Anda di halaman 1dari 13

Cara Menterjemahkan

dan Menafsirkan
Al-Quran
Oleh Ustadz Rokiban, M.Pd.I
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ص َر َو ْالفَُؤ ا َد ُكلُّ ُأو ٰلَِئ َك َك‬
‫ان َع ْنهُ َم ْسُئواًل‬ َ َ‫ك بِ ِه ِع ْل ٌم ۚ ِإ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب‬
َ َ‫ْس ل‬ ُ ‫ َواَل تَ ْق‬
َ ‫ف َما لَي‬
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya” (Al-Israa`:36).

Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu mendasari


setiap kegiatan kita, baik pebuatan mauun
ucapan. Termasuk ketika kita berbicara tentang
islam. Tertama ketika berbicara tentang dalil al-
Quran. Karena al-Quran adalah firman Allah.
Menerjemahkan al-Quran, termasuk menafsirkan
al-Quran, berarti menyampaikan apa maksud
firman Allah.
Terjemah berarti,

‫التعبير عن الكالم بلغة أخرى‬

“Mengungkapkan ucapan/materi teks (dari


bahasa sumber) dengan bahasa lain”.

Terjemah Al-Quran berarti mengungkapkan


makna Al-Quran dengan bahasa lain.
Macam Terjemah
Terjemah ada dua macam,
1.Terjemah harfiyah, yaitu menerjemahkan
setiap kata (dalam bahasa sumber)
dengan kata yang sepadan (dalam bahasa
kedua).
Contoh, firman Allah Ta’ala,
َ ُ‫ِإنَّا َج َع ْلنَاهُ قُرْ آنًا َع َربِيًّا لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْع ِقل‬
)Az-Zukhruf: 3(  ‫ون‬
Ayat ini diterjemahkan;
2. Terjemah maknawiyah atau tafsiriyah,

Ini sangat berbeda dengan terjemah


harfiyah. Terjemah tafsiriyah berarti ada
tafsir dari suatu ayat, kemudian tafsir itu
diterjemahkan ke bahasa lain. Misalnya
tafsir surat az-Zukhruf ayat 3, dalam kitab
Jalalain yang berbahasa arab,
diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Tafsir Jalalin untuk surat az-Zukhruf: 3 di
atas,
‫“إنَّا َج َع ْلنَاهُ” َأ ْو َج ْدنَا ْال ِكتَاب “قُرْ آنًا َع َربِيًّا” بِلُ َغ ِة ْال َع َرب “لَ َعلَّ ُك ْم” يَا َأ ْهل َم َّكة‬
َ ‫ون” تَ ْفهَ ُم‬
‫ون َم َعانِيه‬ َ ُ‫“تَ ْعقِل‬

Kemudian diterjemahkan,

Sesungguhya Kami jadikan kitab ini


sebagai al-Quran yang berbahasa arab,
agar kalian – wahai penduduk Mekah –
memahami maknanya.
Hukum Terjemah harfiyyah
Terjemah harfiah untuk al-Qur’an mustahil
menurut sebagian besar ulama. Karena ada banyak
syarat yang tidak mungkin diwujudkan.
Diantaranya:

1. Harus ada kosakata yang sepadan antara bahasa


sasaran dengan kosakata dalam bahasa sumber.
2. Harus ada alat bahasa dan pelengkap kalimat
yang sama antara bahasa sasaran dengan bahasa
sumber.
3. Harus ada kesamaan antara bahasa sumber
dengan bahasa sasaran dalam sistematika
kalimat ketika disusun dalam bentuk kalimat,
frase, atau kalimat majemuk bertingkat.
Sebagian ulama menyatakan bahwa terjemah
harfiyah memungkinkan untuk sebagian ayat.
Meskipun demikian, hukumnya tetap
terlarang, karena beberapa alasan.
Diantaranya :
1. Tidaklah mungkin bisa mengungkapkan
makna ayat dengan sempurna,
2. Tidak mungkin bisa mempengaruhi pembaca
sebagaimana pengaruh Al-Quran yang
berbahasa Arab yang jelas,
3. Tidak ada kebutuhan yang memaksa untuk
menerjemahkan Al-Quran secara harfiyah.
Karena kebutuhan masyarakat adalah
memahami kandungan Al-Quran, dan itu
pada terjemah maknawi.
Cara menafsirkan Al-Qur’an
1. Al-Qur’an ditafsirkan oleh Al-Qur’an
sendiri.
Firman Allah :
Artinya : "Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat
oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu)
membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya
dan menjelaskan hukum-hukum yang telah
ditetapkannya (Maksudnya Al Quran itu
menjelaskan secara terperinci hukum-hukum
yang telah disebutkan dalam Al Quran itu],
tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan)
dari Tuhan semesta alam." (QS. Yunus : 37)
2. Al-Qur’an ditafsirkan oleh Hadits
atau Sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam
Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai syarah atau yang menjelaskan
dan menafsirkan Al-Qur’an sebagaimana
firman Allah :
Artinya : "Dan Kami turunkan kepadamu Al
Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan." (QS. An-Nahl : 44)
3. Al-Qur’an di tafsirkan oleh para
shahabat.
Apabila kita tidak mendapati tafsir Al-
Qur’an dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari
Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
maka kita kembalikan kepada tafsir para
shahabat khususnya ulama mereka
seperti khulafaa-ur Raasyidiin, Abdullah
bin Mas’ud, Ibnu Abbas dan lain-lain. Hal
ini karena beberapa sebab yang banyak
sekali di antaranya tiga sebab yang
sangat mendasar, yaitu :
1.Mereka lebih tahu tentang Al-Qur’an
karena mereka hidup pada zaman
turunnya wahyu. Mereka adalah orang-
orang yang secara langsung menyaksikan
turunnya wahyu, dimana turunnya, kapan
turunnya, dan apa maksudnya, dan
kekhususan-kekhususan lainnya, yang
tidak diketahui oleh orang yang
sesudahnya kecuali dari jalan mereka.
2.Mereka memiliki pemahaman yang
sempurna dan ilmu yang shahih
dinisbahkan dengan generasi yang
sesudahnya.
3. Mereka beramal shalih.
Perhatikan dua buah a-tsar berikut :
Berkata Ibnu Mas’ud, “Kebiasaan seseorang dari kami,
apabila ia mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur’an), ia tidak
melampaui nya sampai ia mengetahui makna-maknanya
dan mengamalkannya”. [Shahih Riwayat Ibnu Jarir
ditafsirnya (juz 1 no. 66 dibagian muqaddimah tafsir)].

Berkata Abdurrahman As Sulamiy, “Telah menceritakan


kepada kami orang-orang (yaitu para shahabat) yang
telah membacakan (Al-Qur’an) kepada kami,
sesungguhnya apabila mereka mempelajari dari Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat (Al-Qur’an),
mereka tidak melampauinya sampai mereka mengetahui
ilmunya dan (cara) mengamalkannya. Mereka berkata,
“Kami mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya
sekalian”. [Tafsir Ibnu Jarir (No. 67). Majmu Fatawa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (13/330). Muqaddimah
Tafsir Ibnu Katsir].

Anda mungkin juga menyukai