kedudukan kalimatnya dari segi I’rob
- Penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh
redaksi ayat-ayat al-qur’an.
Oleh karenanya kebanyakan kitab-kitab tafsir tersebut hanya sebatas menjadi
latihan praktis di bidang Bahasa. Bukan menjadikannya sebagai kitab tafsir
dalam arti kitab yang ingin menyingkap kandungan nilai dan ajaran al-qur’an.
hal inilah yang mendorong Abduh menulis kitab tafsir bersama Rasyid Ridla.
Menurutnya kitab Tafsir harus bisa menjadikan al-qur’an sebagai sumber
petunjuk. Kemudian abduh menulis kitab tafsir yang diharapkan memberikan
solusi atas problem konkret yang dihadapi umat islam waktu itu.4

3
Muhammad ‘Abduh, Fatihatul Kitab (Kairo: Kitab al-Tahrir, 1382 H), hlm.13
4
Ibid, Hlm.12
2. Bernuansa Hermeneutis
Model penafsiran era klasik cenderung pada praktik eksegetik yang bersifat linier-
atomistic dalam menafsirkan al-qur’an, dan menjadikan al-Qur’an sebagai subjek.
Sedangkan tafsir di era kontemporer menekankan pada aspek epistemologis-
metodologis, serta menghindari praktek penafsiran yang repetitive dan ideologis-
tendensius.
Maksud model penafsiran yang bernuansa hermeneutis : Roger Trigg
“Hermeneutika merupakan model penafsiran atas teks tradisional (klasik), di
mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan supaya teks selalu dapat kita
pahami dalam konteks kekinian yang situasinya berbeda”.5

Konteks
Teks Tradisional Permaslahan Kontekstualisasi Partikular era
kontemporer

Konsekuensi dari penggunaan model hermeneutis dalalm menafsirkan al-Qur’an


adalah bahwa kita tidak lagi boleh hanya mengandalkan perangkat keilmuan
klasik seperti yang digunakan oleh para mufasir dahulu, seperti nahw-shorf,
balaghah, fiqh, tapi juga perlu menggunakan ilmu lain , missal sosiologi, filsafat
ilmu, antropologi dan sejarah.

3. Kontekstual dan Berorientasi pada Spirit al-Qur’an


Para mufassir kontemporer mengembangkan dan bahkan tidak segan mengganti
metode dan paradigm penafsiran lama. Jika metode penafsiran yang digunakan
era klasik adalah model analitik yang bersifat atomistic dan parsial, maka mufassir
kontemporer lebih memilih menggunakan metode tematik. Kemudian mereka
pun menggunakan pendekatan interdisipliner, seperti filsafat Bahasa semantic,
semiotic, antropologi, sains dll.
Karakteristik tafsir kontemporer sifatnya kontekstual dan mengutamakan spirit
al-qur’an. Oleh karenannya ada perbedaan perspektif dalam memahami adagium
al-qur’an shalih li kulli zaman wa makan. Bagi para mufassir klasik mereka
memahami adagium itu dalam arti memaksakan makna literal al-qur’an ke
dalam berbagai konteks, situasi dan kondisi. Sedangkan mufassir kontemporer
mencoba melihat apa yang ada “di balik” teks (redaksi) al-qur’an.
4. Ilmiah, kritis, dan Non-Sektarian
Dikatakan ilmiah sebab hasil penafsiran bisa diuji kebenarannya berdasarkan
konsistensi metodologi yang digunakan mufassir.
Kritis, karena siap menerima kritik dari komunitas akademik, dan Non-sektarian
sebab umumnya mereka terlepas dari kungkungan madzhab, bahkan selalu
berusaha melakukan kritik terhadap mufassir klasik ataupun kontemporer yang
penafsirannya sudah tidak kompatibel dengan era sekarang.
c. Sumber, Metode dan Validitas Penafsiran
1. Sumber penafsirannya yaitu al-Qur’an, akal dan realitas.

5
Dikutip dari Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996, hlm.161
2. Metode-pendekatan bersifat interdisipliner
3. Validitas Penafsiran
Kebenaran suatu tafsir dapat diuji dengan menggunakan 3 teori kebenaran.
- Teori koherensi. Teori ini mengatakan bahwa sebuah penafsiran dianggap
benar apabila ia sesuai dengan proposisi-proposisi sebelumnya dan terdapat
konsistensi berpikir secara filosofis maka penafsiran itu benar secara
koherensi. Serta konsisten menerapkan metodologi tiap mufassir.
- Teori korespondensi. Menurut teori ini, penafsiran dianggap benar apabila ia
sesuai dengan faka ilmiah yang ada di lapangan.
- Teori pragmatisme. Teori ini mengatakan bahwa suatu penafsiran dianggap
benar apabila ia secara praktis mampu memberikan solusi praksis bagi
problem sosial yang muncul.

Anda mungkin juga menyukai